WeLCoMe To 1'st Dewi's Blog
WelCome...!!! To My 1'st blog!!!
pendidikan
Jumat, 13 Maret 2009
Homeschooling, haruskah eksklusif?
Sejak subsidi pendidikan nyaris ditiadakan, efek yang langsung terasa oleh masyarakat, adalah mahalnya biaya sekolah. Terbukanya peluang untuk tumbuhnya pendidikan alternatif seperti homeschooling (HS) adalah kabar baik.
Dengan pertimbangan finansial, HS diharapkan bisa mengabaikan unsur-unsur tertentu yang membuat biaya pendidikan menjadi mahal. Biaya gedung, seragam, atau atribut-atribut fisik lainnya dapat ditiadakan. Pemerataan pendidikan pun diharapkan akan berjalan lebih baik.
Sayanganya kini model pendidikan alternatif ini juga mengalami distorsi substansi. Munculnya lembaga-lembaga non sekolah yang membuka layanan belajar berbasis HS dengan biaya yang sangat-sangat mahal membuat HS terkesan ekslusif dan tak mungkin dilakukan oleh mereka yang ekonominya pas-pasan.
Tak Perlu Mahal
Perpindahan tempat belajar dan bervariasinya metode yang digunakan dalam bersekolah di rumah tidaklah berarti akan menambah biaya pendidikan jika seorang homeschooler bisa mengelola fasilitas yang ada di sekelilingnya dengan cermat.
Perpustakaan, museum, toku buku dan barang-barang bekas, perabotan rumah, sawah, kebun, tanaman di halaman, hewan peliharaan, dan lain sebagainya adalah contoh-contoh media belajar yang dapat dimanfaatkan tanpa harus merogoh uang terlalu besar.
Satu dari sekian prinsip yang diusung HS diantaranya adalah menghubungkan pengetahuan dengan dunia nyata, dan hal itu seringkali sangat murah. Anak-anak bisa belajar matematika saat mengeluarkan biscuit dari bungkusnya, bisa belajar bahasa inggris saat membaca petunjuk memasak mie instan, atau belajar biologi saat bermain di halaman; dengan mengamati serangga dan tumbuhan yang hidup bebas.
Informasi yang memang dianggap masih kurang oleh para peminat HS adalah aspek-aspek praktis berupa gambaran kurikulum, selain juga cara mengurus legalitas, supaya anak-anak yang melakukan HS tetap bisa memperoleh ijazah resmi sesuai jenjang pendidikan yang ditempuhnya.
Namun demikian, kalau kita mau sedikit menjelajahi internet, semua informasi itu bisa diperoleh cuma-cuma. Mengakses www.puskur.net akan membantu kita untuk mengetahui standar kurikulum nasional, sehingga kita memiliki gambaran dalam merancang kurikulum bagi anak-anak.
Beberapa panduan belajar dan kurikulum pendukung lainnya juga sebenarnya bisa kita dapatkan murah dan bahkan gratis di internet. Dari sana kita bisa mengambil pengalaman para homeschooler yang sudah lebih dulu menerapkan HS, dan kita kombinasikan dengan sedikit sentuhan kreativitas keluarga masing-masing.
HS akan menjadi sangat mahal jika para homeschooler serba membeli segala perangkat belajar yang semestinya tidak perlu dibeli.
Hindari Dokotomi
Dikotomi yang tajam antara HS dan sekolah formal sangat tidak bermanfaat untuk dikembangkan. Melihat pendidikan dalam skala makro, HS pun bisa menjadi bumerang jika hanya didefinisikan sebagai bersekolah di rumah dan tidak pergi ke sekolah. Salah-salah memberikan penjelasan, apa yang diingat dari HS justru hanyalah “tidak pergi ke sekolah”, dan anak-anak malah tidak mau belajar sama sekali di manapun.
HS mungkin masih tampak asing dan eksklusif bagi mereka yang belum mengenalnya terlalu jauh. Padahal kalau kita mau membaca beragam referensi tentang HS, kita akan melihat bahwa sesungguhnya model ini sangat akrab dengan kehidupan kita dan bermanfaat bagi semua orang, termasuk bagi mereka yang akhirnya memilih sekolah formal.
Substansi HS adalah membuat belajar menjadi demikian menyenangkan, mandiri, dan sesuai minat. Tak peduli di mana pun tempatnya, baik di rumah, di pasar, di perpustakaan, ataupun di jalanan, anak-anak bisa belajar sesuatu tanpa harus dibatasi kisi-kisi materi yang mengikat.
Selain itu, prinsip dasar HS yang cukup penting adalah terlibatnya orang tua secara penuh dalam pendidikan anaknya. Sekalipun anak-anak akhirnya masuk sekolah formal, peran orang tua dalam mengelola pendidikan anaknya tidak boleh berhenti.
Meskipun HS murni (bersekolah di rumah) nampak ideal bagi sebagian orang, namun bagi orang tua lain, dengan latar belakang dan pekerjaan yang berbeda HS murni bisa jadi tidak memungkinkan. Pada kondisi inilah sekolah formal atau sekolah alternatif berupa kelas masih tetap dibutuhkan untuk mendidik anak-anak, setidaknya pada sisi koginitif. Sementara itu, menghidupkan etos belajar adalah pe er tersendiri bagi dunia sekolah.
Referensi
Beberapa buku yang membahas tema-tema seputar HS, pembelajaran mandiri, dan sekolah kreatif sudah terbit dalam bahasa Indonesia, seperti Tamasya Belajar (MLC:2005), Revolusi Belajar untuk Anak (Kaifa:2002), Sekolah Para Juara (Kaifa:2004), Belajar Tanpa Sekolah (Nuansa:2006), Totto-Chan (Gramedia:2006), Revolusi Cara Belajar (Kaifa:2001), Homeschooling Keluarga Kak Seto (Kaifa:2007), Ibuku Guruku: Belajar di Rumah dalam Balutan Kearifan dan Kehangatan (MLC:2005), Montessori untuk Sekolah Dasar (Pustaka Delapratasa:2002), Accelerated Learning (Nuansa:2002), dan lain-lain.
Membaca buku-buku tersebut, setidaknya akan membantu setiap orang untuk mengenal temuan-temuan terbaru tentang pembelajaran dan mampu melihat HS tak hanya sekedar bersekolah di rumah.
Lebih jauh menelaah HS, akan membuat kita memahami bahwa HS adalah bagian dari tanggung jawab pendidikan yang diemban orang tua. Sekalipun anak-anak kita bersekolah di sekolah formal, tidaklah hilang tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak-anak, sehingga mereka menyukai belajar dan menjadi tumbuh positif dengan belajar.
