WeLCoMe To 1'st Dewi's Blog

WelCome...!!! To My 1'st blog!!!


pendidikan

pendidikan
sangat menyedihkan ya... pendidikan di negara kita...so.. jangan pernah menyia-nyiakan pendidikan yang kita dapat, karena masih banyak di luar sana yang kurang mendapat pendidikan yang layak. semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Rabu, 13 Mei 2009

PORSENI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DIGELAR DI BANJARNEGARA

Pekan Olah Raga dan Seni (Porseni) bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tingkat eks Karesidenan Banyumas siap digelar di Komplek PT Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkit (UBP) Mrica, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Banjarnegara, 2/5 (Roll Sports) - Pekan Olah Raga dan Seni (Porseni) bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tingkat eks Karesidenan Banyumas siap digelar di Komplek PT Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkit (UBP) Mrica, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Dikmasorda) Kabupaten Banjarnegara, Winarso Wiwit Sulistyo, Sabtu, mengatakan, kegiatan Porseni tersebut akan dibuka Bupati Banjarnegara Djasri pada hari Selasa (5/5).

Dalam Porseni tersebut, kata dia, akan diisi pula dengan kegiatan Olimpiade Olah Raga (OOR) dan Olimpiade Sains (OS) bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Menurut dia, kegiatan itu bertujuan memberikan kesempatan dan menggali kemampuan anak berkebutuhan khusus di bidang olah raga, seni dan sains, serta akan diikuti oleh delapan SLB/SDLB/SMPLB dari Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara.

Selain itu, lanjutnya, kegiatan itu juga dimaksudkan untuk memberikan kesempatan dan pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus.

"Juga sebagai upaya peningkatan mutu pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan yang menjadi agenda utama pemerintah saat ini," katanya.

Ia mengatakan, penyelenggaraan lomba dalam kegiatan tersebut juga untuk mencari juara dalam bidang yang dilombakan yang nantinya juara I dan II berhak mewakili eks Karesidenan Banyumas untuk maju di tingkat Provinsi Jawa Tengah.

Oleh karena itu, dia mengharapkan, semua kegiatan yang diselenggarakan dapat dilaksanakan secara profesional, transparan, "fair play", dan betul-betul sesuai aturan yang berlaku, sehingga hasil yang didapat merupakan upaya optimal dari pesertanya.

"Saya juga berharap, penyelenggaraan kegiatan ini dapat semakin memperkuat jalinan persatuan dan kesatuan antar SLB se-eks Karesidenan Banyumas," katanya.

Mengenai peserta kegiatan tersebut, Ketua Panitia yang juga Kepala Bidang Paud Dikmasorda, Wahyu Agus S mengatakan, peserta Porseni, OOR, dan OS Pendidikan Khusus adalah siswa tuna netra (A), tuna rungu (B), tuna grahita (C), tuna daksa (D), dan tuna laras (E) se-wilayah eks Karesidenan Banyumas.

Mereka akan bersaing pada lomba seni siswa putra-putri yang meliputi seni lukis perorangan (ketunaan B/D/E), menyanyi solo perorangan (ketunaan A/C/D/E), cipta dan baca puisi perorangan (ketunaan A/D/E), mengarang dan bercerita perseorangan (ketunaan A), desain grafis dengan komputer perorangan (ketunaan B/D/E), dan pantomim perorangan (ketunaan B/C/D).

Untuk lomba olah raga siswa yang diperlombakan adalah lari 100 meter perorangan putri (ketunaan C), lompat jauh perorangan putra (ketunaan B/E), lempar cakram perorangan putri (ketunaan B/E), balap kursi roda perorangan putra (ketunaan C), catur perorangan putra/putri (ketunaan A), dan tenis meja perorangan putri (ketunaan A).

"Untuk Olimpiade Sains dilombakan matematika perorangan putra/putri (ketunaan A/B/D) dan IPA perorangan putra/putri (ketunaan A/B/D)," katanya. (


sumber : http://sports.roll.co.id/a-letters/9747-____porseni-anak-berkebutuhan-khusus-digelar-di-banjarnegara____.html

64000 anak cacat mendapat pendidikan khusus

Jakarta - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

sumber :Antara News

NTB Memulai Pendidikan Dasar Sembilan Tahun

TEMPO Interaktif, Mataram:Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) telah memulai proyek percontohan (pilot project) pendidikan dasar (Dikdas) sembilan tahun. Wakil Gubernur NTB Thamrin Rayes mengatakannya sebagai yang pertama di Indonesia.

Rayes mengatakan hal tersebut merupakan langkah perbaikan kualitas pendidikan di daerahnya. Saat ini sebanyak 80 persen dari 4,1 juta jiwa penduduk hanya tamatan SD. Akibatnya, indeks pembangunan manusia NTB terpuruk di urutan 30 nasional.

Dengan pendidikan dasar sembilan tahun tersebut, siswa tamatan SD tidak lagi harus ke luar sekolah, karena ditampung di kelas tujuh hingga sembilan. "Ini pionir di Indonesia. Pilot project ini sudah disetujui pemerintah," ujarnya sewaktu berbicara di depan peserta sosialisasi Pendidikan Anak Usia Dini NTB di Aula Handayani Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dikpora) NTB, Sabtu (7/8).

Kepala Dinas Dikpora NTB Zaini Arony menyatakan kepada Tempo News Room bahwa selama ini tamatan SD di daerahnya maksimal 90 persen yang melanjutkan ke SMP. "Alasannya ekonomi dan jarak sekolah SMP yang jauh dari rumah siswa, utamanya di pedesaan," ucapnya.

Sebenarnya pemerintah telah menggagas Dikdas sembilan tahun sejak tahun 1994, namun kelembagaannya terpisah SD dan SMP. NTB mengupayakan pelaksanaan Dikdas sembilan tahun yang berbeda dan diujicobakan di dua SD untuk satu SMP di Kabupaten Lombok Barat, tiga SD satu SMP di Kabupaten Lombok Timur dan empat SD di Bima. "Masih selektif, belum massal. Sesuai kebutuhan dan kemampuan," ujarnya.

Untuk uji coba ini, ditempatkan guru bidang studi, bukan guru kelas, di SD tersebut. Namun tidak perlu ada kepala sekolah baru untuk menghindari duplikasi. Dikdas ini, kata Zaini Arony, bukan penggabungan tetapi menyatu. "Ini untuk efektifivitas, efisiensi dan dan kontinyuitas," ucapnya.

sumber : Supriyantho Khafid - Tempo News Room

Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?

Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.


Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.

Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.

Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.

Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).

Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).


Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.

Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.


Di samping itu, untuk menambah SDM pendidik, pemerintah mulai menggandeng perguruan tinggi di seluruh tanah air.

sumber : http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Edukasi&id=131764

Pendidikan Khusus Kaum Miskin?

ADA kisah menarik dari Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom.
Dikisahkan, Sen yang berumur sekitar sepuluh tahun dan tinggal di Dhaka bermain
di kebun rumahnya pada suatu siang.

Tiba-tiba datang ke rumah Sen seseorang yang terluka tusuk-dengan pisau masih
tertancap di punggungnya-dan berlumuran darah meminta tolong. Ternyata orang
itu adalah korban salah sasaran dalam kerusuhan komunal yang sedang terjadi di
kawasan itu.

"Istri saya sudah melarang saya untuk pergi ke daerah yang terkena huru hara,
namun saya tidak punya pilihan. Saya harus mencari kerja agar keluarga saya
bisa makan hari ini," jelas orang itu kepada ayah Sen dalam perjalanan ke rumah
sakit. Orang itu, diketahui, bekerja sebagai buruh lepas harian. Akhirnya,
orang yang bernama Kader Mia itu meninggal di rumah sakit.

Ketidakbebasan kaum miskin

Sen menceritakan kisah nyata itu untuk menggambarkan betapa kemiskinan membuat
seseorang kehilangan kebebasannya. Sebabnya, preferensi orang miskin amat
terbatas. Kader Mia kehilangan nyawa karena tidak punya pilihan untuk tinggal
di rumah dan menghindari kerusuhan komunal. Dia tidak punya tabungan, bahkan
untuk hidup keluarganya selama satu hari.

Ada sisi lain dari cerita itu. Cerita itu-sedikit banyak-menggambarkan
rasionalitas kaum miskin dalam menentukan preferensi dan mengambil keputusan.
Suatu bentuk rasionalitas yang mungkin amat berbeda dari orang nonmiskin. Pokok
persoalannya, alternatif bagi orang miskin sangat terbatas.

