WeLCoMe To 1'st Dewi's Blog

WelCome...!!! To My 1'st blog!!!


pendidikan

pendidikan
sangat menyedihkan ya... pendidikan di negara kita...so.. jangan pernah menyia-nyiakan pendidikan yang kita dapat, karena masih banyak di luar sana yang kurang mendapat pendidikan yang layak. semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Kamis, 28 Mei 2009

Mozaik Teknologi Pendidikan


A. Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan

Melalui subtema “peningkatan mutu pendidikan” ingin dikaji berbagai cara Teknologi pendidikan menata dan mengelola kembali proses belajar mengajar yang terjadi di lembaga pendidikan. Dengan judul “media pembelajaran sebagai pilihan dalam strategi pembelajaran “, ingin dibahas pentingnya media dalam pembelajaran dalam meningkatkan mutu pembelajaran. Media bukan alat bantu guru saja, melainkan juga sebagai penyalur pesan dan fungsi-fungsinya yang lain.

1.Media Pembelajaran sebagai pilihan dalam strategi pembelajaran

a. Strategi pembelajaran dalam proses pembelajaran
Pembelajaran adalah upaya menciptakan kondisi dengan sengaja agar tujuan pembelajaran dapat di permudah (facilitated) pencapaiannya. Dalam kegiatan pembelajaran perlu dipilih strategi yang tepat agar tujuan pembelajaran dapat di capai. Tujuan pembelajaran harus bersifat “behavioral” atau berbentuk tingkah laku yang dapat diamati, dan “measurable” atau dapat diukur. Jadi strategi pembelajaran adalah keputusan instruktur dalam menetapkan berbagai kegiatan yang akan di laksanakan, sarana dan prasarana yang di gunakan, termasuk jenis media yang di gunakan dan metodologi yang di gunakan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Dari sejarah singkat perkembangan media, maka dapat di sebutkan dua fungsi atau peran pokok media pendidikan (yang sekarang di sebut dengan media pembelajaran) yaitu:
1.fungsi AVA (Audiovisual Aids atau Teaching Aids) berfungsi untuk memberikan pengalaman yang konkret kepada siswa. Sama waktu anak-anak Eropa 17 mempelajari bahasa Latin yang abstrak sifatnya, maka pada saat sekarang pun, anak-anak juga mengalami hal yang sama bila guru hanya bermain dengan kata-kata saja dalam menyampaikan materi pelajaran.
2.Fungsi Komunikasi
Media berasal dari kata medium yang artinya “in between”. Jadi media berada di tengah (diantara dua hal ) yaitu yang menulis atau membuat media dan orang yang menerima media (audiense).

b. Kegunaan Media Komunikasi dalam Pembelajaran:
1.Memberikan pengetahuan tentang tujuan belajar.
2.memotivasi siswa.
3.menyajikan informasi.
4.merangsang diskusi.
5.mengarahkan kegiatan siswa.
6.melaksanakan latihan dan ulangan.
7.menguatkan belajar.
8.memberikan pengalaman simulasi.

2.Penerapan Konsep dan Prinsip Pembelajaran Kontekstual dan Desain Pesan Dalam Pengembangan Pembelajaran dan Bahan Ajar.

Penerapan pembelajaran kontekstual dapat dilaksanakan baik dalam kegiatan
pembelajaran yang di mediakan (mediated instruction). Bahan ajar berupa
media cetak atau tertulis adalah contoh bahan pembelajaran yang dimediakan.
a. Konsep dan Prinsip Pembelajaran Kontekstual (CTL) dan Pesan Pembelajaran
Masalah – masalah pembelajaran yang melatarbelakangi diperkenalkannya konsep pembelajaran kontekstual adalah bahwa sebagian besar siswa “tidak dapat menghubungkan apa yang telah mereka pelajari dengan cara pemanfaatan pengetahuan tersebut di kemudian hari”.
Prinsip dan Strategi Pembelajaran Kontekstual :
1.Keterkaitan relevansi (relating)
2.Pengalaman Langsung (Experiencing)
3.Aplikasi (Applying)
4.Kerja Sama (Cooperating)
5.Alih Pengetahuan (Transferring)
b. Prinsip-prinsip Desain pesan Pembelajaran
Menyampaikan pembelajaran sesuai dengan konsep teknologi pendidikan dan pembelajaran pada hakikatnya merupakan kegiatan menyampaikan pesan kepada siswa oleh narasumber dengan menggunakan bahan, alat, teknik dan dalam lingkungan tertentu (Gafur, 1986,p.5)
1.Kesiapan dan motivasi (readiness dan motivation)
2.penggunaan alat pemusat perhatian (attention directing devices)
3.partisipasi aktif siswa (student’s active participation)
4.perulangan (repetition)
5.umpan balik (feedback)
c. Pengintegrasian Konsep Pembelajaran Kontekstual dan Prinsip Desain Pesan kedalam Pembelajaran dan Bahan Ajar.
Konsep, prinsip dan strategi pembelajaran kontekstual dan prinsip-prinsip desain pesan pembelajaran perlu diintegrasikan dan diterapkan kedalam setiap komponen strategi pembelajaran yang relevan.
Berikut komponen pokok strategi pembelajaran.
1.Kegiatan pembelajaran pendahuluan. (pre-instructional activities)
2.Penyampaian materi pembelajaran (presenting instruction materials)
3.memancing kinerja siswa ( eleciting performance)
4.pemberian umpan balik (providing feedback)
5.kegiatan tindak lanjut (follow-up activities)

Bagan 1: Pengintegrasian prinsip pembelajaran kontekstual dan desain pesan kedalam pengembangan pembelajaran dan bahan ajar.

Sistematika modul / bahan pembelajaran
Pendahuluan
Berisi uraian singkat tentang
Cakupan Deskripsi Materi keterkaitan / manfaat bagi siswa
Tujuan Pembelajaran Khusus urutan bahasan (kegiatan belajar)
Perilaku awal (jika ada)


Petunjuk belajar

Penyajian materi pembelajaran berisi sajian uraian materi, contoh, perulangan dan rangkuman yang bersifat interaktif.

3.Manajemen Penelitian Di Perguruan Tinggi
Kegiatan-kegiatan penelitian yang menjadi landasan pengembangan ilmu dan teknologi, banyak yang bermula dari lembaga-lembaga penelitian yang berkaitan dengan lembaga pendidikan tinggi. Hal ini wajar, karena penelitian itu sejak semula telah menjadi satu dari tridharma atau fungsi utama perguruan tinggi. Fungsi penelitian itu dipandang sebagai tulang punggung reputasi dan kridensial suatu lembaga pendidikan tinggi, apakah berbentuk universitas, institut maupun sekolah tinggi.hasil-hasil penelitian dikomunikasikan melalui kegiatan kegiatan pendidikan dan pengajaran, seminar dan diskusi rasional. Baik yang di selenggarakan khusus maupun masyarakat umum.
a. Ragam Progam Penelitian.
Penanaman program penelitian berbeda karena perbedaan penekanan dari kegiatan penelitian. Ada yang membuat klasifikasi berdasarkan tujuan dan kegiatan penelitian di golongkan dalam:
a.penelitian untuk menjelaskan fenomena
b.penelitian untuk membuat prediksi
c.penelitian untuk mengendalikan sesuatu
adapula yang membuat klasifikasi berdasarkan pendekatan yang di gunakan, dan menggolongkan penelitian dalam:
a.penelitian eksploratif
b.penelitian deskriptif
c.penelitian eksperimen
d.penelitian historis
selain itu ada yang membagi penelitian atas:
a.penelitian kepustakaan
b.penelitian lapangan
c.penelitian laboratorium
penelitian berdasarkan sifat pekerjaan dan disiplin ilmu:
a.penelitian dasar, penelitian untuk pengembangan pengetahuan ilmiah.
b.penelitian terapan, penelitian yang menerapkan teori-teori ilmiah untuk menghasilkan baik peralatan, prinsip-prinsip, metode-metode pemecahan masalah-masalah praktis, dan sebagainya.
b. Keperluan Manajemen Penelitian
Manajemen penelitian bertalian dengan :
a.program-program penelitian
b.sumber-sumber daya
c.pelaksanaan program-program penelitian
d.seminar dan diskusi nasional dan
e.publikasi hasil-hasil penelitian.
Perencanaan program-program penelitian hendaklah memperhatikan tujuan-tujuan yang hendak di capai, tenaga-tenaga peneliti, sarana dan dana yang tersedia atau yang dapat di sediakan.

c. Keperluan lembaga pengelola kegiatan penelitian
Manajemen penelitian dilaksanakan oleh sebuah lembaga atau organisasi. Pada tingkat fakultas/sekolah tinggi organisasi penelitian disebut pusat penelitian yang mungkin mempunyai beberapa bagian penelitian atau program penelitian.
Tugas utama dari Pusat Penelitian di sebuah sekolah tinggi adalah melaksanakan kepemimpinan dalam penelitian dengan memotivasi tenaga peneliti dan dosen-dosen agar mereka giat dan sungguh-sungguh melakukan penelitian. Bertalian dengan itu yang perlu dilakukan adalah:
a.Program penelitian.
b.Dana penelitian
c.Penilaian research proposal dan laporan hasil penelitian.
d.Pemantauan kegiatan penelitian
e.Penilaian laporan hasil penelitian
f.Laporan hasil penelitian yang akan diseminarkan
g.Kegiatan-kegiatan penelitian dimasukkan pula dalam anggaran pendapatan dan belanja tahunan.
h.Pengembangan dan peningkatan kemampuan meneliti dosen-dosen dan tenaga meneliti
i.Pengadaan prasarana dan sarana perlu di masukkan dalam APB Tahunan Perguruan Tinggi.
j.Deskripsi pekerjaan dan analisis tugas-tugas pusat penelitian perlu diadakan atau disiapkan.
k.Penyiapan makalah kerja yang akan di sajikan dalam forum seminar dan diskusi rasional.
l.Penerbitan hasil-hasil penelitian.
m.Pengendalian mutu
n.Kerjasama antara lembaga.
d. Format Usulan Penelitian
a.judul penelitian
b.perumusan masalah penelitian
c.kerangka teori
d.tujuan dan manfaat penelitian
e.desain (prosedur) penelitian.
f.Jadwal kegiatan penelitian.
g.Anggaran penelitian.
h.Kelompok peneliti.
i.Daftar pustaka.
e. Format Laporan Penelitian.
a.halaman muka (luar).
b.Halaman daftar isi, halaman daftar tabel dan gambar.
c.Bagian isi
d.Bagian penutup
f. Penilaian Usulan Penelitian.
Unsur – unsur yang di nilai dari usulan penelitian mencakup : judul, tema, perumusan masalah pokok penelitian, identifikasi parameter atau variabel, konseptualisasi hubungan variabel-variabel, operasionalisasi terma-terma teoritis, hipotesis-hipotesis, penting atau tidak terma tersebut diteliti, orisinalitas terma dan masalah pokok penelitian, populasi dan sampel, unit-unit analisis, instrumen pengumpulan data, dan teknik analisis data.

g. Penilaian Laporan Penelitian
Penilaian laporan penelitian hasil penelitian ditekankan pada apakah hasil penelitian itu menyajikan fakta-fakta baru yang dapat mengubah teori –teori yang telah ada berkenaan dengan masalah yang di teliti dalam disiplin ilmu terkait

4. Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligence (mi) untuk Pencapaian Kompetensi dalam pembelajaran.
a. Konsep Multiple Intelligence (MI)
Multiple Intelligence (MI) lahir sebagai koreksi terhadap konsep kecerdasan yang dikembangkan oleh alfed binet (1904). Karena menurut gardner kecerdasan yang dikembangkan oleh Alfed Binet tersebut belum mewakili kecerdasan seseorang sepenuhnya, Seperti:
a.kecerdasan linguistik
b.kecerdasan matematis logis
c.kecerdasan spasial
d.kecerdasan kinestetik-jasmani
e.kecerdasan musikal
f.kecerdasan interpersonal
g.kecerdasan intrapersonal
h.kecerdasan naturalis
b.Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran adalah suatu pendekatan dalam mengorganisasikan komponen-komponen pembelajaran yang di butuhkan untuk mencapai tujuan pembelajaran (hasil belajar).
Dalam pembelajaran di sekolah, strategi pembelajaran pada umumnya di rancang oleh guru sesuai dengan kebutuhan mata pelajaran yang di kelolanya. Sesungguhnya pendekatan ini sudah baik, bila dilakukan secara benar dan konsisten.
Menurut Conny Setiawan (2002), strategi pembelajaran yang hanya berupaya menghabiskan materi pelajaran kurang memberikan makna bagi siswa. Oleh karena itu pendekatan yang sudah ada selama ini perlu dikembangkan lebih lanjut, agar peristiwa pembelajaran mampu memberikan makna bagi siswa yang belajar. Hal ini dapat dilakukan dengan efektif, bila saja SDM mampu mengaitkan setiap materi yang diajarkannya dengan kehidupan siswa sehari-hari.
c.Strategi Pembelajaran Multiple Intelligense (mi)
Strategi Pembelajaran MI pada hakikatnya adalah upaya mengoptimalkan kecerdasan majemuk yang di miliki setiap individu (siswa) untuk mencapai kompetensi tertentu yang dituntut oleh sebuah kurikulum.
Strategi Pembelajaran MI pada praktiknya adalah memacu kecerdasan yang menonjol pada diri siswa seoptimal mungkin, dan berupaya mempertahankan kecerdasan lainnya pada standar minimal yang ditentukan oleh lembaga atau sekolah. Dengan demikian penggunaan strategi pembelajaran MI tetap berada pada posisi yang selalu menguntungkan bagi siswa yang menggunakannya.
d. Kurikulum Berbasis Kompetensi
KBK adalah suatu upaya mengingatkan para pengajar dalam hal ini para guru, agar dalam proses pembelajaran yang dilakukannya tidak berorientasi pada upaya-upaya pencapaian pengetahuan semata. Tetapi harus pula mampu membuktikan bahwa setiap materi yang di ajarkan kepada siswa bermakna untuk kehidupan sehari-hari. KBK adalah suatu pendekatan yang sangat baik untuk meningkatkan mutu pendidikan. Karena KBK tidak berorientasi pada kuantitas materi, melainkan lebih berfokus pada kualitas materi yang diperoleh siswa.
e. Langkah Penerapan Strategi Pembelajaran Multiple Intelligences (MI)
a. memberdayakan semua jenis kecerdasan pada setiap mata pelajaran.
b. mengoptimalkan pencapaian mata pelajaran tertentu berdasarkan kecerdasan yang menonjol pada masing-masing siswa.

