WeLCoMe To 1'st Dewi's Blog

WelCome...!!! To My 1'st blog!!!


pendidikan

pendidikan
sangat menyedihkan ya... pendidikan di negara kita...so.. jangan pernah menyia-nyiakan pendidikan yang kita dapat, karena masih banyak di luar sana yang kurang mendapat pendidikan yang layak. semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Jumat, 13 Maret 2009

Homeschooling, haruskah eksklusif?

Homeschooling, haruskah eksklusif?
Sejak subsidi pendidikan nyaris ditiadakan, efek yang langsung terasa oleh masyarakat, adalah mahalnya biaya sekolah. Terbukanya peluang untuk tumbuhnya pendidikan alternatif seperti homeschooling (HS) adalah kabar baik.

Dengan pertimbangan finansial, HS diharapkan bisa mengabaikan unsur-unsur tertentu yang membuat biaya pendidikan menjadi mahal. Biaya gedung, seragam, atau atribut-atribut fisik lainnya dapat ditiadakan. Pemerataan pendidikan pun diharapkan akan berjalan lebih baik.

Sayanganya kini model pendidikan alternatif ini juga mengalami distorsi substansi. Munculnya lembaga-lembaga non sekolah yang membuka layanan belajar berbasis HS dengan biaya yang sangat-sangat mahal membuat HS terkesan ekslusif dan tak mungkin dilakukan oleh mereka yang ekonominya pas-pasan.

Tak Perlu Mahal
Perpindahan tempat belajar dan bervariasinya metode yang digunakan dalam bersekolah di rumah tidaklah berarti akan menambah biaya pendidikan jika seorang homeschooler bisa mengelola fasilitas yang ada di sekelilingnya dengan cermat.
Perpustakaan, museum, toku buku dan barang-barang bekas, perabotan rumah, sawah, kebun, tanaman di halaman, hewan peliharaan, dan lain sebagainya adalah contoh-contoh media belajar yang dapat dimanfaatkan tanpa harus merogoh uang terlalu besar.

Satu dari sekian prinsip yang diusung HS diantaranya adalah menghubungkan pengetahuan dengan dunia nyata, dan hal itu seringkali sangat murah. Anak-anak bisa belajar matematika saat mengeluarkan biscuit dari bungkusnya, bisa belajar bahasa inggris saat membaca petunjuk memasak mie instan, atau belajar biologi saat bermain di halaman; dengan mengamati serangga dan tumbuhan yang hidup bebas.

Informasi yang memang dianggap masih kurang oleh para peminat HS adalah aspek-aspek praktis berupa gambaran kurikulum, selain juga cara mengurus legalitas, supaya anak-anak yang melakukan HS tetap bisa memperoleh ijazah resmi sesuai jenjang pendidikan yang ditempuhnya.

Namun demikian, kalau kita mau sedikit menjelajahi internet, semua informasi itu bisa diperoleh cuma-cuma. Mengakses www.puskur.net akan membantu kita untuk mengetahui standar kurikulum nasional, sehingga kita memiliki gambaran dalam merancang kurikulum bagi anak-anak.

Beberapa panduan belajar dan kurikulum pendukung lainnya juga sebenarnya bisa kita dapatkan murah dan bahkan gratis di internet. Dari sana kita bisa mengambil pengalaman para homeschooler yang sudah lebih dulu menerapkan HS, dan kita kombinasikan dengan sedikit sentuhan kreativitas keluarga masing-masing.
HS akan menjadi sangat mahal jika para homeschooler serba membeli segala perangkat belajar yang semestinya tidak perlu dibeli.

Hindari Dokotomi
Dikotomi yang tajam antara HS dan sekolah formal sangat tidak bermanfaat untuk dikembangkan. Melihat pendidikan dalam skala makro, HS pun bisa menjadi bumerang jika hanya didefinisikan sebagai bersekolah di rumah dan tidak pergi ke sekolah. Salah-salah memberikan penjelasan, apa yang diingat dari HS justru hanyalah “tidak pergi ke sekolah”, dan anak-anak malah tidak mau belajar sama sekali di manapun.

HS mungkin masih tampak asing dan eksklusif bagi mereka yang belum mengenalnya terlalu jauh. Padahal kalau kita mau membaca beragam referensi tentang HS, kita akan melihat bahwa sesungguhnya model ini sangat akrab dengan kehidupan kita dan bermanfaat bagi semua orang, termasuk bagi mereka yang akhirnya memilih sekolah formal.

Substansi HS adalah membuat belajar menjadi demikian menyenangkan, mandiri, dan sesuai minat. Tak peduli di mana pun tempatnya, baik di rumah, di pasar, di perpustakaan, ataupun di jalanan, anak-anak bisa belajar sesuatu tanpa harus dibatasi kisi-kisi materi yang mengikat.

Selain itu, prinsip dasar HS yang cukup penting adalah terlibatnya orang tua secara penuh dalam pendidikan anaknya. Sekalipun anak-anak akhirnya masuk sekolah formal, peran orang tua dalam mengelola pendidikan anaknya tidak boleh berhenti.

Meskipun HS murni (bersekolah di rumah) nampak ideal bagi sebagian orang, namun bagi orang tua lain, dengan latar belakang dan pekerjaan yang berbeda HS murni bisa jadi tidak memungkinkan. Pada kondisi inilah sekolah formal atau sekolah alternatif berupa kelas masih tetap dibutuhkan untuk mendidik anak-anak, setidaknya pada sisi koginitif. Sementara itu, menghidupkan etos belajar adalah pe er tersendiri bagi dunia sekolah.

Referensi
Beberapa buku yang membahas tema-tema seputar HS, pembelajaran mandiri, dan sekolah kreatif sudah terbit dalam bahasa Indonesia, seperti Tamasya Belajar (MLC:2005), Revolusi Belajar untuk Anak (Kaifa:2002), Sekolah Para Juara (Kaifa:2004), Belajar Tanpa Sekolah (Nuansa:2006), Totto-Chan (Gramedia:2006), Revolusi Cara Belajar (Kaifa:2001), Homeschooling Keluarga Kak Seto (Kaifa:2007), Ibuku Guruku: Belajar di Rumah dalam Balutan Kearifan dan Kehangatan (MLC:2005), Montessori untuk Sekolah Dasar (Pustaka Delapratasa:2002), Accelerated Learning (Nuansa:2002), dan lain-lain.

Membaca buku-buku tersebut, setidaknya akan membantu setiap orang untuk mengenal temuan-temuan terbaru tentang pembelajaran dan mampu melihat HS tak hanya sekedar bersekolah di rumah.
Lebih jauh menelaah HS, akan membuat kita memahami bahwa HS adalah bagian dari tanggung jawab pendidikan yang diemban orang tua. Sekalipun anak-anak kita bersekolah di sekolah formal, tidaklah hilang tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak-anak, sehingga mereka menyukai belajar dan menjadi tumbuh positif dengan belajar.

Penulis: Maya A. Pujiati

Layanan Komunikasi Total bagi Tunagrahita

Artikel:
Layanan Komunikasi Total bagi Tunagrahita

Layanan Komunikasi Total bagi Tunagrahita

Konsep dasar komunikasi total bagi tunagrahita, membahas tentang pengertian dan proses komunikasi secara umum sebagai pola pengembangan komunikasi bagi tuna grahita digunakan model komunikasi shane.

Penjelasan tentang istilah komunikasi total yang membedakan antara sistem komunikasi tunarungu dengan sistem komunikasi tunagrahita. Selanjutnya diuraikan mengenai aspek interaksi, aspek ekspresi dan aspek pragmatis.

Pemeriksaan dengan cara tingkatan non-linguistis, kemungkinan-kemungkinan komunikasi pada penyandang tuna grahita yang mengalami gangguan berat dalam berkomunikasi. Dalam kajian ini membahas tentang tunagrahita, sebab-sebab kesulitan dalam berkomunikasi. Pemeriksaan khusus sifat kesulitan antara lain mengenai kemampuan pendengaran. Pemeriksaan tingkat kognitif, komunikasi resetif dan ekspresif, aspek pragmatis dalam berkomunikasi.

Kajian selanjutnya tentang cara-cara menggunakan sistem visual, sistem komunikasi visual, macam-macam komunikasi visual.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sistem komunikasi total. Dalam kajian ini dibahas bagaimana memilih komunikasi yang paling tepat untuk masing-masing klien dengan gangguan komunikasinya. Selanjutnya dibahas jenis-jenis klien yang membutuhkan bantuan komunikasi total terdiri dari 3 kelompok. Terapi komunikasi membahas model-model layanan komunikasi dalam hal kajian ini di bahas 2 model layanan. Sebagai upaya menetapkan suatu diagnosa kelainan komunikasi di sajikan penafsiran formulir skrining gangguan komunikasi. Untuk latihan mendiagnosa jenis kelainan komunikasi bagi tunagrahita di tampilkan beberapa macam kasus klient dengan berbagai macam jenis gangguan.

Saya Tarmansyah, Sp.Th, M.Pd. SEN setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.

Gerakan percepatan desa tuntas buta aksara di Kabupaten Pekalongan

Gerakan percepatan desa tuntas buta aksara di Kabupaten Pekalongan

Tahun 2006 ini ditingkat nasional maupun ditingkat propinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan kegiatan sosialisasi Gerakan Desa Tuantas Buata Aksara. Kegiatan sosialisasi ini didasarkan pada instruksi presiden nomor 5 tahun 2006 tentang gerakan nasioal percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan pemberantasan buta aksara, dan keberanian pemerintah kabupaten pekalongan bahwa akhir tahun 2008 sudah tuntas buta aksara.

Sebagai kegiatan monumental pada hari Sabtu tanggal 9 September 2006 Bupati Pekalongan Hj. Siti Qomariyah, M.A mencanangkan Pelaksanaan Gerakan Percepat Desa Tuntas Buta Akasara, dengan tema terwujudnya pelayanan pendidikan non formal dan pencerdasan warga di kabupaten pekalongan.

Oleh Drs. H. Umaidi, M.Si kepala dinas pendidikan kabupaten pekalongan, ditekankan semua komponen program percepatan tuntas buata aksara ( warga belajar, tutor, sapras yang ada di masyarakat, penyelenggara, bahan belajar, waktu belajar ) harus terlibat secara total dalam rangka menghidupkan kelompok belajarnya.

Tahapan Percepatan

Tahapan aksi penuntasan buta aksara diawali dengan tahap persiapan : (1) rakor tingkat propinsi tanggal 12-13 Juli 2005 di Bandungan tentang penjelasan gerakan desa tuntas buta aksara, (2) terus dilakukan pendataan di kabupaten pekalongan di mulai bulan Agustus – Nopember 2005 lewat PLS dan TLD, diperoleh jumlah buta aksara di kabupaten pekalongan tahun 2006 usia 15-44 tahun sebanyak 16.000 orang, (3)

Tahap Pelaksanaan : (1) Sosialisasi gerakan desa tuntas buata aksara kepada Ka. UPTD, PLS, TLD, Pamong belajar se Kab. Pekalongan tanggal 14 Desember 2005 di Kec. Wonokerto, (2) Identifikasi warga belajar dan tutor yang dapat dibentuk kelompok belajar dilaksanakan bulan Maret – Agustus 2006, (3) Sosialisasi kepada tim koordinasi tingkat kabupaten tanggal 19 September 2006, (4) pembelajaran di Mulai Juli 2006 s.d Desember 2006.

Gerakan percepatan desa tuntas buta aksara di Kabupaten Pekalongan...lanjutan
Tahap Moitoring : (1) menugaskan tim koordinasi gerakan desa tuntas tingkat kabupaten sesuai daerah binaannya, (2) mengadakan apel buta aksara setiap tanggal 17 di Aula dinas pendidikan, untuk mengetahui perkembangan, permasalahan dan solusi di lapangan, (3) evaluasi, dilaksanakan oleh masing-masing tutor untuk mengetahui kemajuan belajar.

Tindak Lanjut : (1) tahun 2007 dn 2008 dilanjutkan tahap pembinaan dan pelestarian, (2) membuka taman bacaan masyarakat ( TBM ) agar warga belajar tidak buta huruf kembali.

Rencana Aksi
Tahun Jml Sasar- an Tahap I Pem-berantas-an Tahap II Pem-binaan Tahap III Pe-lestarian Tuntas
2006 16.000 6.340 530 340
2007 15.660 8.790 6.340 540
2008 15.130 8.790 6.340
(sumber : Makalah Drs. H. Umaidi, M.Si., dalam rakor Tim Koordinasi TBA)

Setelah pembelajaran pada setiap kelompok belajar berhasil dilaksnakan, maka hal-hal yang perlu ditindaklanjuti adalah mengintensifkan program jarring dan garap, meningkatkan budaya baca melalui penyediaan Taman Bacaan Masyarakat ( TBM ) di setiap kejar/desa yang strategis, menerpakan kemampuan calistung dalam kehidupan sehari-hari, melalui kegiatan lomba maupun pertemuan kelompok belajar. (su7ud)


Sumber : http://skb-pekalongan.com/artikel04.htm

Homeschooling Solusi, atau Kerugian

Artikel:
Homeschooling Solusi, atau Kerugian

Judul: Homeschooling Solusi, atau Kerugian
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian SISTEM PENDIDIKAN / EDUCATION SYSTEM.
Nama & E-mail (Penulis): Huzaifah Hamid
Saya Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang Jurusan Pendidikan Biologi
Topik: Homeschooling
Tanggal: 02 Agustus 2008
Akhir-akhir ini metode pendidikan Homeschooling sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, dipelopori oleh Kak Seto melalui Asah Pena yaitu sebuah lembaga yang didirikan untuk membantu proses belajar mengajar di dalam Homeschooling, apalagi juga didukung melalui pemberitaan yang luas dari media masa, maka semakin tinggilah apresiasi masyarakat -gembor terhadap metode pembelajaran ini, apalagi dengan gembar-gembor dari media massa yang menyatakan bahwa Homeschooling merupakan alernatif pendidikan yang sangat tepat untuk saat ini mengalahkan dominasi sekolah yang sudah sejak dahulu berada dalam garis terdepan dalam melakukan pembelajaran kepada siswa maka masyarakat perlu dijelaskan apakah memang Homeschooling seindah yang mereka bayangkan?

Homeschooling dan Legalitas

Sebelum berbicara mengenai legalitas dari Homeschoolng, harus diketahui dulu apakah sebenarnya Homeschooling itu. Home Schooling atau biasa disingkat HS merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing (Daryono, 2008). Sistem ini sendiri terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia. Baru kemudian mulai menjadi tren di Indonesia tahun-tahun belakangan ini. Sebenarnya jika kita flashback ke belakang sistem pembelajaran HS telah ada bahkan sejak sebelum jaman penjajahan dulu, beberapa tokoh penting kita seperti Ki Hajar Dewantara, Buya Hamka dan KH Agus Salim telah lebih dulu mengenyam sistem pengajaran HS ini.

Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (home schooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan belajar yang telah dilakukannya (Mulyadi, 2008).

Berbicara mengenai payung hukum, Homeschooling sebenarnya sudah mempunyai payung hukum. Menurut, Harun Al Rosyid Kepala Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Non Formal (BPPLSP) mengatakan sekolah rumah atau home schooling ini telah memiliki payung hukum UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anak peserta home schooling dapat mengikuti ujian nasional berbarengan dengan siswa sekolah formal melalui sekolah mitra yang ditunjuk Dinas Pendidikan.. selain itu, di Indonesia, pendidikan dalam keluarga merupakan kegiatan pendidikan jalur informal, kutipan UU no 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur pada proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan dari informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Kemudian (kutipan pasal 90 SNP), peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang setara dengan sertifikat kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikat mandiri / profesi sesuai ketentuan berlaku dan peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh ijasah yang setara dengan Ijasah dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang teraktreditasi sesuai ketentuan yang berlaku. Dari penjelasan ini maka dapat diketahui bahwa sebenarnya Homeschooling memiliki payung hukum yang jelas dalam melaksanakan metode pembelajaran yang mereka lakukan sehingga masyarakat tidak perlu merasa terlalu takut untuk menyekolahkan anaknya di dalam Homeschooling

Keuntungan dan Kerugian

Metode pembelajaran tematik dan konseptual serta aplikatif menjadi beberapa poin keunggulan HS. Home schooling memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum. Setiap siswa HS diberi kesempatan untuk terjun langsung mempelajari materi yang disediakan, jadi tidak melulu membahas teori. Mereka juga diajak mengevaluasi secara langsung tentang materi yang sedang di bahas. Bahkan bagi siswa yang memiliki ketertarikan di bidang tertentu, misalnya Fisika atau Ilmu alam, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan observasi dan penelitian sesuai ketertarikan mereka.

