WeLCoMe To 1'st Dewi's Blog

WelCome...!!! To My 1'st blog!!!


pendidikan

pendidikan
sangat menyedihkan ya... pendidikan di negara kita...so.. jangan pernah menyia-nyiakan pendidikan yang kita dapat, karena masih banyak di luar sana yang kurang mendapat pendidikan yang layak. semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Jumat, 15 Mei 2009

Perbaikan Kualitas SDM Melalui Pendidikan Informal

Pendidikan informal dapat menolong untuk memperbaiki kualitas SDM yang kita miliki. Itu sebabnya, sebagai orangtua, kita perlu mengamati anak-anak kita saat ini, seberapa jauh kemampuan mereka dalam mengkomunikasikan apa yang ada dalam benak mereka kepada kita maupun kepada teman-teman yang lain. Selanjutnya, kita perlu memperhatikan apakah anak tersebut mampu melakukan pengamatan dengan baik atau berpikir secara logis. Seringkali, prestasi atau nilai yang bagus yang mereka peroleh di sekolah belum tentu menunjang performa mereka di luar. Sebagai contoh: anak kita memiliki nilai yang sangat bagus dalam pelajaran bahasa Inggris di sekolah, namun pada kenyataannya, ia mengalami kesulitan untuk bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa si anak membutuhkan pendidikan informal tambahan, karena akan sangat disayangkan jika ia hanya memiliki nilai bagus dalam pelajaran di kelas namun tidak pada prakteknya. Jadi, ada baiknya kita mencari alternatif pendidikan informal yang mungkin dibutuhkan oleh anak kita.

Kecerdasan Spiritual dan Emosional
Orang yang bekerja dengan mengandalkan otot seringkali memiliki tingkat stres yang jauh lebih rendah daripada orang yang bekerja dengan otaknya. Sebenarnya, masing-masing orang memiliki tingkat stres yang berbeda-beda. Memang, orang-orang yang lebih banyak mengandalkan otaknya memiliki tingkat stres yang lebih tinggi karena ada begitu banyak hal yang harus ia amati dan pikirkan dalam waktu yang sama. Satu-satunya cara untuk menanggulangi tingkat stres dalam diri seseorang adalah dengan cara mengembangkan kecerdasan spiritual, sehingga ia bisa terus menjalani kehidupan sehari-hari tanpa mengalami stres. Ini juga yang menyebabkan semakin banyak orang yang tertarik untuk mengikuti yoga, meditasi, dsb., karena mereka meyakini bahwa kegiatan-kegiatan semacam itu dapat menolong mereka menghilangkan stres dan memberi ketenangan. Akan tetapi, sebetulnya itu hanyalah solusi yang bersifat sementara, karena tetap berpusatkan pada kemampuan yang kita miliki secara pribadi. Untuk mengasah kecerdasan spiritual yang kita miliki, kita hanya perlu belajar meningkatkan keimanan kita kepada Tuhan. Semakin kita mengasah kecerdasan spiritual kita, semakin berkurang tingkat stres kita.

Pada prinsipnya, intelegensi emosional adalah kemampuan kita untuk beradaptasi dan berempati dengan orang-orang lain. Seorang pemimpin yang selalu berusaha untuk memahami kondisi dan keberadaan karyawannya menunjukkan bahwa ia pemimpin yang memiliki intelegensi emosional yang cukup tinggi. Demikian pula seorang bawahan/karyawan yang berusaha untuk memahami kondisi dan keberadaan pemimpinnya adalah karyawan yang memiliki intelegensi emosional yang cukup bagus. Untuk mengasah intelegensi emosional, kita hanya perlu belajar untuk memposisikan diri dalam keberadaan orang lain, melihat dan berpikir dari sudut pandang orang lain. Hasilnya, akan jauh lebih mudah bagi kita untuk bisa beradaptasi dan berempati dengan orang-orang lain. Seorang pemimpin yang memiliki intelegensi emosional yang baik akan dicintai dan dihargai oleh karyawannya, demikian pula seorang karyawan yang memiliki emosional yang baik akan disukai oleh rekan-rekannya dan pemimpinnya.

Intelegensi emosional memiliki kaitan dengan karakter seseorang. Meski begitu, kecerdasan emosional bisa dilatih dan diasah, sehingga kalaupun karakter kita tampak bertolak belakang (misalnya berangasan), kita tetap bisa memunculkan dan membentuk kecerdasan emosional itu dalam diri kita, sehingga karakter kita turut mengalami perubahan. Tapi jangan lupa bahwa intelegensi emosional juga harus didukung oleh intelegensi visual, intelegensi logis, dan intelegensi-intelegensi lainnya, atau dengan kata lain harus ada keseimbangan di antara ketujuh intelegensi tersebut. Tanpa keseimbangan, orang yang memiliki intelegensi emosional yang tinggi dapat dengan mudah dimanipulasi atau dimanfaatkan oleh orang lain.

Orang yang kurang mampu bergaul atau berinteraksi satu sama lain sebetulnya menunjukkan bahwa intelegensi emosional yang ia miliki perlu dikembangkan. Semakin intelegensi emosional kita terasah, semakin kita memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, bahkan dengan orang-orang yang baru kita temui untuk pertama kalinya.

Sebenarnya, dengan mengasah satu intelegensi, secara otomatis intelegensi-intelegensi lain yang kita miliki akan turut terasah. Sebagai contoh: kita ingin mengasah intelegensi verbal yang kita miliki. Untuk dapat menyampaikan sesuatu, kita perlu mengadakan penelitian atau penggalian atas sebuah topik. Untuk memperoleh hasil yang baik, kita pasti membutuhkan intelegensi visual dan intelegensi logis yang baik pula. Semakin daya analisa kita terasah, bobot dari apa yang kita sampaikan juga semakin teruji. Selanjutnya, dengan mengasah intelegensi kreatif yang kita miliki, ada berbagai macam variasi yang bisa kita pakai dalam menyampaikan topik pembicaraan. Semakin intelegensi kita terasah, kemampuan kita dalam mengerjakan sesuatu juga bertumbuh dengan luar biasa. Satu hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah mendisiplin diri sendiri – apa yang memang harus kita kerjakan, kerjakanlah secara tuntas dan maksimal, jangan menunda-nunda.

Menurut pendapat sebagian orang, multi-tasking (mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus pada waktu yang sama) tidak cukup efektif karena hal itu menyebabkan konsentrasi menjadi terpecah. Sebenarnya hal itu tergantung dari kapasitas orang yang bersangkutan. Ada orang-orang tertentu yang dapat melakukan beberapa pekerjaan sekaligus di waktu yang sama dan tetap memberikan hasil yang maksimal, karena mereka memang memiliki kapasitas yang cukup bagus. Sebaliknya, ada orang-orang yang meski hanya melakukan satu pekerjaan, tetap tidak menunjukkan hasil yang maksimal. Jika selama ini pemimpin kita sering memberikan beberapa pekerjaan sekaligus untuk diselesaikan, sebetulnya itu adalah kesempatan yang baik untuk mengembangkan kapasitas kita, dan bukan menjadikan ketidakmampuan kita sebagai alasan untuk tetap tinggal di zona nyaman. Ingat, kita tinggal di kota di mana level persaingan yang ada sangat tinggi. Tanpa terus meng-upgrade diri, kemampuan bersaing kita akan semakin mengecil dan kita semakin tersingkir dari zona kesuksesan yang ingin dimasuki.

Bagi orang-orang yang tidak memiliki waktu atau kesempatan untuk kembali ke pendidikan formal ataupun informal, tetap ada cara-cara lain untuk mengasah intelegensi, yaitu dengan membaca. Membaca adalah salah satu solusi terbaik bagi mereka yang ingin mengasah intelegensi. Saat ini ada begitu banyak buku yang secara spesifik dapat menolong kita mengasah dan meningkatkan intelegensi-intelegensi tertentu dalam diri kita. Ada langkah-langkah sistematis maupun strategis yang bisa kita aplikasikan dari buku-buku tersebut. Karenanya, saya mendorong Anda untuk banyak membaca, karena ada banyak keuntungan yang akan Anda nikmati dari membaca.

Jangan pernah menutup diri bagi sebuah perubahan dan jangan pernah membatasi diri untuk mempelajari hal-hal baru. Ketika kita mau mempelajari hal-hal yang baru dan terus mengalami perubahan, artinya kita sedang terus mendekati titik keberhasilan yang kita impi-impikan.

sumber : ~ www.kesuksesan-sejati.blogspot.com ~

pendidikan informal di NTT : Masyarakat awam belum paham

Sebagian besar masyarakat awam di NTT ternyata belum paham tentang apa itu pendidikan nonformal. Padahal dana miliaran rupiah setiap tahun telah digelontorkan untuk menanggulangi masalah pendidikan yang satu ini. Hal ini menjadi salah satu nada minor untuk sukses pendidikan di NTT. Menghadapi tantangan globalisasi, sumberdaya manusia NTT hingga pelosok-pelosok desa harus terus ditingkatkan. Apalagi kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik pun masih jauh dari standar. Lalu salahnya dimana?Kupang, Aktualita NTT Demikian penegasan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda Dan Olahraga Provinsi Nusa Tenggara Timur, Ir. Thobias Uly, M.Si dalam rapat perencanaan dan penyusunan program pendidikan nonformal tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur 2009, Selasa, (10/03/09) di Aula UPT Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Uly mengatakan, menghadapi kenyataan ini, mestinya semangat dan kerja keras terus dipacu untuk mensosialisasikan berbagai program pendidikan nonformal tersebut. Sehingga program pendidikan nonformal benar-benar berdampak pada peningkatan pengetahuan, taraf hidup dan perbaikan ekonomi masyarakat.Upaya mewujudkan program tersebut kata Uly, dilakukan secara bertahap melalui berbagai kegiatan. Antara lain, peningkatan Sumber Daya Pendidik dan Tenaga Kependidikan Nonformal dan Informal, melalui kegiatan pendidikan dan latihan; Pendidikan penjenjangan, kursus dan magang. Serta pengembangan berbagai program berbasis masyarakat melalui pembentukan berbagai program seperti : program Anak usia Dini, program kesetaraan (Paket A, B dan C setara), program keaksaraan (pemberantasan buta aksara), kelompok belajar usaha, life skill (keterampilan) dan sebagainya.
Lebih lanjut dia menambahkan, dengan telah dibukanya berbagai program pendidikan anak usia dini (kelompok bermain, tempat penitipan anak dan satuan PAUD sejenis), program kesetaraan ( paket A, B, dan C setara ), program life skill seperti: kursus komputer, laboratorium bahasa, Informasi Teknologi, kursus menjahit dan kursus kecantikan di kampus UPT2PNI ini, diharapkan menjadi contoh bagi masyarakat NTT yang membutuhkan pendidikan nonformal dan informal.
Pada tempat yang terpisah Kepala UPT Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dra. Maria Patricia Sumarni mengatakan, upaya pemerintah melaksanakan rapat perencanaan dan penyusunan program pendidikan nonformal dan informal, dengan maksud untuk menyamakan presepsi dan membangun komitmen bersama dengan jajaran PNF di wilayah NTT, Subdin PLS Kabupaten/Kota, UPT PPNFI, Subdin Bina PLS Provinsi dan UPTD SKB termasuk mitra terkait, untuk dapat merumuskan suatu perencanaan pelaksanaan dan evaluasi program PNF yang terpadu dan sinergis.


Kepala UPT Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal Dinas Pendidikan,
Pemuda dan Olah Raga Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dra. Maria Patricia Sumarni

Sinergitas perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, diyakini akan mampu menjadikan program-program PNF yang efektif, efisien dan berkualitas sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan serta bermanfaat dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Dan yang paling utama sebagai sasaran program PNF adalah peningkatan harkat, martabat dan kualitas kehidupan masyarakat.
Dikatakannya, tujuan dari kegiatan perencanaan dan penyusunan program PNF di UPT PPNFI Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Nusa Tenggara Timur yakni menyampaikan strategi Kebijakan Pemerintah Provinsi NTT dalam bidang pendidikan nonformal dan informal. Disamping menyamakan presepsi, gerak dan langkah dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi Program PNF terpadu dan sesuai Tupoksi masing-masing. Untuk itu harus selalu ada komitmen bersama jajaran PNF dalam pelaksanaan program PNF di lapangan.
Peserta rapat dalam kegiatan perencanaan dan penyusunan program pendidikan nonformal terdiri dari, Kepala Bidang PLS Kabupaten/Kota, Kepala SKB Kabupaten/Kota dan Kepala Bidang yang membidangi Pendidikan pada Bappeda Kabupaten/Kota serta Pamong Belajar SKB Kabupaten/Kota.Hasil yang diharapkan dalam Kegiatan perencanaan dan Penyusunan Program Pendidikan Nonformal tahun ini (2009) yakni: tersosialisasi kebijakan Pemerintah Provinsi NTT dalam bidang Pendidikan dan adanya komitmen, presepsi yang sama untuk pelaksanaan program PNF di Kabupaten/Kota sesuai kebutuhan masing-masing.
Kegiatan perencanaan dan Penyusunan Program Pendidikan Nonformal tahun ini (2009) merupakan langkah strategis bagi peningkatan kualitas program PNF di masa mendatang. “Melalui kegiatan ini kita harapkan terwujudnya sebuah kerjasama dan sinergitas seluruh jajaran PNF yang ada di Nusa Tenggara Timur. Pedoman ini juga diharapkan agar mampu memberikan arah yang baik bagi pelaksana kegiatan dimaksud, sehingga komitmen yang kuat dijajaran PNF dapat memupuk pondasi bagi aksesnya penyelenggaran program PNF di lapangan,” tutur Sumarni.


sumber : htttp://pendidikan informal-masyarakat-awam-belum-paham%26catid

tingkatkan SDM, TNI AL buka 4 pendidikan khusus

Untuk meningkatkan kualitas dan keahlian sumber daya manusianya, TNI AL melalui Komando Pengembangan dan Pendidikan Angkatan Laut (Kobangdikal) membuka empat pendidikan kualifikasi khusus (Dikbrivet), Dikpaska, Diktaifib, Dikjursel dan Dikcawakasel yang dibuka secara resmi oleh Wakil Komandan Kobangdikal Brigjen TNI Marinir Halim A. Hermanto, di Lapangan Kihadjar Dewantara, Kobangdikal, Selasa (20/11).