Hal ini berkaitan langsung dengan kebijakan publik dalam mengentaskan
kemiskinan. Implikasinya, tiap kebijakan publik yang terkait pengentasan
kemiskinan harus memperhitungkan "karakteristik" preferensi yang terkait dengan
ketidakbebasan kaum miskin itu. Tanpa itu, kebijakan tidak akan bekerja secara
operasional. Itulah yang terjadi pada banyak kasus. Contohnya, petani miskin di
beberapa negara berkembang memiliki preferensi untuk menolak inovasi pertanian.
Banyak pihak-di luar petani miskin itu-yang semula menganggap preferensi petani
itu bersifat irasional.

Padahal, hal itu justru merupakan keputusan rasional petani. Inovasi pertanian
memang menjanjikan hasil produksi dan pendapatan lebih banyak. Namun, inovasi
itu juga mengandung risiko-meski mungkin tidak tinggi-berupa turunnya produksi
dan pendapatan dibanding bertani memakai cara lama. Dengan pendapatan yang
sedikit di atas batas kehidupan fisik minimum (KFM), petani menjadi takut
risiko inovasi itu.

Karena itu, tiap kebijakan publik dalam pengentasan kemiskinan harus
berbasiskan data dan kebutuhan di tingkat mikro. Karakteristik masalah di
antara kasus-kasus kemiskinan amat bervariasi dan hal itu akhirnya menentukan
preferensi kaum miskin. Ini berarti, perlu ada kebijakan khusus untuk kaum
miskin sekaligus tidak ada solusi yang seragam antara berbagai kasus kemiskinan.

Itu juga yang disampaikan ekonom dan Kepala Columbia University's Earth
Institute Jeffrey Sachs mengenai pengentasan kemiskinan. Menurut dia, diagnosa
terhadap kemiskinan harus seperti diagnosa seorang dokter terhadap pasiennya.
Dia menamakannya clinical economics. Dalam analisis ini, kemiskinan harus
dilihat secara komprehensif dan teliti sehingga melahirkan kebijakan publik
yang praktis dan tepat. Seperti penyebab sakit pada pasien, menurut Sachs,
penyebab kemiskinan antartempat atau masyarakat tidak dapat digeneralisasi.

Pendidikan kaum miskin

Preferensi dan ketidakbebasan juga harus menjadi pertimbangan kuat dalam
melaksanakan kebijakan pendidikan bagi kaum miskin. Dalam konteks ini,
pendidikan diharapkan mampu memperluas kebebasan dan preferensi kaum miskin.

Yang masih dilupakan, kebijakan pendidikan sendiri-agar bisa mencapai
tujuannya-juga harus memperhitungkan preferensi dan keterbatasan kaum miskin.
Ini terlihat, misalnya, dalam reaksi keras terhadap rencana kategorisasi jalur
pendidikan formal menjadi jalur formal mandiri dan jalur formal standar. Yang
tampak dari wacana ketidaksetujuan itu adalah ilusi normatif dan generalisasi
usulan kebijakan pendidikan bagi kaum miskin.

Faktanya, anak dari keluarga miskin terutama yang tergolong chronical poverty
atau extreme poverty memerlukan semacam kebijakan pendidikan khusus. Hal ini
disebabkan kaum miskin memiliki keterbatasan dan karakteristik masalah yang
berbeda dengan orang nonmiskin. Pendidikan yang bersifat umum-meski terasa
mulia secara normatif-tidak akan efektif memutus lingkaran setan kemiskinan
(vicious circle of poverty).

Sedikitnya, ada dua penyebab kebutuhan itu. Pertama, tingginya biaya pendidikan
yang bersifat umum, terutama bagi kaum miskin kronis. Biaya pendidikan langsung
masih bisa dibebankan kepada anggaran publik, tetapi tidak demikian halnya
dengan biaya tidak langsung seperti biaya transportasi, uang saku, dan "biaya
belajar". Biaya belajar yang sering diabaikan, misalnya, bernilai signifikan.
Jeffrey Sachs menjelaskan, 33 siswa di sebuah daerah miskin di Kenya yang
berhasil lulus ujian nasional. Kuncinya, komunitas itu mendukung aktivitas
belajar siswa di luar jam kelas dengan menyediakan makanan di siang hari.

Kedua, terkait poin pertama, kaum miskin memiliki kebutuhan untuk segera
bekerja. Waktu tunggu untuk menamatkan pendidikan tinggi, misalnya, terlalu
panjang. Ini melahirkan kebutuhan terhadap sekolah pada tingkat dasar atau
menengah yang memberikan keterampilan khusus dan sesuai kesempatan kerja.

Tanpa kebijakan yang spesifik, data BPS menunjukkan, pendidikan sampai tingkat
menengah pertama belum efektif mengatasi pengangguran. Data tahun 2003
menunjukkan, pengangguran terbuka pada kelompok tidak sekolah atau tidak tamat
SD sebesar 5,57 persen. Pengangguran terbuka pada kelompok tamatan SD dan
tamatan SMP umum lebih tinggi, berturut-turut sebesar 6,34 persen dan 11,41
persen.

Dapat ditafsirkan, pendidikan dasar yang bersifat umum seperti sekarang ini
tidak mampu menyelesaikan masalah kaum miskin. Tanpa tabungan, akses, dan
kekayaan, kaum miskin yang menyelesaikan pendidikan dasar dan menganggur akan
kian menderita. Karena itu diperlukan jenis pendidikan yang lebih spesifik bagi
kaum miskin, misalnya pendidikan berbasis keterampilan dan potensi lokal, yang
mampu menjadi bekal memperoleh pekerjaan.

Akhirnya, hindari berpikir normatif dan menerapkan generalisasi dalam kebijakan
pendidikan bagi kaum miskin. Termasuk menerapkan kebijakan yang kelihatan ideal
dan memenuhi asas normatif tetapi tidak akan berfungsi di lapangan.


sumber : Tata Mustasya Peneliti Ekonomi The Indonesian Institute, Alumnus FEUI


[Non-text portions of this message have been removed

Keberpihakan Pemda Untuk Pendidikan Dasar Gratis Dipertanyakan

Rabu, 09/07/2008 12:09:17

Fraksi-PKS Online: Keberpihakan Pemerintah Daerah untuk mewujudkan pendidikan dasar gratis masih dipertanyakan. Terbukti masih banyak daerah yang belum memberikan kontribusi APBD bagi pendidikan dasar di lingkungannya sehingga tetap ada biaya yang dibebankan sekolah pada orang tua murid.

" Padahal amanat Undang-Undang Dasar 45 sudah jelas bahwa pendidikan dasar ditanggung negara, artinya anak usia SD dan SMP punya hak untuk dibiayai sekolahnya," kata Ketua Komisi X DPR RI Irwan Prayitno dalam sebuah diskusi pendidikan yang digelar Fraksi PKS, Rabu (9/7).

Menurut Irwan definisi negara dalam UUD 45 mencakup Pemerintah Pusat dan juga Daerah. Sebab guru dan sekolah-sekolah berada di bawah tanggung jawab Pemda bukan lagi Departemen Pendidikan Nasional, kecuali madrasah ibtidaiyyah dan tsanawiyah yang langsung di bawah Depag

Anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Depdiknas pada tahun 2008 dialokasikan sebesar lebih dari Rp 10 triliun atau kurang lebih 25 persen dari total Anggaran Pendidikan. Dana itu menurut Irwan sudah dapat menutupi 70 persen kebutuhan sekolah sehingga Pemda sebenarnya hanya menambahkan 30 persennya saja. " Seharusnya itu tidak berat asal Pemda mau dan punya political will dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun," ujarnya.

Masalahnya adalah seringkali Pemda mengeluh tidak memiliki dana sehingga tidak mampu mensubsidi pendidikan. Alasan itu menurut Irwan tidak dapat diterima karena ada daerah yang ternyata mampu memberikan pendidikan gratis meski Pendapatan Asli Daerahnya tidak besar. "Yang penting itu political will, kalau pendidikan diprioritaskan anggaran bisa diusahakan tinggal dikurangi saja alokasi yang lain," tegasnya lagi.