1. Pendayagunaan Teknologi Pendidikan di Negara Tetangga
Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara, baik dilihat dari jumlah penduduk, suku bangsa dan bahasa, pulau-pulau, maupun luas wilayah geografisnya. Dengan kondisi seperti itu skala dan kompleksitas permasalahan mutu dan pemerataan pendidikan yang kita hadapi jelas lebih besar dibandingkan dengan negara-negara tetangga tersebut. Teknologi komunikasi dan informasi pendidikan sudah seharusnya kita menfaatkan untuk membantu pembangunan pendidikan di negara yang begitu luas. Namun apakah teknologi komunikasi dan informasi pendidikan dapat membantu kita memecahkan masalah pendidikan.
a. Masalah Umum Pendidikan
Semua negara di Asia Tenggara, terlepas dari tingkat perkembangan ekonominya, menempatkan pendidikan sebagai faktor kunci dalam pembangunan bangsa dan negaranya. Dua masalah pokok yang pada umumnya mereka hadapi adalah peningkatan mutu dan perluasan kesempatan belajar.
Pendayagunaan Teknologi Pendidikan ataupun istilah yang mereka gunakan : Teknologi untuk Pendidikan, Teknologi Informasi atau Teknologi Komunikasi dan Informasi diyakini sebagai salah satu cara strategis mengatasi masalah tersebut.kesamaan masalah yang dihadapi ini melatarbelakangi ditandatanganinya Deklarasi SEAMEO Regional Cooperation on Quality and Equity in Education pada SEAMEO Council Conference bulan maret 2002 yang lalu di Chiang Mai, Thailand oleh sepuluh Menteri Pendidikan se-Asia Tenggara.

b. Pengalaman Negara Tetangga.
a. Myanmar
Myanmar adalah dengan wilayah daratan terluas (678.000 km²) di Asia Tenggara, setelah Indonesia.Pemerintah percaya bahwa pendidikan mampu membawa Myanmar menjadi bangsa yang maju dan modern. Pendayagunaan teknologi ditempatkan sebagai salah satu dari 6 kawasan utama Rencana Jangka Panjang 30 Tahun Pendidikan mereka (2001/2002-2030-2031) untuk meningkatkan pelayanan maupun akses kepengetahuan bagi seluruh warganya terlepas dari usia, latar belakang pengalaman dan pendidikan mereka. Untuk itu investasi telah dilakukan besar-besaran agar bisa:
Mempromosikan teknologi komunikasi dan informasi bukan saja sebagai teknologi pengajaran tetapi juga sebagai teknologi belajar.
Meningkatkan keterampilan elektronik dan teknologi komunikasi dan informasi semua warga belajar di perguruan tinggi; dan
Mengajarkan teknologi mikro sejak tingkat sarjana muda dan memprioritaskan penelitian yang berkaitan dengannya.
Sejak 1 januari 2001 Myanmar juga telah merintis e-ducation untuk menciptakan kesempatan belajar yang lebih luas dan lebih efektif. Visinya adalah untuk membantu penciptaan bangsa bangsa yang berkembang, modern, dan tenteram damai serta membentuk suatu masyarakat belajar yang mampu menjawab tantangan abad pengetahuan.
b. Singapura
Singapura relatif lebih maju dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara dalam pendayagunaan teknologi informasi. Misi Departemen Pendidikan Singapura adalah menciptakan masa depan bangsa karena dengan membentuk manusia yang akan menentukan masa depan bangsanya Departemen Pendidikan memberikan pendidikan yang berimbang dan paripurna, mengembangkan setiap anak dan individu ke potensi mereka yang maksimal dan membimbing mereka menjadi warga negara yang baik, sadar akan tanggung jawab mereka kepada keluarga, masyrakat dan negaranya.
Rencana induk pendayagunaan teknologi informasi di pendidikan telah mereka susun. Rencana ini merupakan cetak biru bagi pemanfaatan teknologi informasi di sekolah-sekolah yang memberikan akses ke lingkungan sekolah yang diperkaya dengan teknologi informasi kepada setiap anak. Teknologi informasi digunakan untuk membekali generasi muda dengan kemampuan belajar, kemampuan berpikir kreatif, dan kemampuan berkomunikasi yang diyakini sangat strategis dalam menyiapkan tenaga kerja yang unggul untuk masa depan.

c. Vietnam
Pemerintah Vietnam telah bertekad untuk mencapai tujuan jangka panjangnya, mewujudkan Vietnam sebagai negara industri pada tahun 2020. untuk itu pendidikan dan pelatihan menjadi prioritas utama dalam agenda nasional mereka karena diyakini bahwa pendidikan dan pelatihan disamping ilmu dan teknologi merupakan faktor kunci pembangunan ekonomi dan masyarakat Vietnam.
Kerangka pembangunan masyarakat dan ekonomi Vietnam memberikan peranan strategis pada teknologi komunikasi dan informasi (ICT) dalam mempercepat peralihan Vietnam menjadi masyarakat berbasis pengetahuan dan mengantarkan negeri ini memasuki ekonomi global. Beberapa kebijakan strategis telah diambil sejak beberapa tahun terakhir ini untuk mencapai target dan tujuan teknologi komunikasi dan informasi selama periode 2001-2010. arah kebijakan (policy directive) nomor 58 adalah salah satu dokumen penting yang dikeluarkan oleh Partai Komunis Vietnam (CVP) bulan Oktober 2000 yang lalu. Dokumen ini memberikan rujukan kebijakan resmi pemerintah untuk merencanakan dan melaksanakan program-program yang mengarah pada pencapaian tujuan pengembangan dan penggunaan teknologi komunikasi dan informasi berikut:
Menciptakan lingkungan yang memungkinkan penggunaan dan pengembangan teknologi komunikasi dan informasi untuk menunjang modernisasi.
Menjamin digunakannya secara meluas dan efisien teknologi komunikasi dan informasi di semua sektor.
Mengembangkan jaringan informasi nasional untuk mencapai tingkatan global baik dalam hal cakupan, mutu maupun biaya;
Mengembangkan sumber daya manusia untuk menunjang pengembangan dan penggunaan teknologi komunikasi dan informasi; serta
Mengembangkan industri teknologi komunikasi dan informasi sebagai ujung tombak sektor ekonomi yang dapat memberikan kontribusi pada pertumbuhan GDP.

d. Filipina
Pendidikan sejak lama dipandang sebagai unsur kunci pembangunan bangsa dan negara di Filipina, karena akan menghasilkan tenaga kerja yang mempu berpikir dan terampil yang akan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi negaranya.kerja sama antar departemen dilakukan di Filipina untuk menggalakkan penggunaan teknologi di pendidikan. Departemen Perdagangan dan Industri misalnya, telah menjalin kerjasama dengan Departemen Pendidikan dalam proyek komputerisasi yang mereka sebut PCs for Public Schools. Kerja sama serupa di tingkat provinsi dan sekolah juga dilakukan antara Departemen Pendidikan dan Departemen Science dan Teknologi.
Menyadari pentingnya sumber daya manusia dalam pendayagunaan teknologi, Departemen pendidikan Filipina telah melaksanakan berbagai program pelatihan bagi tenaga pendidikannya. Dari sekitar 4500 sekolah Lanjutan Negeri 986 sekolah telah mendapatkan pelatihan. Sampai akhir 2003 lalu 56.4% Sekolah Lanjutan Negeri telah memiliki paling tidak satu komputer. Diperkirakan pada akhir 2005 75% sekolah negeri akan memiliki komputer. Bila sasaran ini tercapai perhatian akan dialihkan ke sekolah dasar.
e. Brunei Darussalam
Brunei, sebagai negara terkecil dalam jumlah penduduknya tak ketinggalan pula dalam mendayagunakan teknologi untuk pendidikan. Pemerintah telah menggariskan kebijakannya untuk memberikan pendidikan yang bermutu untuk seluruh warga negaranya. Tantangan yang dihadapi pemerintah brunei adalah bagaimana menghasilkan orang brunei yang dapat berperan dalam kehidupan masyarakat yang makin berorientasi pada teknologi canggih tanpa kehilangan identitas Melayu dan Islamnya.
Pada tahun 1999 Pemerintah Brunei mengambil prakarsa dalam mengintegrasikan pendayagunaan ICT dalam berbagai pelajaran terutama untuk membuat jenjang SD melek komputer melalui Project ICT for Government Primary Schools. Dari 8 kebijakan pendidikan, pendayagunaan teknologi komunikasi dan informasi pendidikan digarisbawahi untuk memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang relevan dan perlu dalam menghadapi dunia kerja yang terus menerus berubah.

f.Thailand
kerangka kerja pembangunan pendidikan di Thailand didasarkan atas Undang-Undang Kerajaan 1997 dan Undang-Undang Pendidikan Nasional 1999 yang memberikan prinsip - prinsip dan arahan bagi pembangunan pendidikan agar mampu menyiapkan semua orang Thai memasuki masyarakat belajar di lingkungan ekonomi yang berbasis pengetahuan.
Dalam Undang-Undang Pendidikan mereka Thailand secara tegas menggariskan kebijakan pendayagunaan teknologi untuk pendidikan. Jadi baik dalam Undang-Undang Kerajaan Thailand maupun Undang-Undang Pendidikan mereka jelas digariskan tentang pemanfaatan teknologi untuk pendidikan. Untuk mewujudkan kebijakan tersebut beberapa langkah berikut akan dan telah di ambil:
d.pembentukan lembaga yang menangani siaran ;
e.pengembanagn kebijakan dan rencana kerja;
f.pengembangan infrastruktur dan sistem;
g.pengembangan bahan-bahan dan teknologi lainnya; serta
h.pengembangan ketenagaan dan warga belajarnya.

G. Malaysia
Malaysia merasakan bahwa pendidikan telah memberikan platform yang kokoh yang memungkinnya menjadi salah satu negara yang ekonominya berkembang secara pesat di Asia Timur. Dalam dekade terakhir abad 20 (1990-2000) pemerintah Malaysia telah menyadari bahwa mereka tak mungkin lagi melaksanakan pembangunan bangsa dan negaranya terisolasi dari perkembangan teknologi dunia. Menyadari pentingnya teknologi bagi percaturan global Malaysia mengambil langkah-langkah agresif dan terencana baik dalam pemanfaatan teknologi (ICT). Departemen Pendidikan dengan tegas menggariskan bahwa ICT hanyalah alat, bukan tujuan. Lalu untuk mewujudkan misi 2020 Malaysia membentu Multimedia Super Corridor (MSC), Sejalan dengan visi 2020 tersebut ada 6 aplikasi flagship MSC mulai diluncurkan pada tahun 1997.

c. Pelajaran Dari Negara Tetangga
Dari uraian tersebut dapat kita lihat bahwa negara tetangga kita, tak ada kecualinya, berusaha meningkatkan mutu masyarakat dan bangsanya memasuki era persaingan global melalui pendidikan. Pelajaran yang dapat kita petik dari negara-negara tetangga tersebut adalah:
1.terlepas dari perkembangan ekonominya semua negara tetangga kita berusaha mendayagunakan teknologi pendidikan untuk meningkatkan mutu serta memperluas kesempatan belajar. Apapun teknologi yang dipakai, sistem pendidikan yang terencana serta responsif akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi upaya pendayagunaan teknologi untuk pendidikan tersebut.
2.diperlukan dukungan dan kemauan politis yang kuat dari pemerintah untuk menggariskan secara jelas dan tegas kebijakan pendayagunaan teknologi untuk menunjang pembangunan pendidikan.
3. pendayagunaan teknologi pendidikan bukan semata-mata tanggungjawab Departemen Pendidikan dan seluruh jajarannya. Tetapi juga departemen lain dan sektor swasta. Kebijakan teknologi dalam pendidikan hendaknya menjadi bagian integral dari kebijakan nasional ICT.
4.Ada kecenderungan teknologi mendahului pendidikan. Teknologi seringkali digunakan hanya karena teknologi ada dan tersedia bukan karena kita memerlukannya. Pendayagunaan teknologi untuk menunjang hendaklah dikemudikan dan di arahkan oleh para pendidik, bukannya oleh teknologi itu sendiri (technology driven).
5.keberhasilan pendayagunaan teknologi bukan terletak pada seberapa canggihnya peralatan teknologi yang dipakai. Tetapi lebih banyak pada manusia (guru, kepala sekolah, pengawas, pengembang dan produser bahan belajar berbasis teknologi, siswa, dan warga belajar lainnya.) yang mengembangkan dan menggunakannya.
6.pendayagunaan teknologi untuk pendidikan memerlukan dukungan infrastruktur fisik dan teknologis. Kita lihat pula dari paparan diatas bagaimana negara-negara tetangga kita berusaha memenuhi tuntutan kebutuhan ini.
7.diperlukan agen-egen perubahan di setiap jenjang, mulai dari Departemen, Kantor Dinas, hingga ke sekolah (kepala sekolah dan guru), yang yakin akan pentingnya program pendayagunaan teknologi dan mampu serta mau menggunakan teknologi untuk meningkatkan mutu proses belajar mengajar dan pendidikan pada umumnya.
8.untuk memasyarakatkan pendayagunaan teknologi pendidikan di tingkat pelaksana di lapangan di perlukan petunjuk yang jelas namun tidak menggurui dari Departemen Pendidikan bagi sekolah-sekolah dalam hal bagaimana mengintegrasikan teknologi dalam kurikulum dan proses belajar-mengajar.
9.penggunaan teknologi yang terintegrasikan dalam proses belajar-mengajar memerlukan perubahan pendekatan pembelajaran yang sering kali tidak mudah untuk dilakukan.
10.dalam tingkatan mikro keterlibatan orang tua serta masyarakat pada umumnya sangat membantu menjembatani serta memperkuat hubungan antara sekolah dan rumah.

d. Teknologi Kinerja dan Proses Belajar

persepsi dan Belajar
proses belajar tanpa memperhatikan siapa yang belajar, materi, lokasi, jenjang pendidikan atau usia pembelajar selalu dipengaruhi oleh persepsi peserta didik. Tujuan belajar sebenarnya adalah mengembangkan persepsi kemudian mewujudkannya menjadi kemampuan-kemampuan yang tercermin dalam cara berpikir (kognitif), bekerja motorik, serta bersikap.

Pengertian Persepsi
1.Konsep Dasar Persepsi
Persepsi adalah awal dari segala macam kegiatan belajar yang bisa terjadi pada setiap kesempatan, di sengaja atau tidak. Persepsi terjadi karena setiap manusia memiliki indra untuk menyerap objek-objek serta kejadian di sekitarnya. Pada akhirnya, persepsi dapat memengaruhi cara berpikir, bekerja serta bersikap pada diri seseorang.
2. Persepsi Visual.
Persepsi visual sangat berperan karena proses ini menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengikuti, menyadari, menyerap arti atau makna dari tampilan visual di sekitarnya secara selektif. Persepsi visual merupakan kemampuan seseorang untuk “menggambarkan” (to visualize) sesuatu dalam pikirannya.bagi Heinich,et al, 1999, peran visual sangat penting dalam proses belajar mengajar, yaitu sebagai acuan pemikiran. Peran penyajian secara visual dapat menyederhanakan informasi, serta “mengulang” informasi untuk mendukung penjelasan verbal.
3. Prinsip Dasar Persepsi
Beberapa prinsip dasar persepsi yang penting diketahui yaitu (fleming & Levie, 1978):
Persepsi bersifat relatif
Prinsip relatif menyatakan bahwa setiap orang akan memberikan persepsi yang berbeda, sehingga pandangan terhadap sesuatu hal sangat tergantung dari siapa yang melakukan persepsi.
Persepsi bersifat sangat selektif
Prinsip kedua menyatakan bahwa persepsi tergantung pada pilihan, minat, kegunaan, kesesuaian bagi seseorang.
Persepsi dapat di atur
Persepsi perlu diatur atau ditata agar orang lebih mudah mencerna lingkungan atau stimulus.
Persepsi bersifat subjektif
Persepsi seseorang dipengaruhi oleh harapan atau keinginan tersebut. Pengertian ini menunjukkan bahwa persepsi sebenarnya bersifat subjektif.
Persepsi seseorang/ kelompok bervariasi, walaupun mereka berada dalam situasi yang sama.
Prinsip ini berkaitan dengan perbedaan karakteristik individu.
4. Peranan Persepsi
Persepsi dalam belajar berpengaruh terhadap:
1.daya ingat
2.pembentukan konsep
3.pembinaan sikap.