Menurut Komandan Kobangdikal Laksda TNI Edhi Nuswantoro dalam amanatnya yang dibacakan Wadan Kobangdikal mengatakan, selain pengembangan organisasi, penambahan dan pemutakhiran teknologi alutsistanya, kemampuan prajurit yang handal juga menjadi prioritas utama, seperti halnya empat program pendidikan berkualifikasi khusus ini.

Dikaitkan dengan kondisi dan konstelasi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dan lautnya yang terbuka, setengah terbuka dan tertutup, maka kehadiran naval power akan memberikan tiga keunggulan sekaligus, yaitu keunggulan sebagai unsur defensif yang mematikan, unsur ofensif yang efektif dan detterence factor yang baik, sehingga musuh akan takut dan mengurungkan niat jahatnya.

Menurutnya, strategi pertahanan negara kita harus mengedepankan strategi pertahananmaritim dengan memperhatikan kondisi geografis sebagai
negara kepulauan. Oleh karena itu,TNI AL harus mampu mewujudkan laut yang aman dan terkendali, yaitu kondisi laut yang bebas dari beberapa ancama, tegas Komandan Kobangdikal.

“sudah sepantasnya Indonesia mempunyai kekuatan Angkatan Laut setara Green Water Navy yaitu kekuatan yang dapat diandalkan untuk menegakkan stabilitas keamanan dan berkemampuan mengadakan perlawanan terhadap setiap ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan,” tegasnya.

Megenai pembukaan empat pendidikan brivet yang berada di bawah tanggungjawabnya, pendidikan Pasukan Katak yang kali ini diikuti 24 orang ini akan dilaksanakan selama 10 bulan dengan tujuan agar para siswa mampu melaksanakan tugas-tugas dalam operasi amfibi maupun tugas-tugas dalam peperangan khusus laut

Sementara itu 24 orang turut dalam pendidikan Calon Awak Kapal Selam yang akan digelar 9 bulan. Pendidikan Dikcawakasel bertujuan agar para siswa memiliki pengetahuan dan ketrampilan teknis kapal selam type 209 serta kecakapan khusus yang dapat ditugaskan sebagai pasukan bawah air.

Untuk Pendidikan Juru Selam yang diikuti 13 orang ini akan dilaksanakan selama 6 bulan dengan tujuan untuk mendidik para siswa menjadi juru selam TNI AL yang profesional guna mendukung kesiapan dan keselamatan bawah air khususnya KRI dalam suatu operasi di laut.
Pendidikan Intai Amfibi yang memiliki sisiwa terbayak dengan 61 siswa akan dilaksanakan selama 10 bulan. Diktaifib bertujuan agar para siswa menjadi prajurit taifib yang dapat melaksanakan tugas pengintaian dan penyelidikan dalam operasi amfibi dan operasi-operasi lain melalui darat, laut dan udara. (Pen Kobangdikal)

sumber : http://www.tnial.mil.id/Artikel/tabid/61/articleType/ArticleView/articleId/308/Default.aspx

tingkatkan SDM, TNI AL buka 4 pendidikan khusus

Untuk meningkatkan kualitas dan keahlian sumber daya manusianya, TNI AL melalui Komando Pengembangan dan Pendidikan Angkatan Laut (Kobangdikal) membuka empat pendidikan kualifikasi khusus (Dikbrivet), Dikpaska, Diktaifib, Dikjursel dan Dikcawakasel yang dibuka secara resmi oleh Wakil Komandan Kobangdikal Brigjen TNI Marinir Halim A. Hermanto, di Lapangan Kihadjar Dewantara, Kobangdikal, Selasa (20/11).

Menurut Komandan Kobangdikal Laksda TNI Edhi Nuswantoro dalam amanatnya yang dibacakan Wadan Kobangdikal mengatakan, selain pengembangan organisasi, penambahan dan pemutakhiran teknologi alutsistanya, kemampuan prajurit yang handal juga menjadi prioritas utama, seperti halnya empat program pendidikan berkualifikasi khusus ini.

Dikaitkan dengan kondisi dan konstelasi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dan lautnya yang terbuka, setengah terbuka dan tertutup, maka kehadiran naval power akan memberikan tiga keunggulan sekaligus, yaitu keunggulan sebagai unsur defensif yang mematikan, unsur ofensif yang efektif dan detterence factor yang baik, sehingga musuh akan takut dan mengurungkan niat jahatnya.

Menurutnya, strategi pertahanan negara kita harus mengedepankan strategi pertahananmaritim dengan memperhatikan kondisi geografis sebagai
negara kepulauan. Oleh karena itu,TNI AL harus mampu mewujudkan laut yang aman dan terkendali, yaitu kondisi laut yang bebas dari beberapa ancama, tegas Komandan Kobangdikal.

“sudah sepantasnya Indonesia mempunyai kekuatan Angkatan Laut setara Green Water Navy yaitu kekuatan yang dapat diandalkan untuk menegakkan stabilitas keamanan dan berkemampuan mengadakan perlawanan terhadap setiap ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan,” tegasnya.

Megenai pembukaan empat pendidikan brivet yang berada di bawah tanggungjawabnya, pendidikan Pasukan Katak yang kali ini diikuti 24 orang ini akan dilaksanakan selama 10 bulan dengan tujuan agar para siswa mampu melaksanakan tugas-tugas dalam operasi amfibi maupun tugas-tugas dalam peperangan khusus laut

Sementara itu 24 orang turut dalam pendidikan Calon Awak Kapal Selam yang akan digelar 9 bulan. Pendidikan Dikcawakasel bertujuan agar para siswa memiliki pengetahuan dan ketrampilan teknis kapal selam type 209 serta kecakapan khusus yang dapat ditugaskan sebagai pasukan bawah air.

Untuk Pendidikan Juru Selam yang diikuti 13 orang ini akan dilaksanakan selama 6 bulan dengan tujuan untuk mendidik para siswa menjadi juru selam TNI AL yang profesional guna mendukung kesiapan dan keselamatan bawah air khususnya KRI dalam suatu operasi di laut.
Pendidikan Intai Amfibi yang memiliki sisiwa terbayak dengan 61 siswa akan dilaksanakan selama 10 bulan. Diktaifib bertujuan agar para siswa menjadi prajurit taifib yang dapat melaksanakan tugas pengintaian dan penyelidikan dalam operasi amfibi dan operasi-operasi lain melalui darat, laut dan udara. (Pen Kobangdikal)

sumber : http://www.tnial.mil.id/Artikel/tabid/61/articleType/ArticleView/articleId/308/Default.aspx

Mencetak Model Bukan Sekedar Modal Tampang

"LPK Silhouette, Batam, mencetak para modeling tidak hanya sekedar tampang, tapi memiliki kompetensi. Tidak sedikit lulusan LPK Silhouette yang sudah bisa langsung bekerja."

Ratih dan Trecy memang belum lulus dari kursus Modelling LPK Silhouette. Tapi keduanya kini sudah bisa mencari uang sendiri. Penghasilannya cukup lumayan untuk membantu kedua orang tuannya yang tidak mampu. Bahkan dari penghasilanya itu, mereka sudah bisa membiayai kursusnya sendiri. Maklum sekalipun belum tamat, Ratih dan Trecy memang sering diajak oleh lembaga tempatnya belajar itu untuk mengikuti event-event sebagai sales promotion dibidang jasa usaha perhotelan. Itulah salah satu keunggulan yang dimiliki LPK Silhouette, Batam. Sekalipun peserta didiknya belum menamatkan pendidikan ketrampilannya, mereka sudah bisa mencari uang.
Biasanya LPK Silhouette mengkaryakan peserta didiknya diberbagai kegiatan event organizer. Para peserta didiknya dilibatkan sebagai modeling atau sales promotion. Untuk itu LPK Silhouette selalu menjalin kerjasama dengan beberapa mitra kerja perusahaan produk maupun jasa untuk mempromosikan suatu produk atau jasa dari perusahaan itu. Event promosi yang sering dilakukan adalah dibidang produk Sepeda Motor, Mobil, Hand Phone, Busana, Alat rumah tangga, Elektronika, Kosmetika, jasa perbankan, pariwisata (Tour And Travel) dan perhotelan.

Maklum bagi peserta didik yang belum lulusan biasakan juga dididik untuk mengerjakan pekerjaan sekretaris atau asisten event organizer, PiaR dan modeling pada suatu event promosi baik untuk perusahaan yang menghasilkan produk maupun jasa.
Menurut Silvia Hilda Kusumaningtyas,sang pemilik LPK Silhouette, keinginanya mendirikan lembaga kursus dan pelatihan Silhoutte Training Centre ini bermula dari minat dan bakat yang dimilikinya sejak kecil. Selain itu ia juga memiliki niat mendidik dan ingin memajukan serta mengembangkan pendidikan keterampilan serta kemampuan kepribadian di bidang modeling bagi masyarakat khususnya kaum perempuan di kota Batam, Propinsi Kepri. Perempuan kelahiran Semarang, Jawa Tengah yang sudah lama merantau di kota Batam itu juga tidak mau niatnya membuka kursus ini untuk sekedar cobacoba. Karena itu dalam menjalankan lembaga ketrampilanya, Silvia tidak senantiasa serius dan penuh ketekunan. Dengan bermodal itu, Silvia mulai memberanikan diri membuka LPK Silhouette di rumah tempat tinggalnya.

Awal berdirinya pada tahun 2000 Silvia hanya memiliki beberapa orang murid. Namun dengan modal kesabaran dan dengan ketekunan mendidik peserta didiknya lambat laun mulai bertambah. Silvia hanya ingin menanamkan dan membangkitkan peran ganda kaum perempuan khususnya kalangan remaja dan ibu rumah tangga. Bagi Silvia, mereka tidak hanya berbakti pada keluarga dan hanya bisa mengerjakan urusan rumah tangga saja. Tapi sebaliknya mereka juga harus maju. Silvia selalu berusaha mendorong para kaum perempuan agar dapat terus aktif dan ikut serta berperan dalam pembangunan di segala bidang. Sebab menurut Silvia, kehidupan kaum perempuan dijaman sekarang dan akan datang lebih dituntut punya peran yang sama dengan kaum pria. Bahkan perempuan memiliki peran ganda. Untuk itu kata Silvia mereka perlu membekali diri dengan pendidikan dan keterampil sebagai pegangan untuk berkompetensi. Kebanyakan masyarakat yang mengikuti pendidikan di LPK Silhouette adalah masyarakat yang kurang mampu. Terutama adalah anak remaja putri yang masih menganggur dan putus sekolah yang ingin mengembangkan minat bakatnya menjadi model. Biaya selama mengikuti kursus mulanya ditanggung oleh dana yayasan. Selanjutnya dikembalikan setelah mereka bekerja. Bagi masyarakat yang tidak mengikuti program kursus, LPK Silhouette juga membuka kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan keterampilan fungsional praktis di bidang kerajinan tangan yang bahannya diolah dari hasil laut. Sasaran utamanya bagi kaum ibu rumah tangga yang tinggal didaerah pesisir. Hal ini dilakukan untuk membantu masyarakat dan sebagai bentuk kepeduliannya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tidak sedikit lulusan LPK Silhouette yang telah bekerja. Jeny misalnya begitu lulusan dari LPK Silhouette ia langsung bekerja sebagai Costumer Service pada salah satu perusahaan sellular di Batam. Semula Jeny dikenal sebagai siswi pendiam dan jarang bergaul. Namun setelah mengikuti dan digembleng di LPK Silhouette akhirnya dia sudah terbiasa melayani kostumernya dengan baik. Walaupun telah bekerja Jeny juga masih sering berkoordinasi dengan pengelola lembaga dan kadang masih dilibatkan untuk suatu event acara promosi.

Begitu juga Veby, setelah lulus dari LPK Silhouette pada tahun 2007, ia langsung bekerja di Salon Puspita Martha sebagai public relation. Karena sikap dan kompetensi yang dimilikinya Veby ditawari untuk bekerja di salon yang cukup besar di kota Batam itu. Ia tidak hanya sukses di tempat ia bekerja sebagai karyawan tapi sudah segudang prestasi yang telah diukir di bidang modelling sebagai profesinya
baik ditingkat nasional sampai ke mancanegara seperti ke Malaysia dan Singapore. Bahan pada bulan Septemberlalu Veby mewakili Indonesia pada kontes pemilihan Modelling tingkat Asean dan menjadi juara pertama. Ia mengakui bahwa setelah lulus SMA ia sempat nganggur dan dirumah saja. Tetapi setelah digembleng dalam waktu tidak terlalu lama di lembaga Shiloutte ia bisa cepat bekerja. Dan dengan seringnya dikutsertakan pada event- event promosi dan lomba sekarang semakin meingkat karier dan profesinya di bidang modeling. Kesuksesan sama tidak hanya Veby, para lulusan LPK Silhouette pada awalnya menganggur.

Namun berkat karena hasil gemblengan di LPK Shiloutte begitu lulus mereka menjadi unggul, mudah memperoleh kerjaan atau selalu diikutkan pada event-event modeling karena sudah memiliki ketrampilan dan kompetensi yang dapat dihandalkan.