Anggota Komisi X lainnya, Aan Rohana yang menjadi moderator pada diskusi tersebut selama ini pendidikan gratis hanya ada pada saat kampanye calon pemimpin saja. Setelah terpilih janji itu dilupakan karena ternyata butuh political will untuk bisa mewujudkannya. " Sepanjang Pemerintah tidak punya political will maka pendidikan gratis sulit direalisasikan, meski kerap dijanjikan saat kampanye," ujarnya.

Sedikit berbeda Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto berpendapat bahwa political will saja tidak akan dapat menuntaskan wajib belajar tanpa disertai kemampuan finansial. Mantan guru sebuah sekolah di Jogjakarta ini memadang perlu adanya kerjasama antara pemerintah, orang tua murid, masyarakat dan para penyandang dana untuk memajukan pendidikan.

Orang tua menurut Suyanto harus berusaha untuk dapat membiayai pendidikan anak-anaknya. Prioritas anggaran rumah tangga untuk biaya sekolah harus disadari setiap orang tua karena pendidikan anak adalah aset terpenting bagi masa depannya. "Seharunya tidak ada orang tua yang mau membeli rokok tetapi tidak mau membayar sekolah anakya, untuk beli rokok ada uang tetapi untuk sekolah tidak punya uang," ungkapnya.

Senada dengan Suyanto, praktisi pendidikan dari Jaringan Sekolah Islam Terpadu Abdul Ghoffar menyatakan pendidikan adalah investasi tertinggi. Bila orang tua rela membayar parkir mobil sebesar Rp 2.000 per jam, maka seharusnya dia lebih rela bila harus membayar anaknya yang dititip ke sekolah untuk dididik dan dibekali masa depannya. (nisa)

sumber : http://www.fpks-dpr.or.id/?op=isi&id=5379

Indonesia dan A.S. Rayakan Keberhasilan program pendidikan dasar di Indonesia

May 14, 2007



Para pendidik dan pemuka masyarakat daerah dari seluruh Indonesia akan berkumpul di Jakarta pada hari Senin untuk merayakan keberhasilan program pendidikan dasar yang pertama yang didanai oleh Amerika Serikat dalam dua dasawarsa. Kuasa Usaha A.S., John Heffern, memberikan pengarahan kepada wakil masyarakat dari 23 daerah yang akan mulai melakukan pengkajian akhir program tersebut selama tiga hari untuk menjadi landasan persiapan bagi Prakarsa Pendidikan senilai 157 juta dolar AS yang dicanangkan oleh Presiden George Bush di Indonesia.


Menekankan pentingnya pendidikan sebagai salah satu faktor kunci dalam menjamin terciptanya sebuah bangsa yang demokratis dan makmur, Heffern mengatakan: “Program empat-tahun senilai 10 juta dolar AS ini, yang dibawa oleh Badan Pembangunan Internasional A.S. (USAID) ke sekolah-sekolah di daerah pada 2003, telah mencapai tujuannya yakni membangun sistem pendidikan lokal yang berkualitas di seluruh Indonesia.”

Program Pengelolaan Pendidikan Dasar (MBE) USAID, yang tahun kelima dan terakhirnya akan berakhir Juni mendatang, saat ini dilaksanakan di 20 daerah di Jawa dan dua daerah di Aceh.


MBE, yang telah memberikan dukungan pendidikan kepada 449 sekolah dalam lima tahun sejarahnya, merupakan perintis bagi proyek Pendidikan Dasar Terdesentralisasi (DBE) USAID yang sedang dan akan terus berlangsung sampai tahun 2010. Program DBE, yang merupakan bagian dari komitmen USAID dalam meningkatkan kualitas pendidikan dasar, dianggap berhasil meningkatkan nilai prestasi siswa secara signifikan dalam pelajaran membaca, ilmu pengetahuan alam, dan matematika.

Hampir 200 peserta menghadiri rapat pengkajian program tersebut, termasuk staf departemen pendidikan daerah, departemen agama, badan perencana, badan pendidikan, anggota dewan dan pendidik.

Program ini dianggap berhasil membantu menciptakan rencana pengembangan sekolah, membantu menjadikan anggaran sekolah transparan bagi masyarakat setempat, dan mendorong pembentukan perkumpulan orang tua. Di bawah program MBE, kelas menjadi tempat yang lebih menarik dan membangkitkan gairah bagi anak-anak, dengan dipamerkannya secara jelas contoh proyek akademik dan artistik para siswa. Tingkat kehadiran siswa meningkat di sekolah-sekolah yang melaksanakan program ini.

sumber : http://www.usembassyjakarta.org/bhs/siaran-pers/basic_edu_051407i.html

Bank Dunia Dukung Pendidikan Dasar

Jakarta, RMexpose. Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara (Minut), Sulawesi Utara, masih tergolong dalam posisi transisi. Berbeda dari daerah lain yang sudah ‘matang’ dan tak ada masalah pendidikan dan kesehatan, Minut masih menyimpan persoalan pendidikan.

Oleh karena itulah World Bank (Bank Dunia) memasukkan daerah pemekaran dari Kabupaten Minahasa ini ke dalam program PNPM Generasi Sehat dan Cerdas. Minut menetapkan Desa Tumaluntung sebagai desa percontohan program yang didanai Bank Dunia.

PNPM Generasi Sehat dan Cerdas adalah program percontohan inovatif yang dimaksudkan mempercepat tercapainya tiga tujuan dari Millenium Development Goals, yakni: mencapai pendidikan dasar untuk semua, menurunkan angka kematian balita, dan meningkatkan kesehatan ibu.

Desa Tumaluntung sebagai peserta PNPM Generasi Sehat dan Cerdas bertekad untuk meningkatkan indikator-indikator kesehatan dan pendidikan dasar dengan menggunakan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) tahunan sebesar rata rata Rp 79.800.000 di tiap desa.

Fasilitator terlatih di Desa Tumaluntung, Marcel membantu penduduk desa melaksanakan proses perencanaan partisipatoris dan membantu mereka mengidentifikasi serta mencari pemecahan masalah lokal. Di desa itu masalah yang ada adalah banyak murid SD kelas dua dan tiga, bahkan kelas empat ternyata belum bisa baca-tulis.

‘’Kalau pun bias membaca, tidak lancar sehingga mereka minder. Kalau tidak ditangani, lama-lama mereka berjhenti sekolah karena malu diledek teman-temannya,’’ kata Marcel.

Maka berkat dukungan dana dari Bank Dunia itulah diadakan ‘kelas tambahan’ setelah jam sekolah formal.

Bertempat di Posko-Sekretariat PNPM Generasi Sehat dan Cerdas di Desa Tumaluntung, kegiatan belajar dilakukan oleh guru honorer yang diambil dari guru SDN setempat. Selaoin itu kegiatan Posyandu juga dilakukan di situ.


sumber : Rakyat Merdeka, 3 September 2008

MA berikan pendidikan khusus bagi hakim yang menangani kasus korupsi

LAPORAN : MAULANA
JAKARTA-SURABAYAWEBS.COM
Untuk menangani perkara korupsi, ?Mahkamah Agung (MA) telah menyiapkan 100 hakim khusus yang bersertifikat pendidikan korupsi yang akan ditempatkan di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di kota-kota besar di Indonesia. “Saat ini kita tengah menyusun kurikulum pendidikan bagi hakim yang menangani kasus korupsi. Pendidikan itu dilakukan dalam rangka lebih meningkatkan mutu hakim,” kata Ketua MA Bagir Manan kepada wartawan di kantor MA, Jumat (9/2).

Bagir mengatakan, pendidikan bagi para hakim korupsi tersebut dilakukan mulai bulan April 2007 mendatang. Ia menargetkan dari pendidikan tersebut akan dihasilkan 100 hakim bersertifikasi korupsi. Mereka akan ditempatkan di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi diberbagai kota besar di Indonesia untuk menangani perkara korupsi. “Setiap perkara korupsi mereka nantinya yang akan tangani, tetapi mereka juga bisa menangani perkara di luar korupsi,” katanya.



