WeLCoMe To 1'st Dewi's Blog

WelCome...!!! To My 1'st blog!!!


pendidikan

pendidikan
sangat menyedihkan ya... pendidikan di negara kita...so.. jangan pernah menyia-nyiakan pendidikan yang kita dapat, karena masih banyak di luar sana yang kurang mendapat pendidikan yang layak. semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Kamis, 05 Maret 2009

Pemanfaatan Media Kaset Audio Instruksional Interaktif secara Terpadu dalam Kegiatan Pembelajaran di Sekolah Dasar (SD)

Oleh: Sudirman Siahaan

Setelah mengembangkan sistem penataran guru Sekolah dasar (SD) melalui siaran radio, Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (Pustekkom) mengembangkan program pembelajaran yang bersifat interaktif melalui media kaset audio untuk siswa SD pada tahun 1991. Sekalipun program ini dirancang untuk dimanfaatkan guru secara terpadu di dalam kegiatan pembelajaran di kelas, namun apabila dikehendaki atau dibutuhkan, maka program ini dapat juga dimanfaatkan secara individual atau dalam kelompok-kelompok kecil.

Sasaran program media audio instruksional interaktif (MAII) ini adalah siswa kelas IV, V, dan VI SD. Mata pelajaran yang dicakup di dalam program ini adalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Matematika, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan Bahasa Indonesia. Setiap topik program dilengkapi dengan Lembar Kerja Siswa (LKS) dan Petunjuk Pemanfaatan (Jukfat). Program media audio instruksional interaktif (MAII) ini dirancang dengan melibatkan (1) para guru SD, (2) tenaga edukatif dari perguruan tinggi dengan latar belakang disiplin yang relevan, (3) ahli pengembang media, dan (4) penulis naskah media kaset audio.

Dikatakan interaktif karena selama memanfaatkan program ini, siswa secara (1) klasikal di bawah bimbingan guru di kelas, (2) kelompok atau (3) individual dituntut untuk berinteraksi dengan program. Bentuk interaksi siswa dapat berupa (1) pemberian respons secara verbal terhadap soal-soal latihan yang diberikan program, (2) melakukan kegiatan fisik, misalnya menuliskan respons, menggerakkan anggota badan (fisik) maupun melakukan/mendemonstrasikan tugas-tugas tertentu yang dituntun langsung oleh program.

Salah satu pertimbangan dalam pengembangan program media audio instruksional interaktif ini adalah menciptakan kegiatan belajar-mengajar yang menyenangkan (misalnya melalui penggunaan musik, mendengarkan suara teman sebaya siswa di dalam program, mengkondisikan siswa untuk tetap aktif melakukan aktivitas belajar). Pertimbangan lainnya pada waktu itu adalah bahwa peralatan yang dibutuhkan guru atau siswa untuk memanfaatkan program ini tidak terlalu sulit mendapatkannya karena pada umumnya masyarakat telah memilikinya. Demikian juga dengan cara-cara memanfaatkannya, tidak membutuhkan adanya penguasaan keterampilan tertentu.

Agar siswa mempunyai waktu yang memadai untuk melakukan berbagai perintah yang disampaikan oleh program, maka disediakan tempo (jeda) di dalam program yang membutuhkan adanya aktivitas siswa. Selama siswa melakukan perintah yang diberikan program (disesuaikan dengan perkiraan waktu yang dibutuhkan siswa mengerjakan perintah), media kaset audio akan mendengarkan musik instrumentalia yang familiar dengan siswa. Diharapkan dengan adanya penggunaan musik, baik pada awal program, maupun selama siswa mengerjakan tugas-tugas latihan (musik penyeling), maka motivasi belajar para siswa akan dapat terus ditingkatkan. Dengan kegiatan belajar yang menyenangkan dan sekaligus meningkatkan motivasi belajar, maka pada akhirnya prestasi belajar siswa juga diharapkan dapat meningkat.

Faktor-faktor yang digunakan sebagai pertimbangan dalam mengikutsertakan beberapa jenis tenaga dalam pengembangan program MAII adalah karena (1) guru SD merupakan sumber informasi mengenai berbagai permasalahan kegiatan pembelajaran di SD, kebutuhan akan cara-cara mengajarkan materi pelajaran tertentu yang sulit, atau tentang materi pelajaran yang relatif sulit dipahami siswa yang dapat dijadikan sebagai fokus materi pelajaran yang akan dibahas, (2) tenaga edukatif dari perguruan tinggi dengan latar belakang disiplin yang relevan berfungsi untuk mereviu materi pelajaran yang dirancang di dalam program MAII sehingga senantiasa mengikuti perkembangan disiplin keilmuan, (3) ahli pengembang media berfungsi untuk mengkaji kesesuaian materi yang akan dikemas dengan karakteristik dan potensi media kaset audio.tidak, (4) penulis naskah media kaset audio berfungsi untuk menuliskan konsep naskah program media yang didasarkan pada informasi yang diberikan guru dan yang diperoleh melalui cara lain.

Pemanfaatan MAII dirintis pada tahun 1991 di 12 propinsi dengan melibatkan 5 SD di setiap propinsi. Pemilihan SD yang akan dijadikan sebagai tempat perintisan pemanfaatan MAII dilakukan melalui dan penentuan kelima SD di setiap propinsi untuk berperanserta dalam kegiatan perintisan pemanfaatan MAII studi kelayakan lokasi. Selanjutnya, berdasarkan hasil studi kelayakan inilah ditetapkan ke-60 SD yang akan diikutsertakan dalam kegiatan perintisan pemanfaatan MAII.

Tindak lanjut setelah studi kelayakan lokasi adalah pelaksanaan orientasi pemanfaatan MAII di masing-masing propinsi oleh staf Pustekkom. Perangkat program MAII yang akan dimanfaatkan di setiap SD dibawa dan diserahkan oleh staf Pustekkom kepada masing-masing Kepala SD pada saat pelaksanaan kegiatan orientasi. Kegiatan apa saja yang dilakukan selama masa orientasi?