2. Organisasi Belajar: Redefinisi dan Implementasinya dalam Manajemen
Menjawab tantangan persaingan bisnis dalam era globalisasi dan liberalisasi, setiap perusahaan dituntut untuk memiliki keunggulan kompetitif yang didukung intelegensi organisasi untuk mengelola pengetahuan melalui proses belajar berkelanjutan.
Sejak diperkenalkan tahun 1990-an, organisasi belajar berperan membekali organisasi perusahaan dengan basis pengetahuan dalam rangka memenangkan persaingan. Organisasi belajar sangat diperlukan perusahaan terutama dalam menghadapi perubahan lingkungan yang sangat cepat
a.Definisi dan Karakteristik Organisasi Belajar
Peter Sange mengemukakan definisi Organisasi Belajar sebagai suatu disiplin untuk mengembangkan potensi kapabilitas individu dalam organisasi yang dikenal dalam the Fifth Dicipline sebagai berikut:
1.berpikir sistem (system Thinking)
2.Pola Mental (Mental Models)
3.Visi Bersama (Shared Visison)
4.Belajar Beregu (Team Learning)
Karakteristik organisasi belajar memiliki peranti-peranti yang berbeda dengan organisasi tradisional yang bukan belajar seperti dibawah ini:
Karakteristik Organisasi Belajar

Karakteristik
Organisasi Tradisional
Organisasi Belajar
Siapa yang belajar?
Para manajer/karyawan yang ditunjuk
Seluruh manajer/ karyawan dari semua unit kerja.
Siapa yang mengajar?
Pelatih / nara sumber dari luar
Atasan langsung, pelatih, dan narasumber
Siapa yang bertanggung jawab?
Departemen Diklat
Setiap menejer/karyawan
Peranti belajar yang digunakan?
Kursus, magang, pelatihan formal, bimbingan rencana pelatihan
Kursus, magang, rencana belajar, tim, mitra kerja, ukuran kinerja, refleksi pribadi
Kapan belajar?
Ketika dibutuhkan, saat orientasi atau sesuai kebutuhan
Sepanjang hayat, untuk jangka panjang
Kompetensi apa yang dipelajari?
Teknik
Teknis dan manajerial, hubungan pribadi, bagaimana belajar
Dimana belajar?
Ruang kelas, tempat kerja
Ruang rapat, saat melakukan pekerjaan, dimana saja
Waktu?
Untuk saat ini sesuai kebutuhan
Untuk masa yang akan datang
Motivasi
Ekstrinsik dan terpaksa
Intrinsik dan semangat
Sumber: Braham, 2003


b. Manfaat Organisasi Belajar bagi Manajemen
Stephen robins (2002), mengemukakan bahwa organisasi belajar diperlukan bagi manajemen untuk mengembangkan kapasitas organisasi secara berkesinambungan untuk menyesuaikan diri dan melakukan perubahan . organisasi belajar dapat membantu para manajer dalam proses pengambilan keputusan manajemen, khususnya membuat keputusan-keputusan yang tidak terprogram secara lebih kreatif.
c. kendala implementasi belajar dalam manajemen
Lahteenmaki (1999) menyampaikan beberapa kritik terhadap konsep organisasi belajar yaitu:
Ketiadaan klarifikasi dan multiplisitas dari definisi
Ketiadaan eksplanasi yang rinci tentang implementasi sistem organisasi belajar
Ketiadaan eksplanasi bagaimana mengintregasikan sistem organisasi belajar
Implementasi organisasi belajar mengalami kegagalan yang disebabkan beberapa alasan yang menurut hasil penelitian Lahteenmaki (1999) antara lain:
Kurang mempertimbangkan perasaan ketidakpastian dan kecemasan dari karyawan dalam menghadapi persaingan dan perubahan lingkungan.
Situasi pekerjaan yang kurang kepercayaan.
Kurang umpan balik, motivasi, diskusi, dan pemberdayaan.
Kurang memberikan tanggung jawab bagi seluruh karyawan untuk belajar.
Tidak ada keterkaitan antara organisasi belajar dan strategi SDM.

Hasil Survei Organisasi Belajar di Bank
Karakteristik Organisasi Belajar
Skor Rerata
(IBI)
Skor Maksimal
Dinamika belajar
26.6
40
Transformasi organisasi
26.1
40
Pemberdayaan
25.5
40
Manajemen pengetahuan
25.1
40
Aplikasi teknologi
20.0
40
Sumber: Hasil Survei Organisasi Belajar IBI, Agustus 2003

Berdasarkan hasil survei tersebut dapat disimpulkan bahwa organisasi belajar belum sepenuhnya di implementasikan di perbankan. Karakteristik organisasi belajar yang meliputi dinamika belajar baik individual dan organisasional, serta transformasi organisasi yang meliputi dinamika belajar baik individual dan organisasional, serta transformasi organisasi yang meliputi visi, strategi, dan budaya organisasi adalah cukup baik.
d. Organisasi dan Pengembangan
Organisasi pengembangan dapat dikatakan sebagai redefinisi dan reinvensi dari organisasi belajar ditentukan oleh dua variabel yang penting, yaitu:
1)penekanan pada pertumbuhan dan perkembangan karyawan
2)dampak pada perbaruan organisasi dan kesiapan kompetitif

Manfaat Organisasi Pengembangan

Manfaat bagi organisasi
Manfaat bagi karyawan
Lingkungan kerja kondusif
Lingkungan dinamis dan proaktif
Karyawan yang kompeten
Belajar seumur hidup
Komitmen karyawan
Kepuasan kerja
Sinergi
Partisipasi lebih besar
Mencapai sasaran dan target
Kesempatan yang sama
Meningkatkan produktivitas dan kinerja
Perbaikan kepercayaan diri
Pertumbuhan berkelanjutan
Kompensasi dan imbalan lebih besar
Perbaikan rencana suksesi dan karier
Semangat kewirausahaan
Meningkatkan kapabilitas organisasi
Perbaruan organisasi dan kesiapan bersaing
Kesiapan pengembangan
Mengatasi depresi karyawan


e.Strategi Implementasi Organisasi Belajar dan Pengembangan
a.Swanson dan Holton (2001) menyimpulkan organisasi belajar sebagai strategi untuk meningkatkan kinerja dipengaruhi oleh faktor belajar, faktor strategi organisasi belajar, dan faktor inovasi, sebagai berikut:
i.Belajar khususnya perbaikan belajar pada level tim dan organisasi akan meningkatkan inovasi organisasi.
ii.Penerimaan strategi organisasi belajar yang sesuai bagi organisasi untuk memasuki pasar dimana inovasi menjadi penggerak kinerja pokok (key performance driver).
iii.Inovasi diharapkan menghasilkan perbaikan hasil kinerja (performance outcome) yang akan meningkatkan keunggulan kompetitif organisasi.
Dalam rangka mengimplementasikan organisasi belajar dan pengembangan di perusahhan secara terintegrasi diperlukan analisis kebutuhan pembelajaran dan kompetensi, antara lain apa pembelajaran yang dibutuhkan, siapa yang membutuhkan, kompetensi apa yang ingin dicapai serta bagaimana mengukur keberhasilan pembelajaran. Hasil analisis kebutuhan pembelajaran tersebut dapat dimanfaatkan untuk menyusun program-program pembelajaran dan implementasinya, kemudian mengukur tingkat keberhasilan serta dampaknya terhadap kinerja peruasahaan.

3. Integrating Instructional Systems Development (ISD) and Performance Technology (PT)

4. Brain-Based Scaffolded Instuction: Sebuah Pendekatan Integratif Dalam Pengembangan Model Pembelajaran Berbantuan Komputer.
Dewasa ini menghadapi dua tantangan. Yaitu tantangan dari adanya perubahan persepsi tentang belajar itu sendiri dan tantangan dari adanya teknologi informasi dan telekomunikasi yang memperlihatkan perkembangan yang luar biasa. Teknologi pada dasarnya tidak lebih dari sebuah tools atau media. Pemanfaatan teknologi atau media pembelajaran yang tidak tepat hampir pasti tidak akan menghasilkan sebuah lingkungan belajar yang produktif yang menjamin terjadinya better learning.

a. Model Pembelajaran Berbantuan Komputer
Model pembelajaran Gagne didasarkan atas hierarki keterampilan yang diorganisasikan sesuai tingkat kompleksitasnya. Oleh karena itu, rancangan instruksional dibangun secara efisien berdasarkan 9 urutan, yaitu gain attention, identify objective, recall prior learning, present stimulus, guide learning, elicit information, provide feedback, dan assess performance, serta enhance retention. sedangkan Bruner mengklaim bahwa belajar adalah sebuah proses aktif dimana pembelajar membangun gagasan-gagasan baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
Model pembelajaran tampaknya akan terus diperbaharui bila kita mengamati premis yang ditawarkan oleh bidang Cognitive Science yang memberikan pemahaman-pemahaman baru tentang bagaimana proses belajar terjadi pada setiap individu.
b. Brai Based Scaffolded Instruction.
Teori Vygotsky mengklaim bahwa pembelajaran akan sangat efektif ketika individu belajar ditempatkan dalam sebuah lingkungan belajar yang Supportive dan ketika mereka menerima bimbingan yang sesuai yang dimediasikan oleh “tools”. Tools instruksional ini merupakan sebuah strategi kognitif, seorang mentor, peers, bahan tercetak, atau komputer serta instrumen lainnya yang diorganisasikan untuk menyediakan informasi bagi pembelajar.
Manusia pada dasarnya lahir dengan kemampuan melakukan interpretasi terhadap lingkungan kehidupannya melalui prosessortasi beragam karakteristik objek yang diamatinya kedalam kategori atau klasifikasi. Maka Brai Based Scaffolded instruction seyogyanya dirancang terdiri dari:
1.belajar memerlukan kesiapan pembelajar (emotionally readiness) dalam menerima informasi-informasi baru disamping diperlukannya lingkungan belajar yang kondusif.
2.menyediakan opsi-opsi belajar yang beragam yang tidak saja memungkinkan pembelajar menarik hubungan antara pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dengan informasi baru yang diterimanya, tetapi lebih dari itu mampu pula mengakomodasi learning preferences yang ada pada setiap individu pembelajar.
3.menyediakan kemudahan belajar secara sekuensial baik melalui proses yang terbimbing maupun belajar secara mandiri dan
4.menyediakan berbagai tugas-tugas yang menantang dan bersifat “ill-problem” sehingga diharapkan mampu menumbuhkan kretivitas dalam memecahkan berbagai masalah yang bersifat kontekstual.
Secara lebih eksplisit model pembelajaran brain-based scaffollded instruction terdiri dari tahapan-tahapan, antara lain:
Gaining Attention, yaitu proses bagaimana membangun ketertarikan dan motivasi dalam belajar.
Menyediakan fasilitas “link” atau “advance organizer” antara pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya dengan informasi yang diterimanya melalui pendekatan pemetaan konsep pengetahuan (concept mapping).
Menyediakan kemudahan belajar baik yang bersifat sekuensial dan terbimbing (scaffolded) maupun belajar secara mandiri dengan pendekatan multiple representation (taxt, audio, image, video) yang mampu mengakomodasi kecerdasan jamak yang dimiliki setiap individu pembelajar.
Menyediakan multiple access pada berbagai sumber belajar yang ada di internet dan menyajikan berbagai tugas-tugas yang kontekstual dan bersifat “ ill-problem”.

5. Organisasi Belajar Konsep, Asumsi, Tipologi, dan Kompetensi.
a. Konsep Organisasi Belajar
menurut Peter Sange (1990) Organisasi Belajar adalah organisasi dimana orang-orang secara terus-menerus memperbesar kapasitasnya untuk menciptakan hasil yang benar-benar mereka inginkan, dimana pola berpikir yang ekspansif dan baru terpelihara dengan baik, dimana aspirasi kolektif terwadahi, dan dimana orang terus-menerus belajar melihat keseluruhan secara bersama-sama. Pembelajaran organisasi mengajarkan kemampuan untuk menghasilkan dan menggeneralisasikan gagasan baru dengan kuat. Ada delapan asumsi tentang organisasi belajar (Yeung, 1999), yaitu:
1.Organisasi belajar tidak hanya memfokuskan pada belajar tetapi juga memenuhi tujuan.
2.Organisasi belajar mengikuti sebuah logika sistem.
3.pembelajaran organisasi berkaitan dengan pembelajaran individu (tetapi tidak dibatasi oleh pembelajaran individu)
4.pembelajaran merupakan rangkaian kesatuan, mulai dari yang dangkal sampai pada hal substansial (riil)
5.pembelajaran datang lewat kegagalan-kegagalan kecil.
6.pembelajaran sering mengikuti serangkaian proses yang dapat diprediksi.
7.organisasi belajar melalui dua sumber dasar: pengalaman langsung dan pengalaman orang lain.
8.organisasi belajar untuk mencapai dua tujuan dasar mengeksplorasi kesempatan yang ada.
b. Konsep Organisasi Belajar Organisasi.
Karena individu belajar melalui berbagai cara yang berbeda, dipercaya ada beberapa gaya yang berbeda dalam belajar di organisasi. Bagaimana mempelajari empat gaya pembelajaran dasar yang sudah di identifikasi secara empiris, yakni: eksperimentasi, akuisisi, kompetensi, benchmarking, dan perbaikan terus-menerus. Ingat bahwa tipologi pembelajaran menggabungkan dimensi pengalaman langsung dengan pengalaman orang lain dan juga eksplorasi dengan eksploitasi. Seperti ditunjukkan dibawah ini:
Gambar : Tipologi Gaya Pembelajaran Organisasi

Eksplorasi

Akusisi
Kompetensi Eksperimentasi
Belajar dari belajar dari
Pengalaman pengalaman
Orang lain langsung

benchmarking Perbaikan
terus-menerus

Eksploitasi

Gaya pembelajaran 1 : Eksperimentasi
Organisasi belajar dengan cara mencoba gagasan-gagasan baru dan bersedia menerima dan melakukan eksperimentasi dengan proses dan produk baru. Sumber utama pembelajaran adalah konsumen dan karyawan (pengalaman langsung). Mereka melakukan pembelajaran organisasi melalui eksperimentasi terkontrol dengan baik dari sisi atau luar daripada mengeksploitasi pengalaman orang lain.
Gaya Pembelajaran 2 : Akusisi Kompetensi
Organisasi belajar dengan cara mendorong individu dan tim untuk memperoleh kompetensi baru. Belajar adalah sebuah aspek kritis strategi bisnis; yang memusatkan pada pengalaman orang lain dan eksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru.