Beberapa keunggulan lain home schooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu karena sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini juga memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya, memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, dan nonscholastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.

Ada keunggulan, pasti ada juga kekurangannya, begitu juga dengan home schooling, beberapa kekurangan harus siap dihadapi oleh orang tua yang memilih home schooling sebagai alternatif pendidikan, diantaranya tidak ada kompetisi atau bersaing. Sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusia dia.. Selain itu anak belum tentu merasa cocok jika diajar oleh orang tua sendiri, apalagi jika memang mereka tidak punya pengalaman mengajar sebelumnya

Kekurangan lain yang tidak bisa kita pungkiri adalah kurangnya interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat. Kemungkinan lainnya anak bisa terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga akan kurang siap nantinya menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian. Faktor tingginya biaya home schooling juga menjadi salah satu kekurangan, karena dipastikan biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan home schooling lebih besar dibanding jika kita mengikuti pendidikan formil disekolah umum.

Sudah Adaptifhkah dengan Indonesia

Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di â?ohantui â?ooleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif â?oamanâ? buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal.

Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home schooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah.Â

Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the job method, garansi dan konsepsi link & mach dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah.

Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistic, jadi mau Homeschooling atau tidak itu terserah anda.

Saya Huzaifah Hamid setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.

Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana

Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana


Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan

Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak

normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang

sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.

Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap

siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan

kemudahan administratif.

Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta,

Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah

penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.

Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan

Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.

Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan

khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau

mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka

panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam

situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).

Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas

ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan

belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.

Guru bantu

Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen

Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak

lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.

"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang

diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.

Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar

2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak

tadi difungsikan secara optimal.

Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka

sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.

"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang

dibutuhkan," ujar Indra.

Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan

pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari

sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.

Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan

untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program

pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan

hidup bagi usia 18 tahun ke atas.

Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah

bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang

khusus.

Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net

untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa

men-smash," katanya.

Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan

kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.

Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian.

Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari

2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana

pendidikan di daerah-daerah bencana. (NAR/INE)
Sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0501/14/humaniora/1499439.htm

MENGGAGAS SEKOLAH MODEL

Artikel:
MENGGAGAS SEKOLAH MODEL

Judul: MENGGAGAS SEKOLAH MODEL
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Trimo, S.Pd.,M.Pd.
Saya Kepala Sekolah di Kabupaten Kendal Jateng
Topik: INOVASI PENDIDIKAN
Tanggal: 13 Juni 2007
Menggagas Sekolah Model
Oleh: Trimo

KETIKA berdiskusi dengan beberapa teman guru yang notabene termasuk guru yang suka mengkritisi berbagai kebijakan inovasi pendidikan, kami saling beradu argumen mengenai wujud nyata dari serangkaian kebijakan yang pernah digulirkan pemerintah.Gunjingan yang sempat memanas tersebut lantas menyepakati tidak adanya kesinambungan antara harapan pemerintah (Depdiknas) dengan kenyataan di lapangan (sekolah).

Sekadar mengingatkan saja, pemerintah pernah mencanangkan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun, education for all, school based management yang dibarengi dengan sejumlah inovasi pembelajaran yang menggunakan kata berbasis (pendidikan berbasis masyarakat, pendidikan berbasis internet, kurikulum berbasis kompetensi, penilaian berbasis kelas, dll), dan berbagai program inovasi lainnya yang bermuara pada peningkatan mutu pendidikan.

Yang agak aktual adalah penerapan kurikulum berbasis kompetensi yang dimasyarakatkan dengan sebutan Kurikulum 2004. Serangkaian permasalahan dalam penerapan KBK kemudian menjadi sebuah selubung yang dimainkan dengan cantik oleh stakeholders pendidikan, tanpa terkecuali.

Aplikasi Gagasan

Proses pembelajaran yang bermakna dan integrasi penilaian yang mencakupi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor menjadi ciri khas dalam penerapan KBK. Sudahkah demikian?

Pengisian rapor ala KBK dengan angka puluhan dengan sederet komponen yang membingungkan guru bisa menjadikan derita guru berkepanjangan. Simak saja pengisian rapor KBK untuk siswa SD. Setiap mata pelajaran memiliki lebih dari satu komponen yang harus dinilai. Secara keseluruhan seorang guru SD harus mengisi 26 komponen nilai puluhan yang tersebar ke dalam 8 mata pelajaran.

Tidak hanya itu, guru SD harus melakukan penilaian kualitatif setidaknya 9 aspek yang meliputi kedisiplinan dan tanggung jawab, kebersihan dan kerapian, kerja sama, kesopanan, kemandirian, kerajinan, kejujuran, kepemimpinan, dan ketaatan. Muncul pertanyaan sederhana, bagaimana guru SD mampu melakukan penilaian tersebut?

Agaknya pernerintah sudah menyiapkan seperangkat antisipasi manakala menggulirkan gagasan yang inovatif dengan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang bertajuk peningkatan mutu. Sosialisasi hasil penataran, workshop, studi banding, dan sejenisnya menjadi program unggulan tatkala sebuah gagasan baru mengemuka. Secara proses, penyampaian gagasan inovatif sudah dilaksanakan sesuai dengan program dan berjenjang sampai pada tataran pelaksana lapangan.

Griffin dan Mooehead (1986) mengatakan, sebuah gagasan inovatif akan terwujud apabila ada perubahan persepsi, suasana, dan makna. Ketiga hal tersebut perlu dipahami guru dengan merefleksi diri khususnya dalam menerapkan pembelajaran bermakna.

Persoalan yang muncul kemudian adalah pada tahap aplikasi. Ada kecenderungan stakeholders pendidikan kurang memberikan respon positif terhadap upaya pembaruan tersebut. Masih segar dalam ingatan, penerapan School Based Management di sekolah-sekolah negeri. Sudahkah gagasan otonomi sekolah tersebut merakyat? Atau hanya jadi slogan kebanggaan saja? Adakah konsekuensi logis terhadap sekolah yang belurn dan enggan menerapkan berbagai inovasi pendidikan?

Beberapa daerah memaknai berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan secara beragam. Dalam konteks pembelajaran yang bernuansa KBK di pendidikan dasar, ada daerah yang menyatakan siap melaksanakan KBK, namun ada juga sebagian yang belum siap menerapkan KBK setelah melakukan analisis SWOT.

Daerah yang belum menerapkan KBK tentunya belajar dari daerah yang sudah menerapkan KBK. Yang menjadi bahan renungan adalah apa yang akan diperoleh saat belajar dari daerah "cerdas" kalau pemaknaan terhadap KBK belum holistik.

Sekolah Model

Bagai buah simalakama, itulah sebenarnya potret berbagai inovasi pendidikan yang digulirkan pemerintah. Satu program belum dievaluasi secara komprehensif, sudah muncul program lain. Ironisnya, guru "dipaksa" untuk mengatakan keberhasilan setiap program dengan dukungan data yang berbeda dengan realita.
Ibarat membangun rumah, kita mulai dari salah sudut ruangan. Saat ruangan itu belum selesai, kita harus membangun sudut ruangan lain secara bersama. Begitulah seterusnya, sampai kita lupa sudut ruangan yang belum selesai kita buat lantaran roboh kita tinggalkan.
Perumpamaan di atas setidaknya dapat dijadikan refleksi para penyelenggara pendidikan untuk merumuskan pemikiran cerdas agar konsep inovasi pendidikan dapat diterapkan secara benar.

Menurut hemat penulis, salah satu alternatif yang dapat dilakukan penyelenggara pendidikan untuk menjembati ketimpangan inovasi pendidikan khususnya di sekolah dasar adalah pembentukan sekolah model. Ide dasar konsep ini dilandasi pemikiran bahwa guru mudah terkejut dan keheranan manakala mengetahui keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Kulminasinya, guru melakukan studi banding. Apa yang hendak dibandingkan kalau guru sendiri belum mencoba menerapkan?

Sekolah model dapat dibentuk di setiap kecamatan dengan memperhatikan berbagai hal, di antaranya kondisi fisik sekolah, ketersediaan sarana prasarana, siswa, guru, kepala sekolah, dan komite sekolah. Setiap kecamatan, tentunya ada salah satu SD yang memenuhi kriteria tersebut. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh cabang Diknas kecamatan untuk membentuk sekolah model, yakni: pertama, menentukan SD yang letaknya strategis. Penentuan lokasi juga memperhatikan kondisi fisik, ketersediaan sarana prasarana pembelajaran, dan jumlah siswa yang ideal (40 siswa per kelas). Langkah ini dimaksudkan untuk memudahkan transportasi dan komunikasi. Selebihnya, sekolah lebih terkonsentrasi dalam menerapkan inovasi.

Kedua, mengatur tenaga pengajar. Tempatkan guru-guru yang memiliki idealisme, dedikasi, dan komitmen yang tinggi dalam menjalankan tugas. Dalam konteks ini, mutasi perlu dilakukan agar sekolah yang dijadikan model didukung oleh sumber daya yang berkualitas.

Ketiga, merekrut kepala sekolah yang cerdas dalam melaksanakan perannya sebagai pendidik, manajer, administratif, supervisor, pemimpin, kreatif dan mampu menjadi penggerak. Optimalisasi peran kepala sekolah tentunya akan mendukung upaya peningkatan mutu pendidikan. Menempatkan kepala sekolah yang berani menindakkritisi setiap fenomena aktual dalam bidang pendidikan dengan aktivitas nyata, perlu dilakukan agar terjadi konsistensi antara harapan dan kenyataan.

Hasil penelitian Gibson (1988) menunjukkan keberhasilan sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan banyak ditentukan oleh kapasitas kepala sekolahnya, di samping guru-guru yang memiliki komitmen tinggi dalam tugas.

Keempat, mengoptimalkan peran komite sekolah sebagai badan pertimbangan (advisory agency), pendukung (supporting agency), pengawas (controlling agency), dan mediator berbagai kebijakan pendidikan. Hal ini perlu dilakukan karena ada kesan komite sekolah masih sama dengan BP3 tempo dulu. Pelibatan komite sekolah secara nyata dalam kegiatan sekolah akan mendukung terwujudnya sekolah model yang nantinya akan menjadi pusat mutu (center for excellence).

Serangkaian langkah dalam perumusan sekolah model bukan harga mati. Namun, setidaknya empat komponen tersebut komponen yang paling dominan dalarn mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Menata Sistem

Terwujudnya sekolah model akan mengurangi keterkejutan dan keheranan guru akan keberhasilan inovasi pendidikan. Konsekuensi logis sekolah model adalah dijadikannya ujicoba berbagai inovasi pendidikan. Di sekolah model inilah, gagasan ideal berbagai inovasi dilaksanakan. Dengan demikian, guru-guru tidak perlu bersusah payah studi banding ke daerah lain apabila di sekolah model sudah menerapkannya.

Bila guru bertanya dan hendak belajar mengenai pembelajaran bermakna ala KBK, sekolah model mampu memberikan pencerahan. Berkembangnya sekolah model di tiap-tiap kecamatan, secara evolusif akan membantu pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Sudah barang tentu untuk mencapainya dalam kondisi ideal memerlukan pentahapan yang panjang. Seperti dikemukakan Supriadi (2002) bahwa orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan, memerlukan tahaptahap yang dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan.

Mewujudkan sekolah model sebagai grass root dan pioner penerapan inovasi pendidikan tidak semudah membalikan telapak tangan. Oleh karena itu dibutuhkan keberanian dalam menata sistem pendidikan secara holistik. Setidaknya gagasan sederhana ini dapat dicoba di setiap kecamatan agar ketidakjelasan output dan outcame dari penerapan inovasi pendidikan dapat termentahkan (11).

-Trimo, S.Pd.,M. Pd kepala SDN 1 Magelung Kaliwungu Kab. Kendal, dosen luar biasa IKIP PGRI Semarang

Saya Trimo, S.Pd.,M.Pd. setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.

Pendidikan Mahasiswa berkebutuhan khusus

Artikel:
Pendidikan Mahasiswa berkebutuhan khusus

Judul: Pendidikan Mahasiswa berkebutuhan khusus

secara formal saya adalah pemerhati pendidikan, dan saat ini saya mencoba untuk menceritakan pengalaman pribadi mengenai putra/putri yang berkebutuhan khusus lanjutan setelah mereka lulus SLTA.

Anak saya lulus SMA tahun 2007 dengan nilai sedang. Mencoba untuk mendaftar ke sebagian besar Universitas/Akademi mengalami hambatan karena anak saya menggunakan kursi roda.Setahun sebelumnya saya menggagas buka lanjutan SLTA disalah satu Perguruan Tinggi di Jakarta bagi putra/i berkebutuhan khusus seperti autis ringan,downsyndrome,tunagrahita ringan dll.Jumlah mahasiswa sekitar 20 orang saat itu. Kenyataannya program pendidikan tidak jalan.Akhirnya saya mencoba mendirikan pendidikan non degree bidang budidiya ikan dan tanaman dengan dibina oleh Institut Pertanian Bogor. Seluruh Mahasiswa adalah yang mempunyai hambatan , ada yang slowlearner,penyandang kursi roda,autis ringan dll.

Rumah saya sulap menjadi Kampus. Tujuan kuliah bukan untuk cari gelar tapi memberi bekal agar mereka nantinya bisa mandiri dalam usaha budidaya ikan atau tanaman atau bidang usaha lain yang diminati. Metode pengajaran diubah sesuai dg kebutuhan mereka walaupun tetap tidak keluar dari kurikulum yang telah digariskan.Saat ini kuliah sudah berjalan 3 bulan dan sudah ada perubahan yang berarti.

Bagi para pemerhati pendidikan barangkali bisa memberikan masukan kepada saya, dan bagi yang memiliki putra/putri berkebutuhan khusus dan masih ingin kuliah,silahkan hubungi say di k.penagading @gmail.com. No.telp 021 8581369 Terima kasih

Saya Endang Rahayu Mohon Pilih jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.

Homeschooling: Pendidikan Berbasis Keluarga

Homeschooling: Pendidikan Berbasis Keluarga

Siapapun yang tertarik dengan tema-tema seputar homeschooling (HS), informasi ini mungkin cukup bermanfaat.

HS sudah mulai hangat dan bahkan kini agak “panas” dibicarakan di ruang publik. Selain karena terbitnya buku-buku HS karya penulis lokal yang promonya cukup gencar, atau mungkin juga karena HS ternyata sudah mampu menarik perhatian dan menyulut respon subjektif anggota dewan dan pakar pendidikan.

HS memang unik, tapi bukan berarti aneh. Pendidikan anak yang dipayungi oleh institusi keluarga adalah fondasi pendidikan yang paling sempurna. Kemunculan istilah HS yang berasal dari barat hanyalah sebuah istilah yang memudahkan penyebutan. Namun pada faktanya, pendidikan keluarga yang dimotori oleh orang tua sudah hidup berabad-abad lamanya, bahkan mungkin sejak zaman Nabi Adam a.s.

Kita tentu belum lupa bahwa para Nabi adalah para pendidik utama anak-anaknya dan memiliki pendidik yang terbaik semasa kecilnya. Tanggung jawab pendidikan itu mereka aktualisasikan lewat fase-fase kehidupan bersama anak-anak yang alami namun penuh dengan visi.

Nabi Ibrahim a.s mendidik langsung putranya Ismail dengan ajaran Allah lewat peristiwa-peristiwa nyata kehidupan. Bahkan sejak awal Ismail sudah dilibatkan dalam pendirian Baitullah (’Rumah’ Allah) di Makkah dan dilatih sikap pengorbanannya lewat peristiwa penyembelihan. Semua itu memang bukanlah kebetulan, melainkan gabungan antara ketaatan dan usaha seorang manusia dan bimbingan Sang Khalik.

Begitu pula dengan Nabi Musa a.s, Nabi Isa a.s, beliau semua tumbuh terdidik dengan hadirnya orang-orang yang sangat peduli dengan pendidikan mereka. Nabi Musa a.s memiliki Aisiyah dan Bunda kandungnya sebagai pengasuh dan juga pengarah, meski beliau hidup dalam lingkungan Firaun yang zhalim. Adapun Nabi Isa a.s memiliki Maryam sebagai pengasuh dan pendidik yang disucikan Allah.