Peserta kegiatan orientasi adalah semua guru kelas IV, V, VI dan Kepala SD yang telah terpilih di setiap propinsi (5 SD), staf dari Sanggar Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (Sanggar Tekkom yang sekarang telah mengalami perubahan menjadi Balai Tekkom), dan staf Pustekkom. Kegiatan orientasi pada umumnya dibuka oleh pejabat dari Kantor wilayah Departemen Pendidikan setempat. Berbagai penjelasan yang berkaitan dengan rencana pemanfaatan MAII disampaikan oleh staf Pustekkom.

Pada saat orientasi inilah para guru dan Kepala SD bersama staf Pustekkom dan Sanggar Tekkom membahas berbagai informasi yang berkaitan dengan perencanaan pemanfaatan MAII, misalnya guru harus mempelajari masing-masing program dan petunjuk pemanfaatannya, merencanakan atau menjadwalkan kapan dan pada pertemuan ke berapa masing-masing program MAII akan dimanfaatkan di dalam kelas. Kemudian, dijelaskan juga tentang tata cara atau prosedur pemanfaatan MAII di dalam kelas, dan mekanisme pelaporan pemanfaatan MAII. Setelah semuanya jelas, barulah staf Pustekkom memilih salah satu program MAII untuk dimulasikan pemanfaatannya di dalam kelas dengan melibatkan guru kelas sebagai pengamat. Tetapi pada saat yang bersamaan, masing-masing guru kelas diberi kesempatan untuk mempelajari keseluruhan program MAII yang akan dimanfaatkan di kelas yang relevan di sekolahnya.

Setelah mengikuti kegiatan orientasi dan simulasi, maka wakil dari guru kelas IV, V, dan VI diberi kesempatan untuk melakukan simulasi di kelas dengan melibatkan staf Pustekkom sebagai pengamat. Segera setelah guru selesai melakukan simulasi, dilakukanlah diskusi antara staf Pustekkom dengan para guru untuk mengevaluasi pelaksanaan simulasi sehingga guru yang akan mengelola pemanfaatan MAII memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai bagaimana sebaiknya MAII dimanfaatkan di dalam kelas.

Secara berkala dilakukan monitoring dan pembinaan pemanfaatan MAII secara langsung ke semua SD yang menjadi lokasi perintisan. Beberapa catatan yang dapat dikemukakan dari hasil monitoring dan pembinaan adalah para siswa (1) tertarik dan termotivasi untuk belajar karena mereka didorong untuk aktif memberikan respons, baik terhadap pertanyaan maupun tugas yang disampaikan oleh program, (2) merasa tidak bosan belajar karena materi pelajaran yang disajikan dinilai menarik dan adanya musik, (3) lebih mantap pemahamannya karena materi pelajaran yang disajikan melalui MAII sangat menarik, dan (4) meningkat prestasi belajarnya setelah secara teratur memanfaatkan MAII.

Sedangkan dari sisi guru dikemukakan bahwa kegiatan belajar melalui MAII (1) menjadi lebih menarik, lebih hidup dan para siswa semakin lebih antusias untuk belajar, (2) memberikan wawasan guru yang lebih luas danmendalam mengenai materi pelajaran, (3) mendorong guru untuk mengembangkan cara penyajian materi pelajaran yang lebih menarik dan variatif sebagaimana yang dicontohkan di dalam program MAII, dan (4) memiliki kebanggaan karena prestasi belajar para siswanya meningkat.

Beberapa hambatan yang terjadi selama perintisan pemanfaatan program MAII adalah (1) kurangnya supervisi terhadap pemanfaatan MAII oleh pengawas, (2) penggunaan batere untuk pemutar media kaset audio dinilai agak memberatkan sekolah karena sumber tenaga listrik belum masuk ke sekolah, (3) pergantian atau mutasi Kepala SD dan guru yang dinilai relatif cepat, dan (4) guru atau Kepala SD yang dimutasikan tidak menyampaikan/menjelaskan pengelolaan pemanfaatan MAII kepada penggantinya sehingga kegiatan pembelajaran melalui MAII tidak berlanjut.

Memperhatikan dampak dari pemanfaatan program MAII, baik terhadap siswa maupun guru, dan beberapa kendala/hambatan yang dihadapi, maka seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat dewasa ini, sebaiknya program MAII perlu dikaji ulang untuk lebih ditingkatkan lagi agar semakin banyak sekolah pada umumnya dan para siswa pada khususnya yang merasakan manfaatnya.


Sumber : http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=86
Pemanfaatan Program Siaran Radio untuk Kepentingan Pendidikan dan Pelatihan Guru Sekolah Dasar (SD)

Oleh: Sudirman Siahaan

Kegiatan awal yang menjadi cikal-bakal berdirinya Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom)-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan adalah pengembangan dan pemanfaatan program siaran radio untuk pendidikan dan pelatihan guru-guru Sekolah Dasar (SD). Program ini lebih dikenal dengan nama Diklat SRP. Sebelum Pustekkom lahir, Deputi Bidang Media Pendidikan pada Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yusufhadi Miarso, memimpin satu tim atau satuan tugas yang diberi tugas khusus untuk mengelola pengembangan dan pemanfaatan teknologi komunikasi bagi kepentingan pendidikan dan kebudayaan.

Tim atau Satgas yang dipimpin oleh Deputi Bidang Media Pendidikan-Balitbang Depdikbud bernama Satgas Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Satgas TKPK) beranggotakan di antaranya: Drs. Paul Soerono dan Drs. Sinwari Natakusumah. Jumlah keanggotaan Satgas ini terus meningkat sampai dengan akhirnya berdirilah suatu lembaga yang secara khusus menangani pengembangan dan pemanfaatan teknologi komunikasi untuk kepentingan pembangunan pendidikan dan kebudayaan. Lembaga inilah yang selanjutnya bernama Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom). Karena kekhususannya, maka Pustekkom pada awalnya berada langsung di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Di samping menyosialisasikan peranan dan pentingnya teknologi komunikasi untuk pembangunan pendidikan dan kebudayaan ke berbagai perguruan tinggi dan instansi kependidikan lainnya, tim atau satgas TKPK mendatangkan tenaga ahli untuk (1) melakukan kegiatan penelitian (pre-investment study) dan (2) memberikan pelatihan (in-country training) terutama di bidang pengembangan dan produksi program siaran radio untuk pendidikan sekolah dan luar sekolah. Beberapa tenaga Indonesia juga dikirimkan ke luar negeri untuk mengikuti pelatihan dan seminar.