Penulis: Maya A. Pujiati
Layanan Komunikasi Total bagi Tunagrahita
Layanan Komunikasi Total bagi Tunagrahita
Layanan Komunikasi Total bagi Tunagrahita Konsep dasar komunikasi total bagi tunagrahita, membahas tentang pengertian dan proses komunikasi secara umum sebagai pola pengembangan komunikasi bagi tuna grahita digunakan model komunikasi shane.
|
Gerakan percepatan desa tuntas buta aksara di Kabupaten Pekalongan
Tahun 2006 ini ditingkat nasional maupun ditingkat propinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan kegiatan sosialisasi Gerakan Desa Tuantas Buata Aksara. Kegiatan sosialisasi ini didasarkan pada instruksi presiden nomor 5 tahun 2006 tentang gerakan nasioal percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan pemberantasan buta aksara, dan keberanian pemerintah kabupaten pekalongan bahwa akhir tahun 2008 sudah tuntas buta aksara.
Sebagai kegiatan monumental pada hari Sabtu tanggal 9 September 2006 Bupati Pekalongan Hj. Siti Qomariyah, M.A mencanangkan Pelaksanaan Gerakan Percepat Desa Tuntas Buta Akasara, dengan tema terwujudnya pelayanan pendidikan non formal dan pencerdasan warga di kabupaten pekalongan.
Oleh Drs. H. Umaidi, M.Si kepala dinas pendidikan kabupaten pekalongan, ditekankan semua komponen program percepatan tuntas buata aksara ( warga belajar, tutor, sapras yang ada di masyarakat, penyelenggara, bahan belajar, waktu belajar ) harus terlibat secara total dalam rangka menghidupkan kelompok belajarnya.
Tahapan Percepatan
Tahapan aksi penuntasan buta aksara diawali dengan tahap persiapan : (1) rakor tingkat propinsi tanggal 12-13 Juli 2005 di Bandungan tentang penjelasan gerakan desa tuntas buta aksara, (2) terus dilakukan pendataan di kabupaten pekalongan di mulai bulan Agustus – Nopember 2005 lewat PLS dan TLD, diperoleh jumlah buta aksara di kabupaten pekalongan tahun 2006 usia 15-44 tahun sebanyak 16.000 orang, (3)
Tahap Pelaksanaan : (1) Sosialisasi gerakan desa tuntas buata aksara kepada Ka. UPTD, PLS, TLD, Pamong belajar se Kab. Pekalongan tanggal 14 Desember 2005 di Kec. Wonokerto, (2) Identifikasi warga belajar dan tutor yang dapat dibentuk kelompok belajar dilaksanakan bulan Maret – Agustus 2006, (3) Sosialisasi kepada tim koordinasi tingkat kabupaten tanggal 19 September 2006, (4) pembelajaran di Mulai Juli 2006 s.d Desember 2006.
Gerakan percepatan desa tuntas buta aksara di Kabupaten Pekalongan...lanjutan
Tahap Moitoring : (1) menugaskan tim koordinasi gerakan desa tuntas tingkat kabupaten sesuai daerah binaannya, (2) mengadakan apel buta aksara setiap tanggal 17 di Aula dinas pendidikan, untuk mengetahui perkembangan, permasalahan dan solusi di lapangan, (3) evaluasi, dilaksanakan oleh masing-masing tutor untuk mengetahui kemajuan belajar.
Tindak Lanjut : (1) tahun 2007 dn 2008 dilanjutkan tahap pembinaan dan pelestarian, (2) membuka taman bacaan masyarakat ( TBM ) agar warga belajar tidak buta huruf kembali.
Rencana Aksi
Tahun Jml Sasar- an Tahap I Pem-berantas-an Tahap II Pem-binaan Tahap III Pe-lestarian Tuntas
2006 16.000 6.340 530 340
2007 15.660 8.790 6.340 540
2008 15.130 8.790 6.340
(sumber : Makalah Drs. H. Umaidi, M.Si., dalam rakor Tim Koordinasi TBA)
Setelah pembelajaran pada setiap kelompok belajar berhasil dilaksnakan, maka hal-hal yang perlu ditindaklanjuti adalah mengintensifkan program jarring dan garap, meningkatkan budaya baca melalui penyediaan Taman Bacaan Masyarakat ( TBM ) di setiap kejar/desa yang strategis, menerpakan kemampuan calistung dalam kehidupan sehari-hari, melalui kegiatan lomba maupun pertemuan kelompok belajar. (su7ud)
Sumber : http://skb-pekalongan.com/artikel04.htm
Homeschooling Solusi, atau Kerugian
Homeschooling Solusi, atau Kerugian
Judul: Homeschooling Solusi, atau Kerugian
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian SISTEM PENDIDIKAN / EDUCATION SYSTEM.
Nama & E-mail (Penulis): Huzaifah Hamid
Saya Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang Jurusan Pendidikan Biologi
Topik: Homeschooling
Tanggal: 02 Agustus 2008
Akhir-akhir ini metode pendidikan Homeschooling sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, dipelopori oleh Kak Seto melalui Asah Pena yaitu sebuah lembaga yang didirikan untuk membantu proses belajar mengajar di dalam Homeschooling, apalagi juga didukung melalui pemberitaan yang luas dari media masa, maka semakin tinggilah apresiasi masyarakat -gembor terhadap metode pembelajaran ini, apalagi dengan gembar-gembor dari media massa yang menyatakan bahwa Homeschooling merupakan alernatif pendidikan yang sangat tepat untuk saat ini mengalahkan dominasi sekolah yang sudah sejak dahulu berada dalam garis terdepan dalam melakukan pembelajaran kepada siswa maka masyarakat perlu dijelaskan apakah memang Homeschooling seindah yang mereka bayangkan?
Homeschooling dan Legalitas
Sebelum berbicara mengenai legalitas dari Homeschoolng, harus diketahui dulu apakah sebenarnya Homeschooling itu. Home Schooling atau biasa disingkat HS merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing (Daryono, 2008). Sistem ini sendiri terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia. Baru kemudian mulai menjadi tren di Indonesia tahun-tahun belakangan ini. Sebenarnya jika kita flashback ke belakang sistem pembelajaran HS telah ada bahkan sejak sebelum jaman penjajahan dulu, beberapa tokoh penting kita seperti Ki Hajar Dewantara, Buya Hamka dan KH Agus Salim telah lebih dulu mengenyam sistem pengajaran HS ini.
Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (home schooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan belajar yang telah dilakukannya (Mulyadi, 2008).