Sumber: Tim Info Kursus

tantangan zaman, kaum muda, pendidikan agama.

Tantangan yang menghadang
Modernitas zaman yang bergerak dengan langkah angkuh telah meninggalkan jejaknya yang membekas pada kegalauan dan disorientasi. Ketika ruang-ruang makna mulai bergeser pada wacana dan kesadaran yang bersifat praktis, dangkal dan ambivalen, mulailah orang bingung. Tampak wajah muda mulai cemas dihimpit kegalauan, ketika tiada lagi apa yang diacu. Dirinya hanya mampu bersandar pada wajah-wajah entertaining yang hanya menyediakan seklumit kata-kata kesenangan. Ketika pulang pun, mereka hanya bertemu dengan jalan-jalan yang dihiasi toko kelontong besar dan pancaran temaram lampu rave party. Seklumit kecemasan itu telah menusuk kedalam kalbu seorang ibu yang kesehariannya mengajar agama di SMA PIRI, dan tentu saja pada beberapa orang lainnya.
Pertanyaan kecil terkata dari bibirnya, "bagaimana sumbangan pendidikan agama menghadapi kecemasan ini,". Tentu saja, pendidikan agama harus mau berbalik arah, membalik paradigmanya dari sekedar doktriner kepada pengalaman yang menyentuh kaum muda. Pendidikan agama yang berbasis pengalaman menjadi salah satu alternatif yang perlu dikembangkan.
Ya, memang banyak cara yang perlu dikembangkan, salah satunya, bagaimana mengenalkan pengalaman hidup di seputar kaum muda untuk mengajak mereka memahami makna yang lebih mendalam. Tantangan zaman ini begitu besar, tidak sepantasnya pendidikan agama yang berorientasi pada nilai moralitas dan imani hanya memberikan dalil-dalil jawaban seperti layaknya ilmu eksakta. Pendidikan agama hendaknya mampu mengajak kaum muda menemukan secara mandiri hidup mereka dengan persoalan yang tengah dihadapi, dengan pengalaman hidupnya dengan nilai-nilai agama.
Tantangan zaman telah merajut kekuatannya dengan segala media yang ada, dari cyber, televisi dan berbagai rajutan pola yang membentuk cara pandang orang muda. Tentu saja, hal ini juga menjadi tantangan bagi beberapa guru agama yang ada dipinggiran kota, seperti Bantul. Banyak cara yang dicoba diupayakan, tidak hanya di kota besar saja, karena rajutan media yang begitu menggurita telah membentuk cara baru dalam memandang. Memang, modernitas zaman jangan hanya dilihat sebagai yang negatif saja, karena zaman kaum muda tentu saja berbeda juga dengan zamannya para buyut mereka, ya atau para guru agama mereka. Maka, pengaruh modernitas perlulah dilihat sebagai tantangan, bukan ancaman yang tidak dapat diatasi atau dimanfaatkan.
Tantangan modernitas apakah perlu diselami oleh guru agama zaman sekarang, hingga mereka harus melebur untuk mampu menyapa kaum muda. Itulah secarik pertanyaan yang dilematis. Tentu saja, bukan ngintir tetapi harus mampu "berenang" dalam riakan gelombang itu, hingga dengan jenaka, ada yang nyentil, " wah, guru agama apakah juga ikut mendem dulu agar mampu menyapa kaum muda?". Ya, tentu saja, yang paling penting guru agama harus mampu menyapa secara mendalam setiap pribadi yang unik sifatnya, dan banyak hal alternatif dan kreatifitas yang dapat dibuat.

Merangkai rajutan Pendidikan Agama yang progresif
Kaum muda merupakan "subyek" kajian yang begitu menarik. Menariknya, karena kaum muda mempunyai dunia yang khas, sarat dengan berbagai dinamika dan ruang kreatifitas yang beragam dan kompleks. Mareka bergerak dengan warna yang cerah, jiwa serta imaginasi yang begitu bebas dan sarat akan perubahan.
Mereka lahir dari dunia yang selalu membaca dengan mata pareto, apapun mereka baca dengan kata "lawan" , "cari yang lain daripada yang lain", "pilihlah warna yang kontras", dan lain sebagainya, yang penting "lain". Mata mereka yang pareto membuat mereka "tidak akan pernah jenak" dengan rutinitas dan konservatisme. Hal itulah yang membawa mereka bergerak menekan tombol religious doubt di kepala mereka, yaitu demitologisasi kritis terhadap segala macam simbol-simbol agama sebagai suatu organisasi yang dipandang konvensional menjadi ikon mereka.
Untuk itu, seorang guru agama dari SMA BOPKRI I mencoba mengayunkan langkahnya untuk membuat suatu yang berbeda mengenai pendidikan agama. Pendidikan agama yang berbasis pengalaman, seperti apa yang dilakukan di SMA PIRI, dicoba diterapkannya dengan gagasan yang kreatif, hingga seringnya ia dicap "ateis", karena dinilai "kebablasan" dalam mengemas pendidikan agama. Namun, gayung progresifitas pasti bersambut, ketika disadari, bahwa guru harus merdeka dari tekanan dan penjara sistem pendidikan yang konvensional agar selalu dapat memperkembangkan visinya.
Pendidikan agama hendaknya dimulai dari apa yang selalu menjadi pertanyaan eksistensial hidup. Kaum muda perlu disapa dari apa yang paling ultim dari dirinya, pertanyaan-pertanyaan yang sederhana dari hidup mereka yang berwarna-warni itu. Untuk itu, seorang pastur Jesuit dari Sanata Dharma, mencoba membagikan sebuah pendekatan yang bisa menjadi inspirasi bagi pendidikan agama, yaitu pendekatan psikologis pendampingan pengembangan diri.
Pendidikan agama yang mampu menyapa hati kaum muda secara mendasar itulah yang diusahakan. Harapannya, segala pertanyaan soal hidup yang selalu menjadi muara dalil-dalil agama tidak hanya dibingkai secara formalistik, tetapi sungguh dimulai dari kerinduan yang paling ultim dari setiap individu. Sehingga diharapkan pendidikan agama perlu mencari pendekatan-pendekatan yang progresif dan kreatif agar menjadi salah satu ruang bagi kaum muda memandang, melihat merefleksikan dan bertindak atas hidup mereka.
Sehingga pertanyaan dari seorang aktivis Dian Interfidei, sebarapa jauh kaum muda mampu secara konsisten, dewasa dan utuh mempunyai nilai-nilai yang diacu untuk hidupnya yang penuh tantangan oleh disorioentasi nilai di zaman sekarang ini dapat mereka temukan dari sebuah jalan kecil pendidikan agama, sebuah jalan kecil bermula dari kegelisahan forum guru-guru agama di Yogyakarta ini. Tentu, forum ini perlu terus belajar untuk merajut pemikiran-pemikiran progresif bagi secarik catatan kecil dari sebuah peta besar pendidikan di Indonesia, secara khusus pendidikan agama.

Bravo, guru-guru agama, ditanganmulah,
ada langkah kecil untuk mengenalkan langit di kaki dunia yang galau ini
bagi insan muda yang memegang tongkat estafet
masa depan Indonesia


sumber :http://guru-merdeka.blogspot.com/2007/11/tantangan-zaman-kaum-muda-dan.html

Merombak Pendidikan Agama Islam

JIKA kredibilitas Departemen Agama dipertanyakan dalam mengelola pendidikan,
maka Depag harus legawa (rela) melepaskan Universitas Islam Negeri (UIN)
kepada Departemen Pendidikan Nasional. Hakikatnya UIN tidak berbeda dengan
Perguruan Tinggi yang di dalamnya mengelola Fakultas Agama. Departemen Agama
seyogianya dapat melepaskan beban politis ideologis; artinya, tidak perlu
khawatir nilai dan pesan-pesan agama terdistorsi, karena sudah ada
Undang-Undang Pendidikan Nasional yang menjamain tumbuh berkembangnya
nilai-nilai agama dalam pendidikan formal.
Rumusan pemikiran di atas merupakan kata kunci yang disodorkan oleh DR
Ahmadi dalam pidato pengukuhan guru besar Ilmu Pendidikan Islam pada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
Ahmadi membuat perbandingan di negeri Belanda dalam penelitiannya tahun
1993-1994 tentang Studi Agama di Belanda, bahwa negara yang menganut paham
sekuler, masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi yang bermuatan
pesan-pesan spiritualitas dijembatani dengan peraturan perundang-undangan
yang disebut dengan Duplet Ordo dengan produk pendeta-pendeta Kristen yang
komit dengan agamanya. Jika Belanda mampu melaksanakan Pendidikan Agama di
perguruan tinggi dengan pendekatan religius, Indonesia dengan Pancasilanya
sudah pasti lebih mampu.
Ahmadi menolak dikotomi lembaga pendidikan Islam. Munculnya UIN, sebuah
jelmaan IAIN/STAIN sebagai universitas yang berlabelkan Islam telah
mendiskreditkan perguruan tinggi negeri lain yang tidak berlabelkan Islam
menjadi tidak Islami.
Sederetan universitas yang dapat disebut seperti; UGM, Undip, ITB, dan UI
serta PTN lain serta universitas Islam swasta, telah banyak memunculkan
produk pakar santri dengan komitmen yang tinggi terhadap Islam dan
ke-Indonesian.
Pemikiran Ahmadi tersebut merupakan catatan pertimbangan dalam pendirian UIN
ke depan. Analisis itu ditunjukkan dalam konsep pengembngan kurikulum IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menggunakan pendekatan integratif dan
interkonektif yang dimaksudkan untuk membangun kurikulum yang inklusif dan
humanis.
Ahmadi lebih berpihak pada IAIN/STAIN agar tidak terburu-buru mengubah diri
menjadi universitas. Karena, jika IAIN sebagai PTAI mampu meningkatkan
kualitas dan pengembangan ilmu keislaman yang bergayut dengan problema
kehidupan, IAIN akan menjadi pesan khusus yang dicari masyarakat.
Islam Suplemen
Posisi Khalifatullah fil Ardl tidak cukup hanya dengan bekal agama. Iman
yang tidak disertai ilmu, mudah ditipu, demikian sebaliknya ilmu tanpa iman,
menjadi penipu.
Dalam konteks ini, Ahmadi berpendapat bahwa Pendidikan Agama mempunyai
peranan strategis dalam mengintegrasikan nilai-nilai dalam seluruh kegiatan
pendidikan.
Implikasi dari pemaknaan pendidikan Islam adalah reposisi pendidikan Islam
dalam sistem pendidikan nasional.
Berikut ini adalah cuplikan sebagai tulisan atas Ahmadi dalam kertas pidato
pengukuhan guru besarnya yang mengulas relevansi substansi antara pendidikan
nasional dengan pendidikan Islam.
Pertama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar
pendidikan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam (Tauhid); kedua,
pandangan terhadap manusia sebagai makhluk jasmani-rohani yang berpotensi
untuk menjadi manusia bermartabat (makhluk paling mulia); ketiga, pendidikan
bertujuan untuk mengembangkan potensi (fitrah dan sumber daya manusia)
menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi
pekerti luhur (akhlak mulia), dan memiliki kemampuan untuk memikul tanggung
jawab sebagai individu dan anggota masyarakat.
Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada posisi konsep. Ditinjau dari
tataran universalitas konsep Pendidikan Islam lebih universal karena tidak
dibatasi negara dan bangsa, tetapi ditinjau dari posisinya dalam konteks
nasional, konsep pendidikan Islam menjadi subsistem pendidikan nasional.
Karena posisinya sebagai subsistem, kadangkala dalam penyelenggaraan
pendidikan hanya diposisikan sebagai suplemen.
Mengingat bahwa secara filosofis (ontologis dan aksiologis) pendidikan Islam
relevan dan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional,
bahkan secara sosiologis pendidikan Islam merupakan aset nasional, maka
posisi pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional bukan sekadar
berfungsi sebagai suplemen, tetapi sebagai komponen substansial.
Artinya, pendidikan Islam merupakan komponen yang sangat menentukan
perjalanan pendidikan nasional. Keberhasilan pendidikan Islam berarti
keberhasilan pendidikan nasional, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu,
pendidikan nasional sebagai sebuah sistem tidak mungkin melepaskan diri dari
pendidikan Islam. Secara yuridis hal ini telah terakomodasi dalam
Undang-Undang Sisdiknas no. 20 tahun 2003.
Dengan terintegrasikannya sistem pendidikan nasional Islam sebagai komponen
substansial ke dalam system pendidikan nasional, maka konsep lama yang
membatasi pengertian pendidikan Islam secara sempit hanya pendidikan
keagamaan harus dihapuskan. Implikasi politisnya adalah, kebijakan lama yang
sampai sekarang masih berlaku yaitu memisahkan antara pendidikan Islam
(keagamaan) yang dikelola dan dibina oleh Departemen Agama dan pendidikan
umum yang dibina dan dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional, harus
ditinjau kembali.
Upaya peninjauan kembali peranan Depag sebagai pengelola pendidikan Islam
memerlukan pikiran jernih, dengan menghilangkan kegamangan dari para elite
muslim dan menanggalkan beban politis ideologis masa lalu yang selama ini
menggelayutinya, serta memfokuskan pada pertimbangan pedagogis dan akademis.
Jika hal ini dapat dilakukan, maka akan lahir kebijakan yang reformatif,
yaitu : pengelolaan pendidikan Islam yang selama ini berada di tangan
Departemen Agama diserahkan kepada Departemen Pendidikan Nasional, dengan
pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, situasi dan kondisi sosio-kultural-politik sudah berubah. Kalau
kekuatan sosio politik pada awal kemerdekaan terbelah tajam secara ideologis
menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang keduanya terlibat dalam
pergumulan politik ideologis sedemikian keras, maka sekarang sudah berubah.
Kalau para tokoh nasionalis Islam di awal kemerdekaan memperjuangkan
masuknya pendidikan Islam (keagamaan) dalam pengelolaan Departemen Agama
merupakan keharusan sejarah (dlaruri), maka tidak demikian halnya di waktu
sekarang.
Sekarang Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah merupakan common platform.
Aspirasi politik umat Islam sudah menyebar ke semua partai politik yang ada
dan tidak utuh lagi. Bahkan parpol yang berlabel Islam tidak memiliki
kekuatan penentu. Oleh karena itu klaim bahwa Departemen Agama sebagai
representasi kumpulan semua kekuatan sosio-politik Islam dan sebagai
satu-satunya penyangga pilar pendidikan Islam sudah tidak relevan lagi.
Kedua, dualisme sistem kelembagaan pendidikan di Indonesia (pendidikan
keagamaan oleh Departemen Agama dan pendidikan umum oleh Depdiknas) menurut
Zamahsyari Dhofir merupakan suatu keunikan. Menurut hemat saya dualisme
semacam itu dalam kondisi sekarang merupakan suatu keanehan yang perlu
diluruskan. Manajemen modern mengenalkan prinsip efektivitas, efisiensi, dan
fungsional sebagai kunci keberhasilan manajemen. Oleh karena itu, penyerahan
otoritas pengeloilaan pendidikan Islam ke Depdiknas berarti melaksanakan
prinsip ini.
Ketiga, secara teoritis pengembangan ilmu pengetahuan akan optimal, manakala
bebas dari tekanan berbagai kepentingan lain terutama politik, sebagaimana
kata syair Al-'ilmu la yumkinu an yanhadladla illa idza kana khurran (ilmu
tak akan berkembang kecuali ada kebebasan). Kehidupan modern mengenal adanya
bermacam-macam institusi seperti politik, ekonomi, budaya, agama, dan
pendidikan. Masing-masing memiliki wilayah garapan dan penataan
sendiri-sendiri. Lembaga pendidikan sebagai pranata ilmu pengetahuan harus
terlepas dari tekanan institusi lain.
Keempat, wilayah garapan pendidikan yang selama ini dikelola oleh Depag
sudah sedemikian luas, tidak hanya pendidikan agama dan keagamaan, tetapi
mencakup hamper semua bidang ilmu pengetahuan, sehingga kelebihan beban
(over loaded). Kalau hal ini diteruskan berarti pemaksaan diri karena
memberikan beban tugas di luar batas kemampuannya.
Kelima, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutam yang
berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti
kebijakan Depdiknas. Depag sebagai pengikut konsekuensinya selalu di
belakang, artinya menunggu kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas.
Di kalangan dosen hal ini sangat dirasakan karena kenaikan pangkat lektor
kepala dan guru besar ditentukan oleh Depdiknas. Sedangkan contoh paling
mutakhir adalah mengenai pengembangan kurikulum dengan pendekatan kompetensi
(KBK). Dengan demikian berarti Depag tidak memiliki otoritas, sehingga
inovasi dan kreativitas menjadi terbatas.
Keenam, kalau kita sepakat perlunya mewujudkan pendidikan nondikotomik, maka
dengan menempatkan pendidikan Islam pada satu atap di Depdiknas berarti
sudah menghilangkan pendidikan dikotomik, sekurang-kurangnya dari aspek
kelembagaan.(18)