Yang menjadi dasar pemanfaatan Siaran Radio untuk pendidikan adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh LHS Emerson melalui bantuan dana UNESCO pada tahun 1968. Salah satu hasil dari penelitian LHS Emerson tentang ”Education in Indonesia: Diagnosis of the Present Situation with Identification of Priorities Development” adalah mengenai prioritas untuk pemanfaatan teknologi komunikasi, khususnya radio dan televisi, untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan. Hasil penelitian LHS Emerson ini diperkuat lagi oleh serangkaian pengkajian terhadap kemungkinan pemanfaatan teknologi komunikasi untuk kepentingan pembangunan pendidikan.

Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian dan kajian tersebut di atas, maka pada tahun 1976, dimulailah perintisan penyelenggaraan siaran radio untuk penataran guru-guru SD di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kedua daerah ini disebut juga sebagai daerah persemaian penyelenggaraan siaran radio untuk penataran guru-guru SD. Naskah program siaran dipersiapkan oleh suatu tim yang di dalamnya terdiri atas guru (yang telah dilatih di bidang penulisan naskah siaran radio), tenaga edukatif perguruan tinggi yang latar belakangnya sesuai dengan materi disipilin ilmu yang akan dikembangkan, dan tenaga ahli yang berasal dari RRI dan non-RRI.

Setahun kemudian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Syarif Thayeb, meresmikan penataran guru-guru SD melalui Siaran Radio Pendidikan (SRP) untuk 11 propinsi. Kegiatan penataran guru-guru SD ini lebih dikenal dengan Diklat SRP Guru SD. Dikemukakan bahwa tujuan dari penyelenggaraan Diklat SRP Guru SD adalah menunjang pelaksanaan pembangunan pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan dasar dengan mengintegrasikan penerapan media dan teknologi komunikasi secara terencana dan terarah sebagai suatu sub sistem dalam pendidikan dasar.

Pada awal peresmiannya, sasaran program Diklat SRP Guru SD adalah para guru dan calon guru SD yang berada di daerah-daerah yang terpencil dan sulit, khususnya Irian Jaya (sekarang Papua), Maluku, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat. Derah persemaian D. I. Yogyakarta dan Jawa Tengah terus dijadikan sebagai lokasi penyelenggaraan Diklat SRP Guru SD.

Dari dokumen yang ada dikemukakan bahwa penyelenggaraan Diklat SRP Guru SD adalah untuk menunjang kegiatan penataran guru-guru SD yang dilaksanakan secara tatap muka dan berjenjang. Penataran secara tatap muka dan berjenjang ini tidak dapat menjangkau para guru SD yang berada di daerah yang terpencil dan sulit. Untuk mengikuti Diklat SRP Guru SD ini, para guru dianjurkan untuk membentuk kelompok-kelompok belajar. Masing-masing kelompok belajar memilih Ketua, Sekretaris dan anggotanya. Setiap kelompok belajar diwajibkan memberikan laporan pelaksanaan pemanfaatannya kepada Satuan Tugas Pelaksana Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan Daerah (SPTD) dengan tembusan kepada Satuan Tugas Pelaksana Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan Nasional (SPTN).

Perkembangan lebih lanjut adalah pelembagaan, baik terhadap SPTN yang dilembagakan menjadi Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom) dan SPTD menjadi Sanggar. Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Sanggar Tekkom). Untuk membantu memudahkan para guru SD memanfaatkan program Diklat SRP Guru SD, maka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Pustekkom membagikan pesawat radio yang dilengkapi dengan pemutar kaset audio kepada semua kelompok belajar Diklat SRP Guru SD yang tersebar di 11 propinsi.

Program Diklat SRP Guru SD disiarkan oleh 23 stasiun Radio Republik Indonesia (RRI), 17 Radio Pemerintah Daerah (RPD), dan 4 stasiun radio swasta niaga. Penyiaran program Diklat SRP Guru SD didasarkan atas perjanjian kerjasama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Departemen Penerangan. Untuk membantu para guru memanfaatkan program Diklat SRP Guru SD, maka Pustekkom mengembangkan bahan penyerta tercetak dan didistribusikan ke semua Kelompok Belajar.

Master program siaran dikembangkan oleh Pustekkom melalui Studio Audio Pendidikan yang ada di Jakarta, Balai Produksi Media Radio (BPMR) yang terdapat di Yogyakarta dan Semarang. Sedangkan penggandaannya diserahkan kepada PT Lokananta Solo (BUMN Departemen Penerangan). Program yangtelah digandakan didistribusikan Pustekkom ke semua stasiun radio yang berperanserta dalam menyiarkan program Diklat SRP Guru SD. Setiap tahunnya dikembangkan dan disiarkan sekitar 312 program.

Sebagai ilustrasi, berdasarkan dokumen yang diterbitkan Pustekkom, bahwa pada tahun 1978 terdapat 70.000 orang guru yang bergabung di dalam Kelompok Belajar Diklat SRP Guru SD. Jumlah peserta Diklat SRP Guru SD berkembang menjadi 90.000 guru SD pada tahun 1981. Pada tahun anggaran 1984/1985, program Diklat SRP Guru SD diperluas ke 3 propinsi lainnya sehingga keseluruhan jumlah propinsi yang berperanserta dalam penyelenggaraan Diklat SRP Guru SD adalah 14 propinsi. Dengan bertambahnya wilayah penyelenggaraan, maka jumlah guru SD yang berperanserta dalam Diklat SRP Guru SD juga meningkat yaitu menjadi 134.000 guru SD.

Sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan, maka dilakukan berbagai penyesuaian sehingga dikembangkanlah sebuah program baru yaitu program Penyetaraan Diploma II Siaran Pendidikan (atau lebih dikenal dengan nama D-II SP). Program D-II SP ini diselenggarakan melalui kerjasama dengan Universitas Terbuka (UT). Namun bagi para guru SD yang di daerahnya masih terus menyiarkan program Diklat SRP Guru SD, maka keberhasilan mereka mengikuti program Diklat SRP Guru SD diakui angka kreditnya untuk mengikuti program penyetaraan Diploma-II UT.

Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka penyelenggaraan Diklat SRP Guru SD sangat tergantung pada kebijakan masing-masing Dinas Pendidikan setempat. Sebagian besar propinsi yang semula berperanserta dalam penyelenggaraan Diklat SRP Guru SD telah mengambil keputusan untuk menghentikan kegiatan Diklat SRP Guru SD. Bagi propinsi yang mempunyai Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Tekkkom disarankan untuk mengkaji kembali kemungkinan pemanfaatan siaran radio untuk menunjang pembangunan pendidikan di wilayahnya.

Sumber : http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=87
Orientasi Singkat mengenai Pembelajaran Rangkap Kelas di SD (Multigrade Teaching)

Oleh: Sudirman Siahaan

Dari berbagai literatur dapatlah diketahui dan juga dikatakan bahwa negara-negara yang menerapkan model “Pembelajaran Rangkap Kelas (PRK)” tidak hanya terbatas di kalangan negara-negara yang sedang berkembang saja. Ternyata negara-negara maju juga ikut menerapkan model PRK karena memang menjadi kebutuhan. Beberapa di antara negara maju yang menerapkan model PRK adalah Amerika Serikat, Australia, Finlandia, Inggris, Jepang, Jerman, dan Kanada. Penerapan model PRK pada umumnya lebih banyak dilakukan pada satuan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Jika demikian ini keadaannya, maka itu berarti bahwa banyak satuan pendidikan SD yang dikelola oleh jumlah guru yang sangat terbatas atau bahkan dikelola oleh hanya seorang guru (one-teacher school).
Ada beberapa model atau pola pembelajaran yang dapat dikembangkan dalam PRK tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing daerah. Setidak-tidaknya, ada 5 model/pola PRK menurut Anwas M. Oos, yaitu: (1) seorang guru menghadapi siswa yang berada pada dua ruangan untuk dua tingkatan kelas yang berbeda, (2) seorang guru menghadapi siswa dalam tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam dua ruangan kelas, (3) seorang guru menghadapi dua tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan, (4) seorang guru menghadapi tiga tingkatan kelas yang berbeda pada dua ruangan kelas, dan (5) seorang guru menghadapi tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan kelas.
Di dalam proses belajar-mengajar model PRK yang dilaksanakan, para peserta didik dikondisikan sedemikian rupa agar mereka senantiasa aktif belajar dan khususnya belajar mandiri (independent learning), baik secara perseorangan maupun kelompok, tanpa harus sepenuhnya tergantung pada guru.

Salah satu pendekatan dalam PRK dan yang sekaligus juga merupakan karakteristik utama adalah adanya pemisahan atau segregasi. Guru membuat pemisahan yang jelas antara setiap tingkatan, setiap mata pelajaran, setiap kelompok anak yang berada di dalam kelas. Anak-anak yang termasuk ke dalam satu tingkatan diorganisasikan untuk berada dalam satu kelompok tersendiri. Sebagai contoh: anak-anak dari tingkatan/kelas 1 dan 2 duduk bersama membentuk satu kelompok. Demikian juga dengan anak-anak kelas 3 dan 4. Kemudian, guru akan mencoba menjelaskan satu mata pelajaran kepada masing-masing kelompok secara bergantian. Artinya, akan ada pelajaran matematika untuk kelas 4 dan pelajaran matematika untuk kelas 5 dan demikian selanjutnya.

Konsep PRK mengandung beberapa kriteria, yaitu: (a) adanya penggabungan siswa yang berasal dari 2 atau lebih tingkatan, (b) seorang guru ditugaskan untuk membelajarkan para siswa gabungan yang terdiri dari beberapa tingkatan, (c) seorang guru melaksanakan tugas-tugas mengajarnya kepada para siswa gabungan secara serempak, dan (d) siswa secara individual maupun di dalam kelompok (tingkatan) tetap dikondisikan oleh guru untuk tetap aktif belajar sekalipun guru sedang memberikan bimbingan kepada siswa tingkatan tertentu.
Prosentase jumlah SD yang menerapkan model PRK (terutama “Sekolah Satu Guru”) di beberapa negara adalah: (a) Peru (40%), (b) Northern Territory of Australia (40%), (c) Swedia (35%), (d) Zambia (26%), dan (e) Perancis (22%) (Little, 1995).

Pada sekolah yang menerapkan PRK, para guru mengajar 2 atau lebih tingkatan pada satu kelas. Pemerintah di beberapa negara mempromosikan sekolah-sekolah PRK untuk para peserta didik yang tinggal di daerah-daerah pedesaan dan terpencil dengan jumlah penduduknya yang jarang dan kurang beruntung (disadvantaged). Dengan menghadirkan/mendatangkan sekolah ke lingkungan anak-anak, maka Pemerintah mencoba mencari terobosan untuk (1) mengurangi kesenjangan pendidikan antara anak-anak di daerah perkotaan dan pedesaan serta (2) memberikan layanan pendidikan yang dapat diakses dengan mudah oleh anak-anak usia sekolah dalam rangka pelaksanaan Pendidikan Dasar Universal. Para guru yang akan ditempatkan pada sekolah-sekolah ragam kelas dibekali dengan pelatihan tentang cara-cara mengajarkan materi pelajaran yang berbeda kepada peserta didik yang berbeda namun berada pada satu kelas.