Berbicara mengenai payung hukum, Homeschooling sebenarnya sudah mempunyai payung hukum. Menurut, Harun Al Rosyid Kepala Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Non Formal (BPPLSP) mengatakan sekolah rumah atau home schooling ini telah memiliki payung hukum UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anak peserta home schooling dapat mengikuti ujian nasional berbarengan dengan siswa sekolah formal melalui sekolah mitra yang ditunjuk Dinas Pendidikan.. selain itu, di Indonesia, pendidikan dalam keluarga merupakan kegiatan pendidikan jalur informal, kutipan UU no 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur pada proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan dari informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Kemudian (kutipan pasal 90 SNP), peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang setara dengan sertifikat kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikat mandiri / profesi sesuai ketentuan berlaku dan peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh ijasah yang setara dengan Ijasah dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang teraktreditasi sesuai ketentuan yang berlaku. Dari penjelasan ini maka dapat diketahui bahwa sebenarnya Homeschooling memiliki payung hukum yang jelas dalam melaksanakan metode pembelajaran yang mereka lakukan sehingga masyarakat tidak perlu merasa terlalu takut untuk menyekolahkan anaknya di dalam Homeschooling
Keuntungan dan Kerugian
Metode pembelajaran tematik dan konseptual serta aplikatif menjadi beberapa poin keunggulan HS. Home schooling memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum. Setiap siswa HS diberi kesempatan untuk terjun langsung mempelajari materi yang disediakan, jadi tidak melulu membahas teori. Mereka juga diajak mengevaluasi secara langsung tentang materi yang sedang di bahas. Bahkan bagi siswa yang memiliki ketertarikan di bidang tertentu, misalnya Fisika atau Ilmu alam, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan observasi dan penelitian sesuai ketertarikan mereka.
Beberapa keunggulan lain home schooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu karena sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini juga memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya, memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, dan nonscholastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.
Ada keunggulan, pasti ada juga kekurangannya, begitu juga dengan home schooling, beberapa kekurangan harus siap dihadapi oleh orang tua yang memilih home schooling sebagai alternatif pendidikan, diantaranya tidak ada kompetisi atau bersaing. Sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusia dia.. Selain itu anak belum tentu merasa cocok jika diajar oleh orang tua sendiri, apalagi jika memang mereka tidak punya pengalaman mengajar sebelumnya
Kekurangan lain yang tidak bisa kita pungkiri adalah kurangnya interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat. Kemungkinan lainnya anak bisa terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga akan kurang siap nantinya menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian. Faktor tingginya biaya home schooling juga menjadi salah satu kekurangan, karena dipastikan biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan home schooling lebih besar dibanding jika kita mengikuti pendidikan formil disekolah umum.
Sudah Adaptifhkah dengan Indonesia
Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di â?ohantui â?ooleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif â?oamanâ? buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal.
Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home schooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah.Â
Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the job method, garansi dan konsepsi link & mach dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah.
Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistic, jadi mau Homeschooling atau tidak itu terserah anda.
Saya Huzaifah Hamid setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .
CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.
Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana
Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan
Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak
normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang
sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.
Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap
siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan
kemudahan administratif.
Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta,
Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah
penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.
Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan
Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.
Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan
khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau
mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka
panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam
situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).
Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas
ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan
belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.
Guru bantu
Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak
lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.
"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang
diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.
Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar
2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak
tadi difungsikan secara optimal.
Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka
sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.
"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang
dibutuhkan," ujar Indra.
Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan
pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari
sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.
Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan
untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program
pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan
hidup bagi usia 18 tahun ke atas.
Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah
bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang
khusus.
Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net
untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa
men-smash," katanya.
Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan
kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.
Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian.
Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari
2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana
pendidikan di daerah-daerah bencana. (NAR/INE)
Sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0501/14/humaniora/1499439.htm
MENGGAGAS SEKOLAH MODEL
MENGGAGAS SEKOLAH MODEL
Judul: MENGGAGAS SEKOLAH MODEL
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Trimo, S.Pd.,M.Pd.
Saya Kepala Sekolah di Kabupaten Kendal Jateng
Topik: INOVASI PENDIDIKAN
Tanggal: 13 Juni 2007
Menggagas Sekolah Model
Oleh: Trimo
KETIKA berdiskusi dengan beberapa teman guru yang notabene termasuk guru yang suka mengkritisi berbagai kebijakan inovasi pendidikan, kami saling beradu argumen mengenai wujud nyata dari serangkaian kebijakan yang pernah digulirkan pemerintah.Gunjingan yang sempat memanas tersebut lantas menyepakati tidak adanya kesinambungan antara harapan pemerintah (Depdiknas) dengan kenyataan di lapangan (sekolah).
Sekadar mengingatkan saja, pemerintah pernah mencanangkan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun, education for all, school based management yang dibarengi dengan sejumlah inovasi pembelajaran yang menggunakan kata berbasis (pendidikan berbasis masyarakat, pendidikan berbasis internet, kurikulum berbasis kompetensi, penilaian berbasis kelas, dll), dan berbagai program inovasi lainnya yang bermuara pada peningkatan mutu pendidikan.
Yang agak aktual adalah penerapan kurikulum berbasis kompetensi yang dimasyarakatkan dengan sebutan Kurikulum 2004. Serangkaian permasalahan dalam penerapan KBK kemudian menjadi sebuah selubung yang dimainkan dengan cantik oleh stakeholders pendidikan, tanpa terkecuali.
Aplikasi Gagasan
Proses pembelajaran yang bermakna dan integrasi penilaian yang mencakupi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor menjadi ciri khas dalam penerapan KBK. Sudahkah demikian?
Pengisian rapor ala KBK dengan angka puluhan dengan sederet komponen yang membingungkan guru bisa menjadikan derita guru berkepanjangan. Simak saja pengisian rapor KBK untuk siswa SD. Setiap mata pelajaran memiliki lebih dari satu komponen yang harus dinilai. Secara keseluruhan seorang guru SD harus mengisi 26 komponen nilai puluhan yang tersebar ke dalam 8 mata pelajaran.
Tidak hanya itu, guru SD harus melakukan penilaian kualitatif setidaknya 9 aspek yang meliputi kedisiplinan dan tanggung jawab, kebersihan dan kerapian, kerja sama, kesopanan, kemandirian, kerajinan, kejujuran, kepemimpinan, dan ketaatan. Muncul pertanyaan sederhana, bagaimana guru SD mampu melakukan penilaian tersebut?
Agaknya pernerintah sudah menyiapkan seperangkat antisipasi manakala menggulirkan gagasan yang inovatif dengan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang bertajuk peningkatan mutu. Sosialisasi hasil penataran, workshop, studi banding, dan sejenisnya menjadi program unggulan tatkala sebuah gagasan baru mengemuka. Secara proses, penyampaian gagasan inovatif sudah dilaksanakan sesuai dengan program dan berjenjang sampai pada tataran pelaksana lapangan.
Griffin dan Mooehead (1986) mengatakan, sebuah gagasan inovatif akan terwujud apabila ada perubahan persepsi, suasana, dan makna. Ketiga hal tersebut perlu dipahami guru dengan merefleksi diri khususnya dalam menerapkan pembelajaran bermakna.