Gaya pembelajaran 3. : Benchmarking
Organisasi belajar dengan cara menemukan bagaimana orang lain bekerja dan kemudian mencoba mengambil dan mengubah pengetahuan ini kedalam organisasinya sendiri. Pembelajaran berasal dari organisasi yang telah mendemonstrasikan pelaksanaan yang sangat baik atau yang telah mengembangkan praktik terbaiknya dalam proses yang spesifik.
Gaya pembelajaran 4 : Perbaikan terus-menerus
Organisasi belajar melalui perbaikan terus-menerus pada apa yang telah dikerjakannya sebelumnya dan dengan menguasai setiap langkah sebelum berpindah ke langkah baru dalam sebuah proses. Ini adalah organisasi yang mengandalkan pembelajaran dari pengalaman langsung dan juga eksploitasi proses yang ada.
c. Kompetensi pada Organisasi Belajar
Steven Ten Have (2003) menyatakan bahwa manajemen pengetahuan yang berhasil dalam organisasi memerlukan empat kompetensi pembelajaran untuk mengelola arus pengetahuan dalam sebuah organisasi, yaitu:
1.penyerapan pengetahuan
2.penyebaran pengetahuan ke dalam.
3.penciptaan pengetahuan didalam.
4.eksploitasi pengetahuan dalam produk dan jasa.

a.Fenomena Belajar Mandiri
Belajar mandiri merupakan salah satu model yang diterapkan dikelas konvensional. Proses belajar mandiri, memberi kesempatan para peserta didik untuk mencerna materi ajar dengan sedikit bantuan guru.

b. Peran Guru atau Instruktur
proses belajar mandiri mengubah peran guru atau instruktur, menjadi fasilitator, atau perancang proses belajar . sebagai fasilitator, seorang guru atau instruktur membantu peserta didik mengatasi kesulitan belajar, atau ia dapat menjadi mitra belajar untuk materi tertentu pada program tutorial. Tugas perancang proses belajar mengharuskan guru untuk mengolah materi kedalam format sesuai dengan pola belajar mandiri.

c. Model Belajar Mandiri

1. Belajar Jarak Jauh (BJJ)
BJJ adalah antara siswa dan penyaji materi terpisah oleh jarak, sehingga perlu upaya tertentu untuk mengatasinya. Bagi Malone, (1997, BJJ berlangsung ketika antara penyaji dan peserta didik mempelajari materi ajar yang sudah dirancang khusus untuk itu.

2. Belajar Mandiri di Organisasi : Flexible Learning dan Belajar Berasas Sumber (resource-based Learning).
Selain SBT dan BJJ, istilah flexible learning juga diperkenalkan oleh Malone. Ia menyatakan baik SBT maupun BJJ dapat disebut sebagai flexible learning. Keduanya mengandung aspek keluwesan (flexible). Dorrell menambahkan bahwa flexible learning adalah proses belajar yang memanfaatkan semua sumber belajar yang tersedia, sebagaimana yang dibutuhkan oleh peserta didik.

3. Sistem Belajar Terbuka (SBT)
Sistem belajar terbuka merupakan proses belajar mandiri yang dirancang tanpa mengindahkan prasyarat umum dan akademik, seperti batasan usia, pendidikan sebelumnya, seperti layaknya belajar dikelas konvensional. SBT sebagaimana halnya belajar mandiri, tidak memiliki jadwal dan lokasi tertentu. Dengan demikian seorang siswa dapat dengan leluasa belajar tanpa terganggu atau mengganggu (siswa) orang lain (Malone, 1997: &Dorell, 1993. Namun, SBT memiliki beberapa kelemahan , diantaranya :

Belajar Mandiri : pilihan PBM di kelas

Sekolah tanpa gedung: tidak ada jadwal, jumlah siswa lebih banyak (sekolah)

Belajar terbuka :

Belajar terbuka (open learning) : belajar jarak jauh (distance learning)
Pendidikan untuk orang dewasa Menggunakan jasa telekomunikasi
Dilembaga/organization
Inovasi belajar terbuka

Belajar berasas sumber flexible learning BJJ (generasi ke 3)
( resource based learning)

1. E-Learning untuk Pendidikan Khususnya Pendidikan Jarak Jauh dan Aplikasinya Di Indonesia.
a. Apa itu E-LEARNING?
E-Learning merupakan suatu teknologi informasi yang relatif baru di Indonesia, Terdiri dari dua bagian, yaitu ‘e’ yang merupakan singkatan dari ‘electronic’ dan ‘learning’ yang berarti ‘pembelajaran’. Jadi e-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan perangkat elektronika, khususnya perangkat komputer.
Karakteristik e-learning antara lain adalah :
Memanfaatkan jasa teknologi elektronik, dimana guru dan siswa, siswa dan sesama siswa atau guru dan sesama guru dapat berkomunikasi dengan relatif mudah dengan tanpa dibatasi oleh hal-hal yang protokoler.
Memanfaatkan keunggulan komputer
Menggunakan bahan ajar bersifat mandiri (self learning materials) disimpan dikomputer sehingga dapat diakses oleh guru dan siswa kapan saja dan dimana saja bila yang bersangkutan memerlukannya, dan
Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar dan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pendidikan dapat dilihat setiap saat dikomputer.
b. kelebihan dan kekurangan E-LEARNING
menyadari bahwa internet dapat ditemukan berbagai informasi dan informasi itu dapat diakses secara lebih mudah, kapan saja, dimana saja, maka pemanfaatan internet menjadi suatu kebutuhan. Bukan itu saja, pengguna internet bisa berkomunikasi dengan pihak lain dengan cara yang sangat mudah melalui teknik e-moderating yang tersedia di internet. Manfaat penggunaan internet, khususnya dalam pendidikan terbuka dan jarak jauh (Elangon, 1999, Soekartawi, 2002; Mulvihil, 1997; Utarini, 1997), antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:
tersedianya fasilitas e-moderating dimana guru dan siswa dapat berkomunikasi secara mudah melalui fasilitas internet secara reguler.
Guru dan siswa dapat menggunakan bahan ajar atau petunjuk belajar yang terstruktur melalui internet.
Siswa dapat belajar atau me-review bahan ajar setiap saat dan dimana saja kalau diperlukan.
Siswa dapat melakukan akses di internet jika memerlukan tambahan informasi.
Walaupun demikian pemanfaatan internet untuk pembelajaran atau e-learning juga memiliki kekurangan. Berbagai kritik (Bullen, 2001, Beam, 1997), antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:
Kurangnya interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antar siswa itu sendiri.
Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial.
Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan daripada pendidikan.
Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut mengetahui teknik pembelajaran yang menggunakan ICT.
Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung gagal.
c. faktor yang dipertimbangkan sebelum memanfaatkan E-LEARNING
a. analisis kebutuhan (need analysis)
b. rancangan instruksional.
c. tahap pengembangan
d. pelaksanaan
e. evaluasi
2. Peranan Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Luar Sekolah
dilihat dari karakteristik Teknologi Pendidikan dan Pendidikan Luar Sekolah (yang didasari oleh andragogi) ternyata cukup banyak persamaan antar-keduanya dan terbukti secara empirik bahwa Pendidikan Luar Sekolah merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep Teknologi Pendidikan.
Keterkaitan antara Teknologi Pendidikan dan Pendidikan Luar Sekolah

Komponen Pendidikan
Teknologi Pendidikan
Pendidikan Luar Sekolah
Persepsi terhadap sasaran didik
1. ada dua kelompok:
a. individu yang memiliki waktu penuh untuk balajar.
b. individu yang memiliki waktu belajar terbatas.
2. Individu yang :
a. mandiri dan potensial.
b. mampu dan lebih efektif dalam belajar mandiri.
c. unik yang berbeda satu yang lainnya.

1. individu yang:
a. sebagian besar waktunya untuk bekerja
b. mampu mengatur diri
c. mampu dan lebih senang belajar mandiri
d. tidak suka di intervensi dalam menentukan waktu belajarnya.
2. metode pembelajaran yang tepat
Mengutamakan metode pembelajaran non-konvensional, seperti belajar mandiri, dll.
Karena kesibukannya, belajar mandiri kelompok diskusi, jarak jauh dan studi kasus lebih tepat
3. sumber belajar
1. berbentuk media pendidikan seperti : e-learning, media AV, modul, TV, radio dan komputer interaktif.
2. disusun berdasarkan karakteristik peserta didik.
Mengutamakan media pendidikan seperti : e-learning, media AV, modul, TV, radio dan komputer interaktif.


a. masalah implementasi Teknologi Pendidikan dan Pendidikan Luar Sekolah.
1. pemanfaatan media massa.
2. Tutorial
3. Pengembangan program kurang memadai.
4. anggaran PLS.
3. Mengenali Arti, Fungsi. Dan Manfaat Telematika.
a. Ikhtisar dan catatan tentang arti telematika adalah sebagai berikut :
Telemetika adalah sarana telekomunikasi jarak jauh (melalui media elektromagnetik)
Kemampuannya adalah mentransmisikan sejumlah besar informasi dalam sekejap, dengan jangkauan seluruh dunia dan dalam berbagai cara, telepon, musik, gambar.
Konvergensi teknologi juga cenderung menyebabkan konvergensi dalam peralatan pelanggan.
Infrastruktur telekomunikasi yang terdiri dari kabel metalik, serat optik dan sarana radio termasuk satelit dan balon telah mempunyai cakupan seluruh dunia, sehingga jangkauan komunikasi melalui telematika juga seluruh dunia

b. Fungsi Telematika
penyampaian informasi
sebagai sarana kontak sosial dalam hidup bermasyrakat.
teknologi termasuk telematika akan membuat perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat.

c. Kaidah-kaidah Operasional tentang Telematika.
Kemampuan penyampaian informasi yang amat besar, menjangkau seluruh dunia dalam sekejap.
Sarana telematika mendukung dan telah merasuk kedalam semua kegiatan belajar, bekerja dan bermain.
Semua aplikasi dan jenis jasa ditujukan kepada pembangunan manusia dan masyarakat seutuhnya.
Kemampuan menjembatani ruang dan waktu sarana telematika dapat meningkatkan aplikasi dan cara kerja dengan cara subtitusi perjalanan oleh komunikasi elektronik.
4. Menjawab Kebutuhan Pendidikan Nasional : Memperluas Akses Pendidikan Melalui Pendidikan Jarak Jauh.
Sistem pendidikan jarak jauh dinilai dapat memberikan kemungkinan untuk dapat menyediakan akses pendidikan yang luas menjangkau seluruh wilayah indonesia, dengan investasi yang relatif lebih murah dibandingkan dengan membuka (beberapa) perguruan tinggi baru, dan lebih cost-effective dilihat dari skala ekonomi pembiayaanya.
Pada umumnya tujuan pendidikan jarak jauh adalah untuk memberikan kesempatan pendidikan kepada warga masyarakat yang karena berbagai hambatan tidak dapat mengikuti pendidikan secara konvensional (tatap muka)
Beberapa upaya pengembangan yang perlu dilakukan:
Menjadikan program Universitas Terbuka menjadi lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Membina kerjasama yang baik dengan pemerintah daerah.
Mencapai pengakuan sebagai pendidikan unggulan
Melakukan kerjasama internasional.
Mempunyai rencana jangka panjang untuk mendukung keberlangsungan UT.

5. 25 Tahun SLTP Terbuka
a. tujuan SMP terbuka
sebagai salah satu upaya atau subsistem pendidikan pada jenjang SLTP untuk membantu lulusan SD dan MI yang karena faktor sosial, ekonomis, geografis, waktu, dll. Tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTP reguler.
b. Komponen sistem SMP Terbuka
siswa
1)kurikulum
2)proses pembelajaran
3)bahan dan fasilitas belajar
4)tenaga kependidikanpenilaian hasil belajar.
b.Karakteristik siswa
kehidupan sehari-hari
sosial ekonomi
pekerjaan
kepemilikan
lingkungan dan kesehatan
geografis

1. Edukasi Net Pembelajaran Berbasis Internet : Tantangan dan Peluangnya.

a.Internet sebagai media pembelajaran
Internet merupakan jaringan global yang menghubungkan beribu bahkan berjuta jaringan komputer dan komputer pribadi, yang memungkinkan setiap komputer yang terhubung kepadanya bisa melakukan komunikasi satu sama lain (Brace, 1997). Jaringan ini bukan merupakan suatu organisasi atau institusi, karena tak satupun pihak yang mengatur dan memilikinya.
b.manfaat EdukasiNet
siswa dan guru dapat memperoleh sumber belajar yang sesuai dengan kurikulum.
Guru dengan siswa atau siswa dengan siswa lain dapat melakukan diskusi melalui forum diskusi.
Guru dengan siswa atau siswa dengan siswa lain dapat saling menerima atau mengirim informasi melalui miling list.
Guru dan siswa dapat men-download materi pelajaran yang diperlukan dan,
Sumber beljar dapat diakses darimana saja dan kapan saja.

2. pendidikan untuk semua (PUS) dan semua untuk pendidikan (SUP)

a. Apa Pendidikan?
Pendidikan adalah usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah tingkah laku manusia kearah yang di inginkan.

b. apa pendidikan untuk semua (PUS)?
Istilah pendidikan untuk semua atau Education For All mulai digunakan pada waktu kawasan Asia Pasifik menyusun progra yang disebut APPEAL (Asia Pasific Programe of Education For All) . ada enam buah tujuan yang harus diraih oleh setiap negara didunia ini menjelang tahun 2000 untuk menyukseskan program Pendidikan untuk Semua, yaitu:
1)Perluasan perawatan anak sejak kecil dan berbagai kegiatan pengembangan termasuk intervensi keluarga dan masyarakat.
2)Kesempatan semesta (universal) akan dan penamatan pendidikan dasar menjelang tahun 2000.
3)Perbaikan hasil belajar sedemikian rupa, sehingga suatu presentase yang disepakati dari kelompok usia tertentu dapat menyelesaikan atau melempaui suatu tingkat hasil belajar yang diperlukan dan dibataskan.
4)Mengurangi tingkat buta huruf orang dewasa sampai umpamanya setengah dari tingkat 1990 menjelang tahun 2000.
5)Perluasan penyediaan pendidikan dasar dan latihan keterampilan esensial yang lain yang diperlukan oleh pemuda dan orang dewasa dengan menilai efektivitas program.
6)Baik perorangan maupun keluarga semakin meningkat pengetahuan, keterampilan dan nilai yang dimilikinya yang diperlukan untuk kehidupan yang lebih baik dan untuk pengembangan yang lebih tepat dan berkesinambungan melalui semua jalur pendidikan.

c. Dua belas Strategi untuk Meraih Tujuan PUS
1.Mengerahkan komitmen politik nasional dan internasional yang kuat bagi PUS, membangun rencana aksional dan meningkatkan investasi yang besar.
2.Mempromosi kebijakan PUS dalam kerangka sektor yang berlanjut dan terpadu baik, yang jelas terkait dengan penghapusan kemiskinan dan strategi pembangunan.
3.Menjamin keikutsertaan dan peran serta masyarakat dalam perumusan, pelaksanaan dan pemantauan strategi-strategi untuk pembangunan pendidikan.
4.Menembangkan sistem pengaturan dan manajemen pendidikan yang dilanda oleh pertikaian, bencana, dan ketidakstabilan.
5.Mengembangkan sistem pengaturan dan manajemen pendidikan yang tanggap. Partisipatori, dan akuntabel.
6.Melaksanakan strategi-strategi terpadu untuk persamaan gender dalam pendidikan yang mengakui perlunya perubahan sikap, nilai dan praktik.
7.Melaksanakan sebagai sesuatu yang mendesak program dan tindakan pendidikan untuk memerangi pandemi HIV/AIDS.
8.Menciptakan lingkungan sumber daya pendidikan yang aman, sehat, inklusif dan adil.
9.Meningkatkan status, moral, dan profesionalisme guru.
10.Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi baru untuk membantu pencapaian tujuan PUS.
11.Secara sistematis memantau kemajuan kearah tujuan dan strategi PUS pada tingkat nasional, regional, dan internasional.
12.Membangun diatas mekanisme yang sudah ada guna mempercepat kemajuan kearah pendidikan untuk semua.