Model Sekolah Dasar yang menerapkan PRK di Jepang hanya diperkenankan untuk menggabungkan 2 tingkatan ke dalam satu kelas. Penggabungan 2 tingkatan ini dinilai masih relatif lebih mudah untuk dikelola oleh seorang guru. Kondisinya akan jauh lebih sulit lagi apabila Sekolah Dasar hanya dikelola oleh satu orang guru atau disebut dengan istilah “Sekolah Satu Guru” (one-teacher schools). Artinya, guru yang ada melaksanakan berbagai tugas, tidak hanya yang bersifat akademik atau pembelajaran tetapi juga yang sifatnya administratif.

Sehubungan dengan kebijakan pemerintah Jepang yang hanya memperkenankan penggabungan 2 tingkatan ke dalam satu kelas, maka untuk kepentingan kegiatan pembelajaran, dikemukakan oleh Takako Suzuki bahwa pemerintah mengembangkan kurikulum khusus yang siklusnya 2 tahunan yang didasarkan pada kebijakan kurikulum nasional yang bersifat umum. Pengembangan kurikulum yang akan digunakan oleh guru yang mengajar di kelas-kelas ragam tingkatan ini disesuaikan juga dengan kondisi lokal.

Sekalipun telah dibekali dengan kurikulum khusus yang dikembangkan untuk kepentingan pembelajaran siswa pada kelas gabungan, namun dikemukakan oleh Takaku Suzuki bahwa para guru masih belum mengubah strategi kegiatan belajar-mengajarnya. Mereka masih menerapkan strategi belajar-mengajar untuk kelas yang hanya satu tingkat (Suzuki, 2004).
Sedangkan di Vietnam, ukuran kelas pada SD yang menerapkan PRK hanya dapat menampung sekitar 20 anak. Seorang guru memberikan pelajaran yang berbeda pada waktu yang sama kepada peserta didik yang terdiri atas beberapa tingkatan yang berbeda. Sebagai contoh, ada satu kelas yang ditempati oleh 13 anak (3 wanita dan 10 pria) yang berasal dari 2 tingkatan/kelas dan di antara siswa ini hanya seorang anak yang berbeda tingkat/kelasnya. Pekerjaan ekstra yang diemban oleh para guru yang mengajar di sekolah ragam kelas/tingkatan mendapat tambahan gaji 50% jika hanya menangani 2 tingkatan peserta didik dan tambahan 75% bagi para guru yang bertanggungjawab atas 3 atau lebih tingkatan peserta didik (Pridmore, 2004).

Banyak model pembelajaran ragam kelas/tingkatan di Vietnam. Seorang guru dapat saja bertanggungjawab untuk membina 2 sampai 5 kelas yang berbeda. Sejauh ini, sekolah-sekolah ragam kelas/tingkatan menyebar luas di daerah-daerah etnis minoritas. Tujuannya adalah untuk menyediakan pendidikan dasar kepada anak-anak yang kurang beruntung dengan cara menghadirkan sekolah mendekat kepada masyarakat di tempat anak-anak tinggal. Ada sekitar 2.162 SD yang menerapkan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan, atau sekitar 1,8% dari jumlah keseluruhan SD dengan jumlah peserta didik sekitar 143.693 anak atau sekitar 38% dari jumlah populasi usia sekolah (Vu, 2004).
Menurut Patricia Ames, Peru memiliki sekitar 21.500 SD yang menerapkan model PRK di mana sekitar 96% di antaranya terdapat di daerah-daerah pedesaan. Jumlah guru yang ditugaskan pada sekolah-sekolah ragam kelas/tingkatan ini sekitar 41.000 orang atau mewakili sekitar 69% dari total jumlah guru. Sebagian besar sekolah (89%) yang berada di pinggiran kota di Peru menerapkan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan. Khusus mengenai “Sekolah Satu Guru”, menurut Tovar yang dikutip Patricia Ames mengemukakan bahwa di Peru terdapat sekitar 39% dan tersebar di daerah-daerah pedesaan (Ames, 1989).

Karakteristik yang sangat penting untuk dikemukakan yang mempengaruhi situasi pendidikan di Peru menurut Patrcia Ames adalah (a) persebaran dan keterpencilan populasi (dispersion and isolation) di pedesaan; (b) kemiskinan desa (60% penduduk yang tinggal di pedesaan adalah miskin dan 37% hidup pada suatu situasi yang sangat miskin; (c) ekonomi keluarga yang menuntut anak-anak anggota keluarga untuk bekerja; (d) perbedaan ragam budaya dan bahasa yang digunakan; dan (e) anak-anak di daerah pedesaan terlambat mengikuti pendidikan sekolah, tingkat mengulang kelas (repetition rate) yang tinggi dan seringnya terjadi gangguan tidak bersekolah. Kesemuanya ini semakin mewarnai variasi kelas-kelas ragam tingkatan (Ames, 2004).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bray mengenai Sekolah Dasar Kecil (Small Primary Schools) di Kalimantan Tengah dikemukakan bahwa terdapat 460 SD yang dikelola oleh 1 sampai dengan 3 orang guru (Bray, 1987). Bahan-bahan belajar yang digunakan oleh siswa dirancang secara khusus sehingga dapat dipelajari secara mandiri oleh siswa. Salah satu peluang yang terbuka dari ketersediaan bahan-bahan belajar yang bersifat mandiri adalah memungkinkan para sukarelawan orang dewasa untuk dapat membantu para siswa melakukan kegiatan pembelajarannya. Konsep Sekolah Dasar Kecil di berbagai literatur diidentikkan dengan sekolah dasar yang menerapkan model pembelajaran ragam kelas/ tingkatan.

Sedangkan berdasarkan data yang disajikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional tahun 1990 terdapat sekitar 12.000 SD yang dikelola oleh guru yang harus mengajar lebih dari satu kelas (BALITBANG DEPDIKNAS, 1990). Beberapa faktor yang menyebabkan Sekolah Dasar menerapkan Pembelajaran ragam kelas/tingkatan antara lain adalah: (1) kekurangan guru, (2) keterbatasan ruang kelas yang tersedia di SD, dan (3) kondisi geografis yang sulit transportasi (PUSTEKKOM, 2002).