Persoalan yang muncul kemudian adalah pada tahap aplikasi. Ada kecenderungan stakeholders pendidikan kurang memberikan respon positif terhadap upaya pembaruan tersebut. Masih segar dalam ingatan, penerapan School Based Management di sekolah-sekolah negeri. Sudahkah gagasan otonomi sekolah tersebut merakyat? Atau hanya jadi slogan kebanggaan saja? Adakah konsekuensi logis terhadap sekolah yang belurn dan enggan menerapkan berbagai inovasi pendidikan?
Beberapa daerah memaknai berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan secara beragam. Dalam konteks pembelajaran yang bernuansa KBK di pendidikan dasar, ada daerah yang menyatakan siap melaksanakan KBK, namun ada juga sebagian yang belum siap menerapkan KBK setelah melakukan analisis SWOT.
Daerah yang belum menerapkan KBK tentunya belajar dari daerah yang sudah menerapkan KBK. Yang menjadi bahan renungan adalah apa yang akan diperoleh saat belajar dari daerah "cerdas" kalau pemaknaan terhadap KBK belum holistik.
Sekolah Model
Bagai buah simalakama, itulah sebenarnya potret berbagai inovasi pendidikan yang digulirkan pemerintah. Satu program belum dievaluasi secara komprehensif, sudah muncul program lain. Ironisnya, guru "dipaksa" untuk mengatakan keberhasilan setiap program dengan dukungan data yang berbeda dengan realita.
Ibarat membangun rumah, kita mulai dari salah sudut ruangan. Saat ruangan itu belum selesai, kita harus membangun sudut ruangan lain secara bersama. Begitulah seterusnya, sampai kita lupa sudut ruangan yang belum selesai kita buat lantaran roboh kita tinggalkan.
Perumpamaan di atas setidaknya dapat dijadikan refleksi para penyelenggara pendidikan untuk merumuskan pemikiran cerdas agar konsep inovasi pendidikan dapat diterapkan secara benar.
Menurut hemat penulis, salah satu alternatif yang dapat dilakukan penyelenggara pendidikan untuk menjembati ketimpangan inovasi pendidikan khususnya di sekolah dasar adalah pembentukan sekolah model. Ide dasar konsep ini dilandasi pemikiran bahwa guru mudah terkejut dan keheranan manakala mengetahui keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Kulminasinya, guru melakukan studi banding. Apa yang hendak dibandingkan kalau guru sendiri belum mencoba menerapkan?
Sekolah model dapat dibentuk di setiap kecamatan dengan memperhatikan berbagai hal, di antaranya kondisi fisik sekolah, ketersediaan sarana prasarana, siswa, guru, kepala sekolah, dan komite sekolah. Setiap kecamatan, tentunya ada salah satu SD yang memenuhi kriteria tersebut. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh cabang Diknas kecamatan untuk membentuk sekolah model, yakni: pertama, menentukan SD yang letaknya strategis. Penentuan lokasi juga memperhatikan kondisi fisik, ketersediaan sarana prasarana pembelajaran, dan jumlah siswa yang ideal (40 siswa per kelas). Langkah ini dimaksudkan untuk memudahkan transportasi dan komunikasi. Selebihnya, sekolah lebih terkonsentrasi dalam menerapkan inovasi.
Kedua, mengatur tenaga pengajar. Tempatkan guru-guru yang memiliki idealisme, dedikasi, dan komitmen yang tinggi dalam menjalankan tugas. Dalam konteks ini, mutasi perlu dilakukan agar sekolah yang dijadikan model didukung oleh sumber daya yang berkualitas.
Ketiga, merekrut kepala sekolah yang cerdas dalam melaksanakan perannya sebagai pendidik, manajer, administratif, supervisor, pemimpin, kreatif dan mampu menjadi penggerak. Optimalisasi peran kepala sekolah tentunya akan mendukung upaya peningkatan mutu pendidikan. Menempatkan kepala sekolah yang berani menindakkritisi setiap fenomena aktual dalam bidang pendidikan dengan aktivitas nyata, perlu dilakukan agar terjadi konsistensi antara harapan dan kenyataan.
Hasil penelitian Gibson (1988) menunjukkan keberhasilan sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan banyak ditentukan oleh kapasitas kepala sekolahnya, di samping guru-guru yang memiliki komitmen tinggi dalam tugas.
Keempat, mengoptimalkan peran komite sekolah sebagai badan pertimbangan (advisory agency), pendukung (supporting agency), pengawas (controlling agency), dan mediator berbagai kebijakan pendidikan. Hal ini perlu dilakukan karena ada kesan komite sekolah masih sama dengan BP3 tempo dulu. Pelibatan komite sekolah secara nyata dalam kegiatan sekolah akan mendukung terwujudnya sekolah model yang nantinya akan menjadi pusat mutu (center for excellence).
Serangkaian langkah dalam perumusan sekolah model bukan harga mati. Namun, setidaknya empat komponen tersebut komponen yang paling dominan dalarn mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Menata Sistem
Terwujudnya sekolah model akan mengurangi keterkejutan dan keheranan guru akan keberhasilan inovasi pendidikan. Konsekuensi logis sekolah model adalah dijadikannya ujicoba berbagai inovasi pendidikan. Di sekolah model inilah, gagasan ideal berbagai inovasi dilaksanakan. Dengan demikian, guru-guru tidak perlu bersusah payah studi banding ke daerah lain apabila di sekolah model sudah menerapkannya.
Bila guru bertanya dan hendak belajar mengenai pembelajaran bermakna ala KBK, sekolah model mampu memberikan pencerahan. Berkembangnya sekolah model di tiap-tiap kecamatan, secara evolusif akan membantu pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Sudah barang tentu untuk mencapainya dalam kondisi ideal memerlukan pentahapan yang panjang. Seperti dikemukakan Supriadi (2002) bahwa orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan, memerlukan tahaptahap yang dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan.
Mewujudkan sekolah model sebagai grass root dan pioner penerapan inovasi pendidikan tidak semudah membalikan telapak tangan. Oleh karena itu dibutuhkan keberanian dalam menata sistem pendidikan secara holistik. Setidaknya gagasan sederhana ini dapat dicoba di setiap kecamatan agar ketidakjelasan output dan outcame dari penerapan inovasi pendidikan dapat termentahkan (11).
-Trimo, S.Pd.,M. Pd kepala SDN 1 Magelung Kaliwungu Kab. Kendal, dosen luar biasa IKIP PGRI Semarang
Saya Trimo, S.Pd.,M.Pd. setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .
CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.