3. Aplikasi Teknologi Pendidikan Pada Anak Usia Dini Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Melalui penerapan Model Pembelajaran Sentra untuk Mengembangkan Multikecerdasan.

a. hakikat Pendidikan Anak Usia Dini.
Proses perubahan dalam pendidikan anak usia dini dapat dilakukan melalui proses pembimbingan, pembelajaran dan atau pelatihan yang harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan agar anak benar-benar dapat memiliki pengetahuan, sikap, dan berbagai keterampilan motorik yang berguna bagi kehidupannya kini dan akan datang. Para ahli psikolog percaya ada empat unsur atau konsep dasar yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakan pembelajaran untuk anak usia dini, yaitu:
1.Teori Pengetahuan
2. Teori Perkembangan
3. Teori Belajar.
4. Teori Pembelajaran.
Aplikasi teknologi pendidikan pada anak usia dini menggunakan pendekatan yang merupakan asas epistemologi TP sehingga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Pendekatan isomorfi, PAUD terdiri dari multidisiplin ilmu diantaranya : psikologi, komunikasi, pendidikan, sosiologi, antropologi, kesehatan dan keperawatan, gizi, psikologi.
Pendekatan sistematik, PAUD memiliki urutan kerja yang teratur dan terarah dalam rangka mengatasi permasalahan belajar dalam tumbuh kembang pada anak usia dini.
Pendekatan sinergistik, PAUD menggabungkan berbagai cara dalam menstimulasi tumbuh kembang anak usia dini yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing anak.
Pendekatan sistematik, berupa pengkajian secara menyeluruh karena dalam mengkaji layanan pendidikan anak usia dini harus secara komprehensif berdasarkan aspek sosio-emosional, motorik, kognitif, bahasa dan bahkan aspek spiritual yang harus ditumbuhkembangkan sejak dini.

4. Pendidikan Melalui Seni dalam Pendekatan Pembelajaran Terpadu.
a. peran pendidikan seni
seni merupakan kegiatan manusia yang amat menyenangkan karena didalamnya terdapat kegiatan bermain dan bereksplorasi serta bereksperimentasi dengan menggunakan berbagai unsur seni untuk mencipta suatu hal baru bagi diri mereka.
b. pembelajaran terpadu
karakteristik pembelajaran terpadu :
pembelajaran yang berawal dari adanya pusat minat yang digunakan untuk memahami gejala-gejala konsep lain, yang berasal dari bidang ilmu yang sama maupun yang berbeda.
Suatu cara untuk mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan anak secara stimultan.
Suatu pendekatan pembelajaran yang menghubungkan berbagai bidang studi atau berbagai konsep dalam satu bidang studi yang mencerminkan dunia nyata disekeliling sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan anak.
Menggabungkan sejumlah konsep dalam beberapa bidang studi yang berbeda, dengan harapan anak dapat belajar lebih baik dan bermakna.
Berbagai model pembelajaran terpadu telah dikembangkan oleh Forgaty, 1991, seperti:
Model Terkait
Model yang paling sederhana karena menekankan pada hubungan secara eksplisit konsep, prinsip, tugas dalam suatu bidang ilmu yang berkaitan dengan bidang seni.
Contoh:
Unsur warna dalam seni rupa
Sebagai inti kajian

Model Terjala
Model ini menekankan pada hubungan antara dua atau lebih bidang ilmu (seni rupa dengan seni musik atau seni rupa dengan IPA Moral). Melalui tema dan topik.
Contoh:
Laut di Tinjau dari bidang
seni rupa, IPA dan Moral

Model Terpadu
Model ini memadukan bidang ilmu yang lintas disiplin. Pusat minat atau fokus dipilih karena adanya tumpang tindih kompetensi atau konsep antara berbagai bidang kajian.
Contoh :
Pengembangan kompetensi kreatif
Melalui bidang seni rupa, IPS, dan Bahasa Indonesia

Rabu, 27 Mei 2009

MENINGKATKAN KUALITAS SEKOLAH-SEKOLAH

MENINGKATKAN KUALITAS SEKOLAH-SEKOLAH
http://imp.sagepub.com


Mengenali Kepemimpinan Siswa : Sekolah-sekolah dan jaringan – jaringannya sebagai sebuah kesempatan
Jane Mc Gregor
Improving Schools 2007; 10; 86
DOI: 10.1177/1365480207073725


Diterbitkan oleh :
SAGE
http://www.sagepublications.com


Pelayanan dan Informasi Tambahan untuk Improving Scholls dapat di peroleh di:

Email Alerts : http://imp.sagepub.com/cgi/alerts
Subskripsi : http://imp.sagepub.com/subscriptions
Cetak Ulang : http://www.sagepub.com/journalsReprints.nav
Izin : http://www.sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav
Kutipan : http://imp.sagepub.com/cgi/content/refs/10/1/86










Mengenal Kepemimpinan Siswa : sekolah-sekolah
dan jaringan – jaringannya sebagai sebuah kesempatan

Jane McGregor®
Anggota Penelitian, Universitas Nottingham
Dan penelitian pendidikan “United Kingdom”(UK)


Abstraksi
Menyikapi meningkatnya ketertarikan pada suara siswa, artikel ini memberikan contoh keterlibatan kegiatan siswa di dalam “National College of School Leadership” (NCSL) terbesar yang mengembangkannya dan pencetus gerakan awal : Proyek komunitas belajar melalui jaringan. Dalam level penelitian, suara atau pendapat siswa dan partisipasinya biasanya dilaporkan sebagai dimensi penting dalam pengembangan jaringan. Mengenali dan mengkonsepkan keterlibatan siswa tadi dalam kepemimpinan sedang diperbincangkan dalam kaitannya dengan peranan para peserta didik sebagai agen aktif dalam meningkatkan kegiatan belajar di sekolah dan jaringan-jaringan sekolah. Sebuah penelitian dari NCSL mengindikasikan pada umumnya pada percakapan sederhana diantara para siswa di sekolah-sekolah tentang apa itu kepemimpinan, tetapi indikasinya mengarah kepada definisi pribadi, bentuk sebuah hubungan. Sedang diperdebatkan mengenai persepsi dari kepemimpinan sebagai sebuah proses yang berhubungan yang mempengaruhi daripada tingkatan hierarki kekuatan yang diperkuat atau menguatkan kemungkinan mengenali siswa yang berpotensi sebagai pemimpin. Sekolah-sekolah dan jaringan-jaringannya disarankan atau dianjurkan sebagai tempat-tempat penting bagi penyebarluasan kepemimpinan sebagai pengaruh yang melalui cabang perasaan seperti negosiasi dan ajakan yang memungkinkan mengetes dan merubah struktur yang ada.

Kata Kunci : Pengembangan jaringan, kepemimpinan siswa.


1. Pendahuluan
salah satu bagian yang menjadi perhatian antara tingkatan dari ‘Atas-Bawah’ dan ‘Bawah-Atas’ (atau dari luar-dalam daripada dalam-luar) adalah inisiatif peran siswa dalam pembentukan ulang dunia pendidikan riset yang ada menyarankan kalau pendapat siswa dapat berfungsi sebagai katalisator perubahan di sekolah-sekolah. Dalam hubungannya dengan peningkatan KBM, Kurikulum dan Organisasi dan Evaluasi di sekolah (Fielding and Bragg, 2003; Lodge, 2004; Macbeath et al., 2003; Rudduck and Flutter, 2004; Thomson and Gunter, 2005). Didalamnya disarankan agar Jejaring sekolah menawarkan tempat-tempat khusus yang memberikan kesempatan para siswa mengembangkan pendapat siswa dengan terlibat dan berdialog dengan orang-orang dewasa. Lanjut lagi perlu diciptakan kondisi jejaring yang bernilai plus belajar dari orang lain dan menyebarkan latihan diantara sekolah-sekolah, pengaturan yang lebih demokratis dan terbuka. Akan lebih bermanfaat begi peningkatan mutu sekolah (Levin 2000) mengidentifikasi tempat-tempat belajar dalam jejaring pokok-pokok asosiasi yang memiliki kesempatan-kesempatan berbeda untuk menempatkan dan dengan sengaja mendukung kerjasama hubungan antara orang dewasa dan muda-mudi.

Dalam menjawab pertanyaan ‘poin pengaruh apa yang terbaik untuk menyokong suara siswa untuk mempengaruhi sistem di sekolah?’ Dana Mitra (2005) menggunakan teori pergerakan sosial untuk menganalisa keuntungan dan kerugian dari sekelompok suara siswa “didalam” sekolah, sebagai contoh, organisasi dasar-komunitas. Dia menemukan bahwa posisi kelompok-kelompok (perluasan dari dimana seorang penantang dianggap memiliki suara terbaik) mempengaruhi bentuk aliansi dan ketahanan dan legitimasi dari usaha penyampaian pesan siswa yang berbeda-beda. Lebih jauh disarankan penempatan aktifitas pendapat siswa itu penting dalam hubungannya dengan pengembangan hubungan kolaborasi didalam dan antar sekolah.
Menindak lanjuti sebuah deskripsi dari program “Networking Learning Activitas” (NLC) dan laporan keterlibatan siswa didalamnya. Artikel ini menelusuri pemahaman baru dari (pendidikan) kepemimpinan sebagai sebuah proses dan pokok-pokok umum dari rendahnya kesadaran dan kesalahpahaman tentang kepemimpinan di sekolah. Contoh-contoh kegiatan berpendapat siswa di NLCS yang kemudian di tinjau dari sudut kepemimpinan sebagai pengaruh dan pentingnya mengenali dan memahami hal ini, umumnya dalam hubungannya dengan pembelajaran, sedang didiskusikan.


Komunitas Pembelajar Jejaring
Program selama 4 tahun NLC, yang ditutup pada tahun 2006, adalah pengembangan terbesar dan proyek perakarsa dari “National College of School Leadership (NSCL: Kampus Nasional Kepemimpinan Sekolah). ¹NLCS merupakan kumpulan sekolah, dengan kerabat atau sahabat universitas dan pemerintah setempat, yang dengan sukarela datang dengan tujuan meningkatkan kualitas belajar siswa, pengembangan profesional dan belajar antarsekolah melalui pendekatan kolaboratif dan orientasi enkuiri. Pada Juli 2005 ada 135 jaringan disekitar 90 pemerintah lokal di Inggris. Mereka membandingakan 1533 sekolah dengan jumlah pengajar lebih dari 235.000 dan jumlah siswa lebih dari 500.000. 70% siswa siswi sekolah dasar, 25% siswa siswi SMP dan mereka umumnya berasal dari sekolah negeri di Inggris. Jangkauan jaringan sekolah dimulai dari 6 sampai 44 sekolah.

Networking Learning Group (NLG) : Kelompok atau Komunitas pembelajar melalui jaringan, yang mendukung dan mengembangkan program NLC, Telah berkomitmen terhadap publik dalam transformasi potensial tentang kekuatan suara siswa di dalam belajar berbasis jaringan, peningkatan waktu sekolah dan dalam kemungkinan demokratik yang timbul.
Pendapat atau suara siswa bertugas dalam menghargai masyarakat dan menghargai proses belajar yang dihasilkan ketika digabungkan dengan kapasitas dan banyaknya suara disekolah kami. Pada dasarnya bersifat optimis dan aspiratif juga, mewakili kepercayaan dalam berkontribusi yang tercipta ketika kami melepaskan semua yang mau bertanggung jawab dalam proses belajar disekolah, yaitu guru/pengajar/ dan para siswa siswi (Jakson, 2004 : 7)
Analisa dari level-program NLC yang pertama membutuhkan 1 jaringan pengikut (ditentukan pada tahun 2002) menyarankan jejaring sekolah harus menggabungkan berbagai aspek yang berasal dari suara siswa, terutama dalam kaitannya dengan mengajar dan pembelajaran. Meskipun demikian, hingga saat ini masih belum jelas apakah hal ini diutamakan dalam sekolah-sekolah individu atau kegiatan diluar jejaring.
NLC menunjukkan pertumbuhan pesat kemampuan organisatoris dalam mendengarkan dan bereaksi secara kolaboratif dalam perspektif siswa dalam mengevaluasi dan mendesain proses belajarnya. Hal ini dapat menumbuhkan dorongan perubahan melalui peningkatan pengetahuan organisatoris dan pemahaman siswa tentang apa yang dapat berguna dan apa yang dapat berguna lebih baik lagi untuk mereka (Dudley et.al., 2003)
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bentuk kerjasama yang berbeda antara sekolah dan antar jaringan-jaringannya dengan lebih menghargai pendapat siswa yang nanti akan dibahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya artikel ini.
Kepemimpinan, keterlibatan siswa dan kebutuhan kolaborasi yang diidentifikasikan sebagai pokok utama dari kesimpulan NLC dalam kaitannya pada proses kunci dan prinsip : hubungan yang jelas tentang hal ini (kepemimpinan) akan dijabarkan melalui penelitian setingkat program NLg dan juga pengembangan yang telah menjadi bagian dari program tersebut dijabarkan didalam artikel ini.

Keterlibatan Siswa dalam NLCs
Bahasa yang digunakan dalam menjelaskan keterlibatan siswa didalam NLCs tentu saja penting. Suara siswa meliputi jangkauan kegiatan yang membangkitkan refleksi diskusi, dialog, dan aksi yang terutama mempedulikan siswa. Tetpi juga melalui implikasinya, staf sekolah dan komunitas yang mereka layani (Fielding dan McGregor,2005:3). Seperti yang Roger Holdsworth (2004) ungkapkan dalam keberagaman atau jenis-jenis tipologi, ide-ide dari ‘konsultasi’ dan ‘keterlibatan’ lebih dibatasi daripada ‘partisipasi’ dan ‘aksi’ bagaimanapun juga, untuk lebih maju, NLG memutuskan untuk menggunakan ‘keterlibatan’ sebagai sebuah dasar cakupan untuk memasukkan suara siswa, kepemimpinan siswa, dan sebagainya. Salah satu dari lima pengembangan dan kelompok-kelompok penyidikan dibuat untuk mendukung jejaring dan membangun kapasitas menuju perubahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pada kelompok pertama dari NLCs (n = 84), 41% mengidentifikasikan suara siswa sebagai rencana utama mereka dalam proses belajar jejaring dan jejaring sesudahnya melaporkan peningkatan ‘keterlibatan siswa’, sebagai contoh melalui :
• Tanya jawab yang mengundang persepsi siswa;
• Peningkatan dari efek balik dalam pengajaran dan pembelajaran;
• Seminar yang di adakan oleh dan untuk para muda-muda mudi;
• Kunjungan-kunjungan siswa ke sekolah-sekolah lain;
• Penelitian-penelitian dimana para siswa bertindak sebagai peneliti dan asisten peneliti (McGregor, 2005).
Mode-mode kerjasama yang berbeda-beda antara orang-orang dewasa dan kawula muda menyediakan kesempatan terciptanya pengaruh yang berbeda-beda pula, atau kepemimpinan yang berbeda dalam kaitannya dengan pembelajaran dan persekolahan sebagai contoh, semua sekolah memproduksi dan menggunakan dalam persiapannya dan proses pencapaian hubungan dengan para siswa, dan menyelidiki dan menggunakan persepsi siswa sebagai langkah penting menciptakan sumber data yang kuat di sekitar ‘apa yang berfungsi’ untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran dan pengalaman belajar. Sejumlah kegiatan NLCs menggunakan kuesioner untuk menyediakan garis dasar pengalaman siswa didalam jaringan. Meskipun demikian, seperti yang Michael Fielding (2002, 2004) fokuskan, diperlukan adanya dialog dengan para siswa sebagai respon dan aktif (daripada sumber data yang pasif) yang mendukung gerakan menuju eksplorasi kondisi dalam proses belajar dan menciptakan tempat bagi peran serta siswa.

