WeLCoMe To 1'st Dewi's Blog

WelCome...!!! To My 1'st blog!!!


pendidikan

pendidikan
sangat menyedihkan ya... pendidikan di negara kita...so.. jangan pernah menyia-nyiakan pendidikan yang kita dapat, karena masih banyak di luar sana yang kurang mendapat pendidikan yang layak. semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Minggu, 15 Maret 2009

Pendidikan Layanan Khusus

Pendidikan Layanan Khusus

Written by Harry, on 25-11-2008 00:00
Betapa gembiranya anak-anak nelayan yang kurang beruntung itu di Kampung Baru Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakart Utara memperoleh akses pendidikan lewat program Pendidikan Layanan Khusus (PLK). Data yang diperoleh dari ketua Yayasan Lentera Bangsa Syaifudin Zufri ada sebanyak 190 anak usia sekolah yang kebanyakan karena putus sekolah atau terhimpit ekonomi, bahkan ada pula yang tidak pernah sekolah. Dari 190 anak, katanya, 150 anak merupakan usia sekolah SD-SMP dan sisanya usia SMA. Jadi hanya 20 persen dari jumlah total anak-anak di Kampung Baru yang punya kesempatan sekolah. "Sekolah PLK ini gratis," kata Syaifuddin. Untuk menjawab permasalahan tersebut pemerintah punya tekad kuat untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun pada tahun 2008 ini. Karena hal ini merupakan sikap dan komitmen politik sekaligus kepedulian bangsa. "Anak-anak usia dibawah 18 tahun yang belum sekolah atau putus sekolah dapat belajar lewat jalur PLK. Karena telah dijamin oleh undang-undang,". kata Direktur Pembinaan SLB Ekodjatmiko Sukarso saat meresemikan PLK Anak Nelayan di Muara Angke Jakarta Utara.
UU Sisdiknas 20/2003 pada Pasal 32 Ayat 1 tentang pendidikan khusus (PK) seperti untuk orang cacat, kemudian anak cerdas istimewa dan bakat istimewa. Pasal 32 Ayat 2 tentang PLK seperti anak-anak yang memerlukan pendidikan yang aksesnya tidak terjangkau seperti anak-anak di daerah terbelakang / terpencil / pedalaman / pulau-pulau, anak TKIM SILN (Sekolah Indonesia di Luar Negeri) anak suku minoritas terpencil, pekerja anak, pelacur anak/traficfficking, lapas anak, anak jalanan, anak pemulung, anak pengungsi (gempa konflik), anak dari keluarga miskin absolut. "Kami sadar bahwa anak-anak yang berkebutuhan khusus ini memikirkan makan apa untuk sekarang dan besok, sulitnya bukan main. Sehingga dengan adanya Pasal 32 UU Sisdiknas, maka anak-anak tersebut harus sekolah," katanya.Diakuinya, bahwa pemerintah tidak dapat memenuhi semua itu tanpa adanya dukungan masyarakat, LSM, pemerintah daerah dan pihak swasta. "Semoga peran LPPM Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan mendirikan Sekolah PLK Lentera Bangsa dapat merealisasikan niat baik pemerintah untuk mencerdaskan anak-anak dan kelak dapat mendirikan mereka." katanya. Program Sekolah PLK nantinya menitikberatkan pada "kearifan lokal", yaitu membina dan mendidikan anak-anak berkebutuhan khusus ini dengan konsentrasi 80 persen kecakapan hidup. Hal ini dimaksudkan agar keluar atau lulus dari Sekolah PLK mereka dapat hidup mandiri. Kearifan lokal itu menjadi kekayaan setiap daerah yang harus dikembangkan.
Sumber : media cetak Spirit