?
?
Bagir menegaskan peningkatan mutu hakim perlu dilakukan dalam perkara-perkara korupsi. Pasalnya tuntutan masyarakat mengharuskan hakim-hakim di pengadilan negeri dan tinggi yang memahami korupsi.
?
Bagir menyatakan MA hanya akan mendidik hakim-hakim karir dalam program sertifikasi korupsi. Sedangkan hakim ad hoc korupsi di Pengadilan Tipikor, tidak akan diikutsertakan. “Masyarakat menilai hakim karier yang perlu dididik, kalau hakim ad hoc kemampuannya sudah tinggi,” ujar Bagir.
?
Bagir membantah peningkatan kemampuan hakim karier dalam penanganan korupsi merupakan bentuk persaingan dengan Pengadilan Tipikor yang berada di luar MA. “Kita tidak berbicara mengenai pengadilan Tipikor,” katanya.
?
Mengenai persyaratan hakim karier yang akan dipilih untuk mengikuti program sertifikasi, Bagir menyatakan MA akan melihat dari sisi kepangkatan, pengetahuan, integritas dan kemandirian dalam putusan.Dari sisi kepangkatan misalnya minimal golongan 3C.***

3 juta anak butuh pendidikan khusus

Media Bawean, 13 April 2009

Sumber : SINDO
JAKARTA (SI) – Lebih dari tiga juta anak membutuhkan pendidikan layanan khusus (PLK). Jumlah itu merupakan anak usia sekolah yang tidak tertampung pada sekolah umum dikarenakan akses pendidikan tak terjangkau,putus sekolah, berada di daerah konflik, luar negeri atau karena kebutuhan khusus lain.

”PLK sangat fleksibel, mulai dari kurikulum, waktu belajar hingga pada kebutuhan sumber daya gurunya,”kata Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ekodjamitko Sukarso kepada Seputar Indonesia (SI) kemarin. Hingga saat ini, kata Eko,PLK sudah berjumlah 196 sekolah.Tersebar di dalam dan luar negeri. ”Termasuk PLK yang melayani anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di perkebunan-perkebunan milik Malaysia,”tuturnya.

Dia menerangkan, lebih dari 3 juta anak yang membutuhkan PLK tersebut terdiri atas pekerja anak berjumlah 2,6 juta orang, 15.000 anak-anak di daerah transmigrasi, serta 2.000 anak di lembaga pemasyarakatan (lapas) anak. ”Belum lagi kebutuhan PLK untuk anak korban perdagangan orang (trafficking), di daerah pelacuran, konflik, dan anak-anak penderita HIV/AIDS serta anak putus sekolah yang datanya belum terhimpun,” ujar Eko. Sementara itu, pada Sabtu (11/4) Eko meresmikan satu-satunya PLK di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Dia berharap PLK yang melayani anakanak putus sekolah dan anak-anak nelayan yang terletak di pesisir pulau terpencil itu bisa dijadikan model bagi PLK-PLK lain. PLK yang memiliki jam belajar di sore hari dan hanya mempunyai waktu pertemuan tiga kali seminggu tersebut bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Gresik. (rendra hanggara)

Pendidikan Dasar Gratis Butuh Rp 157,22 Triliun

Monday, 25 August 2008
Jakarta- Kompas,

Pendidikan dasar gratis bermutu yang menjadi prioritas utama pemerintah harus terpenuhi sebab biaya pendidikan dasar gratis standar nasional hanya perlu dana sekitar Rp 157,22 triliun. Padahal, dengan kebijakan menaikkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2009. maka anggaran pendidikan akan mencapai Rp 224 Triliun. Demikian dikatakan Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dalam diskusi bertajuk "Memilih Prioritas Memenuhi Hak Rakyat Memperoleh Pendidikan Bermutu" yang diadakan Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina di Jakarta, Kamis (21/8). (ELN)

Sentra Pendidikan Layanan Khusus Ditambah

BANDUNG, KOMPAS - Pada tahun 2007, pemerintah berencana menambah dan mengembangkan sentra pendidikan layanan khusus, terutama di wilayah-wilayah bekas bencana, terpencil, dan perbatasan. Upaya ini merupakan bagian penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya dari jalur pendidikan luar biasa.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Dikdasmen Depdiknas, Eko Djatmiko, ditemui di sela-sela acara Spirit, ”Kreasi Gemilang Anak-anak Luar Biasa Indonesia", di Bandung, Kamis (16/11). Acara tahunan ini menghadirkan ratusan anak-anak berkebutuhan khusus dari 33 provinsi se-Indonesia.

Eko menjelaskan, sentra-sentra pengembangan yang dimaksud diantaranya wilayah Nunukan (Kalimantan Timur), Natuna (Kepulauan Riau), Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan Rondo (NAD). Daerah-daerah yang menjadi pilot project ini dipilih berdasarkan permintaan dan analisis kebutuhan daerah.

”Program (pendidikan layanan khusus atau PLK) ini memang terbilang baru. Setahun terakhir bergulirnya. Sesuai dengan UU Sisdiknas, khususnya Pasal 31, PLK ini ditujukan bagi siswa-siswa yang berada di daerah pelosok, terpencil, komunitas adat terpencil (KAT), daerah konflik, maupun bekas bencana alam,” ungkapnya.

Berbeda dengan pendidikan luar sekolah (PLS), sasaran PLK ini adalah siswa-siswa usia wajar dikdas 9 tahun. Keunikan dari program ini, metoda pengajarannya tidak melulu bersifat akademis atau kognitif. Melainkan, dipadukan dengan pembekalan life skill yang tentunya disesuaikan potensi anak didik.

Tahun 2006 ini, PLK ini diujicobakan di sedikitnya 12 daerah yang ada di tanah air, diantaranya Lampung, Medan, Batam, Makassar, Sulawesi Tengah dan Mataram. Di antara sejumlah sentra, lokasi pengungsian di Atambua (Nusa Tenggara Timur) dan KAT Suku Anak Dalam (Jambi) menjadi salah satu indikator keberhasilan program.

Menurut Eko, program strategis ini diharapkan bisa efektif membantu pencapaian target wajar dikdas, khususnya di daerah yang sulit terjangkau pendidikan jalur reguler. ”Tahun 2006 ini, saya berutang 54.000 anak difabel usia sekolah (wajar dikdas) yang tidak bersekolah. Padahal, jumlah ini baru sepertiga dari seluruh siswa pendidikan khusus,” ujarnya kemudian.

Anggaran ditingkatkan

Untuk mendukung rencana tersebut, Depdiknas mengimbanginya dengan pengajuan penambahan alokasi anggaran dalam APBN 2007 mendatang. Kenaikannya, mencapai 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi Rp 365 miliar. Dari total Rp 365 miliar anggaran PSLB, 30 persen diantaranya ditujukan untuk PLK.

Agus Prasetyo, penanggung jawab sebuah PLK yang beroperasi di daerah bencana khususnya NAD, menyambut baik penambahan alokasi anggaran tersebut. ”Ini tentunya sangat baik. Bisa mendukung operasional dan pengembangan kualitas tutor. Apalagi, selama ini kegiatan (PLK) ini sifatnya sukarela. Padahal, jangkauan daerah sangat luas,” ucapnya.(JON)

sumber : kompas

Malang Gelar Pendidikan Khusus Penderita Autis

malang, Kominfo-Newsroom — Pemerintah Kabupaten Malang, Jawa Timur, melalui kebijakannya sesuai amanat UUD 1945, serta UU Sisdiknas N0 20 Tahun 2003, akan segera melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagi penderita autis.

Anak penderita autis atau anak-anak dengan berkebutuhan khusus (ABK) yang mengalami kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapat pendidikan guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi.

Selain pendidikan khusus, pemkab Malang juga akan menambah sekolah inklusif (sekolah biasa) yang dapat mengakomodir semua anak berkebutuhan khusus (ABK) yang terpilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan baik Kepala Sekolah, guru, orang tua peserta didik, tenaga administrasi serta lingkungan sekolah/masyarakat.


Saat ini jumlah sekolah inklusif yang ada di Kabupaten Malang baru delapan sekolah yang tersebar di delapan kecamatan, sedangkan SLB yang ada masih sangat terbatas dan letaknya jauh.

”Ke depan akan dikembangkan sekolah untuk ABK pada masing-masing kecamatan di tiap eks pembantu Bupati,” kata Kadis P dan K, Drs Suwandi MM, MSC, pada acara sosialisasi pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus kerjasama Tim Penggerak PKK dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Malang, belum lama ini.