Pendidikan Mahasiswa berkebutuhan khusus
Pendidikan Mahasiswa berkebutuhan khusus
Judul: Pendidikan Mahasiswa berkebutuhan khusus secara formal saya adalah pemerhati pendidikan, dan saat ini saya mencoba untuk menceritakan pengalaman pribadi mengenai putra/putri yang berkebutuhan khusus lanjutan setelah mereka lulus SLTA.
|
Homeschooling: Pendidikan Berbasis Keluarga
Homeschooling: Pendidikan Berbasis Keluarga
Siapapun yang tertarik dengan tema-tema seputar homeschooling (HS), informasi ini mungkin cukup bermanfaat.
HS sudah mulai hangat dan bahkan kini agak “panas” dibicarakan di ruang publik. Selain karena terbitnya buku-buku HS karya penulis lokal yang promonya cukup gencar, atau mungkin juga karena HS ternyata sudah mampu menarik perhatian dan menyulut respon subjektif anggota dewan dan pakar pendidikan.
HS memang unik, tapi bukan berarti aneh. Pendidikan anak yang dipayungi oleh institusi keluarga adalah fondasi pendidikan yang paling sempurna. Kemunculan istilah HS yang berasal dari barat hanyalah sebuah istilah yang memudahkan penyebutan. Namun pada faktanya, pendidikan keluarga yang dimotori oleh orang tua sudah hidup berabad-abad lamanya, bahkan mungkin sejak zaman Nabi Adam a.s.
Kita tentu belum lupa bahwa para Nabi adalah para pendidik utama anak-anaknya dan memiliki pendidik yang terbaik semasa kecilnya. Tanggung jawab pendidikan itu mereka aktualisasikan lewat fase-fase kehidupan bersama anak-anak yang alami namun penuh dengan visi.
Nabi Ibrahim a.s mendidik langsung putranya Ismail dengan ajaran Allah lewat peristiwa-peristiwa nyata kehidupan. Bahkan sejak awal Ismail sudah dilibatkan dalam pendirian Baitullah (’Rumah’ Allah) di Makkah dan dilatih sikap pengorbanannya lewat peristiwa penyembelihan. Semua itu memang bukanlah kebetulan, melainkan gabungan antara ketaatan dan usaha seorang manusia dan bimbingan Sang Khalik.
Begitu pula dengan Nabi Musa a.s, Nabi Isa a.s, beliau semua tumbuh terdidik dengan hadirnya orang-orang yang sangat peduli dengan pendidikan mereka. Nabi Musa a.s memiliki Aisiyah dan Bunda kandungnya sebagai pengasuh dan juga pengarah, meski beliau hidup dalam lingkungan Firaun yang zhalim. Adapun Nabi Isa a.s memiliki Maryam sebagai pengasuh dan pendidik yang disucikan Allah.
Demikian halnya dengan Nabi Muhammad saw terhadap putrinya Fathimah Az Zahra dan sepupunya Ali bin Abi Thalib, pendidikan untuk mereka telah dilakukan sejak kecil dengan tempaan-tempaan hidup yang keras, yang akhirnya mengokohkan iman serta akhlak dan pribadi mereka. Hal itulah yang akhirnya menjadi harta berharga yang mampu memelihara kualitas keturunan Nabi setelah Nabi tiada.
Bagaimana dengan kita? Anak-anak pada zaman ini sesungguhnya tengah dikelilingi oleh srigala-srigala lapar yang sedang mengumpulkan teman. Kapitalisme menjelma dalam berbagai wujud, termasuk dalam dunia pendidikan. Kini, anak-anak lebih membutuhkan fondasi pendidikan dari keluarganya jauh lebih besar daripada anak-anak zaman dulu. Karena tanpa fondasi yang kuat, mereka akan lebih mudah terbawa arus.
Mencermati gaya hidup anak-anak dan remaja saat ini, terasa hati miris dan juga khawatir. Media yang menjajakan produk dan nilai-nilai liberalisme moral bertebaran di mana-mana hingga ruang untuk mengingatkan manusia akan tujuan hidup dan hakikat kematian nyaris tak tersisa. Dan ironisnya, media-media itu justru dilegalkan oleh pemerintah.
Beberapa pihak sering menafikan bahwa media tidaklah berpengaruh besar terhadap perilaku anak-anak. Namun benarkah demikian? Fakta di lapangan justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Media ternyata telah menjadi rujukan anak-anak untuk menciptakan citra atas dirinya. Pakaian mereka, cara mereka berbicara, cara mereka bergaul, cara mereka belajar, dan cara mereka bersikap, nyaris semuanya adalah hasil copy-paste dari idola mereka yang dipublikasikan besar-besaran oleh media.
Lalu, siapa yang bisa bertanggung jawab jika sebagian besar anak dan remaja tumbuh tanpa jati diri dan akhlak yang terpuji. Saya pikir, media ataupun para idola itu tak akan mau bertanggung jawab atau bahkan tak pernah merasa bersalah. Ya, tentu saja tidak ada lagi yang bisa mengemban tanggung jawab besar terhadap pendidikan anak-anaknya kecuali ORANG TUA.
Pesan Al Quran surat At Tahrim (66) ayat 6 berbunyi, “Hai, orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakunya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Sehubungan dengan HS, sesungguhnya ada misi yang indah yang tersimpul dari homeschooling, home-education, home-learning, atau apapun namanya, yaitu mengembalikan basis pendidikan anak-anak yang selama beberapa waktu terakhir secara tidak sadar bertumpu pada lingkungan dan sekolah formal, kembali kepada keluarga.
Jangan simpulkan HS sebagai rival sekolah formal, karena spirit HS sesungguhnya telah hidup jauh sebelum sekolah formal ada. Kalau saja kata “sekolah” agak mengganggu persepsi kita yang sudah terlanjur melekat pada sekolah formal, maka saya lebih suka menyebutnya pendidikan rumah. Sebuah frasa yang menaungi wilayah yang lebih luas dari sekedar kegiatan belajar-mengajar atau tutorial.
Saya percaya, bahwa sekolah formal saja tak akan sanggup memberikan kebutuhan pendidikan anak-anak kita tanpa pendidikan yang komprehensif di dalam keluarga. Satu hal yang paling penting dalam hal ini adalah akhlak. Sekolah formal mungkin bisa melakukan transfer pengetahuan pada anak-anak, namun belum tentu mampu menghembuskan nilai-nilai moral dari setiap pengetahuan.
Misalnya saja ilmu tentang jenis-jenis kebutuhan dalam ilmu sosial: kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Apa yang diketahui anak-anak tentang hal itu selain hapalan tentang contoh-contohnya? Saya kira hanya guru yang memiliki visi yang mampu mengaitkan pengetahuan itu dengan konteks moral, misalnya bagaimana kebutuhan sekunder dan tersier seperti pakaian mewah atau mobil mewah bisa dikesampingkan jika kita masih melihat orang-orang yang kelaparan dan tak punya pakaian layak masih terlihat di sekitar kita.