sumber : -RozihanDosen Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Sultan Agung

Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural

Saat ini pendidikan agama baik di sekolah maupun perguruan tinggi mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Kritik yang paling menonjol adalah bahwa pendidikan agama tidak berdampak pada perubahan perilaku anak didik setelah mengalami proses pendidikan tersebut. Meskipun di beberapa sekolah pendidikan agama diberikan dengan porsi yang cukup besar, namun tetap tidak mampu mencegah anak berperilaku buruk seperti pergaulan bebas, tawuran, berpikiran sempit (dogmatis), kurangnya toleransi dan menghargai orang lain. Tidak heran jika banyak orang menjadi apatis dengan pendidikan agama, dan mempertanyakan sejauh mana efektifitas mata pelajaran tersebut bagi peningkatan kesadaran siswa baik secara kultural maupun agama.

Padahal salah satu modal penting dalam mengembangkan keberagamaan yang inklusif dan pluralis adalah melalui pendidikan agama. Di era multikulturalisme ini, pendidikan agama merupakan pilar penyangga kerukunan umat, sehingga diharapkan tidak saja menjadi fondasi integritas nasional yang kokoh, tetapi juga menjadi fondasi pengayom keberagaman yang sejati (genuine pluralism).

Sayangnya, pendidikan agama selama ini kurang bisa diharapkan kontribusinya dalam pembentukan masyarakat yang menghargai pluralisme, dan cenderung tidak menunjang demokratisasi. Hal ini disebabkan karena para guru agama umumnya masih menekankan segi kognitif dan hafalan semata, sementara ajaran agama disampaikan secara melulu teologis-indoktriner, menekankan eksklusifitas dan mengabaikan aspek pluralitas, sehingga makin membentuk chauvinisme rasa kebenaran pada agamanya sendiri. Selain itu masih lemahnya dukungan suasana dan sistem yang kondusif bagi perkembangan perilaku siswa yang lebih baik. Misalnya jika di sekolah tradisi penghormatan satu sama lain kurang, baik karena etnik, budaya atau agama yang berbeda, maka tentu sulit diharapkan kepada siswa untuk merubah perilakunya menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Dampaknya, pengajaran agama menjadi kurang menyentuh aspek realitas sosial yang sesungguhnya dan tidak sampai pada aksi nyata dari proses perilaku keagamaan. Untuk itu model pendidikan agama gaya lama yang cenderung eksklusif, dogmatis, mengacu pada masa lalu yang kelabu, dan tidak menyentuh aspek moralitas, perlu didekonstruksi atau dibongkar, kemudian dimunculkan model pendidikan yang menghargai kemanusiaan, membebaskan dari penindasan, memupuk persaudaraan, dan menekankan kebaikan serta kesejahteraan bersama.

Pendidikan agama haruslah diubah orientasi dan metodologinya. Pendidikan agama seyogianya bukan hanya berisi pengajaran tentang ajaran-ajaran agama dan kepercayaan ketuhanan semata. Namun, pendidikan agama harus memaparkan realitas sosial dan problem empirik, bervisi emansipatoris, dan menghindarkan diri dari indoktrinasi. Dengan begitu, pendidikan agama dapat menghasilkan pendidikan moral kemanusiaan yang berjiwa agama.

Pengembangan pendidikan agama berwawasan multikultural dapat diterapkan pada beberapa aspek; orientasi muatan (kurikulum), orientasi siswa dan orientasi reformasi persekolahan. Di dalam pendidikan yang berorientasi pada muatan, J. A. Banks (1999) menawarkan kerangka reformasi kurikulum dengan beberapa pendekatan; Pertama, pendekatan kontributif, dimana tujuan utama pendekatan ini dalam muatan kurikulum adalah untuk memasukkan materi-materi tentang keragaman kelompok-kelompok keagamaan (termasuk kelompok etnik dan kultural).

Kedua, pendekatan aditif yaitu mengambil bentuk penambahan muatan-muatan, konsep-konsep kedalam kurikulum tanpa mengubah struktur dasarnya. Dengan pendekatan ini, pendidikan agama memanfaatkan muatan-muatan khas multikultural sebagai pemerkaya bahan ajar; konsep-konsep tentang harmoni dan kehidupan bersama antarumat beragama memberi nuansa untuk mencairkan kebekuan "state of mind" siswa (dan guru) dalam merespon eksistensi agama-agama lain; tema-tema tentang toleransi, ko-eksistensi, pro-eksistensi, kerjasama, saling menghargai, saling memaham

sumber : http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=136722

Negara, Pendidikan Agama, Moralitas Bangsa

RUU Sisdiknas, khususnya pasal 12 ayat 1 (a), menghadapi keberatan kaum Nasrani
karena motif tertentu. Kini muncul pandangan yang mulai meragukan urgensi dan
efektivitas pendidikan agama, bahkan agama, bagi peningkatan moralitas bangsa.
Tulisan ini adalah tanggapan untuk tulisan Denny J.A., Jawa Pos Kamis, 20 Maret
2003.

Diskursus mengenai urgensi pendidikan agama di negeri ini sebaiknya dihubungkan
dengan ideologi formal negeri ini. Terlepas dari wacana yang berkembang, secara
ideologis, negeri ini telah mendasarkan dirinya pada Ketuhanan yang Maha Esa
(sila pertama Pancasila).

Secara konstitusional, negara memberikan hak hidup kepada agama-agama (UUD pasal
29). Kemudian, pada praktiknya, negara ikut campur dalam urusan agama. Institusi
atau departemen yang mengatur agama didirikan. Bahkan, partai politik yang
berdasar agama dibolehkan. Para pemimpin negeri ini menggunakan isu agama untuk
kepentingan politik.

Jika Pancasila dipahami dalam bentuk piramida terbalik, sila "Ketuhanan yang
Maha Esa" harus menjadi landasan segala sistem di negeri ini. Jika pun dipahami
dalam bentuk struktur kerucut, sila itu menjadi tujuan segala sistem. Karena
itu, Negara RI secara ideologis dan konstitusional berhak mengatur kehidupan
beragama rakyatnya, termasuk pendidikan agama. Negara ini adalah negara
berketuhanan, bukan negara sekuler.

Moralitas Bangsa

Jika negara ini telah disepakati sebagai negara berketuhanan, baik-buruk
moralitas bangsanya tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah. Ini berarti
bahwa sistem dan kebijakan pemerintah di segala bidang harus senantiasa berdasar
pada prinsip ketuhanan yang kondusif bagi pembinaan moralitas bangsa. Sistem
pendidikan nasional adalah salah satu di antara sekian sistem yang berhubungan
dengan pembinaan moral bangsa.

Pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri dan swasta memiliki landasan
konstitusional. Bahkan, itu harus terus dipertahankan dan dikembangkan sehingga
efektif dalam mendukung pembinaan moral bangsa ini.

Persoalannya, apakah pendidikan agama yang sekarang ini dilaksanakan telah
benar-benar efektif. Jika jawabnya adalah negatif, aka diperlukan clinical
remedy atau rekonstruksi materi pelajaran agama itu. Di sini perlu dilibatkan
pakar masing-masing agama untuk menentukan kualitas materi dan pakar bidang
pendidikan untuk metodologi.

Seperti disinggung di atas, di negeri yang menjunjung prinsip ketuhanan ini,
rasanya tidak perlu lagi mempersoalkan apakah pendidikan agama perlu diajarkan
di sekolah atau tidak. Ide meniadakan pendidikan agama dengan alasan masih
adanya dekadensi moral di masyarakat, rasanya, terlalu simplistik. Sama halnya
dengan logika Gulliver Traveller: "Jika sepatu Anda kotor, Anda tidak perlu
membersihkan karena nanti akan kotor lagi". Juga jika ekonomi negara ini mundur,
pelajaran dan fakultas ekonomi sebaiknya dibubarkan.

Kebobrokan moral bangsa saat ini tidak dapat dinilai dari variabel agama saja.
Bahkan, variabel-variabel dalam agama seperti jumlah pelaksana haji, jumlah
masjid dan gereja, atau simbol-simbol ritual lainnya tidaklah cukup. Variabel
lain-lain seperti kebijakan politik pemerintah, rekrutmen pegawai, pembangunan
suprastruktur dan infrastruktur, dan sebagainya, selama ini tidak meletakkan
peran agama secara proporsional.

Korelasi bahwa "semakin banyak jumlah penduduk yang naik haji semakin baiklah
moralitas bangsa" adalah korelasi yang tidak signifikan. Haji bukan ukuran
keimanan dan moralitas seseorang.

Selain itu, perlu dipertanyakan pula apakah populasi pelaksana haji atau
pengunjung gereja dan populasi pelaku tindakan amoral itu sama? Apakah para
koruptor itu adalah orang yang benar-benar taat beragama?

Korupsi, manipulasi, kolusi, dan tindakan amoral lain, sejatinya, adalah produk
sistem yang tidak adil. Kotornya Sungai Ciliwung bukan karena salah ulama atau
pelajaran agama di sekolah, tapi karena bobroknya sistem sanitasi yang dibangun
pemerintah yang korup. Perampokan, pembunuhan, penipuan, dan lain-lain adalah
buah dari ketidakadilan sosial dan ekonomi.

Sekarang marilah kita lihat negara Amerika atau negara Barat lain. Ekonomi
mereka maju, kehidupan publiknya nyaman, sistem sosialnya tampak rapi. Kesadaran
masyarakat terhadap peraturan publik tinggi. Tapi, perlu ingat bahwa agama
ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungi secara hukum, tapi agama
tidak boleh bersifat publik. Perayaan Natal meriah, Idul Adha tidak boleh di
lapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon.

Pelajaran agama tidak saja absen di sekolah, tapi murid-murid, khususnya muslim
tidak mudah melaksanakan salat lima waktu di sekolah. Kegiatan seks di kalangan
anak sekolah bebas, asal tidak melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal
untuk diri sendiri. Jadi, dalam kehidupan publik, kita tidak boleh melihat wajah
agama.

Apa yang disebut prinsip moral, sejatinya tak jelas, ia berbeda dan malah
bertentangan dengan arti akhlak Islam. Agama direduksi menjadi konvensi publik,
tuhan telah lama mati. Seorang muslimah yang menikah umur 17 tahun dan hamil,
misalnya, melanggar hukum. Tapi, seorang gadis Amerika yang hamil di luar nikah
tidak salah. Di manakah letak kebebasan beragamanya?