Ia mengharapkan, melalui kerjasama yang sinergi antara Dinas P dan K dan TP.PKK (Pokja II) dapat meningkatkan pemahaman terhadap masyarakat tentang arti pentingnya Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus bagi penderita autis guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi.

sumber : (www.jatim.go.id/hsn/toeb)

PERILAKU MENYIMPANG, GANGGUAN PSIKIATRIK, DAN KENAKALAN ANAK-ANAK DAN REMAJA SOLUSI DAN CARA MENGATASINYA

Era globalisasi telah membuat kehidupan mengalami perubahan yang signifikan, bahkan terjadi degradasi moral dan sosial budaya yang cenderung kepada pola-pola perilaku menyimpang.
Hal ini sebagai dampak pengadopsian budaya luar secara berlebihan dan tak terkendali oleh sebagian remaja kita. Persepsi budaya luar ditelan mentah-mentah tanpa mengenal lebih jauh nilai-nilai budaya luar secara arif dan bertanggung jawab. (Sulis Styawan, 2007)
Tak dimungkiri pula, kehadiran teknologi yang serba digital dewasa ini banyak menjebak remaja kita untuk mengikuti perubahan ini. Hal ini perlu didukung dan disikapi positif mengingat kemampuan memahami pengetahuan dan teknologi adalah kebutuhan masa kini yang tidak bisa terelakkan. Namun, filterisasi atas merebaknya informasi dan teknologi super canggih melalui berbagai media komunikasi seringkali terlepas dari kontrol.
Pola perilaku budaya luar (baca: pengaruh era global), sering kali dianggap sebagai simbol kemajuan dan mendapat dukungan berarti di kalangan remaja. Kemajuan informasi dan teknologi telah membawa ke arah perubahan konsep hidup dan perilaku sosial. Pengenalan dan penerimaan informasi dan teknologi tumbuh pesat bahkan menjadi kebutuhan hidup.
Perlu kiranya menjadi keprihatinan bersama, sekaligus menaruh perhatian lebih bila mengamati dan menjumpai sebagian dari remaja yang makin menikmati dan menghabiskan masa remajanya dengan kegiatan yang kurang berfaedah bahkan sama sekali tak berguna demi masa depannya. Sungguh ironis, kala daya tarik pendidikan dan pengetahuan yang mestinya wajib didapatkan oleh para remaja, malah justru menjadi momok yang menakutkan dan memicu kebencian.
Perlu pula kiranya memformulasikan kebutuhan pendidikan (akhlak, ilmu pengetahuan, teknologi, mental dan lain-lain) yang lebih mendekati kepada kepentingan riil anak remaja masa kini. Tidak sekadar mengadopsi pola-pola atau cara-cara budaya negara-negara sekuler, sementara sering mengesampingkan nilai-nilai moral dan mental generasi remaja.
Masalahnya sejauh mana nilai positif dari kemajuan tersebut mampu dipilih dan dipilah secara cermat dan bertanggungjawab oleh remaja. Ini sangat urgen, karena persoalannya menyangkut masa depan remaja itu sendiri dan bisa jadi negara tercinta ini, akan kehilangan satu mata rantai generasi penerus (the loss generation). Jika hal ini benar-benar terjadi, maka dalam tataran ini, siapa yang harus dipersalahkan?
Memang, sebagai bagian dari masalah sosial, kenakalan remaja merupakan masalah yang serius karena akan mengancam kehidupan suatu bangsa. Penyakit remaja muncul sebagai akibat melemahnya pengertian dan kewaspadaan terhadap kebutuhan dan permasalahan usia remaja itu sendiri. Sifat-sifat sulit diatur, berontak, merajuk, kumpul-kumpul, suka meniru, mulai jatuh cinta, hura-hura dan sebagainya, adalah rangkaian pola perilaku yang selalu muncul membayangi sisi kehidupan remaja.
Jika tidak dikontrol dan diawasi, hal ini tentu dapat memicu timbulnya masalah sosial, di mana tercipta situasi yang kurang atau tidak mengenakkan dalam masyarakat. Contoh perilaku remaja yang mengindikasikan timbulnya permasalahan sosial bagi lingkungan sekitarnya seperti: kebiasaan merusak fasilitas umum dan sosial, coret-coret dinding, minum minuman beralkohol, tawuran antar remaja, kebut-kebutan di jalan raya dan bahkan sampai pada perilaku seks bebas (free sex) dan pemakaian obat-obatan terlarang. Kondisi ini ada bukan untuk dimusuhi atau dijauhi, tetapi mesti dipahami dan didekati karena merupakan integritas remaja di dalam menemukan identitas diri dan pengakuan pribadinya.
Mengamati dan memahami pola-pola perilaku remaja yang memang sangat rumit dan tinggi kompleksitasnya, maka sebelum terlambat, segenap potensi sosial yang tersedia harus diarahkan dan diupayakan secara terpadu dan berkesinambungan untuk melibatkan perannya. Penanganan permasalahan kenakalan remaja pun tidak hanya ditekankan pada remaja itu sendiri, melainkan multi dimensi. Ada beberapa aspek yang dapat dijadikan perhatian dalam memahami perilaku menyimpang remaja.
YMasalah Remaja Di Sekolah Remaja yang masih sekolah di SLTP/ SLTA selalu mendapat banyak hambatan atau masalah yang biasanya muncul dalam bentuk perilaku. Gangguan perilaku tersebut adalah merupakan gangguan kejiwaan atau psikologis yang tidak dapat terdeteksi begitu saja. Banyak aspek yang menyebabkannya baik aspek psikologis, lingkungan maupun kejiwaan.
Gangguan jiwa pada anak-anak merupakan hal yang banyak terjadi, yang umumnya tidak terdiagnosis dan pengobatannya kurang adekuat. Masalah kesehatan jiwa terjadi pada 15% sampai 22% anak-anak dan remaja, namun yang mendapatkan pengobatan jumlahnya kurang dari 20% (Keys, 1998). Karena gangguan ini sering tidak dianggap serius seperti gangguanm yang bersidat fisik atau jasmaniah, karena kondisi sosial masyarakat sekarang ini masih krang memperhatikan maslah kejiwaan.
Krisis ekonomi saat ini karena kesulitan masyarkat adalah mengatasi kebutuhan ekonomi sebagai kebutuhan fisik sehingga tidak mempu berkonsentrasi pada masalah-masalah psikologis yang bersifat sekunder bahkan tertier. Maslah psikologis baru dipikirkan setelah dampaknya cukup meresahkan masyarakat dan lingkungan. Perhatian keluarga pada anak menjadi berkurang karena kebutuhan pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga perhatian orang tua terhadap keluarga menjadi berkurang. Akibatnya muncul kenakalan keluarga dan penyimpangan pada anak dan remaja terjadi.
Gangguan hiperaktivitas-defisit perhatian (ADHD/ Attention Deficit-Hyperactivity Disorder) adalah gangguan kesehatan jiwa yang paling banyak terjadi pada anak-anak, dimana insidensinya diperkirakan antara 6% sampai 9%.
Diagnosis gangguan jiwa pada anak-anak dan remaja adalah perilaku yang tidak sesuai dengan tingkat usianya, menyimpang bila dibandingkan dengan norma budaya, yang mengakibatkan kurangnya atau terganggunya fungsi adaptasi (Townsend, 1999). Dasar untuk memahami gangguan yang terjadi pada anak-anak, dan remaja adalah dengan menggunakan teori perkembangan. Penyimpangan dari norma-norma perkembangan merupakan tanda bahaya penting adanya suatu masalah.
Gangguan spesifik pada masa kanak-kanak meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, gangguan perkembangan, gangguan eliminasi, gangguan perilaku disruptif, dan gangguan ansietas. Gangguan yang terjadi pada anak-anak dan juga terjadi pada masa dewasa adalah gangguan mood dan gangguan psikotik. Gejala-gejala gangguan jiwa pada anak-anak atau remaja berbeda dengan orang dewasa yang mengalami gangguan serupa.
Masalah sosial yang dikategorikan dalam perilaku menyimpang diantaranya adalah kenakalan remaja. Untuk mengetahui tentang latar belakang kenakalan remaja dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan individual, individu sebagai satuan pengamatan sekaligus sumber masalah. Untuk pendekatan sistem, individu sebagai satuan pengamatan sedangkan sistem .
Masa remaja adalah masa-masa yang paling indah. pencarian jati diri seseorang terjadi pada masa remaja. namun, di masa remaja seseorang dapat terjerumus ke dalam kehidupan yang dapat merusak masa depan mereka. memakai narkoba, seks bebas, alkohol, dan kekerasan merupakan kenakalan yang sering dilakukan oleh anak remaja. narkoba adalah bentuk kenakalan yang sangat berbahaya bagi remaja. ketergantungan pada narkoba bisa membawa anak pada tindakan kriminal. untuk bisa memperolehnya, tak tanggung-tanggung mereka melakukan tindakan pencurian, penodongan, perampasan dan lain sebagainya. selain dengan narkoba, remaja juga dekat dengan seks bebas. seks bebas dapat menyebabkan berbagai penyakit pada remaja. diantaranya adalah penyakit kelamin dan HIV Aids. seks bebas juga dapat menyebabkan kehamilan yang dapat merusak masa depan mereka.
Alkohol juga sangat dekat dengan remaja. biasanya mereka minum-minuman keras untuk melupakan masalah yang terjadi pada diri mereka dan supaya mereka disegani oleh teman sebayanya. tindakan tersebut dapat memicu adanya tindakan kriminal yang dilakukan di luar kesadaran. selain dengan alkohol, remaja juga dekat dengan tindakan kekerasan. tindakan kekerasan itu dapat berupa tawuran antar pelajar. tawuran antar remaja tersebut biasanya terjadi karena kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat. Untuk menghindarkan kebiasaan negatif pada diri remaja perlu dilakukan penyuluhan. penyuluhan dapat dijadikan sebagai tempat pemberitahuan bahaya dan akibat dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang tersebut.
2. Landasan Teori.
2.1 Masalah yang Selau dihadapi Remaja
Berikut ada lima daftar masalah yang selalu dihadapi para remaja di sekolah :
1. Perilaku Bermasalah (problem behavior).
Masalah perilaku yang dialami remaja di sekolah dapat dikatakan masih dalam kategori wajar jika tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Dampak perilaku bermasalah yang dilakukan remaja akan menghambat dirinya dalam proses sosialisasinya dengan remaja lain, dengan guru, dan dengan masyarakat. Perilaku malu dalam dalam mengikuti berbagai aktvitas yang digelar sekolah misalnya, termasuk dalam kategori perilaku bermasalah yang menyebabkan seorang remaja mengalami kekurangan pengalaman. Jadi problem behaviour akan merugikan secara tidak langsung pada seorang remaja di sekolah akibat perilakunya sendiri.
2. Perilaku menyimpang (behaviour disorder).
Perilaku menyimpang pada remaja merupakan perilaku yang kacau yang menyebabkan seorang remaja kelihatan gugup (nervous) dan perilakunya tidak terkontrol (uncontrol). Memang diakui bahwa tidak semua remaja mengalami behaviour disorder. Seorang remaja mengalami hal ini jika ia tidak tenang, unhappiness dan menyebabkan hilangnya konsentrasi diri.
Perilaku menyimpang pada remaja akan mengakibatkan munculnya tindakan tidak terkontrol yang mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab behaviour disorder lebih banyak karena persoalan psikologis yang selalu menghantui dirinya.
3. Penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment).
Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan remaja biasanya didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara cermat akibatnya. Perilaku menyontek, bolos, dan melangar peraturan sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah pada remaja di sekolah menegah (SLTP/SLTA).
4. Perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder).
Kecenderungan pada sebagian remaja adalah tidak mampu membedakan antara perilaku benar dan salah. Wujud dari conduct disorder adalah munculnya cara pikir dan perilaku yang kacau dan sering menyimpang dari aturan yang berlaku di sekolah. Penyebabnya, karena sejak kecil orangtua tidak bisa membedakan perilaku yang benar dan salah pada anak. Wajarnya, orang tua harus mampu memberikan hukuman (punisment) pada anak saat ia memunculkan perilaku yang salah dan memberikan pujian atau hadiah (reward) saat anak memunculkan perilaku yang baik atau benar. Seorang remaja di sekolah dikategorikan dalam conduct disorder apabila ia memunculkan perikau anti sosial baik secara verbal maupun secara non verbal seperti melawan aturan, tidak sopan terhadap guru, dan mempermainkan temannya . Selain itu, conduct disordser juga dikategorikan pada remaja yang berperilaku oppositional deviant disorder yaitu perilaku oposisi yang ditunjukkan remaja yang menjurus ke unsur permusuhan yang akan merugikan orang lain.