Pendidikan Layanan Khusus Anak Korban Lumpur

Pendidikan Layanan Khusus Anak Korban Lumpur
Tanggal :
21 Sep 2006
Sumber :
media indonesia
Prakarsa Rakyat, * Abdullah Yazid, peneliti FKIP Universitas Islam Malang, bekerja di Yayasan Averroes MalangSEMBURAN lumpur panas PT Lapindo Brantas (Lapindo) yang tiada henti telah melumpuhkan hampir seluruh sendi kehidupan di Sidoarjo, Jawa Timur dan sekitarnya. Imbasnya pun merembet ke segenap sektor riil dan pranata sosial yang ada di dalamnya. Pemerintah dituntut bertindak cepat dalam mengantisipasi dampak luas bencana itu.Bidang pendidikan, salah satu sektor penting yang perlu diperhatikan. Anak-anak korban lumpur panas, yang tidak bisa lagi bersekolah dan saat ini tinggal di tempat-tempat penampungan, perlu dimotivasi kembali agar tetap mempunyai gairah belajar. Tanpa melupakan prioritas tindakan lain, seperti penanganan bencana lumpur, kebutuhan relokasi, atau ganti rugi tanah warga, anak-anak ini tetap tidak boleh terlalu lama meninggalkan bangku sekolah dan terus-menerus dibayangi ketakutan dan kesengsaraan hidup seperti yang mereka alami saat ini.Melalui pendidikan layanan khusus, mereka dapat diberi pengertian multidimensi tentang apa yang sekarang mereka rasakan. Harapannya, mereka lebih tegar dan lebih siap lahir batin menatap kehidupan. Sebab, tekanan mental dan psikis biasanya cukup sulit dipulihkan pada diri anak-anak korban bencana, termasuk anak-anak korban lumpur panas yang saat ini sebagian besar tinggal di lorong-lorong kumuh pasar Porong dan Jalan Tol.Luapan lumpur panas Lapindo memang bukan tergolong bencana akibat peristiwa alam mahadahsyat seperti gempa bumi atau tsunami yang terjadi belakangan ini. Hal itu terjadi karena kecerobohan manusia. Meski begitu, tetap saja ratusan bahkan ribuan anak menderita atas akibat yang ditimbulkannya.Karena itu, kebijaksanaan dan perlakuan khusus model pendidikan di daerah bencana seyogianya juga diterapkan dan dijalankan di Sidoarjo. Sebab, hal ini telah secara tegas dikatakan oleh undang-undang mengenai pilihan model pemulihan pendidikan dengan layanan khusus yang mengacu pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 ayat 2 berbunyi: "Pendidikan layanan khusus diberikan kepada anak didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi."Anak korban lumpur panas bisa dikategorikan sebagai anak didik yang terkena bencana sosial dan tidak mampu dari segi ekonomi. Bencana sosial karena mereka ikut merasakan penderitaan dan ketidakjelasan atas keberlanjutan pendidikannya akibat efek luas yang ditimbulkan secara sosial. Mereka juga tidak mampu dari segi ekonomi karena sebagian besar orang tuanya telah kehilangan mata pencaharian akibat terendamnya sawah dan ladang oleh lumpur panas, serta diperkirakan tidak akan bisa dimanfaatkan kembali akibat ketidakpastian kapan berhentinya luapan lumpur.Pendidikan layanan khusus ini tentunya juga harus mempertimbangkan persiapan mental para anak didik. Selain itu, konsepnya mesti lebih ditekankan pada pemulihan tekanan mental, traumatik, dan kesehatan kejiwaan mereka.Apa yang terjadi di wilayah mereka merupakan pelajaran terpenting yang akan selalu dikenang. Secara psikologis, mereka tentunya lebih 'tahan banting' karena sudah mengalami penderitaan, kesulitan, dan tantangan hidup yang sesungguhnya. Falsafah yang pernah dilontarkan Rupert C Lodge dalam bukunya Philosophy of Education menjadi gambaran dari kondisi anak-anak korban lumpur sekarang; in this sense, life is education and education is life. Pelajaran terpenting yang telah termaterialisasikan dalam tiap-tiap pribadi anak-anak korban lumpur adalah pergulatan hidup yang sesungguhnya.Beban mental dan psikologis anak-anak korban lumpur panas sudah barang tentu berbeda dengan generasi-generasi lain yang selalu dininabobokan kemapanan hidup. Anak-anak di pengungsian, setidak-tidaknya akan mampu mencapai taraf kemapanan berpikir rasional dengan berbagai macam musibah dan dinamika kehidupan di sekitar mereka. Sehingga, bisa jadi pelajaran kehidupan terpenting sebenarnya telah diserap dari bencana yang diderita.Kita semua berharap agar pendidikan anak-anak korban lumpur panas menjadi salah satu perhatian utama pemerintah. Penanganan pendidikan semacam ini dimulai dengan penanganan psikologis. Spirit belajar dan rasa optimisme menghadapi hidup, gairah bermain, berbaur dengan teman-teman sebaya, dan keceriaan mereka harus dipulihkan. Langkah ini diperlukan demi mengembalikan semangat belajar pada usia anak didik.Di samping itu, secara fisik rehabilitasi dan rekonstruksi secara sistematis, seperti penyediaan tenaga guru di tempat-tempat relokasi, sarana-sarana pendidikan, menempatkan mereka pada gedung sekolah yang jauh dari lokasi bencana, menata kembali program belajar yang tertunda dll juga harus dipertimbangkan.Meski terkesan ala kadarnya, aspek dan fungsi-fungsi pokok pendidikan tetap tidak boleh diabaikan. Sebagaimana pernah disinggung John Dewey, pendidikan harus didudukletakkan sebagai kebutuhan hidup (necessity of life), fungsi sosial (social function), bimbingan (direction), sarana pertumbuhan (growth), serta mempersiapkan, mengembangkan, dan membentuk kedisiplinan (preparation, unfolding and formal discipline). Karena itu, pemulihan semangat dan pendekatan psikologis melalui infrastruktur dan pola pendidikan yang memadai setidaknya akan dapat memengaruhi perbaikan-perbaikan struktur sosial dan kejiwaan anak-anak korban lumpur Lapindo demi menatap cerahnya hari esok.Sekali lagi, realisasi pendidikan layanan khusus harus benar-benar mampu merekonstruksi pendidikan bagi anak-anak korban lumpur panas Lapindo serta daerah-daerah pascabencana yang lain. Itu hanya bisa dicapai kalau pemerintah memang memiliki political will dan iktikad baik dalam memosisikan mereka sebagai generasi yang juga sepatutnya memperoleh kelayakan fasilitas, akses, dan atensi pendidikan seperti anak-anak lain.