Akhlak adalah produk pengetahuan. Pengetahuan yang baik dan ditransfer dengan cara serta visi yang baik lebih mungkin menghasilkan anak-anak yang berakhlak baik. Adapun pengetahuan yang baik, namun disampaikan dengan cara dan semangat yang kering dari para pengajarnya, hanya akan menjadi sebuah hapalan yang mungkin segera terlupakan setelah materi itu selesai diujikan dalam test.
Kita tentu tak bisa menuntut banyak dari guru dan sekolah formal untuk melakukan prombakan pembelajaran. Oleh karena itu, orang tualah ujung tombak dalam menancapkan nilai-nilai transenden sebuah pengetahuan yang tak terbilang banyaknya ini.
Mari kita usahakan, “Make a good family for the best country”.
Salam Pendidikan!
Sumber : http://www.pustakanilna.com/pendidikan-anak/homeschooling-pendidikan-berbasis-keluarga
by : Maya A. Pujiati - DuniaParenting.com
Perbanyak Sekolah Informal
Perbanyak Sekolah Informal
Kebijakan tentang ditambahnya peluang pendidikan informal memang tengah gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pemerintah. Jika saja kita mampu mengapresiasi kebijakan itu secara positif, maka tak harus ada lagi istilah putus sekolah karena kekurangan biaya, tak punya baju seragam, gedung sekolahnya jauh di gunung atau mungkin nyaris roboh. Sekolah informal bisa dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan.Pendidikan bukanlah monopoli sekolah formal. Terlebih jika terkait dengan “masa depan” finansial, hubungan antara pendidikan formal dan pekerjaan seringkali tak beriringan. Semuanya sangat tergantung pada kemauan belajar, kerja keras, dan adaptasi anak-anak terhadap perkembangan zaman.
Seorang petani lulusan sekolah dasar, karena kegigihannya bisa hidup berkecukupan hanya dengan menanam sayuran, TAPI sarjana yang sudah dua tahun lebih lulus dari perguruan tinggi, karena tak punya skill yang memadai untuk memasuki pasar kerja atau mungkin terlalu pilih-pilih pekerjaan, bisa jadi masih saja jadi pengangguran. Semua sangat relatif jika ukurannya adalah kesuksesan masa depan finansial.
Sayangnya, sekolah informal selama ini sering dianggap sebagai sekolah kelas 3 setelah pendidikan formal dan non formal. Sekolah informal lebih berkesan sebagai pilihan paling akhir dari model pendidikan yang ada, yaitu hanya ditujukan bagi mereka yang putus sekolah, ekonomi lemah, kecerdasan rendah, berkebutuhan khusus, dan hal-hal yang marginal lainnya.
Sesungguhnya, sekolah informal bisa berperan lebih dari sekedar alternatif dari pendidikan formal. Namun patut diakui, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh kualitas para penyelenggaranya. Sekolah informal bisa menjadi wahana baru bagi tumbuhnya kreativitas pendidikan yang selama ini terlalu dikerangkeng oleh aturan-aturan yang kaku. Sekolah informal bisa menjadi wadah untuk melihat pelajaran dari sudut pandang yang berbeda, yang lebih heterogen, dan juga adaptif terhadap perkembangan yang ada.
Kalau di sekolah formal tumbuhan hanya dipandang sebatas makhluk hidup yang tidak bergerak, memiliki daun, batang, dan akar, maka di sekolah informal seorang pendidik bisa membawa anak-anak pada realitas tumbuhan yang sebenarnya, yang fungsinya bagi kehidupan begitu substansial, sehingga memelihara dan membudidayakannya menjadi sebuah kebutuhan bersama, sehingga menyemai biji dan kemudian menanamnya menjadi pekerjaan lanjutan yang mengasyikkan dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu.
Sekolah informal. Semoga siapapun yang peduli, tertarik, dan merasa memiliki kemampuan akan tetap bersemangat untuk menumbuhkannya di wilayah-wilayah terdekat. Hal itu insya Allah akan menjadi amal sholeh tiada terputus yang bisa kita berikan dalam kehidupan ini. Selamat berkarya!
*** ditulis oleh : Maya A. Pujiati - Pendidikan Rumah
Mewujudkan PAUD Nonformal Dalam Mendukung Wajib Belajar 9 Tahun
Mewujudkan PAUD Nonformal Dalam Mendukung Wajib Belajar 9 Tahu
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
|
Metoda di TK
Metoda di TK
Judul: Metoda di TK Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION. Nama & E-mail (Penulis): dian noviyanti Saya Guru di Tanggal: 27 Agustus 2006
|
Liberalisasi Pendidikan Tinggi
Liberalisasi Pendidikan TInggi(Anita Lie)
Dalam bukunya, The Outliers, Malcom Gladwell membeberkan kisah orang-orang sukses dan gagal. Beberapa di antaranya
Bill Gates, Bill Joy(Sun Microsystem) dan Steve Jobs(Apple Computer)
Salah satu faktor pendukung keberhasilan seseorang adalah kesempatan. Banyak dari orang sukses (misalnya Bill Gates,
Bill Joy dan Paul Allen) dalam The Outliers berasal dari kelas sosioekonomi menengah dan atas sehingga bisa mengakses
pendidikan bermutu.
Sebaliknya, saat kesempatan itu ditiadakan, seseorang dengan IQ 195, Chris Langan (bandingkan: IQ Albert Einstein
150) harus putus kuliah karena ktiadaan biaya dan berakhir sebagai buruh tani dengan berbagai kepahitan. Di antara
kedua titik ini, ada kisah Steve Jobs dari keluarga sederhana yang berhasil mengubah hidupnya dan dunia melalui
perusahaan Apple Computer. Meski tidak berasal dari keluarga kaya, Steve Jobs hidup di Silicon Valley dan bergaul
dengan para insinyur Hewlett Packard. Pesan dari kisah-kisah ini, kesempatan merupakan pintu awal menuju
keberhasilan.
Salah satu fungsi pendidikan adalah memberikan kesempatan itu untuk mengurangi jumlah orang yang berakhir seperti
Chris Langan dan Steve Jobs. Jika The Outliers ditulis dalam versi Indonesia, pasti ada banyak kisah Chris Langan dan
Steve Jobs ala Indonesia yang bisa menjadi latar belakang pembuatan kebijakan pendidikan atau keputusan negara maupun
institusi. Kebijakan yang masih menuai kontroversi adalah UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan(BHP).
Ketika sektor-sektor yang memenuhi kepentingan publik dantidak diharapkan memberi keuntungan material, pendidikan
menjadi tanggung jawabnegara. Pada era ini, ada pergeseran cara pandang dan praktik terhadap sektor-sektor itu.