Demikian halnya dengan Nabi Muhammad saw terhadap putrinya Fathimah Az Zahra dan sepupunya Ali bin Abi Thalib, pendidikan untuk mereka telah dilakukan sejak kecil dengan tempaan-tempaan hidup yang keras, yang akhirnya mengokohkan iman serta akhlak dan pribadi mereka. Hal itulah yang akhirnya menjadi harta berharga yang mampu memelihara kualitas keturunan Nabi setelah Nabi tiada.

Bagaimana dengan kita? Anak-anak pada zaman ini sesungguhnya tengah dikelilingi oleh srigala-srigala lapar yang sedang mengumpulkan teman. Kapitalisme menjelma dalam berbagai wujud, termasuk dalam dunia pendidikan. Kini, anak-anak lebih membutuhkan fondasi pendidikan dari keluarganya jauh lebih besar daripada anak-anak zaman dulu. Karena tanpa fondasi yang kuat, mereka akan lebih mudah terbawa arus.

Mencermati gaya hidup anak-anak dan remaja saat ini, terasa hati miris dan juga khawatir. Media yang menjajakan produk dan nilai-nilai liberalisme moral bertebaran di mana-mana hingga ruang untuk mengingatkan manusia akan tujuan hidup dan hakikat kematian nyaris tak tersisa. Dan ironisnya, media-media itu justru dilegalkan oleh pemerintah.

Beberapa pihak sering menafikan bahwa media tidaklah berpengaruh besar terhadap perilaku anak-anak. Namun benarkah demikian? Fakta di lapangan justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Media ternyata telah menjadi rujukan anak-anak untuk menciptakan citra atas dirinya. Pakaian mereka, cara mereka berbicara, cara mereka bergaul, cara mereka belajar, dan cara mereka bersikap, nyaris semuanya adalah hasil copy-paste dari idola mereka yang dipublikasikan besar-besaran oleh media.

Lalu, siapa yang bisa bertanggung jawab jika sebagian besar anak dan remaja tumbuh tanpa jati diri dan akhlak yang terpuji. Saya pikir, media ataupun para idola itu tak akan mau bertanggung jawab atau bahkan tak pernah merasa bersalah. Ya, tentu saja tidak ada lagi yang bisa mengemban tanggung jawab besar terhadap pendidikan anak-anaknya kecuali ORANG TUA.

Pesan Al Quran surat At Tahrim (66) ayat 6 berbunyi, “Hai, orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakunya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Sehubungan dengan HS, sesungguhnya ada misi yang indah yang tersimpul dari homeschooling, home-education, home-learning, atau apapun namanya, yaitu mengembalikan basis pendidikan anak-anak yang selama beberapa waktu terakhir secara tidak sadar bertumpu pada lingkungan dan sekolah formal, kembali kepada keluarga.

Jangan simpulkan HS sebagai rival sekolah formal, karena spirit HS sesungguhnya telah hidup jauh sebelum sekolah formal ada. Kalau saja kata “sekolah” agak mengganggu persepsi kita yang sudah terlanjur melekat pada sekolah formal, maka saya lebih suka menyebutnya pendidikan rumah. Sebuah frasa yang menaungi wilayah yang lebih luas dari sekedar kegiatan belajar-mengajar atau tutorial.

Saya percaya, bahwa sekolah formal saja tak akan sanggup memberikan kebutuhan pendidikan anak-anak kita tanpa pendidikan yang komprehensif di dalam keluarga. Satu hal yang paling penting dalam hal ini adalah akhlak. Sekolah formal mungkin bisa melakukan transfer pengetahuan pada anak-anak, namun belum tentu mampu menghembuskan nilai-nilai moral dari setiap pengetahuan.

Misalnya saja ilmu tentang jenis-jenis kebutuhan dalam ilmu sosial: kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Apa yang diketahui anak-anak tentang hal itu selain hapalan tentang contoh-contohnya? Saya kira hanya guru yang memiliki visi yang mampu mengaitkan pengetahuan itu dengan konteks moral, misalnya bagaimana kebutuhan sekunder dan tersier seperti pakaian mewah atau mobil mewah bisa dikesampingkan jika kita masih melihat orang-orang yang kelaparan dan tak punya pakaian layak masih terlihat di sekitar kita.

Akhlak adalah produk pengetahuan. Pengetahuan yang baik dan ditransfer dengan cara serta visi yang baik lebih mungkin menghasilkan anak-anak yang berakhlak baik. Adapun pengetahuan yang baik, namun disampaikan dengan cara dan semangat yang kering dari para pengajarnya, hanya akan menjadi sebuah hapalan yang mungkin segera terlupakan setelah materi itu selesai diujikan dalam test.

Kita tentu tak bisa menuntut banyak dari guru dan sekolah formal untuk melakukan prombakan pembelajaran. Oleh karena itu, orang tualah ujung tombak dalam menancapkan nilai-nilai transenden sebuah pengetahuan yang tak terbilang banyaknya ini.

Mari kita usahakan, “Make a good family for the best country”.

Salam Pendidikan!

Sumber : http://www.pustakanilna.com/pendidikan-anak/homeschooling-pendidikan-berbasis-keluarga

by : Maya A. Pujiati - DuniaParenting.com

Perbanyak Sekolah Informal

Perbanyak Sekolah Informal

Kebijakan tentang ditambahnya peluang pendidikan informal memang tengah gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pemerintah. Jika saja kita mampu mengapresiasi kebijakan itu secara positif, maka tak harus ada lagi istilah putus sekolah karena kekurangan biaya, tak punya baju seragam, gedung sekolahnya jauh di gunung atau mungkin nyaris roboh. Sekolah informal bisa dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan.Pendidikan bukanlah monopoli sekolah formal. Terlebih jika terkait dengan “masa depan” finansial, hubungan antara pendidikan formal dan pekerjaan seringkali tak beriringan. Semuanya sangat tergantung pada kemauan belajar, kerja keras, dan adaptasi anak-anak terhadap perkembangan zaman.

Seorang petani lulusan sekolah dasar, karena kegigihannya bisa hidup berkecukupan hanya dengan menanam sayuran, TAPI sarjana yang sudah dua tahun lebih lulus dari perguruan tinggi, karena tak punya skill yang memadai untuk memasuki pasar kerja atau mungkin terlalu pilih-pilih pekerjaan, bisa jadi masih saja jadi pengangguran. Semua sangat relatif jika ukurannya adalah kesuksesan masa depan finansial.

Sayangnya, sekolah informal selama ini sering dianggap sebagai sekolah kelas 3 setelah pendidikan formal dan non formal. Sekolah informal lebih berkesan sebagai pilihan paling akhir dari model pendidikan yang ada, yaitu hanya ditujukan bagi mereka yang putus sekolah, ekonomi lemah, kecerdasan rendah, berkebutuhan khusus, dan hal-hal yang marginal lainnya.

Sesungguhnya, sekolah informal bisa berperan lebih dari sekedar alternatif dari pendidikan formal. Namun patut diakui, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh kualitas para penyelenggaranya. Sekolah informal bisa menjadi wahana baru bagi tumbuhnya kreativitas pendidikan yang selama ini terlalu dikerangkeng oleh aturan-aturan yang kaku. Sekolah informal bisa menjadi wadah untuk melihat pelajaran dari sudut pandang yang berbeda, yang lebih heterogen, dan juga adaptif terhadap perkembangan yang ada.

Kalau di sekolah formal tumbuhan hanya dipandang sebatas makhluk hidup yang tidak bergerak, memiliki daun, batang, dan akar, maka di sekolah informal seorang pendidik bisa membawa anak-anak pada realitas tumbuhan yang sebenarnya, yang fungsinya bagi kehidupan begitu substansial, sehingga memelihara dan membudidayakannya menjadi sebuah kebutuhan bersama, sehingga menyemai biji dan kemudian menanamnya menjadi pekerjaan lanjutan yang mengasyikkan dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu.

Sekolah informal. Semoga siapapun yang peduli, tertarik, dan merasa memiliki kemampuan akan tetap bersemangat untuk menumbuhkannya di wilayah-wilayah terdekat. Hal itu insya Allah akan menjadi amal sholeh tiada terputus yang bisa kita berikan dalam kehidupan ini. Selamat berkarya!

*** ditulis oleh : Maya A. Pujiati - Pendidikan Rumah

Mewujudkan PAUD Nonformal Dalam Mendukung Wajib Belajar 9 Tahun

Artikel:
Mewujudkan PAUD Nonformal Dalam Mendukung Wajib Belajar 9 Tahu

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama (Penulis): Ferdinand Hutabarat
E-mail (Penulis): ferdinand.hutabarat@gmail.com
Saya Guru di Jakarta
Judul: Mewujudkan PAUD Nonformal Dalam Mendukung Wajib Belajar 9 Tahun
Topik: OPTIONAL
Tanggal: 11-05-2007


Mewujudkan PAUD Nonformal Dalam Mendukung Wajib Belajar 9 Tahun


Bullying dan UAN

Pada saat kita dihadapkan pada kenyataan banyak siswa yang tidak siap mengikuti UAN, kekerasan (bullying) yang dilakukan anak-anak kini kian marak diperbincangkan. Anak yang menjadi kebanggaan orang tua dapat menjadi korban dan pelaku kekerasan dalam dunia pendidikan. Sudah lama kita menyadari dampak negatif informasi yang belum saatnya diterima anak. Walaupun demikian, tetap saja kekerasan yang dilakukan anak-anak terhadap temannya terus terjadi pada lingkungan sekolah.

Dengan melihat tayangan gulat (smack down) di layar televisi, anak-anak pun dengan gampangnya meniru adegan tersebut layaknya seorang pegulat professional. Banyak anak menganggap adegan tersebut sebagai hal yang wajar dan layak dilakukan. Tanpa bimbingan orang dewasa, bisa dibayangkan berapa banyak nyawa anak-anak kita yang akan melayang setelah bersmack down ria dengan teman sepermainannya.

Ironisnya, dunia pendidikan yang semestinya menjadi tempat anak mengembangkan kognitif, emosional, sosial, fisik, dan akhlak sekilas tampak gagal dalam mengoptimalkan potensi anak. Ditambah lagi ketakutan para siswa SMA dalam menghadapi UAN. Kecenderungan ini terlihat jelas ketika kita dihadapkan pada kenyataan banyaknya siswa yang tidak lulus dan penolakan sebagian siswa terhadap UAN itu sendiri.

Ketakutan para siswa menghadapi UAN dan maraknya kekerasan yang dilakukan anak-anak dilingkungan sekolah bisa jadi merupakan ketidaksiapan anak secara intelegensia/kognitif, emosional, sosial, fisikal, dan spiritual. Perhatian terhadap kecerdasan intelektual anak belumlah cukup tanpa diikuti perhatian terhadap kecerdasan emosional, spiritual, sosial dan kemampuan memecahkan masalah (adversity) si anak itu sendiri.

Melihat fakta-fakta diatas, sudah selayaknya pemerintah memperhatikan kembali pendidikan dasar 9 tahun yang semakin kurang relevan terhadap tuntutan jaman globalisasi seperti sekarang ini. Bukankah jaman juga memiliki peran penting dalam menentukkan sistem pendidikan?

Pada jaman globalisasi seperti sekarang ini, industrialisasi dan pesatnya informasi yang berkembang memegang peranan penting terhadap kualitas hidup seseorang. Belum lagi persaingan dan tekanan yang ditimbulkan serta ketidaksiapan menjalani hidup menjadi pergumulan yang tiada berujung. Tanpa diikuti dengan kematangan intelegensia, emosional, sosial, fisik, dan akhlak sebagai pedoman pribadi, segala informasi akan dengan mudah diterima anak-anak sebagai kebenaran yang hakiki. Tak ayal, segala kekerasan yang terlihat di layar televisi pun kini menjadi konsumsi dan kian dimanipulasi anak-anak itu sendiri. Apakah ini produk jaman yang dihasilkan? Penerus-penerus bangsa yang tidak siap menghadapi tantangan jaman?

Hal-hal tersebut diatas sebenarnya dapat dihindari dengan mengoptimalkan potensi anak sejak dini. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat membantu dalam mendukung wajib belajar 9 tahun. Anak-anak pada usia 0-6 tahun perlu mendapat perhatian khusus karena pada usia inilah kesiapan mental dan emosional anak mulai dibentuk. Penelitian terhadap PAUD menunjukkan bahwa mutu pendidikan dan keberhasilan akademis secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas masukan pendidikan yaitu kesiapan mental dan emosional anak memasuki sekolah dasar.

Perhatian Khusus Terhadap Anak

Anak mulai belajar dan beradaptasi dengan lingkungannya sejak bayi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan otak bayi dibentuk pada usia 0-6 tahun. Oleh sebab itu asupan nutrisi yang cukup juga harus diperhatikan. Para ahli neurologi meyakini sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia terjadi pada usia 4 tahun, 80% terjadi ketika usia 8 tahun, dan 100% ketika anak mencapai usia 8 - 18 tahun.

Dalam tahun-tahun pertama kehidupan, otak anak berkembang sangat pesat dan menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan yang memuat berbagai kemampuan dan potensi. Nutrisi bagi perkembangan anak merupakan benang merah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Setidaknya terdapat 6 aspek yang harus diperhatikan terkait dengan perkembangan anak itu sendiri:

1. Perkembangan fisik: hal ini terkait dengan perkembangan motorik dan fisik anak seperti berjalan dan kemampuan mengontrol pergerakan tubuh.

2. Perkembangan sensorik: berkaitan dengan kemampuan anak menggunakan panca indra dalam mengumpulkan informasi.

3. Perkembangan komunikasi dan bahasa: terkait dengan kemampuan menangkap rangsangan visual dan suara serta meresponnya, terutama berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan mengekspresikan pikiran dan perasaan.

4. Perkembangan Kognitif: berkaitan dengan bagaimana anak berpikir dan bertindak.

5. Perkembangan emosional: berkaitan dengan kemampuan mengontrol perasaan dalam situasi dan kondisi tertentu.

6. Perkembangan sosial: berkaitan dengan kemampuan memahami identitas pribadi, relasi dengan orang lain, dan status dalam lingkungan sosial.

Fase Pertumbuhan

Para orang tua juga dituntut untuk memahami fase-fase pertumbuhan anak. Fase pertama mulai pada usia 0-1 tahun. Pada permulaan hidupnya, anak diusia ini merupakan suatu mahkluk yang tertutup dan egosentris. Ia mempunyai dunia sendiri yang berpusat pada dirinya sendiri. Dalam fase ini, anak mengalami pertumbuhan pada semua bagian tubuhnya. Ia mulai terlatih mengenal dunia sekitarnya dengan berbagai macam gerakan. Anak mulai dapat memegang dan menjangkau benda-benda disekitarnya. Ini berarti sudah mulai ada hubungan antara dirinya dan dunia luar yang terjadi pada pertengahan tahun pertama (± 6 bulan). Pada akhir fase ini terdapat dua hal yang penting yaitu: anak belajar berjalan dan mulai belajar berbicara.

Fase kedua terjadi pada usia 2-4 tahun. Anak semakin tertarik kepada dunia luar terutama sekali dengan berbagai macam permainan, dan bahasa. Dunia sekitarnya dipandang dan diberi corak menurut keadaan dan sifat-sifat dirinya. Binatang-binatang diberikanya sifat-sifat dan kesanggupan seperti dirinya sendiri. Disinilah mulai timbul kesadaran akan "Akunya". Anak berubah menjadi pemberontak dan semua harus tunduk kepada keinginannya.

Fase ketiga terjadi pada usia 5-8 tahun. Pada fase pertama dan kedua, anak masih bersifat sangat subjektif namun pada fase ketiga ini anak mulai dapat melihat sekelilingnya dengan lebih objektif. Semangat bermain berkembang menjadi semangat bekerja. Timbul kesadaran kerja dan rasa tanggung jawab terhadap kewajibannya. Rasa sosial juga mulai tumbuh. Ini berarti dalam hubungan sosialnya anak sudah dapat tunduk pada ketentuan-ketentuan disekitarnya. Mereka mengingini ketentuan-ketentuan yang logis dan konkrit. Pandangan dan keinginan akan realitas mulai timbul.