Untuk membantu para guru yang mengajar di SD dengan model “pembelajaran ragam kelas/tingkatan”, maka Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (PUSTEKKOM) telah melakukan perintisan pemanfaatan program audio interaktif di 10 SD yang tersebar di 10 propinsi pada tahun 2001 (PUSTEKKOM, 2002). Program audio interaktif ini mencakup mata pelajaran: (1) bahasa Indonesia, (2) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), (3) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), (4) Matematika, dan (5) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Program ini dapat dimanfaatkan siswa tanpa harus sepenuhnya dibimbing oleh guru. Sekalipun demikian, guru dituntut untuk memberikan penjelasan dan petunjuk kepada para siswa sebelum program dimanfaatkan.
Selanjutnya, Paula Rogers mengemukakan beberapa keuntungan yang diperoleh siswa yang belajar pada sekolah yang menerapkan PRK, yaitu: (a) bantuan dari sesama para siswa tidak saja hanya menguntungkan para siswa dari kelas yang lebih rendah tetapi juga para siswa dari di kelas yang lebih tinggi (kerjasama yang saling menguntungkan), (b) para siswa terkondisi untuk belajar secara independen karena para gurunya mendidik mereka untuk mengembangkan sikap independen dan efisien dalam belajar, (c) berkembangnya perasaan bangga di dalam diri para siswa karena mereka merasa lebih puas sekalipun sedikit mengalami friksi dalam kegiatan belajarnya dibandingkan para siswa sekelas yang hanya terdiri atas satu tingkatan (Rogers, 2002).

Sedangkan manfaat atau dampak PRK yang bersifat non-kognitif berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNESCO/APEID di 12 negara di kawasan Asia Pasifik sebagaimana yang dikutip oleh Angela Little adalah sebagai berikut:
a. Peserta didik mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan (a) kebiasaan bekerja secara independen dan (b) keterampilan belajar sendiri.
b. Kerjasama kelompok di antara para siswa yang berbeda usia dan tingkatan mempunyai kecenderungan berkembangnya etika, kepedulian dan tanggungjawab kelompok.
c. Peserta didik mengembangkan sikap positif tentang saling membantu satu sama lain.
d. Kegiatan-kegiatan belajar remedial dan pengayaan dapat ditata menjadi lebih produktif dibandingkan di kelas-kelas normal yang biasa (Little, 1995).

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada sekolah-sekolah yang menerapkan PRK, dikemukakan oleh para guru yang menjadi responden bahwa dibutuhkan beberapa sikap dan kualitas yang penting dimilki oleh para guru yang akan berperanserta dalam pelaksanaan PRK, yaitu:
a. mempunyai dedikasi yang sangat tinggi, dan bersedia bekerja keras di luar jam-jam pelajaran sekolah;
b. mempunyai kepedulian yang tinggi demi kesejahteraan para siswanya;
c. mempunyai kesediaan untuk memberikan lebih banyak pilihan dan keleluasaan kepada para siswanya; dan
d. mempunyai kesediaan untuk melakukan eksperimen, mencoba berbagai gagasan baru, dan berani menghadapi berbagai resiko (Mulcahy, 1992).

Ada 4 bidang kritis tentang perubahan yang harus difokuskan agar upaya pengembangan sekolah-sekolah dasar yang menerapkan PRK dapat berhasil, yaitu:
a. guru perlu mengembangkan seperangkat bekal teknik-teknik mengajar dan praktek-praktek pengelolaan kelas;
b. guru membutuhkan berbagai masukan, baik yang bersifat materi maupun fisik, di antaranya yang sangat penting adalah bahan-bahan belajar terprogram (programmed learning materials) dan buku-buku teks (textbooks).
c. guru membutuhkan jaringan dukungan professional, baik yang bersifat lokal maupun yang lingkupnya lebih luas;
d. adanya kebijakan nasional yang berkaitan dengan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan misalnya: pelatihan para guru dan administrator, pengadaan guru dan pengembangannya, dan pengembangan bahan belajar yang di rancang dan di kembangkanuntuk pembelajaran ragam kelas/tingkatan.

Beberapa kesulitan/masalah yang dihadapi oleh sekolah-sekolah yang menerapkan PRK sebagaimana yang dikemukakan oleh Angela Little, antara lain adalah:
a. tidak adanya pelatihan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan/membekali para guru yang ditugaskan mengajar di sekolah-sekolah dasar yang menerapkan “pembelajaran pada kelas ragam kelas/tingkatan”. Dengan tidak adanya pelatihan pembekalan ini, maka para guru hanya mengandalkan pengalaman sebelumnya yang telah dimiliki untuk mengelola kegiatan pembelajaran di samping tentunya inisiatif atau prakarsa yang dikembangkan oleh para guru itu sendiri.
b. adanya sementara persepsi yang kurang pas mengenai sekolah-sekolah dasar yang menerapkan kegiatan pembelajaran ragam kelas/tingkatan. Persepsi yang kurang pas itu adalah bahwa “Sekolah Satu Guru” atau “Sekolah Dua Guru” yang berlokasi di daerah-daerah pedesaan dan yang terpencil sebagai sekolah-sekolah yang berprestise sangat rendah sehingga kebanyakan para guru yang ditempatkan adalah mereka yang berkualifikasi rendah atau yang tidak mempunyai kualifikasi mengajar.
c. keterbatasan berbagai sumber belajar untuk menunjang pelaksanaan kegiatan pembelajaran, terutama yang berupa buku-buku teks, bahan-bahan belajar lainnya, dan alat bantu mengajar. Kondisi guru yang kebanyakan berkualifikasi rendah, jumlah guru dan sumber belajar yang terbatas akan menjadi masalah yang serius bagi guru untuk membelajarkan para siswa (Little, 1995).