5. Attention Deficit Hyperactivity disorder,
Attention Deficit Hyperactivity disorder yaitu anak yang mengalami defisiensi dalam perhatian dan tidak dapat menerima impul-impuls sehingga gerakan-gerakannya tidak dapat terkontrol dan menjadi hyperactif. Remaja di sekolah yang hyperactif biasanya mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian sehingga tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya atau tidak dapat berhasil dalam menyelesaikan tugasnya. Jika diajak berbicara, remaja yang hyperactif tersebut tidak memperhatikan lawan bicaranya. Selain itu, anak hyperactif sangat mudah terpengaruh oleh stimulus yang datang dari luar serta mengalami kesulitan dalam bermain bersama dengan temannya.
2.2. Jenis Gangguan Jiwa Anak-anak.
2.2.1. Gangguan perkembangan pervasif.
Ditandai dengan masalah awal pada tiga area perkembangan utama: perilaku, interaksi sosial, dan komunikasi.
a. Retardasi mental.
Muncul sebelum usia 18 tahun dan dicirikan dengan keterbatasan substandar dalam berfungsi, yang dimanifestasikan dengan fungsi intelektual secara signifikan berada dibawah rata-rata (mis., IQ dibawah 70) dan keterbatasan terkait dalam dua bidang keterampilan adaptasi atau lebih (mis., komunikasi, perawatan diri, aktivitas hidup sehari-hari, keterampilan sosial, fungsi dalam masyarakat, pengarahan diri, kesehatan dan keselamatan, fungsi akademis, dan bekerja.
b. Autisme
Dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta aktivitas dan minat yang terbatas (Johnson, 1997). Gejala-gejalanya meliputi kurangnya responsivitas terhadap orang lain, menarik diri dari hubungan sosial, kerusakan yang menonjol dalam komunikasi, dan respon yang aneh terhadap lingkungan (mis., tergantung pada benda mati dan gerakan tubuh yang berulang-ulang seperti mengepakkan tangan, bergoyang-goyang, dan memukul-mukulkan kepala)
c. Gangguan perkembangan spesifik
Dicirikan dengan keterlambatan perkembangan yang mengarah pada kerusakan fungsional pada bidang-bidang, seperti membaca, aritmetika, bahasa, dan artikulasi verbal.
2.2.2 Defisit perhatian dan gangguan perilaku disruptif.
a. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
Dicirikan dengan tingkat gangguan perhatian, impulsivitas, dan hiperaktivitas yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan. Menurut DSM IV, ADHD pasti terjadi di sedikitnya dua tempat (mis., di sekolah dan di rumah) dan terjadi sebelum usia 7 tahun (DSM IV, 1994).
b. Gangguan perilaku
Dicirikan dengan perilaku berulang, disruptif, dan kesengajaan untuk tidak patuh, termasuk melanggar norma dan peraturan sosial. Sebagian besar anak-anak dengan gangguan ini mengalami penyalahgunaan zat atau gangguan kepribadian antisosial setelah berusia 18 tahun. Contoh perilaku pada anak-anak dengan gangguan ini meliputi mencuri, berbohong, menggertak, melarikan diri, membolos, menyalahgunakan zat, melakukan pembakaran, bentuk vandalisme yang lain, jahat terhadap binatang, dan serangan fisik terhadap orang lain.
c. Gangguan penyimpangan oposisi
Gangguan ini merupakan bentuk gangguan perilaku yang lebih ringan, meliputi perilaku yang kurang ekstrim. Perilaku dalam gangguan ini tidak melanggar hak-hak orang lain sampai tingkat yang terlihat dalam gangguan perilaku. Perilaku dalam gangguan ini menunjukkan sikap menentang, seperti berargumentasi, kasar, marah, toleransi yang rendah terhadap frustasi, dan menggunakan minuman keras, zat terlarang, atau keduanya).
3. Gangguan ansietas sering terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut ke masa dewasa.
Gangguan ansietas sering terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut ke masa dewasa biasanya berupa :
Gangguan obsesif kompulsif, gangguan ansietas umum, dan fobia banyak terjadi pada anak-anak dan remaja, dengan gejala yang sama dengan yang terlihat pada orang dewasa.
Gangguan ansietas akibat perpisahan adalah gangguan masa kanak-kanak yang ditandai dengan rasa takut berpisah dari orang yang paling dekat dengannya. Gejala-gejalanya meliputi menolak pergi ke sekolah, keluhan somatik, ansietas berat terhadap perpisahan dan khawatir tentang adanya bahaya pada orang-orang yang mengasuhnya.
4. Skizofrenia.
Lebih jauh dapat dijelaskan sebagai berikut :
Skizofrenia anak-anak jarang terjadi dan sulit didiagnosis. Gejala-gejalanya dapat menyerupai gangguan pervasif, seperti autisme. Walaupun penelitian tentang skizofrenia anak-anak sangat sedikit, namun telah dijumpai perilaku yang khas (Antai-Otong, 1995b), seperti beberapa gangguan kognitif dan perilaku, menarik diri secara sosial, dan komunikasi.
Skizofrenia pada remaja merupakan hal yang umum dan insidensinya selama masa remaja akhir sangat tinggi. Gejala-gejalanya mirip dengan skizofrenia dewasa. Gejala awalnya meliputi perubahan ekstrim dalam perilaku sehari-hari, isolasi sosial, sikap yang aneh, penurunan nilai-nilai akademik, dan mengekspresikan perilaku yang tidak disadarinya.