Liberalisasi pendidikan
Pasar sebagai salah satu pranata civil society dikendalikan pelaku bisnis, Saat pelaku bisnis menjelajahi dan
menguasai sumber-sumber daya dalam pasar, lahan-lahan yang secara historis merupakan usaha untuk kemaslahatan orang
banyak sehingga diselenggarakan oleh negara, seperti pendidikan dan kesehatan, kini mulai menjadi garapan pelaku
bisnis.
Salah satu dampak positif UU BHP adalah transformasi di PTN. Jerat birokrasi yang berwujud kurang efisien mulai bisa
diperbaiki. Sedangkan kalangan yang masih memercayai nilai-nilai sosial demokratis mengkhawatirkan terjadinya
liberalisasipendidikan. Meski Pasal 4 UU BHP sudah mengatur bahwa badan hukum pendidikan bersifat nirlaba, fenomena
liberalisasi pendidikan tinggi sudah amat terasa, Berbagai jalur yang disediakan PTN-mulai dari jalur Seleksi
Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri(SNM-PTN) hingga jalur khusus dan mandiri - memberi berbagai paket dengan
persentase masing-masing.
Alternatif pertama adalah memberi dan meningkatkan jumlah beasiswa pemerintah melalui lembaga mandiri, Lembaga
kepanjangan tangan pemerintah ini bertugas menyeleksi kelayakan calon penerima beasiswa secara jujur dan transparan.
Penyaluran beasiswa bisa dilakukan melalui PTN maupun PTS. Namun, calon penerima bebas memilih PT mana yang dituju
(asal sudah terakreditasi, misalnya). Melalui cara ini PTN dan PTS diberi kesemaptan untuk bersaing secara adil guna
meningkatkan mutu dan menjadikan lembaga pilihan mahasiswa.
Alternatif kedua melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Selamaini beberapa korporasi melalui lembaga
filantropis (di antaranya Tanoto Foundation, Djarum, dan Sampoerna Foundation) sudah cukup berperandalam ikut
mencerdasan bangsa dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Kontribusi dari
korporasi ini perlu dihargai. Apa pun motifnya, kontribusi ini sudah terbukti menciptakan banyak Steve Jobs yangbisa
berperan bagi bangsa dan masyarakat.
Penghargaan dari pemerintah berupa pemotongan pajak bagi sumbangan filantropis untuk pendidikan setara dengan zakat
akan memicu lembaga lain maupun individu melakukan tindakan serupa.
Sumber: Artikel ini telah dimuat di Koran Kompas 2 Maret 2009 hal 6
Penulis: Anita Lie adalah Guru Besar FKIP Unika Widya Mandala Surabaya, Anggota Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.
Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Sumber : http://www.komunitasdemokrasi.or.id/comments.php?id=263_0_9_0_C
Pemahaman Manajemen Perubahan dalam Perspektif Agen Perubahan Pendidikan Tinggi
Pemahaman Manajemen Perubahan dalam Perspektif
Agen Perubahan Pendidikan Tinggi
Bahan ini cocok untuk Perguruan Tinggi. Nama & E-mail (Penulis): Th. Agung M. Harsiwi Saya Dosen di Yogyakarta Tanggal: 30 Juli 2003 Judul Artikel: Pemahaman Manajemen Perubahan dalam Perspektif Agen Perubahan Pendidikan Tinggi Topik: managing change, change process, fundamental aspects of change Pemahaman Manajemen Perubahan Dalam Perspektif Agen Perubahan Pendidikan Tinggi
b.Sifat Umum perubahan Dimensi ini menggambarkan isu-isu perubahan dengan pola yang jelas, pasti melambangkan semua usaha perubahan, dan isu aspek-aspek perubahan "revolusi versus evolusi" - ketika perubahan menuntut langkah yang pasti dan dramatis atau berupa "lompatan" daripada langkah yang moderat dan inkremental. 2.Proses Perubahan
b.Pengelolaan Aspek Perubahan Orang - Dimensi ini menyediakan prinsip dan petunjuk bahwa kesesuaian kriteria dianggap bermanfaat dalam area memimpin dan mengelola orang. Umumnya mereka mengacu pada isu komunikasi : apa (what), berapa banyak (how much), dan bagaimana (how) berkomunikasi selama perubahan. c.Pengelolaan Aspek Perubahan Organisasi - Dimensi ini memusatkan diri pada aspek pengelolaan perubahan organisasi : sistem penghargaan, struktur organisasi, halangan yang ada untuk mencapai keadaan akhir, dan penggunaan simbol institusional untuk memfasilitasi proses perubahan. d. Evaluasi Perubahan - Item-item dalam dimensi ini menggambarkan pentingnya mempertahankan momentum perubahan dan energi positif terarah menuju sasaran perubahan, memonitor perkembangan, dan menyediakan umpan balik bagi anggota tentang banyaknya perubahan yang dicapai, tidak menjadi masalah apabila perubahan itu begitu kecil. MCQ merupakan kuesioner relatif pendek dengan 25 item berisi soal-soal bertipe benar-salah yang telah digunakan secara ekstensif dalam berbagai program pengembangan manajerial dan eksekutif, serta workshop ketrampilan konsultasi dalam usaha perubahan organisasi berskala besar (Burke dan Spencer, 1990; Burke, et.al., 1991). Jawaban "correct" yang ditarik dari sejumlah domain teoritis dan aplikasi tersedia untuk setiap pertanyaan dan digunakan untuk memberi skor pada respon individual. Skor ini kemudian dikonversi pada suatu persentase didasarkan pada total jumlah skor "correct". Di samping total skor, enam subskor unik dapat juga dihasilkan dari respon individual. Keenam subskor tersebut berkorespondensi dengan bidang-bidang dan/atau isu-isu berbeda yang melukiskan proses dan isi dari perubahan organisasional (Church, et.al., 1996).
Tabel 1 menunjukkan lemahnya korelasi antara variabel pemahaman terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan (TMCQ) dengan karakteristik individual agen perubahan sebagaimana terlihat dari korelasi Kendalls Tau-b yang bernilai <> 0,05. Hubungan berlawanan (-) terjadi antara pemahaman terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan (TMCQ) dengan pendidikan formal terakhir dan lama bekerja di pendidikan. Semakin tinggi pendidikan formal terakhir agen perubahan dan semakin lama agen perubahan bekerja di dunia pendidikan, maka semakin rendah pemahaman agen perubahan tersebut terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan. Hubungan searah (+) terjadi antara pemahaman terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan (TMCQ) dengan umur. Semakin tinggi umur agen perubahan, maka semakin tinggi pemahaman agen perubahan tersebut terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan.