PAUD dan Kendala Umum

Pendidikan dasar 9 tahun haruslah didahului dengan PAUD. Pendidikan yang diberikan sebelum memasuki sekolah dasar merupakan salah satu alternatif yang harus dikembangkan dalam mempersiapkan anak menuju wajib belajar 9 tahun. Pendidikan dan perhatian terhadap anak pada usia 0-6 tahun sangat membantu perkembangan sosial, emosi, fisik, dan kognitif anak. Studi memperlihatkan bahwa anak-anak yang mendapatkan perhatian khusus lebih awal menunjukan pencapaian akademis yang lebih baik pada saat mengenyam pendidikan formal disekolah begitu juga dalam memahami pribadinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.

Sebelum memasuki pendidikan formal di bangku sekolah dasar, anak-anak perlu disosialisasikan di bangku prasekolah. Persiapan ini bisa merupakan pendidikan formal (TK), nonformal (TPA & KB), maupun informal (Keluarga). Ini sangat diperlukan untuk mengoptimalkan potensi anak pada tingkat pendidikan selanjutnya dan dalam hidup bermasyarakat. Kebijakan yang diambil dapat berupa PAUD plus wajib belajar 9 tahun.

Namun, sampai saat ini akses anak usia dini terhadap layanan pendidikan dan perawatan melalui PAUD masih sangat terbatas dan tidak merata. Dari sekitar 28,2 juta anak usia 0-6 tahun, baru 7,2 juta (25,3 %) yang memperoleh layanan PAUD. Sementara itu, menurut data Balitbang Depdiknas, untuk anak usia 5-6 tahun yang jumlahnya sekitar 8,14 juta anak, baru sekitar 2,63 juta anak (atau sekitar 32,36 %) yang memperoleh layanan pendidikan di TK. Anak-anak yang memperoleh kesempatan PAUD tersebut umumnya berasal dari keluarga mampu di daerah perkotaan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin dan anak-anak pedesaan belum memperoleh kesempatan PAUD secara proporsional.

Kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia yang masih jauh dibawah standar kehidupan layak merupakan kendala lain dalam meningkatkan akses PAUD. Untuk mendapatkan pelayanan ini masyarakat harus mengalokasikan sejumlah dana yang mungkin tidak sedikit. Banyak pendidikan prasekolah yang memberi perhatian terhadap anak seperti High Scope dan Montessori, namun tidak semua lapisan masyarakat bisa menikmatinya karena kemampuan ekonomi keluarga yang minim.

Selain itu kendala berikutnya adalah kurangnya pengetahuan orang tua. Sebagian besar orang tua tidak memahami akan potensi luar biasa yang dimiliki anak-anak pada usia 0-6 tahun. Keterbatasan pengetahuan dan informasi yang dimiliki orang tua menyebabkan potensi yang dimiliki anak tidak berkembang.

Pemerintah memang sejak awal melindungi hak anak mendapatkan layanan pendidikan. Ini terbukti pada pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur PAUD, namun implementasinya dilapangan masih jauh dari apa yang diharapkan, contohnya: tidak meratanya jumlah lembaga pendidikan atau program layanan pendidikan anak usia dini, fasilitas yang minim, lemahnya mutu pendidikan, dan minimnya guru PAUD yang berkualitas.

Lembaga yang sudah ada pun hanya berstatus lembaga swasta dengan biaya yang relatif mahal dan didominasi oleh kota-kota besar saja, sehingga tidak semua lapisan masyarakat dapat menikmati layanan ini. Selain itu, lembaga pendidikan tersebut tidak memiliki program yang terstruktur, dalam arti tidak adanya keterpaduan antara mutu pendidikan yang berkualitas dengan guru yang terlatih, layanan gizi, perawatan dan pengasuhan kesehatan yang minim. Tak heran jika tingkat pengembangan sumber daya manusia (HDI) kita hanya berada di peringkat 110 dari 173 negara. Singkat kata, lembaga pendidikan usia dini harus segera mendapat prioritas dari pemerintah, tidak hanya dari pengadaan sarana, tapi juga kurikulum, kualitas pengajaran, sosialisasi yang optimal, fasilitas dan lingkungan belajar yang baik serta program yang terstruktur.

Tempat Penitipan Anak (TPA) dan Kelompok Bermain (KB)

Desentralisasi pendidikan mutlak diperlukan sehingga dapat diakses seluruh lapisan masyarakat Indonesia, baik kaum marginal sekalipun. Mengingat akses PAUD Formal yang terbatas dan tidak merata, pemerintah harus lebih menitikberatkan peningkatan mutu layanan PAUD Nonformal baik ditingkat propinsi, kota, kabupaten, kecamatan maupun kelurahan. Diharapkan setiap kota dan kabupaten memiliki Tempat Penitipan Anak (TPA) dan Kelompok Bermain (KB) sendiri sebagai upaya peningkatan PAUD Nonformal yang pengelolaannya dapat diserahkan kepada pemerintah setempat, lembaga keagamaan, komunitas masyarakat lokal, maupun organisasi swasta dan publik non-profit.

KB maupun TPA dapat mengoptimalkan pertumbuhan dan potensi anak sejak dini. KB dapat diikuti anak usia dua tahun keatas, sedangkan TPA dan Satuan PAUD Sejenis dapat diikuti anak sejak lahir maupun usia tiga bulan. TPA dan KB itu sendiri sendiri harus dibawah pengawasan Pemerintah Propinsi. Tentu saja pemerintah propinsi akan berkordinasi kepada Pusat PAUD Nasional dalam rangka mengoptimalkan kualitas pengajaran, lingkungan belajar, tenaga pendidik, kurikulum dan pembelajaran yang berkualitas. Pemerintah pusat dapat membuat kebijakan satu atap, misalnya: kurikulum Pendidikan Bermain yang menggunakan pendekatan simulasi dan pendekatan holistik terhadap perkembangan fisik, intelegensia/kognitif, emosional dan pendidikan sosial.

Kebijakan ini juga harus mengatur proses pembelajaran yang berkualitas yang didasarkan pada kesatuan konsep bahwa anak-anak mulai belajar sejak usia 0+ tahun, interaksi bersahabat yang berpusat pada anak itu sendiri, fokus terhadap optimalisasi dan pengembangan potensi anak dengan cara bermain dengan obyek-obyek kongkrit, permainan manipulasi dan interaksi dengan lingkungan sekitarnya.

Kurikulum Pendidikan Bermain PAUD Nonformal

Belajar adalah proses panjang yang dimulai sejak kelahiran sampai kematian. Selama masa hidupnya seseorang terus mencari dan mengumpulkan segala pengetahuan, kecakapan hidup, sikap, dan masukan-masukan dari pengalaman sehari-hari dan lingkungan sekitar. Pada saat bekerja, dirumah dan bermain manusia sebenarnya masih berada dalam tahap pembelajaran begitu juga dengan anak-anak.

Fun education harus menjadi patokan segala proses pembelajaran anak. Anak dibangkitkan minatnya melalui hal-hal yang menyenangkan. Dengan bermain anak-anak dapat memiliki kesempatan mengeksplorasi, memanipulasi dan berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Bermain dapat menumbuhkan minat anak-anak dalam menghasilkan, menemukan, dan menyelidiki segala hal yang belum mereka ketahui yang pada akhirnya memberikan kesempatan kepada anak untuk memahaminya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Aktifitas ini pada akhirnya menantang anak mengetahui hal-hal baru dan memahami kejadian-kejadian, orang lain, dan lingkungan sekitar dengan cara berinteraksi dengan obyek-obyek yang konkrit.

Bermain merupakan bagian yang penting dan khusus pada masa kanak-kanak. Aktifitas tersebut dapat membimbing anak bereksperimen dengan dunia sekitar dan berhubungan dengan emosi yang ada dalam dirinya. Bagi kebanyakan orang tua, aktifitas ini sepintas terlihat sebagai satu permainan anak saja, namun banyak manfaat yang tersirat dibalik itu semua seperti kemampuan mengembangkan pemahamannya, menyelesaikan masalah dan mengatasi tantangan fisik serta mental dan lain sebagainya.

Bermain dengan obyek-obyek buatan di TPA dan KB dapat membantu anak membangun kepercayaan diri, menumbuhkan pembelajaran mandiri, dan memantapkan konsep pribadi. Hal tersebut sangat penting bagi perkembangan motorik, mata dan tangan anak-anak karena mereka dapat bermain dengan benda-benda alami disekitarnya. Pasir, lumpur, maupun tanah liat dan air memiliki peran penting disini. Memberikan waktu bagi anak-anak bermain sendiri membuatnya semakin percaya diri.

Sebagai orang dewasa, kita dapat memasuki kehidupan imaginasi dan fantasinya dan membiarkan mereka sebagai pusat yang mengontrol segalanya. Hal tersebut dapat menumbuhkan kepercayaan diri, kenyamanan, dan perasaaan aman ketika berada didekat kita. Biasanya orang tua cenderung menaruh perhatian terhadap moral dan pencapaian pribadi ketika bersama mereka. Ketika anak menyadari bahwa kita juga tertarik menghargai caranya bermain dan bersenang-senang, anakpun akan semakin lebih percaya diri. Ini akan menumbuhkan kesadaran untuk menyelidiki arti persahabatan dengan orang lain.

Menaruh perhatian khusus terhadap anak sejak usia dini dapat membantu mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan berbahasa, serta kemampuan awal membaca dan menulis dengan cara bermain dan bersenang-senang. Anak juga mulai dapat mengembangkan kemampuan dasar berhitung, hal-hal konseptual dan kognitif serta konsep-konsep dasar ilmu alam dan pengetahuan teknis lainnya. Beberapa hal penting dapat mereka peroleh pada saat bermain seperti kemampuan memahami budaya dan seni, kemampuan memahami mahkluk hidup dan lingkungan sekitar, bangkitnya kesadaran terhadap kesehatan lingkungan, olahraga dan rekreasi.

Perluasan Fasilitas PAUD Nonformal

Sarana penunjang yang tak langsung ikut berpengaruh terhadap pendidikan usia dini juga agar menjadi perhatian, misalnya: posyandu karena anak-anak diusia dini harus diperhatikan cakupan gizinya yang berfungsi sebagai nutrisi pertumbuhan. Sarana kesehatan seperti posyandu sangat berpengaruh terhadap peningkatan gizi anak karena gizi mempengaruhi tingkat kecerdasan anak. Jika anak mendapatkan gizi yang buruk maka berisiko kehilangan IQ 13-20 poin. Kini jumlah anak yang kekurangan gizi mencapai 1,3 juta, berarti potensi kehilangan IQ anak di negara ini 22 juta poin.

Pemerintah daerah harus memperluas berbagai fasilitas yang mendukung lingkungan pembelajaran berkualitas bagi anak usia dini sehingga dapat dinikmati setiap masyarakat di wilayahnya masing-masing. Pendidikan anak usia dini dapat berjalan baik jika semua pihak dapat saling bekerja sama. Sebab, pendidikan usia dini adalah modal dasar membentuk generasi penerus bangsa yang berkualitas yang diharapkan mampu bersaing dengan bangsa lain.

Partisipasi Lembaga Keagamaan

Pendekatan terhadap lembaga keagamaan juga perlu dilakukan. Pemerintah daerah dapat memberi perhatian khusus terhadap Taman Pendidikan Alquran yang dikelola pemuda masjid dan gerejapun dapat turut serta mengembangkan program Sekolah Minggu bagi anak-anak yang dikelola muda-mudi gereja. Diharapkan TPA dan KB dapat dibentuk dan dikelola lembaga keagamaan itu sendiri sebagai perwujudan sosial bagi umatnya.

Partisipasi Organisasi Publik dan swasta Non-Profit

Dengan pendekatan partnership/rekanan, peran organisasi publik dan swasta non-profit yang terkait dan berperan dalam pemberdayaan masyarakat seperti organisasi pemberdayaan perempuan, keluarga atau anak dapat diberdayakan sebagai tempat memberikan pendidikan, sosialisasi dan informasi tentang pentingnya PAUD kepada komponen-komponen yang paling berpengaruh seperti para orang tua dan masyarakat karena keluarga dan masyarakat sangat berperan penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak.

Keluarga dan masyarakat harus dapat memberikan contoh yang baik karena pada dasarnya seorang anak akan senantiasa mengikuti dan mencontoh orang-orang di sekitarnya. Orang tua pun harus mengembangkan potensi diri dengan cara memperkaya ilmu pengetahuan dan informasi melalui media masa ataupun media elektronik terutama informasi dan ilmu pengetahuan terkini, sehingga orang tua bisa menjadi tempat bertanya yang baik bagi anak mereka.

Pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan organisasi-organisasi tersebut dalam menghasilkan guru-guru PAUD Nonformal yang berkualitas. Guru-guru ini pada akhirnya harus diarahkan untuk terjun langsung mengawasi dan memberi pengarahan terhadap pendidik dan administrasi pendidikan TPA dan KB yang dikelola mandiri oleh lembaga keagamaan maupun komunitas masyarakat. Tentu saja, untuk meraih ini semua organisasi rekanan harus menekankan kapasitas pendidik dan pengelola pendidikan untuk memfasilitasi dan mempromosikan pengembangan PAUD Nonformal pada tingkat lokal.

Partisipasi Komunitas Masyarakat

Sekolah rumah/home schooling tunggal juga harus diberdayakan. Sekolah rumah tunggal dapat dikelola para orang tua yang tentu saja berbeda denga PAUD Informal karena ditingkat ini, para orang tua sudah mulai memikirkan berbagai macam pendekatan pembelajaran yang berkualitas.

Sekolah rumah majemuk melibatkan seluruh anggota keluarga misalnya kakak, paman maupun anggota keluarga yang lain. Pendekatan pendidikannya tidak jauh berbeda dengan sekolah rumah tunggal.

Gabungan sekolah rumah di tingkat kabupaten, kecamatan, maupun kelurahan melibatkan komunitas sekolah rumah yang terdiri dari gabungan beberapa sekolah rumah tunggal dan majemuk ditingkat lokal. Dengan memberikan perhatian khusus terhadap pentingnya peningkatan akses mutu layanan PAUD Nonformal ditingkat lokal, maka seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati pendidikan yang murah tanpa harus mengabaikan arti pendidikan itu sendiri.

Akhirnya peningkatan akses mutu layanan PAUD Nonformal diharapkan dapat mendukung wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Dengan mengoptimalkan potensi anak sejak dini maka anak juga semakin siap memasuki pendidikan sekolah dasar, menengah, dan atas yang tentu saja memberi nilai tambah terhadap keyakinan, kematangan emosi, dan kemampuan kognitif para siswa menghadapi UAN serta menghilangkan kekerasan yang dilakukan anak (bullying) terhadap teman sepermainanya.

Perluasan akses dan mutu pelayanan PAUD Nonformal sejenis TPA dan KB harus dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia, baik kalangan atas, menengah, bawah maupun kaum marginal sekalipun. Bukankah pemerintah telah mendukung hal tersebut. Lihat saja Undang-Undang Khusus yang mengatur tentang anak. Seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 53 ayat (1): "Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak telantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil". Selamat berkarya.

Saya Ferdinand Hutabarat setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright).

CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.

Metoda di TK

Artikel:
Metoda di TK

Judul: Metoda di TK
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): dian noviyanti
Saya Guru di
Tanggal: 27 Agustus 2006



METODE di TK

Apakah alasan orangtua memasukkan anak balitanya ke TK? Umumnya jawaban yang diberikan adalah agar anak memiliki teman bermain atau kesempatan untuk bersosialisasi, yang kedua adalah untuk mempersiapkan anak masuk SD. Bila disimpulkan yang tersirat, intinya orangtua ingin agar anaknya dapat belajar dengan baik semenjak dini. Karena bila dikaji alasan pertama yaitu agar anak dapat bersosialisasi, merupakan gambaran harapan orangtua agar anak lebih termotivasi mempelajari keterampilan tertentu melalui teman-temannya, sehingga anak yang penakut misalnya jadi bisa lebih berani, anak yang masih cadel jadi punya kesempatan melatih alat motorik bicaranya, atau anak yang susah makan siapa tau jadi lebih mudah makan bila disambi kegiatan bermain bersama sebayanya. Begitupula dengan alasan kedua, agar anak dapat mengikuti proses belajar dengan baik di tingkatan selanjutnya, maka anak dianggap perlu melalui jenjang TK.