5. Gangguan mood.
Biasanya dapat dijelaskan berupa hal-hal sebagai berikut :
Gangguan ini jarang terjadi pada masa anak-anak dan remaja dibanding pada orang dewasa (Keltner,1999). Prevalensi pada anak-anak dan remaja berkisar antara 1% sampai 5% untuk gangguan depresi. Eksistensi gangguan bipolar (jenis manik) pada anak-anak masih kontroversial. Prevalensi penyakit bipolar pada remaja diperkirakan 1%. Gejala depresi pada anak-anak sama dengan yang diobservasi pada orang dewasa.
Bunuh diri. Adanya gangguan mood merupakan faktor resiko yang serius untuk bunuh diri. Bunuh diri adalah penyebab kematian utama ketiga pada individu berusia 15 sampai 24 tahun. Tanda-tanda bahaya untuk bunuh diri pada remaja meliputi menarik diri secara tiba-tiba, berperilaku keras atau sangat memberontak, menyalahgunakan obat atau alkohol, secara tidak biasanya mengabaikan penampilan diri, kualitas tugas-tugas sekolah menurun, membolos, melarikan diri, keletihan berlebihan dan keluhan somatik, respon yang buruk terhadap pujian, ancaman bunuh diri yang terang-terangan secara verbal, dan membuang benda-benda yang didapat sebagai hadiah (Newman, 1999).
6. Gangguan penyalahgunaan zat.
Gangguan ini banyak terjadi; diperkirakan 32% remaja menderita gangguan penyalahgunaan zat (Johnson, 1997). Angka penggunaan alkohol atau zat terlarang lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding perempuan. Risiko terbesar mengalami gangguan ini terjadi pada mereka yang berusia antara 15 sampai 24 tahun. Pada remaja, perubahan penggunaan zat menjadi ketergantungan zat terjadi lebih cepat; misalnya, pada remaja penggunaan zat dapat berkembang menjadi ketergantungan zat dalam waktu 2 tahun sedangkan pada orang dewasa membutuhkan waktu antara 15 sampai 20 tahun.
Komorbiditas dengan gangguan psikiatrik lainnya merupakan hal yag banyak terjadi, termasuk gangguan mood, gangguan ansietas, dan gangguan perilaku disruptif.
Tanda bahaya penyalahgunaan zat pada remaja, diantaranya adalah penurunan fungsi sosial dan akademik, perubahan dari fungsi sebelumnya, seperti perilaku menjadi agresif atau menarik diri dari interaksi keluarga, perubahan kepribadian dan toleransi yang rendah terhadap frustasi, berhubungan dengan remaja lain yang juga menggunakan zat, menyembunyikan atau berbohong tentang penggunaan zat.
2.2.3 Etiologi Gangguan Psikiatrik pada Anak-anak dan Remaja
Tidak ada penyebab tunggal dalam gangguan mental pada anak-anak dan remaja. Berbagai situasi, termasuk faktor psikobiologik, dinamika keluarga, dan faktor lingkungan berkombinasi secara kompleks.

1. Faktor-faktor psikobiologik.
Faktor-faktor psikobilogik biasanya akibat :
Riwayat genetika keluarga, seperti retardasi mental, autisme, skizofrenia kanak-kanak, gangguan perilaku, gangguan bipolar, dan gangguan ansietas.
Abnormalitas struktur otak. Penelitian menemukan adanya abnormalitas struktur otak dan perubahan neurotransmitter pada pasien yang menderita autisme, skizofrenia kanak-kanak, dan ADHD.
Pengaruh pranatal, seperti infeksi maternal, kurangnya perawatanm pranatal, dan ibu yang menyalahgunakan zat, semuanya dapat menyebabkan abnormalitas perkembangan saraf yang berkaitan dengan gangguan jiwa. Trauma kelahiran yang berhubungan dengan berkurangnya suplai oksigen pada janin sangat signifikan dalam terjadinya retardasi mental dan gangguan perkembangan saraf lainnya.
Penyakit kronis atau kecacatan dapat menyebabkan kesulitan koping bagi anak.
2. Dinamika keluarga.
Dinamika keluarga yang tidak sehat dapat mengakibatkan perilaku menyimpang yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Penganiayaan anak. Anak yang terus-menerus dianiaya pada masa kanak-kanak awal, perkembangan otaknya kurang adekuat (terutama otak kiri). Penganiayaan dan efeknya pada perkembangan otak berkaitan dengan berbagai masalah psikologis, seperti depresi, masalah memori, kesulitan belajar, impulsivitas, dan kesulitan dalam membina hubungan (Glod, 1998).
Disfungsi sistem keluarga (mis., kurangnya sifat pengasuhan, komunikasi yang buruk, kurangnya batasan antar generasi, dan perasaan terjebak) disertai dengan keterampilan koping yang tidak adekuat antaranggota keluarga dan model peran yang buruk dari orang tua.
3. Faktor lingkungan.
Lingkungan dfan kehidupan sosial yang tidak menguntungkan akan menjadi penyebab utama pula, seperti :
Kemiskinan.
Perawatan pranatal yang tidak adekuat, nutrisi yang buruk, dan kurang terpenuhinya kebutuhan akibat pendapatan yang tidak mencukupi dapat memberi pengaruh buruk pada pertumbuhan dan perkembangan normal anak.
Tunawisma.
Anak-anak tunawisma memiliki berbagai kebutuhan kesehatan yang memengaruhi perkembangan emosi dan psikologi mereka. Berbagai penelitian menunjukkan adanya peningkatan angka penyakit ringan kanak-kanak, keterlambatan perkembangan dan masalah psikologis diantara anak tunawisma ini bila dibandingkan dengan sampel kontrol (Townsend, 1999).
Budaya keluarga.
Perilaku orang tua yang secara dramatis berbeda dengan budaya sekitar dapat mengakibatkan kurang diterimanya anak-anak oleh teman sebaya dan masalah psikologik..