Autisme dan Tunagrahita, Tak sama dan MemangBeda

Autisme dan Tunagrahita, Tak sama dan MemangBeda.
HATl-hati memberikan layanan pendidikan terhadap anak-anak yang sulitberkomunikasi. Keliru pendekatan dan terapi sangat berisiko menghambatperkembangan intelegensia anak.Selama ini, anak yang sulit berkomunikasi dan menahan emosi cenderungdicap tuna grahita itu karena kurangnya pemahaman utuh tentang apa yangdisebut anak-anak berkebutuhan khusus."Bisa jadi anak yang bergejala demikian tergolong autisme. Antaraautisme dan tunagrahita terdapat perbedaan mendasar sehingga perlakuanyang diberikan pun harus berbeda," ujar Mudjito, Di-rektur Pendidikan Luar Biasa Depdiknas di sela-sela seminar "Memahamidan Mencari Solusi Kesulitan Belajar pada Anak Autisme" di Depok, Ja-waBarat, Sabtu (26/2).Menurut Mudjito, autisme ialah anak yang mengalamigangguan berkomunikasi danberinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain, danemosi. Pe nyebabnya karena antarjaringan dan fungsi otak tidak sirkron .Ada yang maju pesat, sedangkan yang lainnya bia-sa-biasa saja. Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibukalangan ekonomi menengah ke atas. Ketika dikandung, asupan gi-zi keibunya tak seimbang.Adapun tunagrahita adalahanak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawahrata-rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulitmengerjakan tugas-tugas akademik. Ini karena per-kembangan otak dan fungsi sarafnya tidak sempurna.Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan menengahke bawah. Ketika dikandung, asupan gizi dan zat antibodike ibunya tidak mencukupi. "Sepintas, anak-anak autis dan tunagrahitamemang sama-sama sulit berkomunikasi. Tetapi, dalam perkembangannya,pada situasi tertentu anak-anak autis bisa le-bih cerdas membahasakan sesuatu, melebihi anak-anaknormal seusianya," tambahMudjito.DALAM seminar yang me-nampilkan drg Sri Utami Soedarsono (DirekturPelita Hati, Pusat Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus)serta Ely Soekresno Psi (kon-sultan anak berkebutuhan khusus) tersebutterungkap bahwa istilah autisme berasal dari kata autos yang berartidiri sendiri dan isme yangn berarti aliran. Autisme berartisuatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri.Penyebab autis sangat kompleks, tak lepas dari faktorgenetika dan lingkungan sosial. "Pola hidup pada masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnya anakautis. Misalnya, mengonsurnsi makanan dan minuman tanpa pengendalianmutu,termasuk makanan cepat sajii. Bisa juga karena buah dan sayuran yangdikon-surnsi mengandung pestisida."awal Februari lalu, para ilmuwan yang bertemu pada "Autisrn Summit" di Califor-nia, Amerika Serikat (AS), se pakat bahwa gejala autismedisebabkan oleh interaksi sejumlah gen dengan fak-tor-faktor lingkungan yang belum teridentifikasi.Mengiltip International Herald Tribune (10/2), Mudjitomenguraikan, ditemukan sedikitnya dua indikasi autismepada bayi baru lahir. Pertama, zat putih pada otak yangberisi serat-serat penghubung neuron di wilayah terpisahdalam otak-berkembang hingga 9 bulan, kemudianberhenti. Pada usia 2 tahun, zat putih ini diternui secaraberlebihan di lobes bagin depan, cerebellum, dan wilayahasosiasi di mana terjadi pemrosesan tingkat tinggi.Kedua, lingkaran kepala bayi baru lahir lebih kecil da-ripada rata-rata lingkaran kepala bayi baru lahir pada umumnya. Pada usia 1-2 bulan, tiba-tiba otaknya tumbuhdengan pesat. Hal serupa terjadi pada usia 6 bulan-2 ta-hun. Pertumbuhan ini lalu menurun pada usia 2-4 tahun.Ukuran otak anak autis ber-usia 5 tahun lebih kurang sa-ma dengan ukuran otak anak normal berusia 13 tahun.Beberapa teori lain juga mengungkapkan, autisme ju-ga dapat disebabkan oleh virus seperti rubella, toxo, her-pes, jamur, nutrisi buruk, pendarahan, dan keracunan ma-kanan saat hamil. Hal itu menghambat pertumbuhansel otak pada bayi sehingga fungsi otak pada bayi yangdikandung terganggu, terutama fungsi pemahaman, ko-munikasi, dan interaksi.Terkait dengan nutrisi, Mudjito menunjuk polahidup pada masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnyaanak autis. Misalnya, mengonsumsi makanan dan mi-numan tanpa pengendalian mutu, termasuk makanan ce-pat saji. Bisa juga karena sayur dan buah yang dikonsum-si mengandung zat pestisida.Tak pelak, prevalensi (pe-luang terjadinya) autisme sangat pesat. Tahun 1980-an, diAS, dan hanya 4-5 anak yang autis per 10.000 kelahiran na-ik menjadi 15-20 per 10.000 kelahiran pada tahun1990-an. Tahun 2000-an, su-dah mencapai 60 per 10.000kelahiran.Belum ada data tentang prevalensi autisme di Indone-sia. Namun,mengingat pola hidup kurang sehat di negara maju pun sudah merambahmasyarakat kota-kota besar di Indonesia, fenomenanya di-yakini mirip AS. "Di sekolah-sekolah luar yang berada dikota besar, tidak sulit menemukan anak autis. Di peda-laman, hampir tidak ditemu-kan," papar Mudjito.la menghargai maraknya inisiatif lembaga sosial di tiapkota yang mernbuka layanan pendidikan khusus bagi autisme. Apalagi polapendekatannya cenderung menyeluruh,termasuk aspek medis.AUTISME hanyalah satu dan delapan jenis kelainan gejala khusus yangmenjadi sasaran layanan pendidikan khusus, yang kini dikembangkanpemerintah dan masyarakat. Jenis-jenis kelainanlainnya mencakup tunanetra (gangguan penglihatan),tunadaksa (kelainan pada alat gerak/tulang, sendi, dan otot),tunagrahita (keterbelakangan mental), dan tunalaras (ber-tingkah laku aneh). Badan Pusat Statistik mencatat, saat ini sekitar 1,5 juta anak diIndonesia yang mengalami kelainan seperti itu. sarana pendidikan luarbiasa, baru sekitar 50.000 anak yang mengenyam pendidikan. Se-suai Deklarasi Salamanca 1994 dan UU Sistem Pendidikan Nasional, anakberke-lainan khusus harus mendapatkan pendidikan setara de-ngananak-anak lainnya.Oleh karena itu, pemerintah menggalakkan model pendi-dikan inklusi, di mana sekolah umum bisa memberikanlayanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus,terpadu dengan siswa pada umumnya. Sayangnya. pengadaan guru khususuntuk pendidikan layanan khusus masih sulit dipenuhi. Tahun ini, dari75.000 kuota pengangkatan pegawai negeri sipil untuk guru, hanya 500guru sekualifikasi itu yang terang kat. Padahal, secara nasional masihdibutuhkan 1.500. Jika secara totalitas anak berkebutuhan khusus sajasulit terlayani, apalagi anak autis, yang selama ini cenderung dicaptunagrahita. (NASRULLAH NARA)
sumber: http://www.mail-archive.com/balita-anda@balita-anda.com/msg96790.html

Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus

Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus
Ditulis oleh Rahmintama
Thursday, 27 March 2008
Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.
Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.
Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.
Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.
Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.
Ribuan Anak Pengungsi
Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.
Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.
Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.
Bantuan Alat
Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.
Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.
"Kami mohon bantuan untuk penye-diaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.
Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.
Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.
Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun.
Layanan Tutor
Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.
"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.
Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.
"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.
Anak Pengungsi Itu Jadi Penambang Batu
Ketiga kelurahan di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin merupakan daerah rawan kriminal seperti pemalakan, penodongan, perampokan, perkelahian dan pembunuhan. Banyak juga yang suka mengemis.
"Pada dasarnya para pengungsi ini memiliki karakter yang mudah curiga dengan orang, terutama orang asing," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih yang menjadi pemandu perjalanan ke Atambua. Namun hal tersebut dapat diminimalisir karena sebagian besar wilayah ini dikuasai oleh TNI-AD.
Anak-anak yatim-piatu dan mereka yang terpisah dengan orang tuanya, biasanya ditampung oleh para sanak keluarga yang berada di Atambua. Namun keluarga yang menampung anak-anak ini juga tidak sanggup untuk membiayai sekolah mereka.
Bagi anak-anak pribumi (Atambua) dari keluarga yang kurang mampu mereka mesti bertahan hidup bersama orang tuanya dengan berkebun atau berdagang, bahkan tak sedikit yang menjadi tukang ojek.
Sementara anak-anak pengungsi dan korban konflik tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sehingga hal ini yang menyebabkan kerawanan di daerah tersebut. Namun anak-anak yang mandiri, mereka akan ikut serta menjadi 'penambang' batu kali. Jumlah penambang batu ini mencapai ratusan anak usia sekolah.
Anak-anak tersebut menjadi penambang untuk menyambung hidupnya, karena kabarnya tidak banyak keluarga setempat yang mau memelihara mereka karena berbagai macam alasan.
Batu kali itu dikumpulkan dari sepanjang Sungai Talao, yaitu sungai besar yang melintasi Kota Atambua di wilayah Fatubanao. Setiap rit atau sekitar tiga kubik batu yang telah dipecahkan atau batu-batu kecil dihargai Rp 200.000. Lalu batu-batu itu dijual kepada agen digunakan sebagai pembangunan jalan, atau pengecoran bangunan.***(rht)
sumber:http://mandikdasmen.aptisi3.org/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=34

Pendidikan Pralahir (Prenatal Education)