Berkaitan dengan keterbatasan sumber-sumber belajar, Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (PUSTEKKOM) telah mengembangkan bahan-bahan belajar yang dapat digunakan untuk Sekolah PRK. Bahan-bahan belajar ini berupa program audio interaktif yang pengembangannya didasarkan pada kurikulum SD yang berlaku dan mencakup mata pelajaran bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Matematika, dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Sejauh ini, perintisan pemanfaatan program audio interaktif telah dilakukan di 10 SD yang tersebar di 10 propinsi. Tujuannya adalah untuk membantu para guru membelajarkan para siswanya.
Pada umumnya, model SD dengan 1 orang guru atau antara 1 sampai dengan 3 orang guru, banyak ditemukan di daerah-daerah pedesaan (rural areas), baik di negara-negara yang sedang berkembang maupun di negara-negara maju. Ada beberapa alasan untuk menyelenggarakan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan, misalnya: keterbatasan jumlah anak-anak usia sekolah, keterbatasan jumlah guru yang ada, keterbatasan ruang kelas yang ada di sekolah, dan keadaan geografis yang sulit untuk mobilisasi penduduk. Beberapa di antara negara yang menerapkan “pembelajaran ragam kelas/tingkatan” adalah: Amerika Serikat, Australia, Cina, Finlandia, Indonesia, Inggris, Jepang, Jerman, Kanada, Nepal, Peru, Sri Lanka, Spanyol, Thailand, Turki, Vietnam, dan Yunani. Berkaitan dengan pembelajaran ragam kelas/tingkatan ini, ada beberapa istilah yang digunakan, misalnya: pembelajaran ragam usia (multiage teaching), kelas ragam usia (multiage classrooms), sekolah dasar kecil (small primary schools), dan kelas beda tingkatan (split-grade classrooms).
Pembelajaran ragam kelas/tingkatan diartikan sebagai kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru kepada sekelompok siswa yang terdiri atas beberapa kelas/tingkatan atau usia dalam waktu yang bersamaan. Di daerah-daerah pedesaan di negara-negara yang sedang berkembang, pada umumnya seorang guru diberi tugas atau tanggungjawab untuk membina 2 atau lebih kelompok siswa yang berbeda kelas/tingkatan. Ada beberapa model penerapan pembelajaran ragam kelas/tingkatan, misalnya: (a) seorang guru menghadapi siswa yang berada pada dua ruangan untuk dua tingkatan kelas yang berbeda, (b) seorang guru menghadapi siswa dalam tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam dua ruangan kelas, (c) seorang guru menghadapi dua tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan, dan (d) seorang guru menghadapi tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan kelas.

Beberapa dasar pemikiran yang melatarbelakangi penyelenggaraan Sekolah Dasar dengan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan di satu daerah/wilayah yaitu, antara lain dikarenakan sedikit atau terbatasnya: (a) jumlah siswa yang ada dan (b) jumlah guru yang terdapat di satu wilayah. Faktor lainnya adalah dikarenakan kondisi kesulitan geografis yang ada di satu daerah/wilayah sehingga membatasi mobilitas penduduk. Untuk dapat berhasil dalam mengelola Sekolah Dasar yang menerapkan pembelajaran ragam kelas/tingkatan, para guru hendaknya: (a) mempunyai dedikasi yang sangat tinggi dan bersedia bekerja keras setelah jam pelajaran sekolah berakhir, (b) mempunyai kepedulian yang tinggi demi kesejahteraan para siswanya, (c) memberikan lebih banyak pilihan dan keleluasaan kepada para siswanya dalam kegiatan belajar, dan (d) bersedia melakukan eksperimen, mencoba berbagai gagasan baru, dan berani menghadapi berbagai resiko.
Mengingat beban tugas dan tanggungjawab yang besar yang diemban oleh para guru yang mengajar di SD yang menerapkan kegiatan pembelajaran ragam kelas/tingkatan, maka dinilai sangat penting dan strategis untuk (a) membekali para guru yang akan ditugaskan mengajar di SD model pembelajaran ragam kelas/tingkatan melalui pelatihan, (b) melengkapi SD yang menerapkan kegiatan pembelajaran ragam kelas/tingkatan dengan berbagai sumber belajar yang dapat dipelajari siswa secara mandiri, dan (c) memberikan insentif kepada para guru yang bertugas mengajar di SD yang menerapkan pembelajaran ragam kelas/tingkatan, misalnya saja berupa: tambahan honorarium dan percepatan kenaikan pangkat.


Sumber : http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=96
Pendidikan Dasar Gratis Sudah Saatnya Diberlakukan


SUDAH lebih dari dua puluh tahun, tepatnya sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat pengalaman negara industri baru (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk mendukung pembangunan.

TERLEBIH lagi, pembangunan masyarakat demokratis mensyaratkan manusia Indonesia yang cerdas. Selain itu, era global abad ke-21, yang antara lain ditandai oleh lahirnya knowledge base society atau masyarakat berbasis pengetahuan, menuntut penguasaan terhadap ilmu pengetahuan.

Hanya saja, meskipun sudah jauh-jauh hari mengampanyekan wajib belajar-mulai dari wajib belajar enam tahun hingga sembilan tahun-masih belum jelas apakah Indonesia melaksanakan wajib belajar (compulsory education) atau universal education yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua tempat. Dua konsep tersebut berbeda dan hal ini jelas tertuang dalam keputusan internasional, yakni Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, yang menegaskan compulsory education bukan universal education.

Wajib belajar terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Di berbagai negara yang mewajibkan warganya menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan bermutu dihilangkan. Termasuk dalam hal pendanaan pendidikan.

Di China pemerintah menggratiskan pendidikan dasar dan memberikan subsidi bagi siswa yang keluarganya mempunyai masalah ekonomi. Pengalaman negara lain pun hampir serupa. Di India wajib belajar berimplikasi juga pada pembebasan biaya pendidikan dasar. Bahkan, di negara yang baru keluar dari konflik dan kemiskinan masih mencengkeram seperti Kamboja, pendidikan dasar digratiskan dan disertai dengan upaya peningkatan mutu, khususnya dari segi tenaga pendidik.

Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum mengikat untuk mengimplementasikan wajib belajar. China, misalnya, membagi hukum wajib belajar sembilan tahun menjadi tiga kategori: perkotaan dan daerah maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya berbeda-beda. Sebagai bentuk komitmen terhadap wajib belajar dikeluarkan pula pernyataan pada Januari 1986, yang menyatakan ilegal mempekerjakan anak sebelum selesai wajib belajar sembilan tahun.

Negara super power seperti Amerika Serikat dalam masa perang dingin, sekitar tahun 1981, sempat khawatir dengan ketertinggalan pendidikannya sehingga muncullah laporan A Nation at Risk. Laporan tersebut mengatakan bahwa yang menyebabkan ketertinggalan Amerika dalam persaingan global antara lain karena buruknya pendidikan.

Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2003, pandangan yang muncul pada tahun 1983 itu perlu dievaluasi. Apakah benar bahwa saat itu AS dalam bahaya dan berisiko? Dengan kemenangan AS dalam perang dingin memang tidak semua laporan itu benar.

Namun, pandangan tersebut juga menyajikan kenyataan pahit, yakni dengan status sebagai negara adidaya ternyata masih banyak anak di AS yang drop out dari sekolah. AS kemudian menganggap perlu peraturan dalam melaksanakan wajib belajar sehingga lahir undang-undang yang terkenal dengan sebutan "No Child Left Behind". Dengan undang-undang ini, berbagai jenis pendidikan, mulai dari sekolah yang diadakan oleh keluarga di rumah hingga etnis minoritas, ditanggung negara.

MENGAPA pendidikan dasar gratis? Bagi Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Bagi negara maju pendidikan gratis-selain karena tuntutan konstitusi mereka-juga didukung perekonomian negara yang sudah cukup mapan untuk investasi pendidikan. Anggaran pendidikan setidaknya telah mencapai 5-8 persen produk domestik bruto. Sementara di Indonesia investasi pendidikan masih sangat kecil, sekitar 1,3 persen dari produk domestik bruto. Jatah bagi investasi pendidikan semakin kecil lagi lantaran produk domestik bruto sendiri sudah kecil. Padahal, untuk mewujudkan pendidikan dasar gratis ini memang perlu servis dari pemerintah.

Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat. Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.

Di sisi lain pemerintah dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Apakah akan mementingkan distribusi pendapatan atau menekankan kepada investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan? Jika pilihan jatuh kepada distribusi pendapatan, konsekuensinya adalah investasi sosial akan berkurang.

Dalam "ketegangan" tersebut, persoalan sosial lalu cenderung diserahkan kepada masyarakat, seperti yang terjadi selama ini di Indonesia. Tak jarang keluar ungkapan dari pemerintah bahwa masyarakat harus diberdayakan, termasuk membayar sendiri pendidikannya. Di sinilah sebenarnya muncul apa yang disebut dengan neoliberalisme dalam wajah pendidikan.

"Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ketegangan antara dua pandangan itu dapat disinergikan. Kita harus pintar- pintar memilih, distribusi pendapatan atau investasi. Sebagai contoh, jika menganut distribusi pendapatan dalam investasi, kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak itu dikembalikan melalui berbagai program bantuan kepada rakyat. Akan tetapi, jika dalam penyalurannya ternyata korupsinya semakin banyak, lebih baik terang- terangan dimasukkan ke dalam investasi pendidikan," kata HAR Tilaar.

SUMBER pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.

Adapun pemerintah daerah harus terlibat karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan. Hanya saja, ada kecenderungan pemerintah pusat tidak mau menyerahkan dana operasional untuk menjalankan pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk wajib belajar.

Peraturan apa saja yang harus dibiayai dalam pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas belajar.

Kurikulum yang digunakan harus jelas dan disepakati terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan diajarkan dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan demikian, penggunaan dana pendidikan menjadi efisien. Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran tentu lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran. Sayangnya, penggunaan kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi masih membingungkan.

Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan.

Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi antara lain buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan.

Abdorrakhman Ginting percaya, sebetulnya pendidikan gratis masih mungkin dilaksanakan. Untuk menggantikan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi 24 juta siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dengan bantuan dana Rp 15.0000 per kepala setahun dibutuhkan Rp 4 triliun. Sementara untuk meningkatkan gaji 2,2 juta orang guru sebesar Rp 500.000 per bulan, agar kualitasnya terpacu, diperlukan Rp 1,1 triliun per bulan atau Rp 13,2 triliun setahun. Jadi total untuk menggratiskan biaya SPP dan peningkatan gaji guru yang dibutuhkan setahun Rp 17,4 triliun.

Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang membiayai. Ada biaya terselubung, yang di negara lain seperti di AS sudah tersistem dalam satu kesatuan administrasi negara.

Di AS sekolah publik gratis karena ada pajak sekolah khusus. Warga negara AS yang mempunyai tanah dan rumah harus membayar pajak sekolah di distriknya, terlepas dari warga tersebut mempunyai anak atau tidak. Di Belanda rata-rata pajak penghasilan cukup tinggi, yakni 60 persen. Sementara di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan mencapai 70 persen, tetapi kebutuhan dasar warga negara seperti pendidikan dijamin.

Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan pengawasan. Filipina, misalnya, mempunyai pengalaman buruk dengan penggunaan voucher pendidikan. Warga yang menginginkan pendidikan lebih membayar sendiri sisanya, tetapi sayangnya model tersebut tidak jalan dan rawan korupsi.

Oleh karena itu, harus hati- hati dalam menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau anaknya secara langsung dengan konsekuensi penyalahgunaan dana?

Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa harus dikenai sanksi tegas.

Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan dengan kondisi setempat, walaupun tetap berdasarkan kualitas yang standar, sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar bentuk dan nilai subsidi tidak harus seragam. Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi.

Selain itu, para pemimpin harus menyadari pendidikan bahwa itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik pengambil keputusan: apakah pemegang kekuasaan mau semua anak Indonesia maju?
Sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/03/PendDN/1724964.htm
(Indira Permanasari)