Di negara yang berketuhanan ini, agama perlu masuk ke dalam urusan publik.
Bahkan, pemerintah perlu memasukkan ke dalam setiap sistem secara jelas. Prinsip
keadilan harus ditegakkan: "Segala sesuatu diletakkan sesuai dengan tempat dan
proporsinya."

Pendidikan agama di sekolah ditingkatkan dan, kalau perlu, ditambah. Dalam
konteks RUU Sisdiknas, khususnya pasal 12 ayat 1 yang memberikan hak setiap
siswa untuk memperoleh pendidikan dan guru agama sesuai dengan agama
masing-masing, sudah cukup adil. Jika hak warga negara memperoleh pendidikan
agama dicabut, itu jelas tidak adil. Lebih tidak adil lagi jika semua siswa
diwajibkan belajar semua agama.

sumber : Hamid Fahmy, peneliti INSIST, mahasiswa PhD ISTAC Kuala Lumpur

Format Pendidikan Hindu di Sekolah "Mestinya Bermuara pada Pemahaman dan Terapan"

Krisis moral dan etika, harus diakui telah mengkondisikan kesenjangan di masyarakat. Masyarakat pun mulai mempertanyakan efektivitas pendidikan agama di lembaga pendidikan. Ditengarai ada permasalahan mendasar yang layak dipecahkan guna optimalisasi pencapaian sasaran pendidikan. Kurikulum pendidikan agama pun mulai ditimang-timang. Ternyata, terbatasnya alokasi waktu -- hanya dua jam dalam seminggu -- dinilai oleh berbagai kalangan sebagai salah satu penyebab. Pemuatan materi pelajaran yang tidak sesuai dengan usia anak didik telah membuat membiasnya pencapaian sasaran. Keberadaan guru yang tidak memahami betul ajaran agamanya juga dituding menjadi faktor penghambat. Benarkah? Lantas bagaimana solusinya, khususnya pendidikan agama Hindu?

====================

SELAMA ini, kurikulum pendidikan agama yang dominan memuat tataran kognitif hafalan membuat hasil pendidikan agama berhenti pada penilaian angka-angka. Padahal, muara pengajaran agama adalah tercapai kemampuan terapan dan pemahaman filosofinya.

Kenyataan ini, menurut Prof. Dr. IGN Gorda, M.S. merupakan masalah klasik yang bermuara pada tidak adanya keselarasan dalam penerapan pendidikan agama, khususnya agama Hindu di sekolah. Dikatakan, selama ini materi yang diajarkan tidak sesuai dengan usia anak didik. Untuk sekolah dasar (SD), seharusnya berbeda dengan materi yang diajarkan kepada mahasiswa. Dengan demikian, apa yang diberikan kepada anak didik akan dapat diterima dengan baik. ''Materi tersebut harus sesuai dengan sasaran yang dituju,'' jelasnya.

Gorda memaparkan dalam ajaran Hindu ada empat cara untuk bisa memahami agama itu atau mendekatkan diri dengan Tuhan. Keempat jalan inilah yang seharusnya dapat diterapkan dalam memberikan pengajaran Hindu di sekolah. Hal ini, mengisyaratkan pemberian materi harus mengacu pada jenjang pendidikan formal yang ada. Semua materi pengajaran itu harus berbeda. Cara tersebut dapat dilakukan melalui karma yoga.

Artinya, kata tokoh pendidikan yang juga pemerhati Hindu itu, dengan jalan ini seseorang dapat memahami ajaran agama dari perbuatan yang nyata. Lewat pola ini, anak didik diajarkan atau diberikan pendidikan agama dengan jalan memberikan contoh-contoh yang nyata. Hal ini sangat tepat kalau diberikan terhadap anak-anak yang baru mulai belajar, seperti anak-anak TK maupun tingkat SD awal.

''Bagaimana menyatakan rasa hormat terhadap anak yang lebih tua, bagaimana cara mewujudkan rasa bakti terhadap Hyang Widhi, yaitu dengan banten. Nah, cara seperti inilah yang diberikan terhadap anak-anak TK atau SD awal. Semua itu harus berdasarkan atas Weda,'' kata Ketua Program Pasca Sarjana LMN Denpasar ini sembari menambahkan, pada dasarnya, pemberian ajaran agama Hindu tidak harus melalui teori semata. Namun, bisa juga dilakukan dengan tindakan-tindakan nyata yang mencerminkan nilai-nilai keagamaan.

Kemudian kalau memberikan pendidikan agama terhadap anak-anak SD, kata dia, mereka bisa diberikan pengetahuan yang sifatnya masih sangat sederhana. Pada tahap ini, mereka diberikan tata krama bersikap sesuai ajaran agama. Salah satunya adalah menimbulkan rasa bakti kepada orangtua serta terhadap Tuhan. Salah satunya seperti membersihkan tempat suci, menjaga tempat itu dengan baik, merupakan salah satu pendidikan yang dapat diberikan terhadap anak-anak SD.

Kemudian pada tingkat SLTP ke atas, papar Gorda, mereka sudah bisa diberikan materi yang bersifat pemahaman, sehingga akan mampu menjelaskan ajaran agama sesuai dengan Weda. ''Tidak lagi mereka mengatakan mula keto,'' tandas Gorda sembari menambahkan demikian pula dengan tingkat yang lebih tinggi, materinya akan lebih diperbanyak dan sampai bentuk analisis untuk tingkat perguruan tinggi. ''Dalam tingkat ini sudah bisa diberikan Weda, etika, atau jnana dan raja yoga.''

Selain materi, yang tidak kalah pentingnya untuk diperbaiki dalam pengajaran agama Hindu di berbagai sekolah adalah dalam bidang sumber daya manusianya. Dalam hal ini guru yang mengajarkan agama. ''Saya melihat persoalan yang mendasar yang dialami dalam pendidikan agama, baik itu agama Hindu maupun agama lain, salah satunya adalah kekurangan guru yang betul-betul memahami agama itu sendiri,'' ujar mantan Rektor Undiknas itu.

Seorang guru, kata dia, harus mampu membedakan, kepada siapa mereka memberikan ilmunya. Mereka harus tahu cara yang terbaik untuk memberikan pendidikan agama terhadap anak didik. Sebab, seharusnya antara anak-anak SD, SLTP, SMU, dan mahasiswa cara yang diberikan berbeda. Cara tersebut harus disesuaikan dengan pola pikir yang terjadi dalam tiap anak didik.

Masalahnya, kata dia, selama ini terjadi suatu keterkungkungan terhadap seorang guru. Mereka harus ditargetkan mencapai sasaran tertentu, padahal sistem seperti itu tidak akan mampu membentuk sikap anak didik dengan baik. Hal tersebut juga dinilai akan membunuh kreativitas dari seorang guru dalam penyampaian materi. Sebab, mereka hanya berpedoman pada aturan yang telah ada, dan berlaku secara baku.

Jadi pada dasarnya, tandas Gorda, esensi pendidikan agama Hindu di sekolah sangat tergantung pada gurunya. Guru dalam sekolah pasti menjadi panutan. Kalau mereka mampu memberikan tatwa, etika, dan contoh-contoh yang baik, muridnya pun akan berbuat demikian. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk mengatakan kurikulum yang kurang sesuai atau waktunya yang kurang banyak, yang jelas keberhasilan tersebut sangat ditentukan oleh cara memberikan materi terhadap anak didik.

Prof. Dr. IGN Nala juga memandang dalam mencapai keberhasilan sebuah pendidikan, yang paling penting harus ada guru (SDM), murid, dan kurikulum sebagai acuan pengajaran. Ketiga faktor ini dinilai harus memiliki kualitas yang memadai -- baik dari segi SDM maupun kurikulum, sehingga mampu menghasilkan kualitas anak didik yang baik dari segi pemahaman agamanya.

Dalam konteks pengajaran sekarang dia menilai, perlu ada revisi terhadap kurikulum yang selama ini diterapkan di sekolah. Sebab, kurikulum yang ada sekarang dinilai belum sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Seharusnya, kurikulum yang diberikan pada tingkat SD, SLTP, SMU dan seterusnya harus dibedakan dengan jelas. Hal inilah yang perlu dilakukan revisi agar tidak ada kesan materi yang diajarkan di SD sama dengan apa yang diberikan pada tingkat SMU.

Di sisi lain, di mata Prof. Nala yang Rektor Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, permasalahan yang dihadapi dalam penerapan pendidikan agama Hindu di sekolah-sekolah adalah dana. Bahkan, dia mengatakan dana merupakan permasalah yang sangat mendasar merupakan hambatan untuk menciptakan out put yang baik.

Selain itu, kata dia, perhatian pemerintah terhadap pendidikan agama Hindu masih sangat kurang. Padahal, sesungguhnya pemerintah masih memerlukan lulusan-lulusan sarjana agama untuk ditempatkan di berbagai lembaga pendidikan maupun lembaga pemerintah lainnya seperti di Kanwil Agama. ''Perhatian pemerintah selama ini sangat kurang dalam upaya menciptakan SDM dalam bidang agama Hindu.''

Alokasi Waktu

Sementara itu guru agama Hindu Drs. I Gusti Ketut Widana memandang perlu adanya penambahan alokasi waktu untuk pendidikan agama di sekolah-sekolah. ''Yang perlu ditambah adalah alokasi waktu, bukan mata pelajaran lain seperti pendidikan budi pakerti. Sebab pendidikan itu sebetulnya sudah masuk dalam mata pelajaran lain seperti agama dan PPKn,'' ujar pengasuh mimbar Hindu di Mingguan Prima itu.

Namun, baik Nala maupun Gorda mengatakan soal alokasi waktu yang hanya dua jam per minggu bukan merupakan faktor penghabat dalam memberikan materi pendidikan agama. Mereka sepakat kalau waktu dua jam tersebut sudah cukup untuk satu mata pelajaran. Yang penting, bagaimana mengatur dan memanfaatkan waktu tersebut agar tidak terbuang percuma. ''Saya kira masalah waktu tidak menjadi persoalan yang mendasar. Biar berapa pun waktu yang diberikan kalau cara dan materi penyajian yang kurang tepat, tidak akan mampu menghasilkan out put yang baik. Namun, kalau waktu yang hanya dua jam itu dapat dimanfaatkan dengan maksimal, hasilnya juga akan lebih optimal,'' kata Gorda. Widana kemudian meluruskan bahwa yang dimaksud penambahan alokasi waktu itu, bukan penambahan jam mata pelajaran dari 2 jam seminggu menjadi 4 jam atau lebih. Tetapi, sekolah-sekolah mestinya bisa menyiasati dengan memasukkan pelajaran agama itu dalam pendidikan ekstrakurikuler. ''Secara formal masih bisa dua jam, tetapi di luar itu anak-anak harus mendapatkan waktu lebih untuk mendalami ajaran agama.''

Sebab, kata pengasuh Pasraman Jagatnatha itu, suksesnya anak-anak dalam mengikuti pelajaran agama tidak bisa diukur dari perolehan angka semata. Tetapi, juga bisa dilihat dari sikap dan perilakunya. ''Oleh karena itu jika kita konsekuen dengan tujuan pendidikan nasional bahwa selain mencerdaskan kehidupan bangsa, juga membetuk mental spiritual -- seharusnya pendidikan agama mendapat porsi yang sewajarnya,'' tandasnya.

Memang, dalam pendidikan agama, yang perlu diperhatikan bukan hanya aspek kognitif, juga aspek apektif (terapan). Jika selama ini pemberian pelajaran agama lebih banyak bersifat hafalan, ke depan mesti lebih menitikberatkan pada praktik agama. Dengan demikian, anak-anak selain hafal teori, juga mereka memahami filosofi agama, sehingga perilakunya di masyarakat lebih agamais. (ara/bra)

sumber : Balipost 2 Mei 2001

PAUD JABAR DAPAT SUNTIKAN DANA

Bandung(Sindo) – Departemen Pendidikan Nasional melalui Dinas pendidikan Jawa Barat berencana akan memberikan dana bantuan untuk pendidikan anak usia dini (PAUD) yang ada di 26 kabupaten/kota di Jawa Barat. Penyaluran dana tersebut melalui Tim Penggerak PKK Jabar. Hal itu ditegaskan istri Gubernur Jabar Netty Prasetiani Heryawan selaku Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Jabar pada acara peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang diselenggarakan Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Jabar di Saung Angklung Udjo, Jalan Padasuka,Kota Bandung, kemarin.

”Menurut rencana, Depdiknas memang akan memberikan bantuan dana PAUD yang akan diberikan kepada lima PAUD di setiap kota dan kabupaten di Jabar,”ujarnya. Kendati demikian, Netty mengaku belum mengetahui jumlah dana yang akan dialokasikan kepada PAUD di Jabar ini.

Rencana pemberian dana bantuan itu, menurut dia, merupakan salah satu bentuk kepedulian pemerintah terhadap PAUD Jabar. Namun,ada atau tidaknya dana insentif bukanlah halangan untuk kemajuan PAUD Jabar. ”Yang terpenting adalah bagaimana membimbing anak dengan baik,” tandasnya.

Sampai saat ini, terdapat 14.000 lebih pendidik PAUD di Provinsi Jabar.Pada tahun ajaran 2009 mendatang,Pemprov Jabar berencana menggratiskan buku ajar PAUD yang diujinasionalkan. ”Hal ini termasuk bentuk kepedulian pemerintah atas pendidikan masyarakat Jabar,” ungkapnya.