Artikel
Pendidikan Pralahir (Prenatal Education)
Monday, 7th July, 2008
Artikel >>
Pendidikan Pralahir (Prenatal Education)
Oleh Suparlan *)
Education is not preparation for life; education is life itself (John Dewey)
Tujuan pendidikan adalah pengembangan karakter anak-anak (Aristoteles)
The roots of education are bitter, but the fruit is sweet (Aristoteles)
Kita sering mendengar cerita tentang pengaruh perilaku pasangan suami istri terhadap bayi yang sedang dikandung sang istri. Cerita dari mulut ke mulut ini telah menjadi mitos yang dipercaya sejak zaman dulu kala. Misalnya, ada cerita seorang bapak, yang istrinya dalam keadaan mengandung, telah memukul cecak sampai kaki cecak itu putus. Apa yang terjadi kemudian? Anaknya ternyata telah lahir dalam keadaan putus kakinya. Ada cerita seorang ibu sedang mengandung telah memukul binatang sampai mulut binatang sobek. Apa yang terjadi kemudian? Konon, anaknya telah lahir dalam keadaan mulutnya sumbing. Dan masih banyak lagi cerita mitos seperti itu.
Dari sudut pandang ilmu pengetahuan, pengaruh perilaku pasangan suami istri terhadap anaknya yang masih dalam kandungan dikenal dengan pendidikan pralahir atau prenatal education. Ketika penulis masih belajar tentang psikologi pendidikan di IKIP Malang pada tahun 70-an, istilah prenatal education menjadi salah satu materi matakuliah yang sering menjadi wacana diskusi yang tidak pernah selesai. Benarkah bayi dalam kandungan sudah harus mulai dididik oleh ayah dan ibunya? Jawaban terhadap pertanyaan itu kini telah semakin pasti, bahwa pendidikan anak harus telah dimulai sejak masih dalam kandungan. Ya, pendidikan yang sebenarnya harus dimulai sejak sang bayi masih dalam kandungan. Bahkan jauh sebelumnya, yaitu ketika calon pasangan suami memilih pasangan hidupnya untuk menjalin kasih dalam kehidupan rumah tangga yang sakinah, warahmah, mawadah.
Pendidikan Pralahir
Education is not preparation for life; education is life itself. Demikian John Dewey telah mengajarkan keyakinannya kepada kita. Pendidikan bukanlah persiapan untuk kehidupan, tetapi pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Apa maknanya? Pendidikan memang telah terjadi kekita manusia sejak manusia itu mulai hidup. Bahkan ketika telah ditiupkannya roh oleh Yang Maha Pencipta kepada janin yang dikandung sang ibu pada usia kandungan sekitar empat bulan. Sejak itulah kehidupan dimulai. Dan sejak itulah pendidikan dimulai. Secara teoritis orangtuanya atau bapak dan ibunya harus mulai mendidik anaknya, sejak masih dalam kandungan sang ibu. Dengan demikian, keluarga benar-benar menjadi tempat pendidikan yang pertama dan utama? Rumah tangga adalah madrasatul ula atau sekolah yang pertama. Dengan demikian, pendidikan pralahir dinilai akan mempunyai pengaruh yang sangat besar sekali terhadap proses dan hasil pendidikan berupa proses dan hasil pertumbuhkembangkan sang anak di masa depan, baik untuk dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, maupun untuk peradaban manusia. Keteledoran orangtua dalam menjalankan tugas kemanusiaan untuk mendidik anak-anaknya akan memperoleh resiko berupa dampak dan akibatnya di masa depan sang anak.
Kedudukan pendidikan pralahir dalam sistem pendidikan nasional.Pendidikan keluarga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa pendidikan nasional mempunyai tiga jalur pendidikan, yakni (1) pendidikan formal, (2) pendidikan nonformal, dan (3) pendidikan informal. Pendidikan pralahir (prenatal education) tentu saja merupakan bagian dari pendidikan informal. Untuk ini, pendidikan pralahir terutama akan menjadi tanggung jawab bagi pasangan suami istri dari keluarga yang bersangkutan. Bagaimana pun juga, pihak pemerintah harus melakukan langkah-langkah sosialisasi atau penyuluhan tentang pentingnya pendidikan pralahir dan strategi pelaksanaan pendidika pralahir, kepada warga negaranya.
Beberapa studi dan contoh penerapan pendidikan pralahir
Kompas, 24 Mei 2003, telah menurunkan artikel bertajuk “Janin Memiliki Kemampuan Belajar”. Dalam artikel itu dinyatakan bahwa Sejas tahun 1925, untuk pertama kalinya Peiper mengadakan penelitian tentang reaksi janin terhadap bunyi. Peiper berkesimpulan bahwa janin memiliki kemampuan untuk mendengar. Kesimpulan Peiper ini dapat menjadi penemuan terbaru yang berusaha untuk keluar dari perbedaan pendapat antara Lokcke dan Rousseau. Locke berpendapat bahwa janin memiliki kemungkinan mampu membentuk gagasan, sedangkan Rousseau menentang pendapat itu. Hasil penelitian mutakhir yang dilakukan Fijee (1981) menghasilkan temuan bahwa janin pada usia kehamilan 30 sampai dengan 37 minggu yang ada awalnya selalu bergerak, ternyata akan menghentikan gerakan setelah diperdengarkan musik yang sama untuk ke-24 kalinya. Lebih dari itu, Rappert (1988), seorang seorang peneliti di Laboratorium Chromobiology Harvard Medical School, menjelaskan bahwa janin dapat mengenal suara dan cahaya dari luar melalui mekanisme pasif yang melintasi jeringan tubuh ibunya.
Sejalan dengan tulisan di Kompas tersebut, sebulan berikutnya, tepatnya pada tanggal 15 Juni 2003, Republika telah menurunkan tulisan dalam rubrik IPTEK dengan tajuk yang amat menarik, yakni ”Biarkan Ibu Bicara, Komunikasi Dengan Janin”. Bahkan dalam rubrik yang sama dalam kolom yang lain, Republika juga telah menurunkan satu tulisan bertajuk “Kepribadian Dimulai Dejak di Rahim”. Dalam tulisan itu ditegaskan bahwa ibu dapat berkomunikasi dengan janin, dan sebaliknya sang janin juga dapat mengenal suara ibunya. Studi lain mempertegas bahwa tradisi membaca Al Quran kepada janin ternyata memang didukung oleh hasil studi para saintis.