Didalam kerja sama dengan para siswa, sebagai contoh dengan yang seumur, antar kelompok usia atau dengan orang dewasa, kita dapat mulai melihat tantangan dalam ‘praktek pemisahan’ yang biasanya mempertahankan pengaturan intitusi sekolah yang seringkali tidak mendukung suara dan pilihan siswa. Mungkin hanya dalam kesempatan tersebut para siswa dapat mempraktekkan sifat kepemimpinan yang nyata lebih dari sekedar berperan sebagai pemimpin di sekolah konvensional dan menampilkan kembali kekuatan persahabatan yang sejati. NLCs juga melaporkan terciptanya peran serta siswa yang lebih luas jangkauannya dan perkembangannya : sebagai contoh, sebagai mentor teman sebaya, guru atau pengajar, peneliti, dan duta besar didalam dan antar sekolah dan juga antar jaringan. Bagian berikutnya mengganti konsepsi kepemimpinan diikuti dengan deskripsinya dari hasil survey yang menemukan baru-baru ini rendahnya tingkat kesadaran dan wacana tentang ‘penerapan’ kemungkinan kepemimpinan diantara para staf dan para siswa.

Kepemimpinan dan Pembelajaran
Pengembangan baru-baru ini didalam pedagogi dalam kaitannya dengan kepemimpinan dan pembelajaran yang secara eksplisit terfokus pada hubungan kawula muda sama baiknya dengan orang dewasa, melalui penggunaan pendekatan kognitif dan metakognitif yang kuat sebagai contoh, melalui penguasaan untuk pembelajaran dan reaksi ketika dikondisikan untuk belajar (Desforges, 2003). Yang lebih penting, siswa datang untuk berada didalam kelas dan sekolah bertindak sebagai teman dalam proses belajar yang mereka lakukan sendiri dan secara aktif memiliki proyek untuk mengivestigasi siswa sebagai peneliti atau asisten peneliti dengan para pengajar (Fielding dan Bragg, 2003; Raymond, 2001), pengembangan seperti ini harus diikuti dengan teori kepemimpinan yang baru yang mengidentifikasi kepemimpinan yang efektif harus disebarkan atau disalurkan melalui bentuk organisasional daripada hanya terletak pada satu individu.

Secara tradisional, menulis tentang kepemimpinan pendidikan fokus terhadap pemimpin sekolah sebagai satu individu melalui model acuan yang dominan dari kepemimpinan yang intruksional dan transformasional. Dimensi terpusat kepada seseorang seperti penciptaan visi atau penyediaan dukungan telah secara halus terasosiasi kepada kepala sekolah. Bagaimanapun juga pada beberapa tahun belakangan, telah ada peningkatan perhatian kepada “pemimpin tengah”, menyadari jika kepemimpinan dapat berfungsi dibagian lain disekolah sebagai organisasi (Haris dan Bennett, 2001). Lebih jauh pada poin ini kepada kemungkinan pemisahan kepemimpinan dari satu individu dalam rangka meletakkannya kembali sesuai fungsinya, serta didalam organisasi (Bennett dan Anderson, 2003:3). Pada asas yang berlawanan, bukti-bukti menunjukkan dan juga menyarankan keterlibatan aktif dan keterbukaan kepala sekolah penting dalam mengembangkan situasi tersebut (Earl et al., 2006).

Meneliti dengan cermat pengaruh “kepemimpinan” merupakan sebuah langkah berharga. Peter Gronn mencatat bahwa :
Kepemimpinan merupakan salah satu batas keluarga dalam hal akademik dan penggunaan umum yang meminta untuk mendesain mode-mode tingkah laku manusia dan penggabungannya secara historis , kerabat kekeluargaan terdekat yang lain meliputi, kekuatan, kekuasaan, pengaruh, manipulasi, dorongan dan ajakan, dalam ketidakterkaitannya, kepemimpinan selalu menjadi turunan yang paling disukai.
Selanjutnya dia menyatakan, bagaimanapun juga kepemimpinan jarang sekali mampu berdiri sendiri tanpa dukungan kekerabatannya : pengaruh.

Pentingnya kurikula dan literatur di sekolah gagal mengidentifikasi dan bekerja sama dengan kekuatan, yang telah digunakan sebagai batasan kritik dalam konteks yang tidak dimiliki kepemimpinan. Kekuatan ditafsirkan sebagai kemampuan untuk bertindak, (atau hak untuk menentukan langkah/tindakan) untuk menghasilkan reaksi, yang bisa positif maupun negatif, seperti yang disarankan oleh pandangan relasional kebangkitan kekuatan pada dekade terakhir, bisa dilihat sebagai ‘kekuasaan untuk’dan ‘kekuasaan dengan’ daripada ’kekuatan menguasai’ (Gunter, 2005). Kepemimpinan tidak sama dengan kekuasaan, meskipun demikian, masih memiliki kemiripan dan konseptualisasi ulang dari kepemimpinan di dalam pendidikan menyarankan bahwa hal ini akan lebih berguna jika dipandang sebagai sebuah pengaruh (Hosking, 1999). Mengenali pengandaian lain dari kekuasaan, yang mungkin bisa dipandang sebagai sebuah pengaruh seperti persuasi dan negosiasi (Allen, 1999). Memiliki sesuatu untuk ditawarkan ketika kita melihatnya dari sudut pandang anggota komunitas sekolah yang berbeda dapat menjadikan kepemimpinan melebihi peranan dan struktur tradisionalnya.

Penelitian dari sekolah kepemimpinan yang sukses (Bennett and Anderson, 2003; Earley et al.,2002) telah menjadi yang terdepan dari pentingnya distribusi praktek kepemimpinan dalam mengamankan dan mempertahankan pengembangan sekolah. Pemimpin-pemimpin yang berhasil telah menyadari keterbatasan dari kepemimpinan terpusat dan melihat peran kepemimpinan mereka sebagai pemberi semangat utama bagi yang lain untuk memimpin melalui pendekatan distributif. Silins dan Mulford (2000) menunjukkan, siswa terbentuk lebih kepada tujuan untuk meningkatkan sumber-sumber kepemimpinan yang di distribusikan melalui komunitas sekolah, seperti kepemimpinan melalui organisasi pembelajaran dan guru sukarela efektif pada skala yang lebih besar dalam mempelajari pengembangan organisasi pembelajaran ditunjukkan untuk meningkatkan tahapan yang jelas dari faktor tersendiri dari perwujudan awal sebuah iklim terpercaya dan terkolaborasi dan pembagian tugas didalamnya yang mendukung dan inisiatif pengambilan resiko dapat bermanfaat.

Alma Harris dan Linda Lambert berpendapat jika gagasan tentang kepemimpinan dapat ditelusuri lebih jauh sebagai sebuah proses daripada ‘seseorang’, fokus kepada hubungan daripada sebuah peran, praktek kepemimpinan mungkin bisa dilihat tersebar pada keseluruhan komunitas sekolah.
Kepemimpinan adalah tentang belajar bersama dan membangun ilmu dan pengertian secara kolektif dan berkolaborasi. Ini meningkatkan kesempatan untuk mengemukakan dan memediasi persepsi, nilai, keyakinan, informasi dan asumsi melalui dialog berkelanjutan. Maksudnya menyatukan ide-ide bersama, untuk mencari akibat mendasar dan menciptakan kerjasama dalam lingkup kepercayaan berbagi dan informasi baru ; dan untuk menciptakan tindakan yang bertumbuh diluar pemahaman yang baru. Ini seperti inti dari kepemimpinan. Kepemimpinan adalah tentang belajar bersama. (Harris dan Lambert, 2003: 3)

Aktivitas sederhana tersebut mempengaruhi dorongan dan formasi dari kendali-nilai (daripada berdasarkan peranan semata-mata) hubungan dan suara penting bagi guru dan siswa dan anggota lain didalam komunitas.

Helen Gunter bersikeras agar kita tidak boleh melupakan kealamian dari pendidikan kepemimpinan.
Pendidikan kepemimpinan terfokus kepada sistem pendidikan, ini tentang pendidikan, kesatuan dari proses belajar dan hasil dan ini mendidik ... pendidikan kepemimpinan tidak hanya harus memberikan organisasi yang efisien dan efektif, tetapi juga harus tentang mengubah struktur kekuatan dan kebudayaan yang kita warisi dan itu dapat menjadi batasan dari pengembangan demokrasi (Gunter, 2005: 6)
Sementara secara nyata sekolah tidak hanya satu-satunya tempat untuk belajar (siswa siswi menghabiskan 80% dari waktu mereka ‘diluar’ selama pendidikan wajib) tanggung jawab bagi pembelajaran siswa masih terletak pada publik formal disekolah dan semua yang ada didalamnya, yang mengabaikan ketidakadilan sosial yang lebih luas yang mempengaruhi hasil pendidikan. Praktek sosial dari pembelajaran dan pengajaran bagaimanapun juga adalah fungsi inti dari sekolah dan Jean Rudduck dan Julia Flutter (2004) berpendapat bahwa disana terletak garis kekuatan yang lebih kuat dan lebih mendasar, dimana ada potensi yang lebih hebat bagi perubahan fundamental untuk hubungan dan pedoman untuk meningkatkan kemungkinan belajar dan pengalaman positif bagi mayoritas kaum muda.

Konsep kepemimpinan sebagai sebuah pengaruh yang disalurkan melalui sekolah dan digerakkan malalui dasar kekuatan seperti persuasi dan negosiasi, menyediakan sebuah bingkai untuk mengenali batasan para siswa (pendidikan) kepemimpinan disekolah dan jaringannya, sebagai contoh, melalui penelitian para siswa tentang kondisi dari pembelajaran dan pengaruhnya terhadap perubahan didalam pengajaran dan pembelajaran menghasilkan peran baru seperti pendapat siswa wakil pelaksana atau wakil jaringan-jaringannya yang ada. Meskipun demikian, ada sedikit kesadaran tentang kemungkinan tersebut, seperti rangka luar dalam penelitian dibawah persepsi kepemimpinan di sekolah-sekolah.

Persepsi Dari Kepemimpinan di Sekolah-sekolah : Pembelajar Terdepan
Pada penelitian nasional dari kepemimpinan di sekolah-sekolah Inggris yang disponsori oleh NCSL (Jones et al.,2003), 1100 staf dan siswa siswi dari 157 sekolah telah di survey : melalui wawancara dan workshop yang dilaksanakan di 10 sekolah. Penelitian tersebut menemukan bahwa tingkat kesadaran dan percakapan tentang kepemimpinan dan gagasan tentang bagaimana anggota lain disekolah dapat memberikan efek tentang kepemimpinan sangat rendah. Meskipun demikian penelitian ini telah mengindikasikan kemungkinan bagi pengenalan kepemimpinan siswa dalam pelajaran daripada dalam peran tradisional sebagai pemimpin.

Empat sekolah, yang di undang untuk ikut berpartisipasi dalam studi kasus karena kemajuan pesat mereka dalam pendapat siswa juga muncul seiring struktur kepemimpinan disebarkan secara luas. Meskipun demikian, para siswa disana tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan dapat di lihat sebagai mempraktekan kepemimpinan:
Para siswa….. mengekspresikan pengungkapan pada kesadaran bahwa banyak dimensi-dimensi dalam kegiatan mereka melalui sekolah berhubungan dengan kepemimpinan : sebelumnya mereka telah melihat atau mendengar kegiatan berpendapat para siswa sebagai “pemacu”. (Jones, et al., 2003 : 117)

Alam yang bertentangan disekolah-sekolah (jika dibandingkan dengan dunia perdagangan) telah menjadi pokok bahasan oleh paham universal tentang pentingnya persahabatan. Ketika ditanyakan ‘apakah kepemimpinan itu?’ para staf dan siswa kebanyakan menjawab dalam konteks ‘berdasarkan individu’, social dan mementingkan orang lain dan hal itu di petakan kedalam model relational dari kepemimpinan. Hal ini sebangun dengan penelitian yang menunjukkan hal ini oleh konsekuensi dari perubahan dalam persahabatan yang para siswa secara konsisten sebagai yang terpenting ketika berkonsultasi mengenai pembelajaran mereka (Rudduck and Flutter, 2004).

Konsep kepemimpinan adalah menciptakan perubahan positif yang terjadi seiring dengan waktu yang telah disuarakan oleh para guru di dalam pelajaran mengenai diskusi tentang peningkatan kualitas sekolah. hasil dari lembar tanya jawab menunjukkan jika para staf mengira jika menginisiasi perubahan dalam praktek dengan orang lain merupakan hal penting : berbagi ide, berinteraksi dengan jaringan yang lebih luas dan merefleksikan pelaksanaannya sendiri untuk memperkenalkan ide baru kepada sekolah juga disorot sebagai suatu hal yang penting.

Laporan yang diterima menyarankan jika ada penghalang yang secara signifikan berkembang dalam memimpin pembelajaran adalah persepsi para orang dewasa tentang para siswa-sebagai ‘anak-anak’ yang tidak bisa dan tidak tahu apa yang baik bagi diri mereka. meskipun demikian, para kawula muda telah dilihat sebagai ‘siswa siswi’ yang telah mampu untuk dilatih keterampilannya untuk berkolaborasi. Dengan para orang dewasa dan asisten pembelajar, kemungkinannya terbuka bagi mereka untuk berimajinasi tentang peningkatan yang membangun dan perubahan di sekolah-sekolah dan untuk secara aktif terlibat dalam keputusan yang mungkin berpengaruh terhadap hal tersebut. Hal ini sangat beralasan untuk menyarankan pembentukkan ulang struktur sekolah sendiri tidak akan memimpin kepada peningkatan kualitas peserta didik jika hal ini tidak dihubungkan secara mendalam dengan perubahan dalam bagaimana para pendidik berfikir dan mendukung kawula muda.