Sementara itu,Kepala Bidang Pendidikan Formal dan Informal Dinas Pendidikan Jawa Barat Edi Mulyadi mengatakan, pendidikan untuk anak usia dini telah merambah luas ke berbagai daerah di Jawa Barat.”Pendidikan anak usia dini adalah satu upaya untuk mencerdaskan anakanak Indonesia sejak masih kecil. Dengan adanya PAUD, akan semakin membantu anak untuk mengambangkan kreativitasnya,”kata Edi.




--------------------------------------------------------------------------------
Sumber: Harian Seputar Indonesia, Kamis 26 Februari 2009

APK PAUD SUDAH MENCAPAI 50,47 PERSEN

(Kominfo Newsroom) - Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Depdiknas Sujarwo Singowidjojo mengatakan, Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia sudah mencapai 50,47% dari 2,7juta siswa PAUD Non Formal.

�Ini sudah bagus karena sudah mencapai 50 persen lebih,� kata Sujarwo kepada wartawan di gedung Depdiknas, Jakarta, Selasa, (25/11), menjelang Seminar dan Lokakarya Nasional Pendidikan Anak Usia Dini yang akan berlangsung di gedung International Convention Centre (ICC) IPB Bogor. Semiloka tersebut akan dibuka oleh Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, Rabu (26/11).

Semiloka bertema �Pendidikan Anak Usia Dini : Investasi Strategis Pembangunan Sumber Daya Manusia dan Pembangunan Nasional di masa Mendatang� itu akan diikuti sekitar 500 orang peserta.

Mereka berasal dari unsur perguruan tinggi terpilih, Dinas Pendidikan Propinsi dan kabupaten/kota, pendidik dan tenaga kependidikan PAUD, pemerhati, pakar/praktisi di bidang PAUD, lembaga mitra PAUD, Forum PAUD, konsorsium PAUD, Himpaudi dan organisasi mitra PAUD lainya, serta masyarakat.

Menurut Sujarwo, PAUD sebagai startegi pembangunan SDM harus dipandang sebagai titik sentral dan sangat fundamental serta strategis, mengingat bahwa usia dini merupakan usia keemasan (the golden age), namun sekaligus perioede yang sangat kritis dalam tahap perkembangan manusia.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa sampai usia 4 tahun tingkat kapabilitas kecerdasan anak telah mencapai 50%. �Pada usia 8 tahun mencapai 80%, dan sisanya sekitar 20% diperoleh pada saat anak berusia 8 tahun ke atas�, katanya.

Pertumbuhan dan perkembangan anak pada usia dini bahkan sejak dalam kandungan sangat menentukan derajat kualitas kesehatan, intelegensi, kematangan emosional, dan produktifitas manusia pada tahap berikutnya. �Dengan demikian investasi pengembangan anak usia dini merupakan investawsi penting untuk menyiapkan SDM yang berkualitas�, kata Sujarwo.

Tujuan dari Semiloka ini untuk menelaah peran dan kontribusi PAUD dalam peningkatan kualitas SDM dan pembangunan nasional, menganalisi efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan PAUD dalam meningkatkan kualitas SDM, merumuskan strategi dalam pengembangan PAUD secara holistic dan terpadu dalam era desentralisasi.

Melalui Semiloka ini diharapkan dapat menghasilkan adanya telaahan tentang peran dan kontribusi PAUD dalam peningkatan kualitas SDM dan pembangunan nasional; adanya analissis efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan PAUD dalam meningkatkan kualitas SDM dan adanya rumusan strategi dalam pengembangan PAUD secara holistic dan terpadu dalam era desentralisasi.

Sementara itu Ketua panitia Penyelenggara Semiloka, Dr. Hartoyo Handoyo, dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, untuk usia 0-3 tahun PAUD di Indonesia relative masih kecil, karena disitu juga peran keluarga memang sangat mendukung untuk PAUD.

IPB tertarik bekerjasama dengan PAUD Depdiknas, karena IPB melihatnya sangat baik dan positif dan saya lihat PAUD ini adalah investasi strategis, dan ini sangat penting sekali bagi pembangunan SDM.(T.Ad/ toeb/c)

sumber : http://www.depkominfo.go.id/2008/11/25/apk-paud-sudah-mencapai-5047-persen/

Mahasiswa UII Gerakkan Warga dan Pemuda Peduli PAUD

Berdasarkan data UNDP Tahun 2008, selama tahun 2002 sampai dengan 2005, total pengeluaran publik untuk pendidikan (public expenditure on education) di Indonesia baru mencapai 0,9% dari total pendapatan nasional atau 9.0% dari total belanja pemerintah. Rendahnya pembiayaan pendidikan ini berimbas pada minimalnya kontribusi pemerintah dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sehingga tingkat partisipasi kasar Indonesia pada Pendidikan Anak Usia Dini mempunyai ranking yang rendah diantara negara–negara yang berpenghasilan rendah yaitu sebesar 20%. Selain itu, pengeluaran biaya PAUD pada tingkat pendidikan anak usia dini hampir 100% ditanggung oleh swasta dalam hal ini orang tua. Melihat realitas ini, mahasiswa UII yang tergabung dalam Tim PKM berinisiatif melaksanakan program bertajuk ‘Desain Pos Pendidikan Anak Usia Dini Untuk Meningkatkan Partisipasi Warga’ yang dipusatkan di Pedukuhan Cemaraharjo, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.

Program ini dilaksanakan lima mahasiswa UII dari dua fakultas, yaitu Fakultas Teknologi Industri (Angga Haripurna dan Fety Ilma Rahmillah) dan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (Fitri Ayu Kusumaningrum, Ilham Akbar, dan Tyas Setyowati). Program yang didanai Dikti ini antara lain bertujuan untuk membangun kesadaran warga akan pentingnya PAUD dengan cara merintis pendirian dan pelatihan PAUD. Tidak hanya itu, program ini juga diarahkan agar menumbuhkan partisipasi orang tua dan pemuda di masyarakat sebagai kader PAUD. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, beberapa tahapan kegiatan telah dilaksanakan diantaranya Training ‘Mengoptimalkan Peran Orang Tua Bagi Anak’ yang dilaksanakan pada Ahad, 15 Maret 2009 lalu di Musholla Padukuhan Cemaraharjo.



Training tahap pertama ini menghadirkan dua pemateri dari El-Diina Center yaitu Marina Noorbayanti, S. Si (Konsultan Pendidikan dan Praktisi PAUD di El-Diina Centre) yang pada Sesi I memberi materi terkait tumbuh kembang anak usia dini dan Diana Rahmawati, S. T. (Manajer dan Praktisi PAUD di El-Diina Centre) yang pada Sesi II memberikan materi terkait simulasi dini sebagai kunci keberhasilan pendidikan anak usia dini. Dalam training ini, peserta yang terdiri dari sejumlah 47 ibu rumah tangga mendapatkan materi training berupa pengetahuan dasar tentang potensi anak, komponen berfikir, cara menstimulus otak dan indra, proses bersikap anak dan lain sebagainya. Selain itu, peserta juga menjawab pertanyaan, berupa pre-test dan post-test, untuk mengetahui efektivitas kegiatan.

Ketua program ini, Angga Haripurna, menjelaskan bahwa pada tahapan selanjutnya, training akan dilaksanakan dengan fokus pemahaman anak dan pengelolaannya bagi pemuda di daerah pedukuhan Cemaraharjo. Training ini akan dibagi menjadi dua materi yaitu untuk mampu memberi pememahaman tentang anak sebagai individu yang unik (individual differences) untuk selanjutnya diarahkan pada organization development yang memungkinkan pemuda mengoptimalkan perannya dalam menyukseskan PAUD di daerah tempat tinggalnya.

Angga juga menjelaskan bahwa Cemaraharjo dipilih antara lain karena potensi sumber daya manusia yang dilihat dari tingginya usia produktif dalam komposisi penduduk desa. Di Desa Cemerahrjo terdapat 347 penduduk berusia 15-60 tahun dengan 190 ibu rumah tangga dan jumlah warga yang masih aktif sekolah 80 orang. Hasil survei yang dilakukan sebelumnya juga menunjukkan terdapatnya 57 balita dengan 49 orang tua dan 7 kader posyandu yang telah mendapat pendidikan di Kelurahan. Selain itu, menurutnya hasil wawancara dengan Ibu Dukuh Desa Cemaraharjo menunjukkan kesediaan dan dukungan warga untuk mengikuti program PAUD, karena ibu-ibu di desa tersebut membutuhkan program semacam ini untuk masa depan anaknya.

SUMBER : http://humas.uii.ac.id/index.php/Mahasiswa-UII-Gerakkan-Warga-dan-Pemuda-Peduli-PAUD.htm

Layanan PAUD Belum Optimal

"" PEMERATAAN dan peningkatan akses layanan pendidikan anak usia dini (PAUD), khususnya anak usia di bawah 4 tahun, ... ""

PEMERATAAN dan peningkatan akses layanan pendidikan anak usia dini (PAUD), khususnya anak usia di bawah 4 tahun, anak sangat rawan dan kurang beruntung hingga saat ini hasilnya belum optimal. Hingga tahun 2006 layanan PAUD usia 0-6 tahun baru mencapai 28,3 juta anak. Jumlah ini sangat kecil bila dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Timur. Membandingkan dengan negara-negara tersebut tidak fair karena mereka sudah lebih dulu mengembangkan PAUD sedangkan kita baru beberapa tahun terakhir.

Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ace Suryadi mengakui masih rendahnya layanan PAUD ini, antara lain selain pemerataan akses yang belum optimal, terbatasnya sosialisasi akan pentingnya PAUD kepada masyarakat dan stakeholder PAUD, tapi juga kesadaran orangtua mengenai pentingnya PAUD masih perlu ditingkatkan. Karena itu, sejak tahun 2004 Indonesia terus mendorong peningkatan jumlah peserta PAUD khususnya melalui jalur non-formal sekalipun kenaikannya belum siginifikan tapi tetap terjadi peningkatan.

Pada tahun 2005 jumlah usia pra sekolah yang berhasil dijangkau program PAUD menjadi 28,3 persen, pada tahun 2006 menjadi 46,7 persen. Pada tahun 2007 ditargetkan sebesar 48,07 persen atau 28,4 juta anak usia 0-6 tahun dan usia 2-4 tahun sebanyak 12,1 juta anak. Pada tahun 2008 ditargetkan mencapai 28,5 juta anak usia 0-6 tahun dan 12,2 juta anak usia 2-4 tahun atau sebesar 50,5 persen. Sedangkan untuk tahun 2009 ditargetkan mencapai 53,9 persen atau 28,6 juta anak.

Ace Suryadi mengatakan, perkembangan PAUD saat ini memang belum menjadi prioritas karena kebijakan pendidikan nasional memang belum menyentuh hingga usia pra sekolah. “Meski begitu, UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 tahun 2003 telah mengatur mengenai PAUD sehingga sejak lima tahun terakhir telah membentuk Direktorat PAUD yang merupakan bagian dari Pendidikan Luar Sekolah (PLS),” katanya.

Selain itu, kewajiban pemerintah untuk memperhatikan perkembangan PAUD harus dilakukan sebagai pemenuhan atas komitmen internasional yang harus dilakukan setiap negara termasuk Indonesia berdasarkan Komitmen Jomtien, Thailand tahun 1990, Deklarasi Dakkar, Senegal tahun 2000 tentang education for all (EFA) serta Komitmen New York, AS tahun 2002.

Saat ini pendidikan pra sekolah di Indonesia dilaksanakan melalui jalur formal yakni Taman kanak-kanak dan PAUD non-formal yang diselenggarakan secara mandiri oleh masyarakat serta berbagai organisasi keagamaan, PKK, Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM), Taman Penitipan Anak (TPA), dan sebagainya.

Direktur PAUD Ditjen PLS Depdiknas, Gutama mengatakan, meskipun upaya pemerataan dan peningkatan akses layanan PAUD telah mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya namun memang belum mencapai hasil yang diharapkan, terutama terkait alokasi anggaran pemerintah.

Karena itu, papar Gutama, pihaknya terus menambah kerja sama dengan berbagai organisasi sosial untuk menjangkau seluruh pelosok tanah air dengan memberikan dana block grant bagi pengembangan PAUD non- formal. “Sasaran pelayanan PAUD non-formal yaitu anak usia 0-6 tahun dengan prioritas usia 2-4
tahun yang sangat rawan dan kurang beruntung, orangtua yang umumnya berada di desa-desa dan daerah padat penduduknya,” katanya.

Secara jujur pun harus diakui, sejak dicanangkan program PAUD tahun 1998, kehadiran lembaga-lembaga PAUD nonformal telah banyak menjaring anak usia emas yang selama ini terabaikan negara. Data BPS 2001 mencatat dari 26,1 juta
anak, hanya 28 persennya atau 7,1 juta anak saja yang menikmati pendidikan dengan penyebaran 9,9 persen langsung masuk kelas awal Sekolah Dasar (SD), 7,9 persen di PAUD formal (TK/RA), dan sisanya lebih dari 11 persen tersebar di PAUD nonformal.

Realita demikian tentu sangat relevan dengan komitmen Pemerintah RI untuk mempercepat pemerataan dan perluasan akses pendidikan, khususnya Wajib Belajar 9 Tahun dimana PAUD termasuk di dalamnya. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan di usia dini juga semakin membaik, jadi tidak ada alasan menunda program-program terkait penambahan anggaran, perluasan layanan, peningkatan mutu bagi penyelenggaraan PAUD formal maupun nonformal.

Apalagi jelas-jelas datang dukungan dunia internasional melalui pinjaman Bank Dunia (loan IBRD 4378-Ind), yang ditujukan bagi pendidikan anak usia dini terkhusus dengan sasaran anak usia 0-6 tahun yang berasal dari keluarga pra sejahtera (miskin). Yang artinya lagi-lagi PAUD nonformal menjadi \’mediator\’ sekaligus \’alat\’ yang paling efektif untuk mencapai sasaran tersebut.