Secara umum, mungkin alasan tersebut bisa diterima. Akan berbeda jadinya bila terjadi case tertentu, misalnya, pada anak yang dominan aspek intrapersonalnya atau aspek eksistensial-nya; merupakan tipikal anak yang cenderung perenung, suka memikirkan sesuatu hingga mendalam, maka tampilannya mungkin akan terlihat introvert, penakut dan tidak mudah untuk menjalin relationship dengan sembarang orang. Anak seperti ini akan terlihat bermasalah dalam pandangan guru TK dan pasti akan semakin digiatkan agar ia dapat bertingkahlaku sebagaimana umumnya target anak bersekolah di TK; agar dapat bersosialisasi. Wah, pertanda mulai akan terjadi penghancuran dalam diri anak. Karena anak akan dipaksa secara halus maupun terang-terangan untuk mulai merubah karakter atau watak dasarnya. Tidak heran kalau kemudian timbul berbagai persoalan dalam proses belajar. Anakpun menjadi tidak nyaman dengan sekolahnya. Kalo anak terlihat tidak nyaman dengan sekolahnya pertanda sekolah tersebut tidak pas dengan dirinya jangan dibalik bahwa anak tersebut yang bermasalah sehingga tidak dapat menyesuaikan diri.

Seorang tokoh pendidikan, Piaget namanya, menyebutkan adanya konsep "keseimbangan" (Equilibrium), dimana hal ini akan tercapai bila input dari luar/lingkungan sesuai atau pas dengan pengetahuan dalamnya (inner knowledge), Piaget percaya bahwa setiap anak yang lahir sudah membawa pengetahuan atau content tertentu dalam dirinya, nah fungsi pendidik adalah mencari dari lingkungan atau semesta sekitarnya "sesuatu" yang pas dengan content tersebut agar tercapai keseimbangan. Tentunya "sesuatu" itu sangat spesifik pada setiap anak. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Ki Hajar Dewantoro tentang pendidikan berbasis kultur artinya pendidikan harus mampu mencapai kesempurnaan lahir dan batin (luar dan dalam, inner to outer). Pendidikan yang baik harus mampu menyentuh aspek jiwa atau batin seseorang tidak hanya terfokus pada capaian raga semata. Jadi, kita harus mulai teliti mengamati kekhas-an anak kita yang dapat dikenali dari kecenderungannya, minatnya, tipikal kepribadiannya. Walaupun minat dan kecenderungan tersebut juga belum tentu minat sejatinya, karena peran lingkungan turut mewarnai pilihan anak terhadap sesuatu. Paling tidak pengamatan kita bisa menjadi data awal yang akan membantu proses pengenalan dirinya sendiri.

Beranjak ke alasan kedua, lazimnya setiap jenjang adalah proses persiapan untuk mengikuti jenjang berikutnya. Maka anak masuk TK agar siap masuk SD, anak masuk SD agar mudah mengikuti fase berikutnya, nah kalo sudah diperguruan tinggi bagaimana? Apakah bila kita masuk perguruan tinggi agar mudah mengikuti materi pelajaran di S2? Atau bagaimana? Karena masuk lapangan kerja pun mereka tidak siap pakai, Perguruan tinggi selalu berdalih bahwa mereka bukan bengkel kerja yang siap menelurkan montir. Anyway, balik ke TK lagi deh, kalo targetnya adalah untuk mempersiapkan anak masuk SD, guru kemudian cenderung memberikan materi bayangan atau bahkan materi sesungguhnya yang akan dipelajari di SD, umumnya yang disebut calistung (baca, tulis, hitung) itu. Yang terjadi kemudian anak seperti dijejalkan materi-materi sejak awal, pelajarannya dipercepat, setiap hari mereka bersikejar dengan pencapaian keterampilan baru.

Bila anak tidak mampu mengikuti, akan dilabeli sebagai anak bermasalah. Treatment yang diberikan adalah drill terhadap sesuatu yang justru menjadi kelemahannya, misal, bila anak tertinggal membaca, maka ia harus mengikuti pelajaran tambahan membaca. Bisa dibayangkan kemampuan seorang anak yang sebenarnya sangat kompleks kemudian di kerutkan hanya dominan pada domain calistung itu. Bukannya fokus pada aspek kekuatan/kelebihan anak, melainkan fokus pada kelemahan anak. Tidak heran kalo generasi sekarang adalah generasi yang cenderung minder, selalu melihat keluar, tidak bangga dengan apa yang ada dalam dirinya, tidak punya inisiatif karena kita cenderung hanya berpatokan pada trend. Contohnya, karena negara luar dianggap hebat, semenjak dini anak-anak kita masukkan ke sekolah yang berbahasa pengantar Inggris atau mandarin. Bukan tidak penting sih belajar bahasa asing, tapi belum pas untuk usia dasar, ada waktu yang tepat bagi anak untuk mulai belajar bahasa atau kebudayaan asing. kita perlu paham kapan waktunya anak kita mulai belajar sesuatu. Pada tiap tahapan usia ada aspek yang perlu dibangun kokoh terlebih dahulu sebelum beranjak belajar materi-materi praktis.

Sekarang balik lagi nih, kalo ada pertanyaan untuk apa sih sebenarnya anak masuk TK? Kalo menurut saya sih untuk menumbuhkan minat dia dalam memahami sesuatu dan sebisa mungkin mengakomodir kebutuhannya. Ada beberapa metode yang memungkinkan seorang anak diakomodir sesuai minat dan keinginannya, misalnya: metoda Multiple Intelegences dimana pembelajaran dimulai dari mengenali minat anak terhadap sesuatu. Misalnya saja bila anak minat di musik, maka dia akan distimulasi dengan berbagai materi yang akan menguatkan minat tersebut. Walaupun harus disadari juga bahwa minat belum tentu sinergi dengan bakat. Harus hati-hati jangan sampai ia frustrasi karena ia merasa suka musik tapi kok sulit memainkan alat musik.

Harus diamati kecenderungan temporer anak pada umumnya yang sangat dipengaruhi karakter perkembangan yang khas dan bentukan lingkungan sekitar. Bagaimanapun seorang anak sangat kompleks, memiliki keterampilan ganda, dan tidak partial, sangat memungkinkan bagi seseorang untuk menguasai berbagai keterampilan dengan baik, tidak hanya spesifik pada satu hal. Karena itu anak perlu dikayakan dengan banyak mengenal berbagai hal agar terpancing keingin-tahuannya, bila "sesuatu" yang dikenalkan itu telah menyentuh aspek rasa anak, menyentuh pengetahuan dalam, aspek batinnya, maka seperti yang dikatakan Piaget; ia telah mencapai keseimbangan, yang akan membuat ia kuat dalam menghadapi gempuran pembelajaran praktis di fase selanjutnya. "Keseimbangan" tersebut akan menentukan bagaimana seorang anak menghadapi persoalan dalam hidupnya kelak. Karena itu penting bagi orangtua maupun pendidik untuk mengenal jati diri seorang anak yang merupakan innate dari Tuhan yang Kuasa.

Demikian pula menurut Ki Hajar Dewantoro yang secara lebih spesifik menyatakan bahwa bagaimanapun metoda yang diaplikasi sebuah TK yang baik harus mampu memberi kesempatan bagi anak untuk dapat mengenal: kesenian, keindahan, rasa agama dan kesusilaan. Keempat hal tersebut merupakan dasar yang bila terbentuk dengan baik akan membuat anak mencapai "kematangan". "kematangan" tersebut penting karena merupakan tanda bahwa anak telah siap dalam menjalani kehidupan dengan baik, siap untuk belajar menghadapi fase pembelajaran dijenjang berikutnya yang cenderung praktis, dogmatis dan hapalan. "kematangan" yang dimaksud adalah tidak terlepas dari persoalan pengenalan jati diri anak.

Berikut, saya ingin mengelaborate sedikit ajaran KiHajar dari ke-empat hal mendasar yang perlu dipenuhi dalam usia dini:

Kesenian, mengapa kesenian menjadi hal utama? Sebab kesenian adalah representasi dari khasanah suatu daerah, yang mengandung filosofi tertentu, tercakup didalamnya nilai yang dianut suatu suku tertentu, kebiasaan hidup, karakter masyarakat, bahkan kondisi geografisnya. Setiap daerah memiliki ke-jati-diri-an masing-masing. Sebelum mengenal jati diri individu setiap anak, penting untuk menenal jati diri tempat dimana ia dibesarkan atau budaya orangtuanya, karena setiap anak merupakan archetype dari orangtuanya. Dalam kitab suci, bahkan bahasa suatu daerah pun diajarkan langsung oleh malaikat atau "orang-orang terang". Suatu daerah mengandung misi ke-Illahiyah-an yang tinggi. Beruntung kita hidup di nusantara yang sangat kaya khasanah budaya dan seninya, perkenalkan anak dengan keragaman musik tradisional tersebut, dengan sering melihat pertunjukan langsung pentas seni tradisional, misalnya. Dalam tarian misalnya, tema tari-tarian menunjukkan apa yang menjadi aspek penting dalam masyarakat tertentu. Dari tarian minang temanya seperti; tari panen, tari piring, tari alang babega yang gerakannyapun cenderung maskulin, lebar, terentang (large muscle), sering menghentak kaki, musiknyapun jenis tetabuhan yang mudah ditebak ritmenya, sesuai dengan karakter mereka yang cenderung apa adanya, ekspresif, sedikit agresif, tanpa tedeng aling-aling.

Walau ada juga aspek romantismenya yang digambarkan dari alat musik saluang, biasanya digunakan untuk acara penyambutan tamu atau menyambut pengantin. Sementara tari jawa dan sunda diawali dengan tarian yang bertema seorang gadis yang sedang berdandan bersiap untuk dipinang, tahapan berikutnya, bercerita tentang kinerja seorang istri yang digambarkan dalam tari Bondan; bagaimana seorang ibu menina-bobo-kan anaknya, mencucikan pakaian sekaligus menjemur. Gerakan tari jawa cenderung halus, mengalir, langkahnya kecil-kecil, sangat feminin dan pantang mengangkat tangan melebihi ketiak. Musiknyapun sangat mengalir sehingga bila tidak konsentrasi dengan baik tidak bisa mendeteksi pergantian musik dan gerak. Tentu terkait dengan karakter masyarakatnya pula. Wah, menarik sekali kalau dikulik lebih dalam dan detil, dari satu kegiatan seni saja akan bercerita banyak tentang kompleksitas masyarakatnya dan terlihat keindahannya.

Rasa agama, nah ini menarik, karena rasa agama ini sering dipelesetkan dengan memberikan anak hapalan ayat-ayat sebanyak mungkin. Semakin banyak hapalan atau semakin sering melakukan sholat dianggap telah tumbuh rasa agamanya. Tidak mengapa bila memang keinginan tersebut tumbuh dari diri anak, misalnya saat dia mulai bertanya apa sih yang dibaca ketika sholat dan apa artinya, baru boleh orangtua mengajarkan. Tapi bila anak belum tergugah jangan dipaksa, jangan sampai waktu kecil ia terlihat mau sholat dan hapal ayat, ketika keluar dari rumah orangtuanya, itu tidak dijalankan lagi. Atau mungkin tetap menjalankan sholat tapi malah menjadi seorang yang keras, kaku, yang kerjanya menghujat orang dan merasa benar sendiri. Rasa agama mau tidak mau harus distimulasi dari orangtuanya sendiri, kalau ia menyaksikan betapa damai wajah orangtuanya selesai menjalankan ibadah, betapa menyejukkan mendengarkan orangtua yang membaca Al-Qur'an dengan kesungguhan, niscaya akan lebih menggugah ia. Tapi rasa agama ini juga tidak terbatas pada aspek ritual semata, ketika mulai tumbuh pertanyaan tentang semesta, misal, kalo orang meninggal atau hewan kesayangannya mati pergi kemana, laut yang dalam isinya apa, Tuhan dilangit sedang apa, aku dilahirkan untuk apa kalo jadinya malah sering dimarahi papa-mama? Merupakan pertanda mulai tumbuh keinginan untuk mengenal sesuatu yang lebih sejati.

Kesusilaan, pada aspek ini, anak diajarkan bagaimana berinteraksi dengan sesama, dengan semesta, termasuk dengan benda-benda mati. Umumnya anak, kalo kejeduk pintu misalnya cenderung memukul pintu itu sebagai ekspresi kekesalannya, kita bisa ajarkan misalnya dengan mengataka;, maaf ya de, pintunya pingin ngasih tau ade agar hati-hati eh ga kedengaran suaranya jadi kejeduk deh. Yang pada intinya adalah agar kita pun menjaga interaksi dengan barang yang menjadi amanah kita. mulai belajar mengahargai sesuatu yang ada disekeliling kita, pun terhadap benda mati.

Contoh lain ketika ia ingin memetik bunga, kita katakan: bunga, maaf ya aku suka kamu, boleh aku petik ya, satu aja, nanti bunga tumbuh yang banyak lagi ya. Kesusilaan hendaknya lahir dari kesadaran anak, boleh saja diajarkan tapi sekali lagi jangan memaksa, misalnya, memaksa anak agar selalu menggunakan tangan kanannya untuk merespon pertama kali entah untuk salaman, makan, menulis, mengambil sesuatu dan sebagainya. Perhatikan, respon awal bayi dan anak kecil adalah menggunakan tangan kiri, karena terkait dengan kreatifitas. terlalu fokus dengan penggunaan satu tangan tertentu saja akan mematikan aspek kemampuan lainnya. Kesempatan bagi orangtua untuk mengoptimalkan penggunaan kedua tangannya, misalnya diajarkan memegang alat tulis menggunakan kedua tangannya, salaman dengan menggunakan kedua tangannya (ala sunda), makan dengan menggunakan tangan secara bergantian. Pada fase tertentu mereka akan mencapai kematangan untuk menentukan kapan ia menggunakan tangan kanan, kiri atau keduanya.

Sekarang yang perlu kita siapkan sebagai langkah awal adalah menajamkan pengamatan terhadap perkembangan masing-masing anak. Dan mulai menghargai anak dengan tidak memaksakan kehendak maupun nilai-nilai sepandangan kita. Bahwa mereka memiliki kekhas-an masing-masing -yang hanya mereka sendiri yang dapat menemukannya- dan memiliki masa depan yang mungkin tidak terimajinasi dalam pikiran kita.

Saya dian noviyanti setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.

Liberalisasi Pendidikan Tinggi

Mon, Mar 02, 09 2:46 pm []
Liberalisasi Pendidikan TInggi(Anita Lie)
Dalam bukunya, The Outliers, Malcom Gladwell membeberkan kisah orang-orang sukses dan gagal. Beberapa di antaranya

Bill Gates, Bill Joy(Sun Microsystem) dan Steve Jobs(Apple Computer)
Salah satu faktor pendukung keberhasilan seseorang adalah kesempatan. Banyak dari orang sukses (misalnya Bill Gates,

Bill Joy dan Paul Allen) dalam The Outliers berasal dari kelas sosioekonomi menengah dan atas sehingga bisa mengakses

pendidikan bermutu.

Sebaliknya, saat kesempatan itu ditiadakan, seseorang dengan IQ 195, Chris Langan (bandingkan: IQ Albert Einstein

150) harus putus kuliah karena ktiadaan biaya dan berakhir sebagai buruh tani dengan berbagai kepahitan. Di antara

kedua titik ini, ada kisah Steve Jobs dari keluarga sederhana yang berhasil mengubah hidupnya dan dunia melalui

perusahaan Apple Computer. Meski tidak berasal dari keluarga kaya, Steve Jobs hidup di Silicon Valley dan bergaul

dengan para insinyur Hewlett Packard. Pesan dari kisah-kisah ini, kesempatan merupakan pintu awal menuju

keberhasilan.

Salah satu fungsi pendidikan adalah memberikan kesempatan itu untuk mengurangi jumlah orang yang berakhir seperti

Chris Langan dan Steve Jobs. Jika The Outliers ditulis dalam versi Indonesia, pasti ada banyak kisah Chris Langan dan

Steve Jobs ala Indonesia yang bisa menjadi latar belakang pembuatan kebijakan pendidikan atau keputusan negara maupun

institusi. Kebijakan yang masih menuai kontroversi adalah UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan(BHP).

Ketika sektor-sektor yang memenuhi kepentingan publik dantidak diharapkan memberi keuntungan material, pendidikan

menjadi tanggung jawabnegara. Pada era ini, ada pergeseran cara pandang dan praktik terhadap sektor-sektor itu.