Pendekatan secara tradisional terhadap kepemimpinan siswa sebagai contoh, melalui system terpimpin ( dihadirkan dalam 69 % sekolah yang di survey), peserta didik ‘kutu buku’, dan perwakilan sekolah konvensional menunjukkan peningkatan hanya pada sejumlah kecil kawula muda. Perwakilan sekolah seringkali taat kepada ‘peraturan tak tertulis’ jika mengajar dan pembelajaran tidak dapat di diskusikan (Jones et al., 2003). Secara keseluruhan, hanya 6 persen dari responden kalangan siswa dilaporkan berpegangan pada posisi kepemimpinan ‘formal’ tersebut. Hampir seluruh sekolah memiliki tim olahraga , tetapi hanya 14 % dari responden kalangan siswa pernah bermain sebagai ketua didalamnya dan 76 % mengatakan jika mereka tidak pernah berperan sebagai pemimpin dalam kegiatan ekstrakurikuler. posisi berdasarkan kepemimpinan yang demikian hanya mempengaruhi minoritas dari tubuh siswa. Meskipun demikian, rating partisipasi bagi kepemimpinan dalam kegiatan dikelas ternyata lebih tinggi : contoh, 68 % responden siswa telah memimpin kelompok kecil yang bekerja di dalam kelas. Kebanyakan dari siswa tidak memiliki kesempatan untuk melatih kepemimpinan di sekolah, terutama dalam pelajaran. Tetapi kegiatan semacam itu sangat jarang disadari atau dibicarakan dalam kondisi seperti itu (Jones, 2004)

Daerah lain dalam keterlibatan siswa yang menyediakan peluang bagi para siswa untuk menunjukkan dimensi kepemimpinan meliputi menyamai mentoring , siswa sebagai guru dan assisten kelas, dengan siswa sebagai peneliti telah di identifikasi. Dalam penelitian sebagai contoh terjelas dari kebertahanan dan kegiatan pengembangan kepemimpinan berdasarkan - proses. Ketika kesempatan kepemimpinan siswa telah dikembangkan kedalam studi kasus kegiatan sekolah bergantung kepada penyampaian dan pengembangan dari guru-guru individu di dukung oleh kolega-kolega mereka. Untuk mempromosikan dan menelusuri pendekatan yang seperti NLG lakukan telah menempatkan pengembangan keterlibatan siswa dan proyek awal seperti di deskripsikan dibawah ini.

Keterlibatan Siswa dalam NLCs : Pengembangan dan Proyek Awal
Tujuan dari proyek ini dalam program NLC adalah untuk meningkatkan kesadaran dari kemungkinan dari keterlibatan siswa secara aktif dalam NLC untuk menggabungkannya kedalam yang mungkin dimaksudkan dalam kondisi kegiatan jejaring dan pembelajaran antar sekolah. Mengikuti peluncuran konferensi pada Desember 2003, yang dihadiri oleh delegasi dari 12 jaringan (dewasa dan para siswa) dari seluruh penjuru Inggris, di dukung oleh NLC, melalui fasilitasi dan aksi pembelajaran dalam sanggar kerja pengembangan untuk mendorong yang lain dalam meningkatkan kualitas kerja mereka., hal ini disajikan saat konferensi nasional untuk keterlibatan siswa di London yang dihadiri lebih dari 300 delegasi termasuk 35 NLC, dengan Konferensi Nasional Lanjutan di Nottingham pada tahun 2005 dilaksanakan.

Pada konferensi untuk mengevaluasi timbal balik yang didapat, para guru berkomentar dengan antusias pada perbedaan yang dirasakan bekerja sama dengan kawula muda melalui metode ini. Para dewasa merasa mereka lebih cenderung kepada model pembelajaran tingkah laku dan kagum dengan tingkah laku ‘mereka’ dan siswa lain tunjukkan, biasanya mereka memimpin sanggar kerja. Para dewasa berkata (dalam konteks NLG) tentang ‘tingginya pengaruh’ yang di asosiasikan dengan kegiatan seperti itu untuk ke jenjang-dimana bekerja adalah penyemangat langsung dengan para peserta didik dan biasanya dimana peserta didik dan para dewasa bekerja sama pada sesuatu hal baru dan secara konsekuen menelusuri sesuatu yang secara signifikan di dalam hubungan kerja sama. Juga di sarankan pendekatan kolaborasi. Seperti ini juga cenderung lebih inklusif dalam keterlibatan dukungan para staf, sebuah sudut pandang yang menguatkan dari kebutuhan lanjutan.

Penelitian NLG secara lebih luas mengedepankan proyek silang oleh tim pekerja lapangan yang terdiri dari para peneliti dan para fasilitator, dan sejumlah program kebutuhan lebih luas yang di laksanakan, dengan tujuan penelitian seperti melokasikan dan memfasilitasi pembelajaran orang dewasa dan dampak dari aktivitas jejaring terhadap hasil peserta didik yang tercipta ( Hadfield et, al., 2005 ; Worrall et al., 2006). ³sebagai tambahan bagi program evaluasi eksternal yang sedang berjalan (Earl et al., 2006), kilas balik tahunan dari kegiatan dan rencana dari jejaring yang ditemukan memberi kontribusi kepada dasar pengetahuan (NCSL, 2004)

Sebuah dimensi penting dari proyek NLC dalah kebutuhan “nyata”, menginformasikan tentang program dan perkembangan system pendanaan telah telah diserahkan kepada 5 jejaring regional yang telah menunjukkan komitmen dan inovasi mereka sebagai bagian dari pengembangan keterlibatan siswa dan proyek pemrakarsa. Pengembangan kegiatan telah ditentukkan oleh sekelompok pembimbing Asisten Koordinator. Komponen awal, yang terdiri dari evaluasi, observasi, semi-struktur wawancara dan kelompok focus, dibawa oleh peneliti NLG dan 3 konsultan siswa yang bekerja kepada NLG dan “Bedfordshire School mImprovement Partnership” (BSIP) selama tahun reses mereka. Para peneliti fokus kepada aktivitas jejaring diantara sekolah-sekolah dan jaringan-jaringannya.

Tabel 1 : Contoh dari kegiatan keterlibatan siswa dalam NLCs

Arah mengalirnya kegiatan Keterlibatan siswa Contoh dari NLC
Dari satu sekolah ke sekolah lain Kehadiran siswa sebagai staff dari sekolahnya sendiri mengikuti konferensi nasional Dewan Antar-Sekolah Sout Suffolk NLC
Video Jejaring Warckwickshire Inclusion Network
Dari 1 sekolah Ke banyak sekolah Mengetuai proyek untuk menghasilkan transisi melalui sekolah menengah, termasik memproduksi CD rom Haverhill NLC
Siswa sebagai guru dan pelatih Pembelajaran Kooperatif NLC
Pelatihan keahlian belaar dengan siswa KS3 kemudian disajikan dalam konferensi Konsorsium untuk Peningkatan Sekolah
Banyak Sekolah ke satu sekolah Konsultasi ICT Bedforshire School Improvement Partnership/United
Pengembangan Pintu masuk dan Komunikasi on-line oleh para siswa South Dartmoor NLC
Kunjungan Internal/
Belajar jejaring berjalan Kepemimpinan BHEK unuk pembelajaran
Bayak Sekolah Ke Banyak Sekolah Dewan Sekolah Jejaring/
parlemen Daerah kesempatan,
Berfikir Dahulu
Konferensi nasional dan daerah Bolton Pastoral NLC di Utara Inggris

Tabel 1 memberikan contoh dari keterlibatan kegiatan siswa di NLC dengan mengacu kepada pembentukan asosiasi, arah/tujuan mengalirnya informasi dan indikasi dari letak dialog potensial dan pengembangan praktek gabungan “Pembelajaran Jejaring” (jackson, 2004) tampaknya telah memberikan dampak positif dalam hubungannya dengan pembentuka antar sekolah daripada madiri atau antar jejaring. Dari cakupan interaksi, kunjungan-didalam (secara inisial Belajar sambil Berjalan) dengan protokol persetujuan dan pembuktian fosi populer jalur dai sekolah-sekolah/ Staf/ siswa belajar dari yang lain (NCSL, 2006). Keuntungan bagi kelas dan kesegeraan dai pengalaman dan umpan balik dapat menjadi sangat signifikan dalam menyarankan perubahan yang dapat ditindak lanjuti diata/didalam, sekoalh lain didalam atau antar jaringan itu sendiri.

Bagian selanjutnya akan mendeskripsikan beberpa kegiatan yang telah ditelititi dan memiliki pengaruh terhadap orang dewasa, kawula muda dan keterlibatan sekolah, memalui siswa memiliki keterlibatan yang lebih besar dan menjadi didengar oleh dalam kaitanya untuk menjelajah dan meningkatkan pengalaman dan kondisi pembelajaran.

Pendapat siswa sebagai evaluator untuk perubahan dalam NLCs
Kegiatan berpendapat siswa dapat menyediakan guru pemahaman yang lebih baik bagi siswanya, bagaimana mereka belajar dan juga apa yang menghentikkan mereka untuk terus belajar. Kegiatan ini dirangkai secara dominan sebagai kegiatan antar seklah, dengan 36% jaringan emndeskripsikan dalam tingkatan jaringan terstruktur. Kegiatan ini didukung oleh sejumlah jejaringtermasuk kolaborasi kelompok kerja antar sekolah, penempatan kegiatan-kegiatan antar sekolah dan konferensi, kursus kepemimpinan dan kesempatan bagi para siswa memberikan presentasi-presentasi kepada para staff atau delegasi jejaring yang ada. Para siswa juga secara eksplisit diberikan pera kepemimpian seperti koordinator pendapat siswa, peneliti dan wartawan (McGregor dan Tyrer, 2004). Meskipun demikian, tidak selalu jelas dimana letak tubuh representasi siswa atau apakah mereka yang suaranya lebih mudah disampaikan dan didengar.

Laporan dari jejaring terkait dalam kegiatan pendapat siswa menunjukkan perkembangan guru mereka pemahaman lebih dalam tengtang pembelajaran siswa, biasanya ketika kawula muda lebih aktif merespon, sebagai contoh : dalam pembagia INSET dan kebutuhannya. Guru dalam NLCs mendeskripsikan diri mereka sebagai prbadi yang sedang meningkat fokusya kepada pembelajaran siswa, sebagai contoh : sebagai kelompok guru antar sekolah untuk lebih fokus kepada proses belajar yang lebih spesifik, biasanya “kemampuan berfikir” atatu kebijakan untuk belajar (KUB). Salah satu jejaring menjelaskan :

Group Utama telah memiliki tujuan yang jelas pada hasil dari pembelajaran siswa dan pada penggabungan dari bukti-bukti unt7uk mengukur dampaknya. Tanpa mengindahkan adanya perbedaan dalam fokusnya (e.g. Filosofi untuk Anak-anak, AfL, dll) hasilnya akan menjadi dasar yang biasa.
Pengembanagn kurikulunm yang seperti itu hanya akan memiliki efek positive hanya ketika ada dialog sejati ambil bagian. Bentuk lain dari kegiatan yang diteliti oleh NLC oleh peneliti dan fasilitatornya dan didokumentasikan melalui tinjauan ulang, presentasi dalam konferensi dan artefak dijabarkan dibawah ini.

Konferensi dan Kunjungan Internal
Mengikuti konferensi nasional, sejumlah NLC mengadakan kegiatan pendapat siswa mereka sendiri mengundang orang dewasa dan siswa dari lain jejaring. Dalam Jejaring Bolton Pastoral, siswa secara rutin melaksanakan dan berpartisipasi dalam jumlah besar dan konferensi inklusif yang menunjukkan kepedulian mereka sebagai bagian dari BLAST project (Bolton Listen as Students Talk), seringkali dengan masukan kunci dari pemimpin lokal dan pembicara nasional. Kunjungan –Internal juga dirancang diantara sejumlah siswa dari seluruh sekolah tingkat dua di daerah tersebut, dengan peraturan yang didisain dengan para kawula muda

Dewan Jejaring
Kepemimpinan siswa telah secara eksplisit terlibat dalam pengembangan sejumlah jaringan. Rencannya adalah dari NLC Berfikir Terlebih Dahulu dalam Sussex untuk merancang ulang kurikulum yang secara signifikan dipimpin oleh secara hati-hati mendukung kegiatan dan agensi siswa. Anak-anak dari dewan sekolah dalam setiap kelas sekolah dasar bertemu dan mendiskusikan seperti apa yang dewan sekolah mereka, yang direkam dalam bentuk Vidio dan dipublikasikan. Mereka juga berkunjung ke pelindung dewan sekolah lokal dan mempraktekkan latihan utama didampingi para dewasa untuk memutuskan seperti apakah belajar yang baik itu dalam “Berfikir Dahululah Sekolah”.

Pada pertemuan kedua, kawula muda memutuskan jika mereka ingin fokus epada gaya pembelajaran untuh menjelajah bagaimana lingkungan sekolah adalah pendukung pembelajaran. Siswa dewan sekolah kemudian bertindak sebagai “VAK detektif” dan selanjutnya melaksanakan “pembelajaran berjalan” atau kunjungan-internal dalam setiap sekolah lain untuk mengobservasi dan memberikan timbal balik sesuai dengan protokol yang sebelumnya telah disetujui. Kepemimpinan siswa kemudian bertindak, dan memediasi, melalui kegiatan terkolaborasi dengan para dewasa dan memberi informasi keputusan kurikulum. Para aktivis jejaring percaya pendekatan iterativ untuk mepengaruhi kawula muda, mendukung para staff dan komunitas yang lebih luas melalui pendekatan enquiry yang terkolaborasi telah membuktikan dapat merangsang dan memotivasi semua proses yang dikhawtirkan.

Sementara dukungan terstruktur dari para dewasa, sekolah dan para rekanan seperti universitas penting untuk mengembangkan kemampuan dan proyek pendukung melalui pencarian sumber daya dan pengumuman/pemberitaan, dalam mengembangkan keterlibatan siswa, disini suara siswa dapat dilihat sebagai acuan proses kepemimpinan, dimana kesempatan untuk mempengaruhi keputusan dapat dengan jelas diidentifikasi. Ini adalah apa yang Noyes jelaskan sebagai berpindah dari “sebuah luar-ke arah mendalam-diluar fokus” (2005: 513).

Enquiry Kolaboratif
Enquiry diidentifikasikan sebagai memiliki banyak keuntungan bagi para guru dan sekolah (Cordingley et al., 2004: Street and Temperly, 2005) dan secara individu dan kelompok-kelompok di dalam jejaring adalah pembangkit kepada keuntungan dari kerjasama dimana para siswa dibutuhkan disepanjang sisi guru dan para dewasa lainnya untuk memobilisasi kemampuan ahli mereka dari sekolah (Rudduck dan Flutter, 2004). Bukti adri NLCs memastikan bahwa berkerja sama dengan sudut pandang siswa secara rutin memotivasi para staff dala proses enquiry. Pada tahun pertama peninjauan ulang, 55% dari jejaring yang berpartisipasi (n=76) mengidentifikasi peneliti dan enquiry dengan para siswa sebagai sebuah pencapaian yang signifikan (CUREE, 2003).