Untuk merealisasikan amanat tersebut, sejak akhir 2006 lalu pemerintah pusat (Depdiknas) telah mendelegasikan wewenang pengelolaan PAUD ke daerah seiring era otonomi. Maksudnya tentu saja baik yaitu mencapai efektivitas capaian sasaran dengan pertimbangan setiap daerah tahu persis problema, karakteristik masyarakat dan solusi mengatasinya dalam pembangunan PAUD.

Tetapi harus diwaspadai juga \’kebiasaan\’ birokrasi di pemerintahan daerah yang sudah menjadi rahasia umum kental dengan unsur kolusi, korupsi dan nepotisme. Apakah dengan mempercayakan sepenuhnya kepada birokrasi di daerah akan tercapai apa yang sudah dikerjakan Dr Gutama (Direktur PAUD Depdiknas) sebelumnya yaitu telah dibangun 430 gedung baru, 155 gedung rehab, 96 perluasan gedung, dan 35 perluasan kelas untuk PAUD.

Bukankah seharusnya Pemda memiliki insiatif dalam pengadaan dana, sarana dan prasarana untuk mendukung program- program rintisan seperti PAUD bagi rakyat miskin di wilayahnya. Termasuk mendukung pengembangan lembaga PAUD yang sudah ada, perbaikan sarana dan prasarana PAUD formal dan nonformal di otoritas kekuasannya dengan tidak mengandalkan donasi dari pusat.

Pendelegasian wewenang tersebut jangan sampai mencederai komitmen pemerintah dalam upaya perluasan dan pemerataan layanan pendidikan khusunya bagi anak usia dini. Maka saat tugas masyarakat, terutama orangtua peserta didik, tenaga pendidik (tutor) dan mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan PAUD terintegrasi oleh Pemda (kabupaten/kota), hendaknya melakukan pengawasan dan kontrol terhadap realisasi program, mutu layanan dan kesinambungan program.

Begitu juga dengan birokrasi pemerintah kabupaten/kota yang memperoleh bantuan Bank Dunia seperti Indramayu (Jabar), Tangerang (Banten), Lebak (Banten), Pandeglang (Banten), Buleleng (Bali), Karang Asem (Bali), Klungkung (Bali), Denpasar (Bali), Gowa (Sulsel), Maros (Sulsel), Bone (Sulsel), dan Bulukumba (Sulsel), hendaknya menyadari membangun sebuah lembaga PAUD dengan optimal dan mengedepankan profesionalitas sehingga selain mampu mencapai sasaran juga berlangsung proses pembelajaran yang baik dan tepat. Jangan lagi ada pengurangan jumlah maupun mutu sarana dan prasarana, logistik, hingga penyunatan alokasi honorarium tutor yang sebetulnya sangat minim bagi standar pendidik, seperti yang banyak terjadi selama ini. Karenanya Depdiknas dibantu pihak independen perlu meningkatkan langkahlangkah supervisi, pemantauan, evaluasi dan monitoring (SPEM) dalam penyelenggaraan
PAUD yang dilakukan oleh birokrasi maupun masyarakat.

Independen bermutu
Sebaliknya berkaitan dengan eksistensi PAUD nonformal yang dikelola oleh Ormas, LSM, badan hukum dan badan usaha, menunjukkan perbedaan kualitas yang signifikan dengan PAUD yang dikelola birokrasi, terutama dalam hal layanan, metode dan mutu transfer of knowledge proccessing.

Mendiknas Bambang Sudibyo bahkan sempat menyindir buruknya mutu layanan dan fasilitas PAUD yang dikelola birokrasi daerah (kecamatan/kelurahan). Dia lebih antusias dengan pelaksanaan program pendidikan luar sekolah yang terintegrasi dan memanfaatkan peran rumah ibadah sebagai alternatif sarana proses pembelajaran.

PAUD yang dikelola oleh majelis-majelis taklim, pondok pesantren, pengurus rumah ibadah, kesusteraan, dan organisasi massa dinilai lebih konsisten dan cenderung berprestasi dibanding PAUD yang dikelola birokrasi. Biasanya pangkal masalah terletak pada niat dan motivasi awal pendirian PAUD.

Korelasi dari kualitas pengelolaan PAUD adalah mutu pembelajaran dan capaian hasil yang akan diraih peserta didik. Apabila pengelolaan PAUD dijalankan seadanya, tanpa motivasi dan kesadaran menjalankan amanat untuk menyelamatkan generasi masa akan datang di usia emasnya, maka yang terlihat adalah lembaga-lembaga PAUD yang “hidup segan mati tak mau” setelah meluluskan anak yang biasa saja.

Pandangan tersebut harus diubah dengan menampilkan PAUD yang ditujukan bagi kelompok masyarakat miskin sekalipun dapat menjadi sebuah lembaga yang potensial dalam prestasi sekaligus menguntungkan secara ekonomis. Artinya para guru harus dimotivasi untuk menunjukkan kinerja sebaiknya yang diukur dari capaian prestasi siswa, terutama yang berorentasi lomba atau kompetisi dengan PAUD lain di tingkat kecamatan, kabupaten bahkan nasional.

Dengan membangun prestasi, walau bukan tujuan primer, akan melahirkan pencitraan positif lembaga PAUD yang bersangkutan. Dengan citra yang baik, PAUD nonformal yang identik dengan “sekolah anak miskin” semakin dihargai dan berkelas layaknya PAUD formal (TK/RA) sehingga dapat menarik swadaya masyarakat untuk talasan perbaikan sarana dan layanan.

Faktanya beberapa PAUD nonformal di sejumlah daerah, seperti di Kabupaten Bogor, Cibinong, Bojong dan Megamendung memiliki sasaran anak dari keluarga pra sejahtera. Pada praktiknya mereka dapat berprestasi, mempertahankan konsistensi dan siap mengembangkan diri. Sebaliknya beberapa PAUD di ibukota seperti di Manggarai Jakarta Pusat, semenjak diambilalih pengelolaaannya dari LSM oleh birokrasi semakin terpuruk. Tidak lain karena kehilangan motivasi dan hanya mengandalkan donasi rutin dari Pemda dan donatur.

Melihat realita dan fakta tersebut maka perlu motivasi kuat bagi pengelola, pendidik dan tenaga kependidikan PAUD nonformal untuk menjadikannya sebuah lembaga yang potensial, malah kalau bisa menyejahterakan mereka yang terlibat di dalamnya. Kuncinya tentu saja pengelolaan yang menjunjung pengabdian serta mengarah profesionalisme baik dalam pengadaan sarana, alat permainan edukatif (APE), penerapan metode dan kurikulum serta rekruitmen tenaga pendidik dan kependidikan.


SUMBER : wartaplus

lembaga informal pendidikan tinggi Islam

Sejauh ini, tidak banyak kajian yang komprehensif tentang bentuk-bentuk maupun karakteristik-karakteristik lembaga pendidikan tinggi yang berlangsung pada periode klasik (mulai abad ke-2-13 M). Upaya pendiskripsian yang dilakukan oleh kebanyakan ilmuwan cenderung lebih banyak menekankan pada sebuah produk (manifestasi) dari pada sebagai proses. Akibatnya timbullah masalah dilematis di kalangan para ilmuwan yang senantiasa menurut pembuktian, sebagai reaksi terhadap munculnya stereotype (penisbatan) pendidikan formal dan informal.

Kajian berikut ini berupaya mendiskripsikan secara kritis lembaga informal dari sisi karakteristik yang ada sekaligus mengklasifikasikan indikator-indikator yang termasuk dalam lingkup pendidikan informal, yaitu meliputi halaqah, observatorium, dan perpustakaan. Untuk manambah kejelasan ketiga unsur di atas akan diulas sekitar keterkaitan perpustakaan dengan lahirnya 9 (sembilan) nama perpustakaan yang berkembang dalam tradisi keilmuan Islam.

Untuk memahami lebih jauh apa dan bagaimana lembaga informal pendidikan tinggi itu, barangkali kita perlu mengkaji terlebih dahulu mengenai beberapa faktor yang menjadi latar belakang pendiriannya. Ada tiga hal yang ditengarai sebagai faktor yang melandasi dilembagakannya pendidikan tinggi informal, yakni:

Keinginan para ilmuwan dan para sarjana dari kalangan muda untuk saling berkomunikasi dan saling mendorong semangat keilmuan mereka.

Kehausan akan ilmu pengetahuan yang didorong dengan adanya kebutuhan untuk memperluas pengetahuan umum dan untuk memahami gejala-gejala alam.

Semangat dalam mempertahankan keimanan Islam dalam menghadapi misionaris agama-agama lain.

Secara eksplisit karakteristik pendidikan formal dan informal yang berlangsung pada periode klasik sulit dibedakan.1 Namun ada sisi lain yang dapat kita kaji secara kritis untuk membedakan diantara keduanya, yaitu dari segi sumber pendanaan yang diterima dari negara. Dana yang diterima pendidikan formal sifatnya langsung atau dalam istilah Azyumardi disebut kontan2, sedang dalam pendidikan informal sifatnya tidak langsung, misalnya saja melalui ketentuan hukum perwakafan.

sumber : http://kangjumari.blogspot.com/2007/12/lembaga-informal-pendidikan-tinggi.html

Pendidikan Informal:PAUD Muslimat NU Berstandar Internasional

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Untuk meningkatkan kompetensi, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Lathifah milik Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) menerapkan metode pembelajaran beyond centers and circle time (BCCT) dan berstandar internasional.

Demikian disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU Hj. Khofifah Indar Parawansa usai menghadiri pembukaan pelatihan keaksaraan fungsional (KF) dan loka karya pertanian yang digelar Pimpinan Wilayah (PW) Muslimat NU Provinsi Lampung di Wisma Bandar Lampung, Kamis (7-6). Hadir Direktur Jenderal (Dirjen) Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian Djoko Said, Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Provinsi Lampung Ellya Muchtar dan puluhan pejabat teras, organisasi wanita dan 1.200 anggota Muslimat NU se-Lampung.

Pada kesempatan itu Khofifah juga meresmikan PAUD Lathifah di Jalan W.R. Supratman, Telukbetung Selatan, Bandar Lampung.

Selanjutnya Khofifah menjelaskan fokus metode pembelajaran BCCT dengan mengajak anak-anak lebih aktif, inovatif, dinamis, partisipasif, dan agamais dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Yakni mulai dari proses belajar mengajar hingga alat permainan edukatif (APE) dikemas sedemikian rupa sehingga anak-anak makin kreatif dan inovatif. Misal saja, mulai dari tempat duduk dan meja harus ditata sedemikian rupa dengan posisi melingkar. Sehingga anak-anak diajak berdiskusi tentang berbagai hal juga mengenal huruf dan angka, serta cara menghitung dan membaca yang dikemas secara rekreatif. Sesuai pembelajaran PAUD yakni belajar sambil bermain. "Jadi, tak hanya TK dan raudhatul athfal (RA) saja yang berstandar internasional, tapi juga PAUD Muslimat NU."

Selanjutnya ia menjelaskan, saat ini, Muslimat NU memiliki 2.224 PAUD, dari jumlah tersebut terbanyak di Jawa Timur (Jatim). "Di Lamongan, Jatim, kami memiliki 560 PAUD. Bahkan PAUD Tarahan di Kalimantan Timur, Batam, dan Sidoardjo menjadi PAUD percontohan," ujar dia.

Tahun ini, ia menargetkan setiap anak cabang (kecamatan) dan ranting (kelurahan) memiliki PAUD.

Muslimat NU juga memiliki 9.800 taman kanak-kanak (TK) dan 11.900 taman pendidikan Alquran (TPA), dan 32 pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) yang tersebar di berbagai pelosok Tanah Air.

Sementara, Ketua PW Muslimat NU Provinsi Lampung Hj. Hariyanti Syafrin

menjelaskan PW Muslimat NU memiliki PAUD, TK/RA, taman pendidikan agama (TPA), taman pendidikan Quran (TPQ) di bawah naungan Yayasan Al Ma'arif yang tersebar di 10 kabupaten/kota.

Sementara itu, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Djoko Said mengaku salut atas komitmen Muslimat NU dalam membantu pemerintah baik di bidang pendidikan, pertanian, ekonomi, dan sebagainya.

Hal senada juga disampaikan Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Provinsi Lampung Ellya Muchtar. "Sebagai underbouw dari ormas NU, ternyata kiprah Muslimat NU sangat banyak. Tak hanya meningkatkan pendidikan dan dakwah, tapi juga pemberdayaan perempuan," ujar dia. AST/S-1

KOMPETENSI TUTOR TERBATAS, PENDIDIKAN INFORMAL ALTERNATIF TERAKHIR

Menurut Erman pada “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF” di Gedung Gerai Informasi Depdiknas Jakarta, Rabu (5/7) selain itu pamong belajar, penilik, TLD (Tenaga Lapangan Dikmas), pendidik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), instruktur kursus dan pengelola satuan Pendidik PNF masih dihadapkan pada persoalan-persoalan intensif, daya saing dan kepemimpinan.

Diperlukan upaya strategis, sistematik dan berkelanjutan dalam pembangunan mutu pendidikan khususnya pendidikan non formal yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, katanya.

"PNF idealnya tidak lagi minim sentuhan, dalam konteks peningkatan mutu maka pemerintah membuka ruang seluas-luasnya bagi warga masyarakat untuk terlibat dalam memberikan saran maupun kritik terhadap mutu penyelenggaraan pendidikan itu, terutama menyangkut mutu PTK- PNF," katanya.