3. Analisis dan Pembahasan.
3.1 Pengaruh Sifat Over Protektif terhadap penyimpangan anak dan remaja.
Seharusnya semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin rendah melakukan kenakalan. Sebab dengan pendidikan yang semakin tinggi, nalarnya semakin baik. Artinya mereka tahu aturan-aturan ataupun norma sosial mana yang seharusnya tidak boleh dilanggar. Atau mereka tahu rambu-rambu mana yang harus dihindari dan mana yang harus dikerjakan. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian.
Masngudin HMS, (2008) melakukanpenelitian dan kesimpulan yang diperoleh adalah Mereka yang tamat SLTA justru yang paling banyak melakukan tindak kenakalan 17 responden (56,7%) yang berarti separoh lebih, dengan terbanyak 12 responden (40%) melakukan kenakalan khusus, 2 responden (6,7%) melakukan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, dan 4 responden (13,3%) melakukan kenakalan biasa. Demikian juga mereka yang pendidikan terakhirnya SLTP, dari 12 responden, 11 responden (36,7%) melakukan kenakalan khusus.
Sedang mereka yang hanya tamat SD 1 responden juga melakukan kenakalan khusus. Dengan demikian maka tidak ada hubungan antara tingkatan pendidikan dengan kenakalan yang dilakukan, artinya semakin tinggi pendidikannya tidak bisa dijamin untuk tidak melakukan kenakalan. Artinya kenakalan remaja yang dilakukan bukan karena rendahnya tingkat pendidikan mereka, karena disemua tingkat pendidikan dari SD sampai dengan SLTA proporsi untuk melakukan kenakalan sama kesempatannya.
Dengan demikian faktor yang kuat adalah seperti yang disebutkan di atas, yaitu adanya waktu luang yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan positif, dan adanya pengaruh buruk dalam sosialisasi dengan teman bermainnya atau faktor lingkungan sosial yang besar pengaruhnya.
Keluarga dalam kerangka konsep telah diuraikan tentang keberfungsian sosial keluarga, diantaranya adalah kemampuan berfungsi sosial secara positif dan adaptif bagi keluarga yaitu jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan, dan fungsinya serta mampu memenuhi kebutuhannya.
Pekerjaan orangtua dapat dijadikan ukuran kemampuan ekonomi, guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini perlu diketahui karena dalam keberfungsian sosial, salah satunya adalah mampu memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan data yang ada mereka yang pekerjaan orangtuanya sebagai pegawai negeri 5 responden (16,7%), berdagang 4 responden (13,3%), buruh 5 responden (16,6%), tukang kayu 2 responden (6,7%), montir/sopir 6 responden (20%), wiraswasta 5 responden (16,6%), dan pensiunan 1 responden (3,3%).
Kecenderungan anak pegawai negeri walaupun melakukan kenakalan, namun pada tingkat kenakalan biasa. Lain halnya bagi mereka yang orang tuanya mempunyai pekerjaan dagang, buruh, montir/sopir, dan wiraswasta yang kecendrungannya melakukan kenakalan khusus. Hal ini berarti pekerjaan orang tua berhubungan dengan tingkat kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Keadaan yang demikian karena mungkin bagi pegawai negeri lebih memperhatikan anaknya untuk mencapai masa depan yang lebih baik, ataupun kedisiplinan yang diterapkan serta nilai-nilai yang disosisalisasikan lebih efektif. Sedang bagi mereka yang bukan pegawai negeri hanya sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga kurang ada perhatian pada sosialisasai penanaman nilai dan norma-norma sosial kepada anak-anaknya. Akibat dari semua itu maka anak-anaknya lebih tersosisalisasi oleh kelompoknya yang kurang mengarahkan pada kehidupan yang normative.
Banyak terdapat anak-anak remaja yang nakal datang dari keluarga yang tidak utuh, baik dilihat dari struktur keluarga maupun dalam interaksinya di keluarga. Dilihat dari keutuhan struktur keluarga, 21 responden (70%) dari keluarga utuh, dan 9 responden dari keluarga tidak utuh. Berdasarkan data pada tabel korelasi ternyata struktur keluarga ketidak utuhan struktur keluarga bukan jaminan bagi anaknya untuk melakukan kenakalan, terutama kenakalan khusus. Karena ternyata mereka yang berasal dari keluarga utuh justru lebih banyak yang melakukan kenakalan khusus.
Namun jika dilihat dari keutuhan dalam interaksi, terlihat jelas bahwa mereka yang melakukan kenakalan khusus berasal dari keluarga yang interaksinya kurang dan tidak serasi sebesar 76,6%. Perlu diketahui bahwa keluarga yang interaksinya serasi berjumlah 3 responden (10%), sedangkan yang interaksinya kurang serasi 14 responden (46,7%), dan yang tidak serasi 13 responden (43,3%). (Masngudin HMS, 2008)
Jadi ketidak berfungsian keluarga untuk menciptakan keserasian dalaam interaksi mempunyai kecenderungan anak remajanya melakukan kenakalan. Artinya semakin tidak serasi hubungan atau interaksi dalam keluarga tersebut tingkat kenakalan yang dilakukan semakin berat, yaitu pada kenakalan khusus. Hubungan antara kehidupan beragama keluarganya dengan tingkat kenakala pada
kehidupan beragama keluarga juga dijadikan salah satu ukuran untuk melihat keberfungsian sosial keluarga. Sebab dalam konsep keberfungsian juga dilihat dari segi rokhani. Sebab keluarga yang menjalankan kewajiban agama secara baik, berarti mereka akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang baik. Artinya secara teoritis bagi keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik, maka anak-anaknyapun akan melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan norma agama. Berdasarkan data yang ada mereka yang keluarganya taat beragama 6 responden (20%), kurang taat beragama 15 responden (50%), dan tidak taat beragama 9 responden (30%). Dari tabel korelasi diketahui 70% dari responden yang keluarganya kurang dan tidak taat beragama melakukan kenakalan khusus.
Dengan demikian ketaatan dan tidaknya beragama bagi keluarga sangat berhubungan dengan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Hal ini berarti bahwa bagi keluarga yang taat menjalankan kewajiban agamanya kecil kemungkinan anaknya melakukan kenakalan, baik kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan maupun kenakalan khusus, demikian juga sebaliknya.
Salah satu sebab kenakalan yang disebutkan pada kerangka konsep di atas adalah sikap orang tua dalam mendidik anaknya. Mereka yang orang tuanya otoriter sebanyak 5 responden (16,6%), overprotection 3 responden (10%), kurang memperhatikan 12 responden (40%), dan tidak memperhatikan sama sekali 10 responden (33,4%). Dari tabel korelasi diperoleh data seluruh responden yang orang tuanya tidak memperhatikan sama sekali melakukan kenakalan khusus dan yang kurang memperhatikan 11 dari 12 responden melakukan kenakalan khusus. Dari kenyataan tersebut ternyata peranan keluarga dalam pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan anak. (Masngudin HMS, 2008)
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, oleh karena itu mau tidak mau harus berhubungan dengan lengkungan sosialnya. Adapun yang diharapkan dari hubungan tersebut adalah serasi, karena keserasian akan menciptakan kenyamanan dan ketenteraman. Apabila hal itu dapat diciptakan, hal itu meruapakan proses sosialisasi yang baik bagi anak-anaknya. Mereka yang berhubungan serasi dengan lingkungan sosialnya berjumlah 8 responden (26,6%), kurang serasi 12 responden (40%), dan tidak serasi 10 responden (33,4%). Dari data yang ada terlihat bagi keluarga yang kurang dan tidak serasi hubungannya dengan tetangga atau lingkungan sosialnya mempunyai kecenderungan anaknya melakukan kenakalan pada tingkat yang lebih berat yaitu kenakalan khusus. Keadaan tersebut dapat dilihat dari 23 responden yang melakukan kenakalan khusus 19 responden dari dari keluarga yang interaksinya dengan tetangga kurang atau tidak serasi.
Pernah tidaknya responden ditahan dan dihukum hubungannya dengan keutuhan struktur dan interaksi keluarga, serta ketaatan keluarga dalam menjalankan kewajiban beragama. Data tentang responden yang pernah ditahan berjumlah 15 responden, dari jumlah tersebut 3 responden (20%) karena kasus perkelaian, masing-masing 1 responden (6,7%) karena kasus penegeroyokan dan pembunuhan, 5 responden (33,3%) karena kasus obat terlarang (narkotika) dan 8 responden (53,3%) karena kasus pencurian. (Masngudin HMS, 2008)
Sedangkan responden yang pernah dihukum penjara berjumlah 10 responden dengan rincian 7 responden karena kasus pencurian, masing-masing 1 responden karena ksus pengeroyokan, pembunuhan, dan narkotika. Adapun lamanya mereka dihukum antara 1 bulan-3 tahun, dengan rincian sebagai berikut 4 responden (40%) dihukum penjara selama 1 bulan, 3 responden (30%) dihukum 3 bulan, masing-masing 1 responden (10%) dihukum 7 bulan, 2 tahun, dan 3 tahun . Dari responden yang pernah ditahan dan di hukum semuanya dari keluarga yang struktur keluarganya utuh, tetapi interaksinya kurang dan tidak serasi. Hal ini menunjukkan bahwa masalah interaksi dalam keluarga merupakan sebab utama seorang remaja sampai ditahan dan dihukum penjara. Sedangkan dari sudut ketaatan dalam menjalankan kewajiban agam bagi keluarganya masih terdapat 1 responden yang pernah ditahan dan dihukum karena kasus pencurian. Artinya bahwa ketaatan beragama dari keluarganya belum menjamin anaknya bebas dari kenakalan dan ditahan serta dihukum.

sumber : (Masngudin HMS, 2008)