Dalam menjelajahi peningkatan enquiry gabunagn antara dewasa dan kawula muda, Fielding (2004) mencatat bahwa kesempatan secara kolaboratif “dialog penelitian” menyediakan, melalui pengaturan jadwal, perdebatan tentang disain dan produksi dan analisa dari pengetahuan peneliti secara kolektif dan pembiasaan pembuatan sebuah arti yang lebih besar dari bagiannya. Dalam survey dari keuntungan dan batasan dari para siswa sebagai sumber data, sebagai responden aktif atau asisten peneliti, dia menyimpulkan bahwa baik siswa sebagai asisten peneliti atau siswa sebagai peneliti memegang prospek paling baik dala mengubah bentuk hubungan di dalam sekolah. Bukti dari Program NLC menyrankan kegiaatan seperti itu tidak hanya menyalurkan antusiasme dari para siswa dan guru namun juga reaksi para siswa untuk mengubah pola belajar mereka telah secara konsisten dilaporkan sebagai pengaruh yang kuat terhadap perubahan.

Siswa sebagai Peneliti
Para siswa sebagai para peneliti adalahpendekatan sederhana csecara enquiry dima para dewasa secara aktif mendengarkan kepada sudut pandang siswa dan mendukung penelitian kepemimpinan-siswa (fielding dan Bragg, 2003; Naylor dan Worral, 2004; Raymond, 2001). Daerah ari investigasi NLCs meliputi lingkungan sekolah dan organisasinya, sekolah dan kebijakan kurikulum dan pengajaran dan pembelajaran. Sebagai contoh, Konsorsium untuk Peningkatan Sekolah NLC memiliki kelompok penelitian “apa yang membuat pelajran yang bermutu?” satu jaringan yang diisi oleh sekelompok siswa peneliti untuk meninvestigasi dewan sekolah melalui jejaring dan secara berlanjut memberikan rekomendasi. Ini mungkin secara benar mengklasifikasikan sebagai siswa sebagai asisten peneliti dalam “Fielding’s Four-fold typology (Fielding and McGregor, 2005) mengindikasikan bahwa sementara secara kolaboratif, enquiry secara efektif diinidiadikan-guru.

Pedagogi Kepemimpinan
Seperti yang diutamakan oleh hasil survey yang dijelaskan sebelumnya, kemampuan kepemimpinan tidak hanya diajarkan disekolah :

Sudah terlalu sering menjadi perkiraan orang awam, ini adalah bagian dari NPQH, ini hanyalah tentang persiapan atau guru, kepala sekolah atau emterpreneur. Tetapi kepemimpinan untuk semua orang. Ini tentang membantu siswa untuk mengambil tanggung jawab bagi orang lain di sekitar mereka. Ini tentang membantu mereka memotivasi diri mereka sendiri untuk mencapai lebih dan keterkaitan apa yang mereka pelajari. (Graham Tyler, Wakil Pimpinan Jejaring)

Siswa dewan sekolah kemudian bertindak sebagai “VAK detektif” dan selanjutnya melaksanakan “pembelajaran berjalan” atau kunjungan-internal dalam setiap sekolah lain untuk mengobservasi dan memberikan timbal balik sesuai dengan protokol yang sebelumnya telah disetujui. Kepemimpinan siswa kemudian bertindak, dan memediasi, melalui kegiatan terkolaborasi dengan para dewasa dan memberi informasi keputusan kurikulum. Para aktivis jejaring percaya pendekatan iterativ untuk mepengaruhi kawula muda, mendukung para staff dan komunitas yang lebih luas melalui pendekatan enquiry yang terkolaborasi telah membuktikan dapat merangsang dan memotivasi semua proses yang dikhawtirkan.

Dalam menjelajahi peningkatan enquiry gabunagn antara dewasa dan kawula muda, Fielding (2004) mencatat bahwa kesempatan secara kolaboratif “dialog penelitian” menyediakan, melalui pengaturan jadwal, perdebatan tentang disain dan produksi dan analisa dari pengetahuan peneliti secara kolektif dan pembiasaan pembuatan sebuah arti yang lebih besar dari bagiannya. Dalam survey dari keuntungan dan batasan dari para siswa sebagai sumber data, sebagai responden aktif atau asisten peneliti, dia menyimpulkan bahwa baik siswa sebagai asisten peneliti atau siswa sebagai peneliti memegang prospek paling baik dala mengubah bentuk hubungan di dalam sekolah. Bukti dari Program NLC menyrankan kegiaatan seperti itu tidak hanya menyalurkan antusiasme dari para siswa dan guru namun juga reaksi para siswa untuk mengubah pola belajar mereka telah secara konsisten dilaporkan sebagai pengaruh yang kuat terhadap perubahan.


Diskusi
Fielding (2004) memberikan beberapa pertanyaan yang secara berlanjut dibutuhkan untuk ditanyakan dari kegiatan pendapat siswa :

• Siapa yang diizinkan untuk berbicara?
• Siapa yang didengar?
• Siapa yang mendengarkan?
• Keahlian apa yang dibutuhkan?
• Bagaimana mereka dapat saling menghargai?
• Apakah sebagian orang merasa terancam?
• Sistem apa yang tepat dan struktur apa yang dibutuhkan?
• Dimana/kapan diberikan tempat untuk menciptakan kesepahaman?

KESIMPULAN
Para orang dewasa dalam NLCs melaporkan bahwa keterlibatan aktif siswa dan partisipasi dalam jejaring dalam berbagai bentuk telah menjadi sumber utama untuk memotivasi para staff dan siswa itu sendiri. Memiliki pengaruh yang terasa sangat baik pada persepsi masyarakat dari pengalaman yang satu degan yang lainnya tentang sekolah dan konsekuensi pengertian dan pembelajaran. Ketika hal ini diikutsertakan dan dipertahankan, perubahan seperti itu secara frekuensi cukup untuk mengobservasi sebagai kemajuan pada iklim di ruang kelas atau etos sekolah itu sendiri. Biasanya inilah tempat para siswa menjadi aktivis, bergabung dengan kuomunitas kepedulian, atau tempat dimana struktur keterlibatan siswa seperti sekolah/dewan jejaring telah secara strategis berkembang seiring dengan inovasi-inovasi lainnya seperti pengembangan kemampuan mengemukakan pendapat dan mendengarkan atau AfL. Penyemangatan secara aktif dari pendapat siswa dalam kaitannya dengan reaksi balik disekitar pengajaran dan pembelajaran telah menjadi subur di sekolah dasar dan tahun pertama pengaturan NLCs.
Bukti-bukti yang menyeruak menyarankan bahwa jika kegiatan berpendapat siswa dapat membangun kapasitas untuk perubahan “dasar keatas/ dari dalam keluar” didalam sistem, sebagai contoh, melalui pengawalan kedalam kondisi untuk pembelajaran. Peneliti mengindikasikan fokus yang lebiih kuat pada partisipasi siswa juga dapat meningkatkan proses belajar bagi kawula muda di sekolah-sekolah (Holdsworth, 2004; Rudduck dan Flutter, 2004; Worrall et al,. 2006). Sangat beralasan untuk menyarankan kapada sekolah dan jejaringnya sebagai yang utama dan situs produktif bagi kepemimpinan siswa.
Program NILC telah dibawa kepada sebuah hasi akhir dengan memfokuskan ulang kepemimpinan guru-guru kepala disekitar NCSL dan beberapa konsekuensi penelitian pada jejaring telah dipersingkat, meskipun demikian sejumlah materi hukum sedang dipertimbangkan, pekerjaan peneliti dan penciptaan materi untuk digunakan di sekolah tersedia dalam www.ncsl.org.uk/learningcommunities. jejaring lain yang bervariasi mendukung pendapat siswa dan partisipasinya, meskipun demikian berlanjut dan koneksi dapat ditemukan didalam situs internet dari seri seminar ‘Engaging critically with pupil voice’ [www.pupil-voice.org.uk]dimana artikel ini secara asli dibuat.

The author can be contacted by email at: Jane.McGregor@educationresearch.co.uk

Catatan
1 The National College of School Leadership was created by the Department for Education and Skills in 1998
and in addition to a research and development function is currently responsible for mandatory headteacher
qualifications.
McGregor: Recognizing student leadership 99
08 073725 McGregor.qxd 1/30/2007 7:17 PM Page 99
Downloaded from http://imp.sagepub.com by amril muhammad on October 29, 2008
100 Improving Schools 10(1)
2 While being sensitive to the to the importance of naming, discussed briefly in a later section, it is the case
that while the term ‘student’ is more common in secondary schools, in primary schools ‘pupil’ or ‘child’ still
tends to be used. The article will follow Jean Rudduck and Julia Flutter (2004) in using both terms when talking
about ‘young people’.
3 For detailed case studies, see Annual Enquiry 2005 reports: www.ncsl.org.uk/learningcommunities/research
directory.
4 See McGregor (2004).
5 See networked communities website – LEO: Learning Exchange Online – for these reports and publications:
www.ncsl.org.uk/learning communities.
6 See annual conference guides 2004, 2005 and 2006 at: ncsl.org.uk/learning communities.
7 The work showcased by NLCs can be immediately accessed through the annual conference webpage
(above) and in many cases, their own websites.
8 Visual, Auditory and Kinaesthetic.
9 See McGregor and Tyrer (2004).
10 Although see Frankham (2006) for an incisive critique of networks in education.

Referensi

Allen, J. (1999) Spatial assemblages of power: from domination to empowerment. In D. Massey, J. Allen &
P. Sarre (eds) Human Geography Today, pp. 194–218. Cambridge: Polity Press.
Arnot, M., MacIntyre, D., Pedder, D. & Reay, D. (2004) Consultation in the Classroom. Cambridge: Pearson.
Bennett, N. & Anderson, L., eds (2003) Rethinking Educational Leadership: Challenging the Conventions.
London: SAGE.
Cordingley, P., Hannon, V. & Jackson, D. (2004) Developing a collaborative evaluation methodology for networked
learning communities. Paper presented at the American Educational Research Association
Conference, San Diego, CA, April.
Cruddas, L. (2001) Rehearsing for reality: young women’s voices and agendas for change. Forum, 43(2),
62–6.
CUREE (2003) Early Messages from the Networked Learning Communities: Some Implications for Policy.
London: DfES Developing Strategic Networking and Collaboration Project.
Desforges, C. (2003) On Teaching and Learning. Nottingham: NCSL.
Dudley, P., Hadfield, M. & Carter, K. (2003) Towards knowledge-based networked learning: what we have
learned from the first Networked Learning Communities programme enquiry, Summer, Cranfield, Networked
Learning Group, NCSL.
Earl, L., Katz, S., Elgie, S., Ben Jafaar, S. & Foster, L. (2006) How Networked Learning Communities Work.
Report for the NLG. Toronto: Aporia Consulting Ltd.
Earley, P., Evans, J., Collarbone, P., Gold, A. & Halpin, D. (2002) Establishing the Current State of School
Leadership in England. London: DfES.
Fielding, M. (2002) The central place of student-teacher dialogue in school transformation. Making the Future
Now: Student Voice Conference. Student Leadership in Secondary Schools, NCSL, Nottingham.
Fielding, M. (2004) Transformative approaches to student voice: theoretical underpinnings, recalcitrant realities.
British Educational Research Journal, 30(2), 295–311.
Fielding, M. & Bragg, S. (2003) Students as Researchers: Making a Difference. Cambridge: Pearson.
Fielding, M. & McGregor, J. (2005) Deconstructing student voice: new spaces for dialogue or new opportunities
for surveillance. Paper given at the Annual Meeting of the American Educational Research Association,
Montreal, Canada.
Frankham, J. (2006) Network utopias and alternative entanglements for educational research and practice.
Journal of Education Policy, 21(6), 661–77.
Gronn, P. (2000) Distributed properties: a new architecture for leadership. Educational Management and
Administration, 28(3), 317–38.
Gunter, H. (2005) Leading Teachers. London: Continuum.
Hadfield, M., Noden, C., Stott, A., Spender, B., McGregor, J. & Anderson, M. (2005) The Leadership of Adult
Learning in Networks. Nottingham: NCSL.
08 073725 McGregor.qxd 1/30/2007 7:17 PM Page 100
Downloaded from http://imp.sagepub.com by amril muhammad on October 29, 2008
Harris, A. & Bennett, N., eds (2001) School Effectiveness and School Improvement Alternative Perspectives.
London: Continuum.
Harris, A. & Lambert, L. (2003) What is Leadership Capacity? Cranfield: National College for School
Leadership.
Holdsworth, R. (2004) Taking Young People Seriously Means Giving Them Serious Things to Do. Melbourne:
Youth Research Centre, Faculty of Education, University of Melbourne.
Hosking, D. M. (1999) Social construction as process: some new possibilities for research and development,
Concepts and Transformations, 4(2), 117–32.
Jackson, D. (2004) Why pupil voice? Nexus, 2, 6–7.
Jones, C. (2004) Leading Learning. Nottingham: NCSL.
Jones, C., Huber, J. & Pollard, A. (2003) Leading Learners: Experience and Aspiration for School
Leadership. London: Demos.
Levin, B. (2000) Putting pupils at the centre in education reform. International Journal of Educational
Change, 1(2), 155–72.
Lodge, C. (2004) Opening doors: teachers and students learning about learning. Paper given at the
International Congress for School Effectiveness and Improvement, Rotterdam, January.
Macbeath, J., Demetriou, H., Rudduck, J. & Myers, K. (2003) Consulting Pupils: A Toolkit for Teachers.
Cambridge: Pearson.
McGregor, J. (2004) Space, power and the classroom. Forum, 46(1), 13–23.
McGregor, J. (2005) New spaces for dialogue? What are adults learning about student involvement and participation
in Networked Learning Communities? Paper given at the Annual Conference of the British
Educational Research Association, University of Glamorgan, Wales.
McGregor, J. & Tyrer, G. (2004) Recognising student leadership in Networked Learning Communities. Paper
given at the 7th International BELMAS Research Conference in partnership with SCRELM, St Catherine’s
College, Oxford, UK.
Mitra, D. (2005) Student voice from the inside and outside: the positioning of challengers. Paper given at the
Annual Meeting of the American Educational Research Association, Montreal, Canada.
Naylor, A. & Worral, N. (2004) Students as Researchers: how does being a student researcher affect learning?
Paper given at the Teacher Research Conference, Birmingham, National Teacher Research Panel.
NCSL (2004) Programme Review of Data and Evidence on NLCs. Nottingham: NCSL.
NCSL (2006) Getting Started with Networked Learning Study Visits. Nottingham: NCSL.
Noyes, A. (2005) Pupil voice: purpose, power and the possibilities for democratic schooling. British
Educational Research Journal, 31(4), 533–40.
Raymond, L. (2001) Student involvement in school improvement: from data source to significant voice.
Forum, 43(2), 58–61.
Rudduck, J. & Flutter, J. (2004) How to Improve Your School; Giving Pupils a Voice. London: Continuum.
Silins, H. & Mulford, B. (2000) Towards an optimistic future: Schools as learning organisations – effects on
teacher leadership and student outcomes. Paper given at the Australian Association of Research in Education
Conference, Sydney, Australia.
Street, H. & Temperley, J., eds (2005) Improving Schools Through Collaborative Enquiry. London: Continuum.
Thomson, P. & Gunter, H. (2005) Researching students: voices and processes in a school evaluation. Paper
given at the Annual Meeting of the American Educational Research Association, Montreal, Canada.
Worral, N., Noden, C. & Desforges, C. (2006) Pupils Experience of Learning in Networks. Nottingham: NCSL.
McGregor: Recognizing student leadership 101
08 073725 McGregor.qxd 1/30/2007 7:17 PM Page 101
Downloaded from http://imp.sagepub.com by amril muhammad on October 29, 2008