Relevansi dengan semangat keterbukaan dan untuk mewujudkan kualitas PNF, pemerintah menurut dia memandang perlu menyebar-luaskan informasi tentang PNF dan secara khusus mutu PTK-PNF. Salah satu elemen yang dapat menjadi mitra kerjasama strategis dalam penyebarluasan informasi tentang mutu pendidik dan tenaga kependidikan PNF adalah wartawan, katanya.

Pertimbangan tersebut relevan mengingat keberadaan wartawan merupakan kekuatan pembentuk opini yang sangat signifikan pada era informasi dewasa ini. Salah satu bentuk kegiatan yang akan diselenggarakan dalam rangka kerjasama strategis adalah “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF”.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan mutu saling pengertian dan kesepahaman antara Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK dengan wartawan tentang perlunya dukungan media massa terhadap strategi, program, dan kegiatan Dit. PTK-PNF.

Juga memberikan apresiasi secara selektif kepada wartawan Koran nasional maupun daerah yang telah menulis tentang PTK-PNF dan meningkatkan efektifitas sosialisasi strategi, program dan kegiatan Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK kepada masyarakat luas yang membutuhkan sehingga terbangun partisipasi dan dukungan dari masyarakat yang lebih berkelanjutan.

Kegiatan ini berkesesuaian dengan upaya pemerintah dalam menata kebijakannya dalam tema-tema sbb:perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, serta peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.

Depdiknas mempunyai perhatian sangat besar terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia baik mutu pendidikan formal persekolahan maupun pendidikan non formal yang dikenal dengan pendidikan Kesetaraan Paket A/B/C Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus dan Pelatihan, kata Erman. (T.Ad/id) (red)

Sumber: Kominfo

Pendidikan Informal Untuk Semua

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat anak-anak atau adik kita pulang sekolah, setelah jam sekolah usai, mereka kembali ke keluarga mereka di rumah, tetapi apakah anda pernah menyadari bahwa pendidikan terus berjalan, meskipun mereka telah pulang ke rumah?

Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan informal, dimana pendidikan tersebut berlangsung sejak anak tersebut dilahirkan dan mulai mengenal lingkungan sampai mereka beranjak dewasa. Pendidikan informal lebih menitikberatkan pada perkembangan afeksi, moral dan emosional. Secara biologis perkembangan afeksi dikendalikan oleh otak kanan yang banyak berperan pada kecerdasan spiritual, emosional, sosial, estetika dan kinestika, sehingga jika pendidikan informal benar-benar dilaksanakan dengan baik akan membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan dalam 3 ranah, yaitu afeksi, kognisi dan psikomotor. Dalam perkembangannya, banyak keluarga moderen yang lebih mementingkan perkembangan anak dari sisi kognisi, yang ditandai dengan diikutkannya anak mengikuti pelajaran tambahan (les) mata pelajaran tertentu yang dianggap bergengsi atau kursus-kursus ketrampilan lain.

Sejatinya, perkembangan ketiga ranah tersebut harus seimbang, sehingga tercapai keselarasan dalam hidup manusia, dan tidak ada lagi hacker, koruptor, atau teroris, karena mereka pada dasarnya adalah orang yang diberi kelebihan kognisi tetapi kurang (tidak punya) afeksi, sehingga cenderung merugikan dan membahayakan orang lain.

Seiring dengan kebijakan pemerintah yang mulai menyadari pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD) maka langkah awal yang dapat dilakukan untuk membentuk manusia seutuhnya dimulai dari keluarga, khususnya pada usia emas 0 - 6 tahun, dimana pada usia tersebut rangsangan atau stimulan bisa diberikan agar anak usia dini dapat berkembang lebih baik. Keluarga adalah dunia pendidikan informal yang utama dan seharusnya memberikan contoh baik yang sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat, agar kelak anak-anak mereka bisa berguna bagi bangsa dan negara.

sumber : http://tonysus.blog.friendster.com/2008/12/pendidikan-informal-untuk-semua/

Pendidikan Informal Perlu Diperhatikan

Anggota DPRD Kota Singkawang, Nurindrawati SH menyatakan, anggaran pendidikan tahun 2006 diharapkan tidak saja dipergunakan untuk pendidikan formal. Tapi juga informal yang sepertinya mulai dilupakan.

Selama ini, anggaran pendidikan lebih banyak dialokasikan untuk pendidikan formal. Sementara informal tidak ada, padahal informal juga sangat penting untuk menunjang peningkatan SDM berkualitas di Kota Singkawang.

"Masih banyak pendidikan informal yang belum tersentuh. Khususnya pendidikan informal terhadap kaum perempuan. Seperti pelatihan-pelatihan, seminar dan sebagainya yang bisa mengangkat SDM kaum perempuan di Kota Singkawang ini," kata Iin, panggilan akrab Nurindrawati belum lama ini. Menurut dia, jika Pemerintah Kota Singkawang tidak mampu untuk melaksanakan kegiatan dibidang informal, bisa diserahkan kepada organisasi terkait untuk melaksanakannya. Seperti GOW, Dharma Wanita Persatuan dan organisasi lainnya yang juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan itu semua. Organisasi-organisasi seperti itu kata dia bisa diberdayakan dalam upaya meningkatkan pendidikan informal di Kota Singkawang. Dengan begitu keberadaan mereka lebih berperan dan berarti di tengah-tengah masyarakat Kota Singkawang. Tidak seperti yang terjadi selama ini, organsiasi-organisasi tersebut hanya muncul dalam moment-moment tertentu saja. Sementara program rutinitas untuk meningkatkan SDM nyaris tidak kelihatan di permukaan. Legislator dari PAN ini mengaku tidak tahu persis mengenai kondisi anggaran di organisasi-organisasi tersebut. "Yang jelas dana untuk program kegiatan di setiap organisasi itu ada," ujarnya. Besar atau tidaknya anggaran yang ada di organisasi, Iin berharap agar pemerintah terkait dapat menggandeng organisasi tersebut untuk melancarkan kegiatan pendidikan informal di Kota Singkawang. Apakah itu dalam bentuk pelatihan, seminar, diskusi dan sebagainya yang bisa meningkatkan kualitas SDM masyarakat kota, khususnya SDM kaum perempuan. Dia yakin dengan adanya kegiatan pendidikan informal yang dianggarkan melalui APBD nanti dapat menunjang program pemerintah untuk menjadi kota berkualitas. Masyarakat berstatus ekonomi lemah yang tidak mampu mengenyam pendidikan formal pun bisa merasakan sentuhan pendidikan. (vie)

< Anggota DPRD Kota Singkawang, Nurindrawati SH menyatakan, anggaran pendidikan tahun 2006 diharapkan tidak saja dipergunakan untuk pendidikan formal. Tapi juga informal yang sepertinya mulai dilupakan.

Selama ini, anggaran pendidikan lebih banyak dialokasikan untuk pendidikan formal. Sementara informal tidak ada, padahal informal juga sangat penting untuk menunjang peningkatan SDM berkualitas di Kota Singkawang.

"Masih banyak pendidikan informal yang belum tersentuh. Khususnya pendidikan informal terhadap kaum perempuan. Seperti pelatihan-pelatihan, seminar dan sebagainya yang bisa mengangkat SDM kaum perempuan di Kota Singkawang ini," kata Iin, panggilan akrab Nurindrawati belum lama ini. Menurut dia, jika Pemerintah Kota Singkawang tidak mampu untuk melaksanakan kegiatan dibidang informal, bisa diserahkan kepada organisasi terkait untuk melaksanakannya. Seperti GOW, Dharma Wanita Persatuan dan organisasi lainnya yang juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan itu semua. Organisasi-organisasi seperti itu kata dia bisa diberdayakan dalam upaya meningkatkan pendidikan informal di Kota Singkawang. Dengan begitu keberadaan mereka lebih berperan dan berarti di tengah-tengah masyarakat Kota Singkawang. Tidak seperti yang terjadi selama ini, organsiasi-organisasi tersebut hanya muncul dalam moment-moment tertentu saja. Sementara program rutinitas untuk meningkatkan SDM nyaris tidak kelihatan di permukaan. Legislator dari PAN ini mengaku tidak tahu persis mengenai kondisi anggaran di organisasi-organisasi tersebut. "Yang jelas dana untuk program kegiatan di setiap organisasi itu ada," ujarnya. Besar atau tidaknya anggaran yang ada di organisasi, Iin berharap agar pemerintah terkait dapat menggandeng organisasi tersebut untuk melancarkan kegiatan pendidikan informal di Kota Singkawang. Apakah itu dalam bentuk pelatihan, seminar, diskusi dan sebagainya yang bisa meningkatkan kualitas SDM masyarakat kota, khususnya SDM kaum perempuan. Dia yakin dengan adanya kegiatan pendidikan informal yang dianggarkan melalui APBD nanti dapat menunjang program pemerintah untuk menjadi kota berkualitas. Masyarakat berstatus ekonomi lemah yang tidak mampu mengenyam pendidikan formal pun bisa merasakan sentuhan pendidikan. (vie)


sumber : http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Singkawang&id=116429

menakertrans : pendidikan informal tak tersentuh, anggaran 20 % timpang

(Jakarta) - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menilai alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen ada ketimpangan. Pasalnya, seluruh dana tersebut hanya dikucurkan pada sektor pendidikan formal, padahal pendidikan tidak serta merta ada di struktur formal.

"Semangatnya UUD 1945, 20 persen alokasi anggaran diterjemahkan untuk pendidikan, jadi sepenuhnya untuk depdiknas. Padahal struktur pendidikan ada formal, informal dan non formal," jelas Erman pada wartawan dalam Rakor Nasional Depnakertrans tahun 2008 di Jakarta, Selasa (26/8).

Menteri menguraikan, untuk pendidikan formal memang menjadi tanggung jawab departemen pendidikan nasional, sedangkan informal ada di depnakertrans. "Dan untuk sektor pendidikan nonformal biasanya ada di masyarakat," ujarnya.

Untuk itu, lanjutnya, sektor pendidikan yang perlu dibantu adalah pendidikan informal. Misalnya, ada pelatihan untuk pengangguran, tapi dananya tidak ada yang dialokasikan untuk pendidikan semacam ini. Kemudian, ada sekelompok masyarakat yang ingin mengadakan pelatihan jurnalistik profesional, anggaran dana juga tidak ada.

Jika semua anggaran 20 persen hanya dialokasikan untuk depdiknas, Erman menegaskan, "Itu artinya politik anggaran UUD 1945 tidaklah tepat," tandasnya. (Mimie/IOT-03)

sumber : http://www.indonesiaontime.com/humaniora/pendidikan/17-pendidikan/5833-menakertrans-pendidikan-informal-tak-tersentuh-anggaran-20-persen-timpang.html

Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan

Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.

Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131. (rhu)

sumber : Jakarta, Sinar Harapan

Perhatikan Kebutuhan Pendidikan Non Formal

Cibinong - Pengalokasian 20 persen Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk bidang pendidikan sangat penting bagi pembiayaan peningkatan kualitas pendidikan nasional. Begitu pentingnya bidang pendidikan bagi kemajuan bangsa, maka kebijakan politik pemerintah harus kuat dan tak ada salahnya jika anggaran 20 persen itu menjadi satu-satunya solusi merampungkan program wajib belajar sembilan tahun.
Ketua Umum DPP Hidayatullah Drs. H. Abdul Mannan SE. MM., mengatakan bahwa anggaran pendidikan 20 persen sebaiknya tak hanya difokuskan kepada pendidikan formal saja, melainkan untuk pendidikan non formal yang tak kalah penting perannya.
”Untuk mencetak best education, pemerintah hendaknya memerhatikan kebutuhan pendidikan non formal. Karena sektor ini mampu menopang keberadaan pendidikan formal,” kata Mannan kepada Jurnal Bogor, beberapa waktu yang lalu.
Menurut Mannan, sebaik apapun sistem pendidikan dan sebesar apapun dana yang dikucurkan, jika pengelola sekolah tak dapat berlaku bijak maka semua akan sia-sia. ”Sebelum menjalankan suatu sistem yang besar, internal sekolah harus kuat,” tegasnya.
Sebagai agen pembangunan, kata Mannan, lembaga pendidikan bernama sekolah punya peran besar dan urgen untuk memajukan dunia pendidikan. Oleh sebab itu, tambahnya, pendidikan yang menghabiskan banyak biaya harus menjadi garda depan kemajuan bangsa.
Pendidikan sebagai ibu kandung kehidupan, jelas Mannan, harus memiliki karakter yang kuat. ”Satu bukti bahwa pendidikan di Indonesia belum bangkit adalah menggantungkan diri sepenuhnya dengan dana. Jika kita masih fokus dengan besarnya dana, selamanya kita tak akan kreatif,” paparnya.
Dikatakan dia, lemahnya political will pemerintah terhadap pendidikan di sebabkan oleh beban hutang negara yang sangat besar terhadap luar negeri. Mannan menilai alokasi dana yang seharusnya besar terhadap kebutuhan pendidikan menjadi kecil karena alokasi tersebut dialihkan untuk hutang negara yang mendesak terhadap hutang luar negeri. “Implikasi yang harus diterima oleh lembaga pendidikan untuk menyukupi kebutuhannya kurang,” ujarnya.
Mannan menambahkan, pendidikan sebagai ujung tombak bangsa untuk memperbaiki kebobrokan dan menjunjung tinggi nama baik bangsa harus dijunjung tinggi.
Diakui Mannan, warisan terakhir bangsa ini sebenarnya adalah pendidikan. “Jika keadaan tanah air ini bobrok maka dapat dilihat dari wajah pendidikan itu sendiri,” tegasnya.

sumber : http://www.jurnalbogor.com/?p=14255