Tabel 2 menunjukkan lemahnya korelasi antara variabel pemahaman terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dengan karakteristik individual agen perubahan sebagaimana ditunjukkan dari korelasi Kendalls Tau-b yang bernilai <>0,05 (kecuali satu-satunya hubungan signifikan yang terjadi antara aspek-aspek fundamental perubahan dengan proses perubahan). Hubungan berlawanan (-) terjadi antara pemahaman terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dengan pendidikan formal terakhir dan lama bekerja di pendidikan. Semakin tinggi pendidikan formal terakhir agen perubahan dan semakin lama agen perubahan bekerja di dunia pendidikan, maka semakin rendah pemahaman agen perubahan tersebut terhadap aspek-aspek fundamental perubahan. Hubungan searah (+) terjadi antara pemahaman terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dengan umur, berarti semakin tinggi umur agen perubahan, maka sema kin tinggi pemahaman agen perubahan tersebut terhadap aspek-aspek fundamental perubahan.
Pemahaman rata-rata agen perubahan wanita terhadap aspek-aspek fundamental perubahan (NASPEK) dan proses perubahan (NPROSES) lebih tinggi daripada pemahaman agen perubahan pria. Eksplorasi perbedaan skor NASPEK dan NPROSES antara agen perubahan wanita dan pria dilakukan dengan uji t untuk dua sampel independen/bebas (independent sample t test) menunjukkan pengujian F bernilai 1,212 dengan probabilitas 0,275 (>0,05) dan bernilai 1,151 dengan probabilitas 0,699 (>0,05) yang berarti varians keduanya sama, berarti varians keduanya sama/identik. Pengujian t dengan dasar equal variance assumed menunjukkan nilai t -1,406 dengan probabilitas 0,164 (>0,05) untuk NASPEK dan nilai t -0,784 dengan probabilitas 0,436 (>0,05) untuk NPROSES yang berarti kedua rata-rata populasi sama atau identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan menurut jenis kelamin dan tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap proses perubahan me nurut jenis kelamin. Tabel 4 Perbandingan Mean, Uji F, dan Uji t Pemahaman Agen Perubahan terhadap Aspek Fundamental Perubahan dan Proses Perubahan Menurut Umur KARAKTERISTIK INDIVIDUAL RATA-RATA (MEAN)ASPEK FUNDAMENTAL RATA-RATA (MEAN)PROSES PERUBAHAN
Pemahaman rata-rata agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental (NASPEK) lebih rendah daripada pemahaman terhadap proses perubahan (NPROSES) menurut umur agen perubahan. Pemahaman terhadap aspek-aspek fundamental perubahan (NASPEK) dan proses perubahan (NPROSES) tertinggi terdapat pada agen perubahan yang berumur 70 tahun ke atas. Eksplorasi perbedaan skor NASPEK dan NPROSES antara agen perubahan menurut umur dilakukan dengan uji F atau ANOVA menunjukkan Levene test bernilai 0,930 dengan probabilitas 0,452 (>0,05) dan nilai 0,549 dengan probabilitas 0,700 (>0,05) yang berarti kelima varians populasi sama/identik. Pengujian F bernilai 1,226 dengan probabilitas 0,308 (>0,05) untuk NASPEK dan nilai 1,505 dengan probabilitas 0,211 (>0,05) untuk NPROSES yang berarti kelima rata-rata populasi sama/identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan menurut umur dan tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap proses perubahan menurut umur. Tabel 5 Perbandingan Mean, Uji F, dan Uji t Pemahaman Agen Perubahan terhadap Aspek Fundamental Perubahan dan Proses Perubahan Menurut Pendidikan Formal Terakhir KARAKTERISTIK INDIVIDUAL RATA-RATA (MEAN)ASPEK FUNDAMENTAL RATA-RATA (MEAN)PROSES PERUBAHAN
Pemahaman rata-rata agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental (NASPEK) lebih rendah daripada pemahaman terhadap proses perubahan (NPROSES) menurut pendidikan formal terakhir agen perubahan, kecuali pada agen perubahan dengan pendidikan lainnya (di bawah Strata 1). Eksplorasi perbedaan skor NASPEK dan NPROSES antara agen perubahan menurut pendidikan formal terakhir dengan uji F atau ANOVA menunjukkan Levene test bernilai 1,133 dengan probabilitas 0,342 (>0,05) dan nilai 0,522 dengan probabilitas 0,668 (>0,05) yang berarti ketiga varians populasi sama/identik. Pengujian F yang menunjukkan nilai 2,437 dengan probabilitas 0,072 (>0,05) untuk NASPEK dan nilai 1,580 dengan probabilitas 0,202 (>0,05) untuk NPROSES yang berarti ketiga rata-rata populasi sama/identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan menurut pendidikan formal terakhir dan tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap proses perubahan menurut pendidikan formal terakhir. Tabel 6 Perbandingan Mean, Uji F, dan Uji t Pemahaman Agen Perubahan terhadap Aspek Fundamental Perubahan dan Proses Perubahan Menurut Lama Bekerja di Pendidikan KARAKTERISTIK INDIVIDUAL RATA-RATA (MEAN)ASPEK FUNDAMENTAL RATA-RATA (MEAN)PROSES PERUBAHAN
Pemahaman rata-rata agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental (NASPEK) lebih rendah daripada pemahaman terhadap proses perubahan (NPROSES) menurut lama bekerja di pendidikan. Eksplorasi perbedaan skor NASPEK dan NPROSES antara agen perubahan menurut lama bekerja di pendidikan dilakukan dengan uji F atau ANOVA menunjukkan Levene test bernilai 0,415 dengan probabilitas 0,797 (>0,05) dan nilai 1,172 dengan probabilitas 0,331 (>0,05) yang berarti kelima varians populasi sama/identik. Pengujian F yang menunjukkan nilai 0,511 dengan probabilitas 0,728 (>0,05) untuk NASPEK dan nilai 1,335 dengan probabilitas 0,266 (>0,05) untuk NPROSES yang berarti kelima rata-rata populasi sama atau identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan menurut lama bekerja di pendidikan dan tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap proses perubahan menurut lama bekerja di pendidikan. Tabel 7 Korelasi Pemahaman Agen Perubahan terhadap Perubahan Revolusi dan Evolusi sebagi Sifat Umum Perubahan dengan Karakteristik Individual
Tabel 7 menunjukkan lemahnya korelasi antara variabel pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan dengan karakteristik individual agen perubahan sebagaimana ditunjukkan dari korelasi Kendalls Tau-b yang bernilai <> 0,05 (kecuali satu-satunya hubungan signifikan yang terjadi antara perubahan revolusi dan evoluasi sebagai sifat umum perubahan dengan umur). Hubungan berlawanan (-) terjadi antara pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan dengan pendidikan formal terakhir. Semakin tinggi pendidikan formal terakhir agen perubahan, maka semakin rendah pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan. Hubungan searah (+) terjadi antara pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan dengan umur dan lama bekerja di pendidikan, berarti semakin tinggi umur agen perubahan dan semakin lama bekerja di pendidikan, maka semakin tinggi pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan.
|