Contoh pertama, dalam buku yang bagus bertajuk “Cara Baru Mendidik Anak Sejas Dalam Kandungan”, F. Rene Van de Carr, MD dan Marc Lehrer, Ph.D menjelaskan tentang menjaga kesehatan bayi dengan menu makanan bergizi dan teknis pendidikan pralahir yang dapat dipraktikkan sang ibu dari bulan ke bulan dalam masa kehamilannya. Siapa yang harus menjadi guru dalam pendidikan pralahir? Tentu saja ibunya. Untuk dapat membantu proses pendidikan pralahir, sudah barang tentu harus dibantu oleh sang ayah. Namun, bisa juga kakek dan neneknya, keluarga, anak yang lebih tua, atau sahabat yang menemani selama masa kehamilan dan setelah kehamilan. Dalam buku tersebut dijelaskan celoteh sang ibu bersama anaknya yang baru berusia enam tahun dalam proses pendidikan pralahir sebagai berikut:
“Kukira adik bayi itu tertawa karena ketika aku meletakkan kepalaku di perut mama. Adik bayi itu menendang telingaku”.
Dalam desempatan lain, seorang ibu yang sedang mengandung menyatakan, ”bayi saya benar-benar senang ketika saya meletakkan kucing di atas perut saya. Kucing itu mendengkur keras, dan bayi saya berputar-putar pelan selama kucing itu masih di atas perut saya”.
Ada lagi seorang ibu yang dengan tulus dan bangganya menceritakan bahwa “bayi saya tampak menyadari ketika saya meletakkan burung parkit di atas perut saya. Burung itu berkicau dan sang janin bergerak-gerak”.
Contoh kedua, Miarti, seorang direktur LPPA ZAIDAN Tutorial Preschool, telah menulis bertajuk “Prenatal Education: Berdialog Dengan Janin” sebagai berikut. “Ada sebuah pengalaman yang cukup menarik yang dialami oleh seorang pasangan suami isteri di sebuah kota. Ketika sang isteri tengah hamil, dari awal kehamilan terjadi, si suami sangat rajin mengajak ngobrol sang janin lewat perut isterinya. Kepedulian sang calon bapak tersebut tidak cukup sampai disitu. Sang calon sering membunyikan barang-barang yang ada di rumahnya kemudian didekatkan pada perut isterinya. Misalnya, ia memukul-mukul wajan dengan gagang sendok, atau meniupkan terompet, memainkan tambur, dan lain-lain. Apa yang dilakukan tersebut tiada lain adalah untuk memberikan stimulus kepada anaknya alias janin. Maksudnya, walaupun sang janin masih berada di dalam kandungan, namun sang janin bisa merasakan kebersamaan dengan orang-orang di luar dunianya. Dengan bunyi-bunyian tersebut, diharapkan agar janin tersebut akan memiliki kepekaan yang tinggi.
Setelah janin tersebut lahir, apa yang terjadi? Bayi mungil tersebut memperlihatkan mata yang sangat lincah. Bayi mungil itu menunjukkan indikasi sedang mencari-cari suara yang biasanya ia dapatkan. Ketika bayi tersebut tumbuh dengan perlahan, tampak bayi tersebut peka terhadap suara sapaan orang-orang di sekitarnya”.
Contoh ketiga, Dr. Annisar, seorang dokter dalam bidang kebidanan, ketika memberikan konsultasi tentang masalah kesehatan, beliau telah memberikan contoh babagaimana menerapkan pendidikan anak pralahir sebagai berikut. “Sang ibu diminta untuk mengajak janin yang dikandungnya untuk bersama-sama belajar mengenai nama barang-barang di sekitarnya. Anakku. Ini namanya meja, ini kursi, ini buku, dan seterusnya”. Proses pengenalan nama-nama itu dapat dilakukan setiap hari mulai sang janin berusia empat bulan.
Contoh keempat, ada seorang anak berumur delapan tahun yang hafal Al Quran. Hafis cilik ini menimbulkan kekaguman banyak orang untuk bertanya kepada orangtuanya. Mengapa anak sekecil itu telah dapat Al Quran? Ketika ditanyakan kepada sang ayah dan ibunya, ternyata ketika masih di dalam kandungan, anak itu memang telah diperdengarkan Al Quran. Janin di dalam kandungan itu elah mulai belajar mengaji atau membaca Al-Quran sejak dalam kandungan.
Benar. Kita semua, terutama yang kebetulan mungkin menjadi kakek atau nenek dari sang janin, atau bahkan menjadi sang calon ayah dan tentu saja calon ibunya, atau siapa saja yang terlibat dalam proses penantian kelahiran sang jabang bayi, semuanya adalah para guru yang dapat membantu proses pendidikan pralahir. Sudahkan kita semua melakukan upaya-upaya untuk memberikan perlindungan dan pendidikan pralahir bagi sang janin? Jawabannya amat terpulan kepada kita semua.
Refleksi
Tentu saja, masih banyak contoh tentang praktik-praktik penerapan pendidikan pralahir yang dapat dicoba atau dilaksanakan. Satu syarat yang condisio sine quanon adalah adanya kerja sama antara sang ayah dan sang ibu dalam menyemai dan memelihara fitrah yang telah ditiupkan kepada sang janin. Kondisi harmonis antara keduanya harus menjadi landasan pertama. Akhirnya, kita dapat memperoleh pemahaman dan meyakini bahwa sang janin memang akan dilahirkan dalam keadaan fitrah. Akan menjadi apa sang janin tersebut kelak amat ditentukan oleh ayah dan bundanya, serta lingkungan yang akan memberikan pengaruh kepadanya. Kita harus berusaha. Hanya Allah SWT dan kita sendiri yang akan menentukan proses pendidikan pralahir bagi anak dan keturunan kita.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: bsuparlan [at] yahoo [dot] com.
Depok, 29 Juni 2008.