Liberalisasi pendidikan
Pasar sebagai salah satu pranata civil society dikendalikan pelaku bisnis, Saat pelaku bisnis menjelajahi dan

menguasai sumber-sumber daya dalam pasar, lahan-lahan yang secara historis merupakan usaha untuk kemaslahatan orang

banyak sehingga diselenggarakan oleh negara, seperti pendidikan dan kesehatan, kini mulai menjadi garapan pelaku

bisnis.

Salah satu dampak positif UU BHP adalah transformasi di PTN. Jerat birokrasi yang berwujud kurang efisien mulai bisa

diperbaiki. Sedangkan kalangan yang masih memercayai nilai-nilai sosial demokratis mengkhawatirkan terjadinya

liberalisasipendidikan. Meski Pasal 4 UU BHP sudah mengatur bahwa badan hukum pendidikan bersifat nirlaba, fenomena

liberalisasi pendidikan tinggi sudah amat terasa, Berbagai jalur yang disediakan PTN-mulai dari jalur Seleksi

Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri(SNM-PTN) hingga jalur khusus dan mandiri - memberi berbagai paket dengan

persentase masing-masing.

Alternatif pertama adalah memberi dan meningkatkan jumlah beasiswa pemerintah melalui lembaga mandiri, Lembaga

kepanjangan tangan pemerintah ini bertugas menyeleksi kelayakan calon penerima beasiswa secara jujur dan transparan.

Penyaluran beasiswa bisa dilakukan melalui PTN maupun PTS. Namun, calon penerima bebas memilih PT mana yang dituju

(asal sudah terakreditasi, misalnya). Melalui cara ini PTN dan PTS diberi kesemaptan untuk bersaing secara adil guna

meningkatkan mutu dan menjadikan lembaga pilihan mahasiswa.

Alternatif kedua melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Selamaini beberapa korporasi melalui lembaga

filantropis (di antaranya Tanoto Foundation, Djarum, dan Sampoerna Foundation) sudah cukup berperandalam ikut

mencerdasan bangsa dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Kontribusi dari

korporasi ini perlu dihargai. Apa pun motifnya, kontribusi ini sudah terbukti menciptakan banyak Steve Jobs yangbisa

berperan bagi bangsa dan masyarakat.

Penghargaan dari pemerintah berupa pemotongan pajak bagi sumbangan filantropis untuk pendidikan setara dengan zakat

akan memicu lembaga lain maupun individu melakukan tindakan serupa.

Sumber: Artikel ini telah dimuat di Koran Kompas 2 Maret 2009 hal 6
Penulis: Anita Lie adalah Guru Besar FKIP Unika Widya Mandala Surabaya, Anggota Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.
Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Sumber : http://www.komunitasdemokrasi.or.id/comments.php?id=263_0_9_0_C

Pemahaman Manajemen Perubahan dalam Perspektif Agen Perubahan Pendidikan Tinggi

Artikel:
Pemahaman Manajemen Perubahan dalam Perspektif
Agen Perubahan Pendidikan Tinggi

Bahan ini cocok untuk Perguruan Tinggi.
Nama & E-mail (Penulis): Th. Agung M. Harsiwi
Saya Dosen di Yogyakarta
Tanggal: 30 Juli 2003
Judul Artikel: Pemahaman Manajemen Perubahan dalam Perspektif Agen Perubahan Pendidikan Tinggi
Topik: managing change, change process, fundamental aspects of change

Pemahaman Manajemen Perubahan Dalam Perspektif Agen Perubahan Pendidikan Tinggi

ABSTRACT
This research identify the understanding of Daily Executive Body of Foundation as external change agent and Rector of University-Institute/Head of College/Dean as internal change agent in higher education upon managing change aspects according to their individual characteristics. The result shows the understanding of change agents in higher education upon managing change aspects according to their individual characteristics not different. The association between the understanding change agents upon managing change aspects with individual characteristic weak or the understanding of change agent not related with individual characteristics.

Keywords : managing change, change process, fundamental aspects of change

1. PENDAHULUAN
Kemampuan organisasi untuk bertahan hidup (survive) sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk berubah, menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan bisnis yang dihadapi atau menyesuaikan diri dengan perubahan potensial yang akan terjadi di masa mendatang. Kemampuan organisasi untuk berkembang ditentukan oleh kemampuan organisasi dalam menciptakan perubahan. Kemampuan organisasi untuk berubah ditentukan oleh seberapa berdaya personil organisasi dalam melakukan perubahan. Konsep employee empowerment menjadi prasyarat untuk membangun hi-flex organization suatu organisasi yang mampu beradaptasi dengan cepat,bahkan dengan cepat menciptakan perubahan untuk merespon perubahan lingkungan bisnis yang telah terjadi atau potensial akan terjadi (Mulyadi, 1997).

Pada dasarnya, pendidikan tinggi memiliki peran sebagai 'agen pengembangan' dalam kaitannya dengan tanggung jawab untuk mempersiapkan generasi masa depan untuk menghadapi saat sekarang dan di masa mendatang. Di samping itu, pendidikan tinggi juga bertanggung jawab untuk menjadi partner dalam dunia bisnis dan individual yang nantinya secara holistik diharapkan dapat menciptakan kehidupan kerja dan individual yang lebih berkualitas, serta berperan aktif dalam menghidupkan etika dan moralitas dalam sendi-sendi bisnis, yang pada akhirnya akan terkait kembali pada komitmen awal yaitu pada pengembangan komunitas secara keseluruhan (Susanto, 1998).

Rekonstruksi komitmen terhadap pendidikan tinggi dengan seluruh sistem pengelolaannya harus didahului oleh kesediaan dari segenap pelakunya untuk melakukan pembaharuan terhadap pola pikir mereka. Untuk itu dibutuhkan tenaga-tenaga penggerak atau "change agent" yang dapat berasal dari para pakar pendidikan maupun dari para pengamat lainnya, yang mampu menarik para pelaku lainnya agar mampu berfungsi aktif sebagai proponent bagi langkah-langkah perubahan ini, sekaligus tajam dalam mengidentifikasi pihak-pihak oponent yang harus diwaspadai (Susanto, 1998).

Penelitian perubahan mulai marak pada awal tahun 1990-an yang ditandai dengan munculnya konsep MCQ Burke yang digunakan untuk meneliti pengetahuan dan pemahaman tentang isu perubahan organisasional antara manajer dan eksekutif di antara kelompok industri yang berbeda. Penelitian menunjukkan pencapaian nilai "B" untuk MCQ pada praktisi OD, sedangkan manajer hanya memperoleh nilai "C" (Burke, Spencer Clark, Coruszi, 1991). Hasil yang menarik dan mengejutkan dalam penelitian tersebut telah memunculkan saran bagi profesional atau ahli dalam bidang manajemen perubahan atau praktisi OD yang memperlihatkan pemahaman yang lebih besar pada isu-isu yang dicakup dalam instrumen terkait dengan pengalamannya yang lebih banyak untuk usaha-usaha konsultasi mereka (Burke, 1991, dalam Church, 1996).

Dalam perkembangannya telah dilakukan penelitian "Understanding The Management of Change : An Overview of Managers' Perspectives and Assumptions in The 1990s" oleh Siegal, et.al. pada tahun 1996 yang meneliti tentang pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan dalam organisasi. Penelitian ini akan menggunakan penelitian Siegal (1996) sebagai acuan penelitian replikasi yang akan melihat bagaimana agen perubahan berfikir tentang perubahan organisasi. Dalam konteks penelitian ini agen perubahan diwakili oleh Rektor Universitas-Institut/Ketua Sekolah Tinggi/Dekan Fakultas dan BPH Yayasan/konsultan dalam suatu universitas/sekolah tinggi/fakultas karena kedua kedudukan tersebut memberi kesempatan atau peluang bagi para pelaku pendidikan tinggi tersebut untuk berperan dalam proses perubahan institusi pendidikan tinggi secara profesional. Pengelolaan institusi pendidikan tinggi secara profesional menuntut perubahan pandangan tentang peranan dan tugas para pengelola institusi pendidikan tinggi, sehingga dibutuhkan pelaku-pelaku institusi pendidikan tinggi yang berperan sebagai manajer-manajer yang unggul dan mempunyai pengalaman di dalam pengelolaan organisasi.

2.PERUMUSAN MASALAH
Penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut:
1.Bagaimana pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan menurut karakteristik individual agen perubahan ?
2.Bagaimana pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dan proses perubahan menurut karakteristik individual agen perubahan ?
3.Bagaimana pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan menurut karakteristik individual agen perubahan ?


3.TINJAUAN PUSTAKA
Dalam memahami perubahan, Managing Change Model (yang tertuang dalam Managing Change Questionnaire atau MCQ) menawarkan perspektif baru yang mengintegrasikan kekuatan dari perspektif teoritikal dan menggabungkan isu-isu penting mencakup evaluasi keseluruhan efektivitas proses perubahan. Gambar berikut adalah kerangka kerja organisasi yang khusus digunakan untuk menjelaskan hubungan antarbidang konseptual yang disebut triangle atau delta symbol-Greek symbol untuk menyampaikan dua ide (Church, et.al., 1996): (1) Setiap dimensi adalah bagian integral dari keseluruhan pengetahuan tentang perubahan dan (2) Setiap dimensi dibangun pada pengetahuan terhadap aspek dasar perubahan sebagai sesuatu yang kritis bagi proses perencanaan, kepemimpinan, pengelolaan, dan evaluasi perubahan.

Model Pengelolaan Perubahan (Burke and Spencer, 1990)

1.Aspek-Aspek Fundamental Perubahan Untuk suatu usaha perubahan yang berhasil, tindakan, dan peristiwa perlu didasari pada pemahaman tentang bagaimana individu merespon perubahan, sama baiknya dengan pemahaman tentang bagaimana transisi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proses organisasi.

    a.Respon Individu terhadap Perubahan Dimensi ini mengacu pada perbedaan antara perubahan yang diterima dan yang ditolak kuat oleh orang-orang. Item-item dalam dimensi ini juga menunjukkan perbedaan antara mengelola perubahan dan mengelola ketidakacuhan atau apati.
    b.Sifat Umum perubahan
    Dimensi ini menggambarkan isu-isu perubahan dengan pola yang jelas, pasti melambangkan semua usaha perubahan, dan isu aspek-aspek perubahan "revolusi versus evolusi" - ketika perubahan menuntut langkah yang pasti dan dramatis atau berupa "lompatan" daripada langkah yang moderat dan inkremental.

2.Proses Perubahan
Apabila dinamika dasar perubahan telah dimengerti, proses implementasi usaha perubahan mempunyai kesempatan lebih baik untuk berhasil. Item-item proses perubahan mewakili daya dorong utama pada instrumen ini.

    a.Perencanaan Perubahan - Perencanaan perubahan mencakup aktivitas-aktivitas proses perubahan yang terjadi atau seharusnya terjadi sebelum implementasi. Item-item dalam dimensi ini menekankan pada prasyarat dari perubahan, sama pentingnya dengan keterlibatan dalam proses perubahan.
    b.Pengelolaan Aspek Perubahan Orang - Dimensi ini menyediakan prinsip dan petunjuk bahwa kesesuaian kriteria dianggap bermanfaat dalam area memimpin dan mengelola orang. Umumnya mereka mengacu pada isu komunikasi : apa (what), berapa banyak (how much), dan bagaimana (how) berkomunikasi selama perubahan.
    c.Pengelolaan Aspek Perubahan Organisasi - Dimensi ini memusatkan diri pada aspek pengelolaan perubahan organisasi : sistem penghargaan, struktur organisasi, halangan yang ada untuk mencapai keadaan akhir, dan penggunaan simbol institusional untuk memfasilitasi proses perubahan.
    d. Evaluasi Perubahan - Item-item dalam dimensi ini menggambarkan pentingnya mempertahankan momentum perubahan dan energi positif terarah menuju sasaran perubahan, memonitor perkembangan, dan menyediakan umpan balik bagi anggota tentang banyaknya perubahan yang dicapai, tidak menjadi masalah apabila perubahan itu begitu kecil.

MCQ merupakan kuesioner relatif pendek dengan 25 item berisi soal-soal bertipe benar-salah yang telah digunakan secara ekstensif dalam berbagai program pengembangan manajerial dan eksekutif, serta workshop ketrampilan konsultasi dalam usaha perubahan organisasi berskala besar (Burke dan Spencer, 1990; Burke, et.al., 1991). Jawaban "correct" yang ditarik dari sejumlah domain teoritis dan aplikasi tersedia untuk setiap pertanyaan dan digunakan untuk memberi skor pada respon individual. Skor ini kemudian dikonversi pada suatu persentase didasarkan pada total jumlah skor "correct". Di samping total skor, enam subskor unik dapat juga dihasilkan dari respon individual. Keenam subskor tersebut berkorespondensi dengan bidang-bidang dan/atau isu-isu berbeda yang melukiskan proses dan isi dari perubahan organisasional (Church, et.al., 1996).

Konsep yang tercakup dalam Managing Change Questionnaire tepat digunakan dalam penelitian ini karena untuk menjadi seorang agen perubahan, pelaku-pelaku institusi pendidikan tinggi perlu memahami aspek-aspek manajemen perubahan. Pemahaman terhadap dimensi-dimensi yang tercakup dalam MCQ diharapkan menjadi landasan berpikir yang kuat akan hakekat dari pengelolaan perubahan. Pada akhirnya pemahaman yang memadai dapat menjadi bekal yang mengarahkan mereka dalam melakukan perubahan pada institusi pendidikan tingginya masing-masing.

4. METODE PENELITIAN
4.1. Obyek pe nelitian
Obyek penelitian adalah BPH Yayasan dan Rektor Universitas-Institut/Ketua Sekolah Tinggi / Dekan Fakultas.
4.2. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian adalah Perguruan Tinggi Swasta di Kopertis Wilayah V DIY yang berbentuk Universitas, Institut, dan Sekolah Tinggi yang menyelenggarakan program studi Strata 1.
4.3. Populasi dan sampel
Populasi penelitian yaitu pelaku-pelaku institusi pendidikan tinggi PTS atau pejabat-pejabat struktural di 35 PTS berbentuk Universitas, Institut, dan Sekolah Tinggi di Kopertis Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan sampel penelitian adalah pelaku institusi pendidikan tinggi PTS yang berkedudukan sebagai BPH Yayasan dan Rektor/Ketua /Dekan di Universitas, Institut, dan Sekolah Tinggi.
4.4. Data yang Dipergunakan
Data primer yang diperoleh melalui kuesioner sebagai alat pengumpulan data utama. Selain itu dilengkapi data sekunder berupa peraturan dalam pendidikan tinggi dan referensi hasil penelitian manajemen perubahan.
4.5. Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel menggunakan sampel bertujuan (purposive sampling) dengan pengambilan sampel keputusan (judgement sampling).
4.6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data mencakup (1) pendekatan statistik deskriptif, (2) pendekatan statistik inferensi yang mencakup 2 metode:(a) untuk mengeksplorasi perbedaan agen perubahan melalui perbandingan skor MCQ dengan t test dan F test atau analysis of variance (ANOVA) dan (b) untuk memahami variasi data menurut demografis dengan multivariate analysis of variance (MANOVA).

5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian validitas MCQ menunjukkan adanya 3 item pertanyaan MCQ yang gugur, namun kuesioner MCQ dapat dipergunakan tanpa hambatan berarti. Pengujian reliabilitas MCQ menghasilkan alpha cronbach sebesar 0,6170, tidak begitu berbeda dengan pengujian reliabilitas MCQ pada penelitian Church, et al (1996) yang menghasilkan alpha cronbach sebesar 0,72.
Tingkat pengembalian (response rate) kuesioner keseluruhan mencapai 29,2%, sedikit lebih tinggi dibandingkan response rate penelitian Church, et al (1996) yang mencapai 23,8%.

5.1. Profil Responden Penelitian
Responden penelitian sebagian besar berjenis kelamin pria (90,1%), berumur 41-50 tahun (43,7%), berpendidikan terakhir S2 (60,6%), bergolongan akademik III/c (26,8%), telah bekerja dalam dunia pendidikan tinggi 11-20 tahun (49,3%), mempunyai jabatan sebagai Dekan Fakultas (49,3%), berkedudukan sebagai agen perubahan internal (69,0%), menjadi anggota tetap organisasi di PTS (64,8%), dan telah menjabat 1-5 tahun (43,7%). Pelaku kunci PTS masih didominasi kaum pria dan mayoritas berusia cukup mapan untuk ukuran masyarakat Indonesia. Kemapanan akademik tercermin pada mayoritas berpendidikan formal S2, golongan akademik III/c, dan lama bekerja dalam pendidikan tinggi (11-20 tahun).