Upaya Pemberian Layanan Pendidikan

Artikel:Upaya Pemberian Layanan Pendidikan
Judul: Upaya Pemberian Layanan Pendidikan Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.Nama & E-mail (Penulis): Rustantiningsih Saya Guru di SDN Anjasmoro Semarang Topik: ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Tanggal: 8 Juli 2008
Upaya Pemberian Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Anak adalah buah hati dalam setiap keluarga. Tanpa anak, keluarga akan terasa sepi, gelap, dan tanpa warna. Tak heran jika ketemu teman lama yang pertama kali terlontar adalah pertanyaan berapa anakmu sekarang? Bukan berapa mobilmu, rumahmu atau yang lainnya. Sering terdengar ungkapan anak adalah titipan dari yang Maha Pencipta, maka peliharalah dengan sebaik-baiknya, berilah tempat yang paling baik, jadikanlah manusia yang berguna karena anak itu terlahir suci adanya seperti kertas putih. Bagaimana kertas itu menjadi penuh warna tergantung pada orang tua dan lingkungan yang akan memberi warna maupun coretan pada kertas tersebut. Interaksi anak dengan orang tua ketika di rumah, dengan guru dan teman ketika di sekolah dan dengan tetangga atau orang lain ketika di masyarakat akan membentuk berbagai karakter dalam diri anak tersebut. Ada yang pendiam, periang, egois, peramah, cerdas, bodoh, pemurung, sosial dan sebagainya. Semua karakter-karakter ini tentunya sebagai akibat dari proses pewarnaan pada diri anak. Pada mulanya, pengertian anak berkebutuhan khusus adalah anak cacat, baik cacat fisik maupun mental. Anak-anak yang cacat fisik sejak lahir, seperti tidak memiliki kaki atau tangan yang sempurna, buta warna, atau tuli termasuk anak berkebutuan khusus. Pengertian anak berkebutuhan khusus kemudian berkembang menjadi anak yang memiliki kebutuhan individual yang tidak bisa disamakan dengan anak yang normal. Pengertian anak berkebutuhan khusus tersebut akhirnya mencakup anak yang berbakat, anak cacat, dan anak yang mengalami kesulitan. Selama ini cara pandang terhadap anak berkebutuhan khusus, masih negatif maka pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus juga belum dapat memperoleh hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Persamaan hak sebenarnya telah diatur dengan berbagai perangkat perundangan formal, tetapi permasalahannya tidak adanya sanksi yang jelas terhadap pelanggaran peraturan yang ada, sehingga masih banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang belum memperoleh haknya. Sehubungan dengan itu maka guru sebagai ujung tombak pendidikan formal perlu memberikan layanan secara optimal bagi semua siswa termasuk anak berkebutuhan khusus. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah bagaimana upaya memberikan hak-hak anak berkebutuhan khusus? 3. Tujuan dan Manfaat Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan upaya memberikan hak-hak anak berkebutuhan khusus. Penyusunan makalah ini bermanfaat secara teoretis, untuk mengkaji upaya dalam memberikan hak-hak anak berkebutuhan khusus. Secara praktis, bermanfaat bagi: (1) para pendidik untuk memperhatikan dan memberikan pelayanan pada anak berkebutuhan khusus, (2) mahasiswa agar memahami cara memberikan pelayanan pada anak berkebutuhan khusus. B. PEMBAHASAN Always say you yes for children. Selalu berkatalah ya pada anak. Jarang didapati guru yang demikian ini. Rata-rata mereka melarang siswa-siswanya melakukan sesuatu. Contoh jangan manjat pagar nanti jatuh, jangan main api nanti terbakar dan sebagainya. Padahal siswa saat melakukan hal tersebut pada kondisi senang dengan hal baru, menemui keasyikan dan mencoba untuk belajar dari hal tersebut. Pada tarap belajar inilah nantinya akan timbul suatu kreativitas pada diri siswa tersebut. Mereka akan berhenti jika ternyata api itu panas, ataupun tidak akan melakukan lagi ketika mereka jatuh dari suatu pagar tersebut. Larangan-larangan semacam ini tentunya dapat mematikan kreativitas siswa. Siswa akan selalu dalam lingkaran ketidaktahuan, ketakutan, tidak berani mencoba sesuatu yang baru. Namun kadang guru sendiri tidak menyadari akan hal ini. Seharusnya untuk hal-hal baru seperti diatas siswa diberi kesempatan untuk mencoba melakukan sementara guru tetap memberi pengawasan sehingga siswa dapat bereksperimen dengan aman. Guru tidaklah selalu bersikap sebagai petugas hukum di lingkungan sekolah. Di mana biasanya guru yang membuat peraturan. Kemudian mereka pula yang memberi sanksi atau hukuman pada siswanya, jika siswa melakukan suatu kesalahan, misalnya dengan disuruh lari mengitari halaman, berdiri di depan kelas, memukul dengan sabuk atau tindakan lain yang lebih mengarah pada hukuman fisik. Sebenarnya guru dapat bersikap lebih demokratis pada siswa, mencoba membicarakan dengan siswa hal-hal apa saja yang baik dapat mereka lakukan, mana yang baik dan mana yang tidak. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan mengklarifikasi antara hal yang baik dan yang tidak untuk kemudian disusun sebagai suatu peraturan secara bersama dan demokratis. Dalam menentukan hukuman hendaknya juga dengan sikap yang demokratis. Cobalah siswa untuk menentukan hukuman sendiri sebagai sikap pertanggungjawaban terhadap kesalahannya dan tidak akan mengulanginya lagi. Guru harus mampu menyediakan media untuk siswanya sebagai upaya untuk menelurkan siswa yang cerdas dan kreatif. Pernyataan tersebut selaras dengan teori teori pendekatan ekologis dan genetis yang diungkapkan oleh Spiel (1994), Oerter (1992), Scarr&Mc. Cartney (1982). Menurut pandangan mereka, perkembangan siswa selalu berupa interaksi antara bakat (genotip) dan lingkungan. Setidaknya ada tiga hasil interkasi genotip dan lingkungan (Kartono, tahun 1995:119). Pertama, adanya hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat pasif. Hal ini timbul karena guru memberi lingkungan yang sesuai dengan bakat mereka sendiri. Misalnya guru yang gemar musik akan selalu memberikan lingkungan musik pada siswanya sehingga siswa sejak awal hidup dalam lingkunga musik tersebut. Kedua, hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat evokatif . Hal ini timbul karena siswa dengan bakat berbeda-beda menimbulkan berbagai macam reaksi terhadap lingkungan sosialnya. Contohnya siswa masa usia sekolah sering melakukan hal-hal yang seenaknya saja sehingga menimbulkan perhatian pada orang lain yang mempengaruhi perilakunya sendiri lagi. Ketiga, hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat aktif. Hal ini timbul karena seseorang memilih lingkungan yang cocok dengan pribadinya sendiri. Kebanyakan terjadi pada usia remaja dan sering dilakukan bersama-sama dengan pencarian identitas ego atau citra diri atau jati diri. Terkait dengan hal di atas, ada beberapa landasaran yuridis formal yang mendasari upaya untuk memberikan hak-hak pada anak berkebutuhan khusus, diantaranya yaitu : 1. UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 tentang hak mendapat pendidikan. 2. UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pasal 3, 5 dan 32 tentang pelayanan pendidikan khusus. 3. UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 48, 49, 50, 51, 52, 53 4. UU No. 4 tahun 1997 pasal 5 tentang penyandang cacat. 5. Deklarasi Bandung (Nasional) "Indonesia menuju pendidikan inklusif" 8-14 Agustus 2004. Sejalan dengan hal tersebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 menetapkan konfensi hak anak termasuk di dalamnya hak anak yang berkebutuhan khusus, di antaranya: 1. Dalam deklarasi Hak-hak Asasi Manusia Sedunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah dinyatakan bahwa masa kanak-kanak berhak memperoleh pemeliharaan dan bantuan khusus. 2. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Deklarasi Hak-hak anak, "anak karena tidak memiliki kematangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran." 3. Di semua negara bagian di dunia, ada anak-anak yang hidup dalam keadaan yang sulit, dan bahwa anak-anak seperti itu membutuhkan perhatian khusus. Menurut Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah dan pemerintah (Suyanto, 2005:225) oleh karena itu upaya untuk memberikan pelayanan kepada anak yang berkebutuhan khusus hendaknya melibatkan : (1) kerja sama dengan orang tua, (2) kerja sama antara guru, (3) kerja sama organisasi profesional, (4) kerja sama dengan masyarakat. Dari berbagai upaya di atas diharapkan anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan khusus sesuai dengan hak-haknya. Sehingga anak tidak akan kehilangan hak-haknya untuk mengembangkan potensi secara optimal. Dengan demikian anak berkebutuhan khusus dapat mengembangkan potensinya seperti anak-anak lain untuk membekali hidupnya serta dapat bermanfaat bagi dirinya, lingkungan, dan masyarakat. C. PENUTUP 1. Simpulan Anak berkebutuhan khusus hendaknya memperoleh pelayanan secara khusus. Apapun upaya untuk memberikan pelayanan kepada anak-anak berkebutuhan khusus di antaranya: (1) menindaklanjuti landasan yuridis, (2) menindaklanjuti Konvensi hak anak, (3) Melakukan kerjasama dengan orang tua, guru, organisasi profesional, dan masyarakat. 2. Saran Pentingnya pelayanan pada anak berkebutuhan khusus hendaknya para guru mampu memberikan layanan secara khusus pada anak-anak yang membutuhkan sehingga anak-anak tersebut tidak kehilangan hak-haknya. DAFTAR PUSTAKA Kartono Kartini, 1995. Psikologi Anak. Bandung, Mandar Maju. Sularto St, 2003. Seandainya Aku Bukan Anakmu. Jakarta, Buku Kompas. Suyanto Slamet, 2005. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta, Hikayat. Suparno, 2007. Pendidikan anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta, Dirjen Dikti Depdiknas Saya Rustantiningsih setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .
CATATAN:Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.