5.2. Pemahaman terhadap Aspek-Aspek Pengelolaan Perubahan Penelitian menunjukkan keterkaitan pemahaman terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan dengan karakteristik individual.


Tabel 1
Korelasi Pemahaman terhadap Aspek-Aspek Pengelolaan Perubahan
dengan Karakteristik Individual
KORELASI (1) (2) (3) (4) (5)
TMCQ (1) 1,000 0,101(0,326) 0,107(0,256) -0,144(0,143) -0,010(0,919)
JENIS KELAMIN (2) 1,000 -0,198(0,069) -0,113(0,320) -0,162(0,139)
UMUR (3) 1,000 -0,082(0,432) 0,722(0,000)
PENDIDIKAN FORMAL TERAKHIR (4) 1,000 -0,023(0,826)
LAMA BEKERJA DI PENDIDIKAN (5) 1,000
Sumber : Data Diolah (2001)

Tabel 1 menunjukkan lemahnya korelasi antara variabel pemahaman terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan (TMCQ) dengan karakteristik individual agen perubahan sebagaimana terlihat dari korelasi Kendalls Tau-b yang bernilai <> 0,05. Hubungan berlawanan (-) terjadi antara pemahaman terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan (TMCQ) dengan pendidikan formal terakhir dan lama bekerja di pendidikan. Semakin tinggi pendidikan formal terakhir agen perubahan dan semakin lama agen perubahan bekerja di dunia pendidikan, maka semakin rendah pemahaman agen perubahan tersebut terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan. Hubungan searah (+) terjadi antara pemahaman terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan (TMCQ) dengan umur. Semakin tinggi umur agen perubahan, maka semakin tinggi pemahaman agen perubahan tersebut terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan.

Pemahaman rata-rata agen perubahan wanita terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan lebih tinggi daripada agen perubahan pria, dengan perolehan skor TMCQ pada wanita bernilai 75,9740 dan pria bernilai 69,6733. Eksplorasi perbedaan skor TMCQ antara agen perubahan wanita dan pria dengan uji t untuk dua sampel independen/bebas (independent sample t test) menunjukkan pengujian F bernilai 0,071 dengan probabilitas 0,790 (>0,05) yang berarti varians keduanya sama/identik. Pengujian t dengan dasar equal variance assumed (asumsi kedua varians sama) menunjukkan nilai t -1,106 dengan probabilitas 0,272 (>0,05) yang berarti kedua rata-rata populasi sama/identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan menurut jenis kelamin.

Pemahaman rata-rata agen perubahan terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan paling tinggi dicapai oleh agen perubahan berumur 70 tahun ke atas bernilai 82,7273, diikuti umur 61-70 tahun (73,4848), umur 31-40 tahun (72,0779), umur 51-60 tahun (68,6869), dan umur 41-50 tahun (66,7155). Eksplorasi perbedaan skor TMCQ antara agen perubahan menurut umur dengan uji F atau ANOVA menunjukkan Levene test bernilai 1,777 dengan probabilitas 0,144 (>0,05) yang berarti kelima varians populasi sama/identik. Pengujian F bernilai 1,724 dengan probabilitas 0,155 (>0,05) yang berarti kelima rata-rata populasi sama/identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan menurut umur.

Pemahaman rata-rata agen perubahan terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan paling tinggi dicapai oleh agen perubahan berpendidikan S1 bernilai 78,1250, diikuti strata lainnya atau tidak berstrata (72,7273), strata S3 (70,2479), dan strata S2 (67,3362). Eksplorasi perbedaan skor TMCQ antara agen perubahan menurut pendidikan formal terakhir dengan uji F atau ANOVA menunjukkan Levene test bernilai 0,508 dengan probabilitas 0,678 (>0,05) yang berarti keempat varians populasi sama/identik. Pengujian F bernilai 2,340 dengan probabilitas 0,081 (>0,05) yang berarti keempat rata-rata populasi sama/identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan menurut pendidikan formal terakhir. Pemahaman rata-rata agen perubahan terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan paling tinggi dicapai oleh agen perubahan yang telah bekerja dalam dunia pendidikan 41-50 tahun bernilai 84,000, diikuti 10 tahun ke bawah (70,9091), 11-20 tahun (69,7143), 31-40 tahun (62,5000), dan 21-30 tahun (61,6667). Eksplorasi perbedaan skor TMCQ antara agen perubahan menurut lama bekerja di pendidikan dengan uji F atau ANOVA menunjukkan Levene test bernilai 1,318 dengan probabilitas 0,272 (>0,05) yang berarti kelima varians populasi sama/identik. Pengujian F bernilai 1,259 dengan probabilitas 0,295 (>0,05) yang berarti kelima rata-rata populasi sama/identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan menurut lama bekerja.

5.3. Pemahaman Agen Perubahan terhadap Aspek-Aspek Fundamental Perubahan dan Proses Perubahan
Penelitian menunjukkan keterkaitan pemahaman terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dan proses perubahan dengan karakteristik individual.



Tabel 2
Korelasi Pemahaman terhadap Aspek-Aspek Fundamental Perubahan
dan Proses Perubahan dengan Karakteristik Individual
KORELASI (1) (2) (3) (4) (5) (6)
ASPEK FUNDAMENTAL(1) 1,000 0,326(0,001) 0,157(0,150) 0,079(0,430) -0,184(0,077) -0,033(0,740)
PROSES PERUBAHAN (2) 1,000 0,064(0,533) 0,096(0,307) -0,125(0,206) -0,019(0,838)
JENIS KELAMIN(3) 1,000 -0,198(0,069) -0,113(0,302) -0,162(0,139)
UMUR(4) 1,000 -0,082(0,432) 0,722(0,000)
PENDIDIKAN FORMAL TERAKHIR (5) 1,000 -0,023(0,826)
LAMA BEKERJA DI PENDIDIKAN (6) 1,000
Sumber : Data Diolah (2001)

Tabel 2 menunjukkan lemahnya korelasi antara variabel pemahaman terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dengan karakteristik individual agen perubahan sebagaimana ditunjukkan dari korelasi Kendalls Tau-b yang bernilai <>0,05 (kecuali satu-satunya hubungan signifikan yang terjadi antara aspek-aspek fundamental perubahan dengan proses perubahan). Hubungan berlawanan (-) terjadi antara pemahaman terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dengan pendidikan formal terakhir dan lama bekerja di pendidikan. Semakin tinggi pendidikan formal terakhir agen perubahan dan semakin lama agen perubahan bekerja di dunia pendidikan, maka semakin rendah pemahaman agen perubahan tersebut terhadap aspek-aspek fundamental perubahan. Hubungan searah (+) terjadi antara pemahaman terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dengan umur, berarti semakin tinggi umur agen perubahan, maka sema kin tinggi pemahaman agen perubahan tersebut terhadap aspek-aspek fundamental perubahan.

Tabel 2 juga menunjukkan lemahnya korelasi antara variabel pemahaman terhadap proses perubahan dengan karakteristik individual agen perubahan sebagaimana ditunjukkan dari korelasi Kendalls Tau-b yang bernilai <>0,05. Hubungan berlawanan (-) terjadi antara pemahaman terhadap proses perubahan dengan pendidikan formal terakhir dan lama bekerja di pendidikan. Semakin tinggi pendidikan formal terakhir agen perubahan dan semakin lama agen perubahan bekerja di dunia pendidikan, maka semakin rendah pemahaman agen perubahan tersebut terhadap proses perubahan. Hubungan searah (+) terjadi antara pemahaman terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dengan umur, berarti semakin tinggi umur agen perubahan, maka semakin tinggi pemahaman agen perubahan tersebut terhadap proses perubahan.

Tabel 3
Perbandingan Mean, Uji F, dan Uji t Pemahaman Agen Perubahan terhadap Aspek Fundamental Perubahan dan Proses Perubahan Menurut Jenis Kelamin KARAKTERISTIK INDIVIDUAL RATA-RATA (MEAN)ASPEK FUNDAMENTAL RATA-RATA (MEAN)PROSES PERUBAHAN



Pria 62,5000 71,7831
Wanita 74,2857 76,4706
Uji F (prob.) 1,212 (0,275) 0,151 (0,699)
Uji t (prob.) -1,406 (0,164) -0,784 (0,436)
Sumber : Data Diolah (2001)


Pemahaman rata-rata agen perubahan wanita terhadap aspek-aspek fundamental perubahan (NASPEK) dan proses perubahan (NPROSES) lebih tinggi daripada pemahaman agen perubahan pria. Eksplorasi perbedaan skor NASPEK dan NPROSES antara agen perubahan wanita dan pria dilakukan dengan uji t untuk dua sampel independen/bebas (independent sample t test) menunjukkan pengujian F bernilai 1,212 dengan probabilitas 0,275 (>0,05) dan bernilai 1,151 dengan probabilitas 0,699 (>0,05) yang berarti varians keduanya sama, berarti varians keduanya sama/identik. Pengujian t dengan dasar equal variance assumed menunjukkan nilai t -1,406 dengan probabilitas 0,164 (>0,05) untuk NASPEK dan nilai t -0,784 dengan probabilitas 0,436 (>0,05) untuk NPROSES yang berarti kedua rata-rata populasi sama atau identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan menurut jenis kelamin dan tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap proses perubahan me nurut jenis kelamin.


Tabel 4
Perbandingan Mean, Uji F, dan Uji t Pemahaman Agen Perubahan terhadap Aspek Fundamental Perubahan dan Proses Perubahan Menurut Umur KARAKTERISTIK INDIVIDUAL RATA-RATA (MEAN)ASPEK FUNDAMENTAL RATA-RATA (MEAN)PROSES PERUBAHAN


Umur 31-40 tahun 65,7143 73,9496
Umur 41-50 tahun 60,6452 68,5009
Umur 51-60 tahun 55,5556 72,5490
Umur 61-70 tahun 70,0000 74,5098
Umur 70 tahun ke atas 76,0000 84,7059
Uji Levene (prob.) 0,930 (0,452) 0,549 (0,700)
Uji F (prob.) 1,226 (0,308) 1,505 (0,211)
Sumber : Data Diolah (2001)


Pemahaman rata-rata agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental (NASPEK) lebih rendah daripada pemahaman terhadap proses perubahan (NPROSES) menurut umur agen perubahan. Pemahaman terhadap aspek-aspek fundamental perubahan (NASPEK) dan proses perubahan (NPROSES) tertinggi terdapat pada agen perubahan yang berumur 70 tahun ke atas. Eksplorasi perbedaan skor NASPEK dan NPROSES antara agen perubahan menurut umur dilakukan dengan uji F atau ANOVA menunjukkan Levene test bernilai 0,930 dengan probabilitas 0,452 (>0,05) dan nilai 0,549 dengan probabilitas 0,700 (>0,05) yang berarti kelima varians populasi sama/identik. Pengujian F bernilai 1,226 dengan probabilitas 0,308 (>0,05) untuk NASPEK dan nilai 1,505 dengan probabilitas 0,211 (>0,05) untuk NPROSES yang berarti kelima rata-rata populasi sama/identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan menurut umur dan tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap proses perubahan menurut umur.


Tabel 5
Perbandingan Mean, Uji F, dan Uji t Pemahaman Agen Perubahan terhadap Aspek Fundamental Perubahan dan Proses Perubahan Menurut Pendidikan Formal Terakhir KARAKTERISTIK INDIVIDUAL RATA-RATA (MEAN)ASPEK FUNDAMENTAL RATA-RATA (MEAN)PROSES PERUBAHAN

Strata 1 75,0000 79,0441
Strata 2 59,5349 69,6306
Strata 3 61,8182 72,7273
Lainnya 80,0000 70,5882
Uji Levene (prob.) 1,133 (0,342) 0,522 (0,668)
Uji F (prob.) 2,437 (0,072) 1,580 (0,202)
Sumber : Data Diolah (2001)

Pemahaman rata-rata agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental (NASPEK) lebih rendah daripada pemahaman terhadap proses perubahan (NPROSES) menurut pendidikan formal terakhir agen perubahan, kecuali pada agen perubahan dengan pendidikan lainnya (di bawah Strata 1). Eksplorasi perbedaan skor NASPEK dan NPROSES antara agen perubahan menurut pendidikan formal terakhir dengan uji F atau ANOVA menunjukkan Levene test bernilai 1,133 dengan probabilitas 0,342 (>0,05) dan nilai 0,522 dengan probabilitas 0,668 (>0,05) yang berarti ketiga varians populasi sama/identik. Pengujian F yang menunjukkan nilai 2,437 dengan probabilitas 0,072 (>0,05) untuk NASPEK dan nilai 1,580 dengan probabilitas 0,202 (>0,05) untuk NPROSES yang berarti ketiga rata-rata populasi sama/identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan menurut pendidikan formal terakhir dan tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap proses perubahan menurut pendidikan formal terakhir.



Tabel 6
Perbandingan Mean, Uji F, dan Uji t Pemahaman Agen Perubahan terhadap Aspek Fundamental Perubahan dan Proses Perubahan Menurut Lama Bekerja di Pendidikan KARAKTERISTIK INDIVIDUAL RATA-RATA (MEAN)ASPEK FUNDAMENTAL RATA-RATA (MEAN)PROSES PERUBAHAN

10 tahun ke bawah 67,2727 74,3316
11-20 tahun 63,4286 72,6050
21-30 tahun 56,6667 66,1765
31-40 tahun 67,5000 69,8529
41-50 tahun 68,0000 83,5294
Uji Levene (prob.) 0,415 (0,797) 1,172 (0,331)
Uji F (prob.) 0,511 (0,728) 1,335 (0,266)
Sumber : Data Diolah (2001)

Pemahaman rata-rata agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental (NASPEK) lebih rendah daripada pemahaman terhadap proses perubahan (NPROSES) menurut lama bekerja di pendidikan. Eksplorasi perbedaan skor NASPEK dan NPROSES antara agen perubahan menurut lama bekerja di pendidikan dilakukan dengan uji F atau ANOVA menunjukkan Levene test bernilai 0,415 dengan probabilitas 0,797 (>0,05) dan nilai 1,172 dengan probabilitas 0,331 (>0,05) yang berarti kelima varians populasi sama/identik. Pengujian F yang menunjukkan nilai 0,511 dengan probabilitas 0,728 (>0,05) untuk NASPEK dan nilai 1,335 dengan probabilitas 0,266 (>0,05) untuk NPROSES yang berarti kelima rata-rata populasi sama atau identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan menurut lama bekerja di pendidikan dan tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap proses perubahan menurut lama bekerja di pendidikan.

Perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dan proses perubahan menurut jenis kelamin agen perubahan Hasil pengujian varians tiap-tiap variabel terikat (Tahap I) dengan Levene test NASPEK bernilai 0,275 dan NPROSES bernilai 0,699, berarti probabilitas > 0,05, maka kedua varians populasi agen perubahan menurut jenis kelamin sama/identik. Pengujian multivariat untuk homogeneity of dispersion matrix (tahap II) dengan Box's M bernilai 0,558, berarti probabilitas > 0,05, maka matriks varians/kovarians dari variabel terikat NASPEK dan NPROSES pada agen perubahan pria dan wanita adalah sama/identik. Oleh karena 2 tahap pengujian varians menunjukkan semua variabel terikat (NASPEK dan NPROSES) homogen, maka pengujian MANOVA dilanjutkan dan menunjukkan Pillai's Trace bernilai probabilitas 0,375; Wilks' Lambda bernilai 0,375; Hotelling's Trace bernilai 0,375; dan Roy's Largest Root bernilai 0,375, berarti probabilitas > 0,05, maka rata-rata vektor agen perubahan pria dan wanita dari skor rata-rata adalah identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dan proses perubahan menurut jenis kelamin agen perubahan. Pengujian univariate F untuk NASPEK juga bernilai 1,978 dan NPROSES bernilai 0,614, berarti probabilitas > 0,05, maka tidak ada perbedaan NASPEK dan NPROSES dari agen perubahan pria dan wanita atau jenis kelamin agen perubahan tidak berdampak pada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dan proses perubahan.

Perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dan proses perubahan menurut umur agen perubahan Hasil pengujian varians tiap-tiap variabel terikat (Tahap I) dengan Levene test NASPEK bernilai 0,452 dan NPROSES bernilai 0,700, berarti probabilitas > 0,05, maka kelima varians populasi agen perubahan menurut umur identik atau sama. Pengujian multivariat untuk homogeneity of dispersion matrix (tahap II) dengan Box's M bernilai 0,165, berarti probabilitas > 0,05, maka matriks varians/kovarians dari variabel terikat NASPEK dan NPROSES pada agen perubahan menurut umur adalah sama/identik. Oleh karena 2 tahap pengujian varians menunjukkan semua variabel terikat (NASPEK dan NPROSES) homogen menurut umur, maka pengujian MANOVA dilanjutkan dan menunjukkan Pillai's Trace bernilai 0,368; Wilks' Lambda bernilai 0,372; Hotelling's Trace bernilai 0,376; dan Roy's Largest Root bernilai 0,150, berarti probabilitas >0,05, maka rata-rata vektor agen perubahan menurut umur dari skor rata-rata adalah identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dan proses perubahan menurut umur agen perubahan. Pengujian univariate F untuk NASPEK juga bernilai 0,308 dan NPROSES bernilai 0,211, berarti probabilitas > 0,05, maka tidak ada perbedaan NASPEK dan NPROSES dari agen perubahan menurut umur atau umur agen perubahan tidak berdampak pada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dan proses perubahan.

Perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dan proses perubahan menurut pendidikan formal terakhir agen perubahan.
Hasil pengujian varians tiap-tiap variabel terikat (Tahap I) dengan Levene test untuk NASPEK bernilai 0,342 dan NPROSES bernilai 0,668, berarti probabilitas > 0,05, maka keempat varians populasi agen perubahan menurut pendidikan formal terakhir sama/identik. Pengujian multivariat untuk homogeneity of dispersion matrix (tahap II) dengan Box's M bernilai 0,370, berarti probabilitas > 0,05, maka matriks varians/kovarians dari variabel terikat NASPEK dan NPROSES pada agen perubahan berpendidikan S1, S2, S3, dan lainnya adalah sama/identik. Oleh karena 2 tahap pengujian varians menunjukkan semua variabel terikat (NASPEK dan NPROSES) homogen, maka pengujian MANOVA dilanjutkan dan menunjukkan Pillai's Trace bernilai probabilitas 0,196; Wilks' Lambda bernilai 0,191; Hotelling's Trace bernilai 0,187; dan Roy's Largest Root bernilai 0,044, berarti probabilitas > 0,05 (kecuali Roy's Largest Root yang <> 0,05, maka tidak ada perbedaan NASPEK dan NPROSES dari agen perubahan menurut pendidikan formal terakhir atau pendidikan formal terakhir agen perubahan tidak berdampak pada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dan proses perubahan.

Perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dan proses perubahan menurut lama bekerja di pendidikan Hasil pengujian varians tiap-tiap variabel terikat (Tahap I) dengan Levene test untuk NASPEK bernilai 0,797 dan NPROSES bernilai 0,331, berarti probabilitas > 0,05, maka kelima varians populasi agen perubahan menurut lama bekerja di pendidikan sama/identik Pengujian multivariat untuk homogeneity of dispersion matrix (tahap II) dengan Box's M bernilai 0,450, berarti probabilitas > 0,05, maka matriks varians/kovarians dari variabel terikat NASPEK dan NPROSES pada agen perubahan menurut lama bekerja di pendidikan adalah sama/identik. Oleh karena 2 tahap pengujian varians menunjukkan semua variabel terikat (NASPEK dan NPROSES) homogen, maka pengujian MANOVA dilanjutkan dan menunjukkan Pillai's Trace bernilai probabilitas 0,603; Wilks' Lambda bernilai 0,607; Hotelling's Trace bernilai 0,611; dan Roy's Largest Root bernilai 0,266, berarti probabilitas > 0,05, maka rata-rata vektor agen perubahan menurut lama bekerja di pendidikan dari skor rata-rata adalah identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dan proses perubahan menurut lama bekerja di pendidikan. Pengujian univariate F untuk NASPEK juga bernilai 0,728 dan NPROSES bernilai 0,266, berarti probabilitas > 0,05, maka tidak ada perbedaan NASPEK dan NPROSES dari agen perubahan menurut lama bekerja di pendidikan atau lama bekerja di pendidikan tidak berdampak pada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dan proses perubahan.

5.4.Pemahaman Agen Perubahan terhadap Perubahan Revolusi dan Evolusi sebagai Sifat Umum Perubahan Pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan.



Tabel 7 Korelasi Pemahaman Agen Perubahan terhadap Perubahan Revolusi dan Evolusi sebagi Sifat Umum Perubahan dengan Karakteristik Individual

KORELASI (1) (2) (3) (4) (5)
PERUBAHAN(1) 1,000 0,042(0,719) 0,245(0,021) -0,166(0,134) 0,147(0,168)
JENIS KELAMIN(2) 1,000 -0,198(0,069) -0,113(0,320) -0,162(0,139)
UMUR(3) 1,000 -0,082(0,432) 0,722(0,000)
PENDIDIKAN FORMAL TERAKHIR (4) 1,000 -0,023(0,826)
LAMA BEKERJA DI PENDIDIKAN (5) 1,000
Sumber : Data Diolah (2001)

Tabel 7 menunjukkan lemahnya korelasi antara variabel pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan dengan karakteristik individual agen perubahan sebagaimana ditunjukkan dari korelasi Kendalls Tau-b yang bernilai <> 0,05 (kecuali satu-satunya hubungan signifikan yang terjadi antara perubahan revolusi dan evoluasi sebagai sifat umum perubahan dengan umur). Hubungan berlawanan (-) terjadi antara pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan dengan pendidikan formal terakhir. Semakin tinggi pendidikan formal terakhir agen perubahan, maka semakin rendah pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan. Hubungan searah (+) terjadi antara pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan dengan umur dan lama bekerja di pendidikan, berarti semakin tinggi umur agen perubahan dan semakin lama bekerja di pendidikan, maka semakin tinggi pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan.

Pemahaman rata-rata agen perubahan wanita terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan lebih tinggi daripada pemahaman agen perubahan pria, sebagaimana ditunjukkan dalam perolehan skor PERUB pada agen perubahan wanita yang bernilai 78,5714 dan agen perubahan pria yang bernilai 72,6563. Eksplorasi perbedaan skor PERUB antara agen perubahan wanita dan pria dilakukan dengan uji t untuk dua sampel independen/bebas (independent sample t test) menunjukkan pengujian F bernilai 0,846 dengan probabilitas 0,361 (> 0,05) yang berarti varians keduanya sama/identik. Pengujian t dengan dasar equal variance assumed menunjukkan nilai t -0,470 dengan probabilitas 0,640 (>0,05) yang berarti kedua rata-rata populasi sama atau identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahann menurut jenis kelamin.

Pemahaman rata-rata agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan paling tinggi dicapai oleh agen perubahan berumur 70 tahun yaitu senilai 90,000, diikuti agen perubahan berumur 61 sampai 70 tahun (87,5000), agen perubahan berumur 41 sampai 50 tahun (75,8065), agen perubahan berumur 51 sampai 60 tahun (61,1111), dan agen perubahan berumur 31 sampai 40 tahun (57,1429). Eksplorasi perbedaan skor PERUB antara agen perubahan menurut umur dilakukan dengan uji F atau ANOVA menunjukkan Levene test bernilai 2,103 dengan probabilitas 0,090 (>0,05) yang berarti kelima varians populasi sama/identik. Pengujian F bernilai 2,469 dengan probabilitas 0,053 (>0,05) yang berarti kelima rata-rata populasi sama atau identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan menurut umur.

Pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan paling tinggi dicapai oleh agen perubahan berpendidikan lainnya atau tidak berstrata yaitu 100,0000, diikuti agen perubahan berstrata S1 (84,3750), agen perubahan berstrata S2 (70,9302), dan agen perubahan berstrata S3 (63,6364). Eksplorasi perbedaan skor PERUB antara agen perubahan menurut pendidikan formal terakhir dilakukan dengan uji F atau ANOVA menunjukkan Levene test bernilai 2,852 dengan probabilitas 0,044 (<0,05)>0,05) yang berarti keempat rata-rata populasi sama atau identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan menurut pendidikan formal terakhir.

Pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evoluasi sebagai sifat umum perubahan paling tinggi dicapai oleh agen perubahan yang telah bekerja dalam dunia pendidikan 41 sampai 50 tahun yaitu 90,0000, diikuti agen perubahan yang bekerja 11 sampai 20 tahun (75,7143), agen perubahan yang bekerja 31 sampai 40 tahun (75,0000), agen perubahan yang bekerja 21 sampai 30 tahun (70,8333), dan agen perubahan yang bekerja 10 tahun ke bawah (59,0909). Eksplorasi perbedaan skor PERUB antara agen perubahan menurut lama bekerja di pendidikan dilakukan dengan uji F atau ANOVA menunjukkan Levene test bernilai 1,252 dengan probabilitas 0,298 (>0,05) yang berarti kelima varians populasi sama/identik. Pengujian F yang menunjukkan nilai 0,990 dengan probabilitas 0,419 (>0,05) yang berarti kelima rata-rata populasi sama atau identik atau tidak ada perbedaan pemahaman agen perubahan terhadap perubahan revolusi dan evolusi sebagai sifat umum perubahan menurut lama bekerja di pendidikan.
5.5. Pembahasan
Penelitian menemukan hubungan yang lemah antara pemahaman terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan (TMCQ) dengan karakteristik individual agen perubahan seperti ditunjukkan dari korelasi yang rendah di antara kedua variabel tersebut dan tidak adanya hubungan yang signifikan. Temuan ini menunjukkan pemahaman terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan tidak ditentukan oleh jenis kelamin, umur, pendidikan formal terakhir, maupun lama bekerja dalam pendidikan.

Temuan didukung pula dengan hubungan yang lemah antara pemahaman terhadap aspek-aspek fundamental perubahan (NASPEK) dan proses perubahan (NPROSES) -dua dimensi utama dalam MCQ- dengan karakteristik individual agen perubahan seperti ditunjukkan dari korelasi yang rendah di antara kedua variabel tersebut dan tidak adanya hubungan yang signifikan, berarti pemahaman terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dan proses perubahan tidak ditentukan oleh jenis kelamin, umur, pendidikan formal terakhir, maupun lama bekerja dalam pendidikan.

Sekalipun hubungan-hubungan tersebut lemah, penelitian menemukan hubungan searah antara pemahaman terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan (TMCQ) dengan umur, berarti semakin tinggi umur agen perubahan, semakin tinggi pula pemahaman agen perubahan tersebut. Terdapat pula hubungan yang searah antara pemahaman terhadap aspek-aspek fundamental perubahan (NASPEK) dan proses perubahan (NPROSES) dengan umur, berarti semakin tinggi umur agen perubahan, semakin tinggi pula pemahaman agen perubahan tersebut terhadap aspek-aspek fundamental perubahan dan proses perubahan. Hal tersebut terjadi karena semakin bertambahnya umur agen perubahan diharapkan seorang agen perubahan semakin matang dan dewasa dalam memandang dan memahami realitas perubahan dalam dunia pendidikan tinggi.

Penelitian ini juga menemukan hubungan berkebalikan antara pemahaman terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan (TMCQ), aspek-aspek fundamental (NASPEK) dan proses perubahan (NPROSES) dengan pendidikan formal terakhir dan lama bekerja dalam pendidikan. Fenomena ini dapat terjadi karena pendidikan formal yang diterima seorang agen perubahan menempatkan agen perubahan pendidikan tinggi pada pengertian yang 'ideal' dan kurang 'membumi' dalam realitas perubahan pendidikan tinggi. Namun di sisi lain semakin lama berkecimpung dalam dunia pendidikan tinggi mengakibatkan agen perubahan cenderung kurang memahami pengelolaan perubahan karena terjebak dalam kemapanan/status quo.

Secara umum tidak terdapat perbedaan pemahaman aspek-aspek pengelolaan perubahan (TMCQ), aspek-aspek fundamental (NASPEK), dan proses perubahan (NPROSES) menurut karakteristik individual yang ditandai dengan pemahaman terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan, aspek-aspek fundamental perubahan, dan proses perubahan tidak ditentukan oleh jenis kelamin, umur, pendidikan formal terakhir, maupun lama bekerja dalam pendidikan.

Penelitian ini juga menemukan hubungan yang lemah antara pemahaman terhadap perubahan revolusi dan evoluasi sebagai sifat umum perubahan dengan karakteristik individual agen perubahan seperti ditunjukkan dari korelasi yang rendah di antara kedua variabel tersebut dan tidak adanya hubungan yang signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemahaman terhadap perubahan revolusi dan evoluasi sebagai sifat umum perubahan tidak ditentukan oleh jenis kelamin, umur, pendidikan formal terakhir, maupun lama bekerja dalam pendidikan.

Sekalipun hubungan-hubungan tersebut lemah, penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan yang searah antara pemahaman terhadap perubahan revolusi dan evolusi dengan umur dan lama bekerja di pendidikan tinggi, berarti semakin tinggi umur agen perubahan, semakin tinggi pula pemahaman agen perubahan tersebut. Terdapat pula hubungan yang searah antara pemahaman terhadap perubahan revolusi dan evolusi dengan lama bekerja di pendidikan tinggi, berarti semakin tinggi lama bekerja di pendidikan tinggi, semakin tinggi pula pemahaman agen perubahan tersebut. Fenomena ini dapat terjadi karena semakin bertambahnya umur dan semakin lama agen perubahan bekerja dalam pendidikan tinggi diharapkan seorang agen perubahan semakin matang dan dewasa dalam memandang dan memahami realitas perubahan dalam dunia pendidikan tinggi.

Penelitian ini sekaligus menemukan hubungan berkebalikan antara pemahaman terhadap perubahan revolusi dan evolusi dengan pendidikan formal terakhir. Fenomena ini dapat terjadi karena pendidikan formal yang diterima seorang agen perubahan menempatkan agen perubahan pendidikan tinggi pada pengertian yang 'ideal' dan kurang 'membumi' dalam realitas perubahan pendidikan tinggi, sehingga sulit memahami sifat perubahan yang revolutif atau evolutif.

6.PENUTUP
Oleh karena penelitian menunjukkan pemahaman terhadap aspek-aspek pengelolaan perubahan tidak ditentukan oleh jenis kelamin, umur, pendidikan formal terakhir, maupun lama bekerja dalam pendidikan, maka perlu pengkajian mendalam tentang faktor-faktor yang dimungkinkan menentukan pemahaman agen perubahan terhadap pengelolaan perubahan, seperti lingkungan kerja, lingkungan pekerjaan, maupun lingkungan kepribadian dari agen perubahan itu sendiri.

7. DAFTAR PUSTAKA

Burke,W.W. (1990) Managing Change Questionnaire.Pelham.New York. W.Warner Burke Associates.

Burke,W.W. and Spencer, J.L. (1990) Managing Change:Participant Guide, Interpretation and Industry Comparisons. Pelham. New York. W.Warner Burke Associates, pp. 1-59.

Burke, W.W., et al (1991) Managers Get a "C" in Managing Change. Training & Development. pp. 87-92.

Church, A.H., et al (1996) Managing Organizational Change:What You Don't Know Might Hurt You, Career Development International.Vol.1.No.2.pp.25-30.

Church,A.H.,et al (1996) OD Practitioners As Facilitators Of Change : An Analysis Of Survey Results, Group & Organization Management. Vol.21. No. 1. pp. 22-66.

Mulyadi (1997) Manajemen Perubahan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol.12. No. 3.pp. 51-74.

Siegal,W. et al (1996) Understanding The Management of Change : An Overview of Manager's Perspectives and Assumptions in The 1990s. Journal of Organizationall Change Management. Vol. 9 No. 5. pp. 54-80.

Susanto, A.B. (1998) Tinjauan Pendidikan Tinggi Dalam Memasuki Milenium Ketiga : Renungan Beberapa Aspek Pembaharuan Dunia Pendidikan. Universitas Atma Jaya Yogyakarta Indonesia Memasuki Milenium Ke-3. Yogyakarta. Andi Offset. pp. 77-88.

Saya Th. Agung M. Harsiwi setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.