WeLCoMe To 1'st Dewi's Blog

WelCome...!!! To My 1'st blog!!!


pendidikan

pendidikan
sangat menyedihkan ya... pendidikan di negara kita...so.. jangan pernah menyia-nyiakan pendidikan yang kita dapat, karena masih banyak di luar sana yang kurang mendapat pendidikan yang layak. semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Senin, 16 Maret 2009

Pengenalan Sejarah Pendidikan Kebutuhan Khusus Menuju Inklusi

Pengenalan Sejarah Pendidikan Kebutuhan Khusus Menuju Inklusi
Sebuah Konteks Norwegia dan Eropa
Berit H. Johnsen2

Pendidikan kebutuhan khusus dapat secara singkat dijelaskan sebagai pendidikan bagi orang
yang berkebutuhan khusus dan menyandang kecacatan. Fokus utamanya adalah kemungkinan dan
hambatan dalam pengajaran dan belajar yang terdapat dalam faktor-faktor masyarakat, dalam
praktek dan teori pendidikan, dan dalam pluralitas kebutuhan khusus individu dalam bidang
pendidikan. Dengan demikian, pendidikan kebutuhan khusus merupakan sebuah disiplin
pendidikan dengan orientasi baru yang didasari hasil pemikiran yang kritis.
Pendidikan kebutuhan khusus merupakan disiplin ilmu yang masih muda dengan akar yang sudah
tua, yang membentang dari kebudayaan kuno Mediterania hingga sejarah modern Eropa3. Di mana
sumber disiplin ilmu ini? Apakah tema utamanya, masalah dan terminologi sentralnya, titik
fokus dan perbedaan yang menandainya? Aspek-aspek apa dari konteks sejarah dan masyarakat
yang disentuh oleh disiplin ilmu ini dan bagaimana aspek sejarah dan masyarakat
mempengaruhinya? Pertanyaan-pertanyaan ini memberikan kontribusi pada konstruksi rekaman
sejarah yang disajikan di sini.
Penyajiannya didasarkan atas sudut pandangan sejarah prinsip pendidikan inklusif, yang
dibahas dalam artikel lain dalam buku ini. Oleh karena itu, pencarian akar disiplin ilmu ini
diarahkan pada dua arena, pertama pada sejarah sekolah dasar biasa. Arena lainnya adalah
berbagai upaya dan institusi pendidikan khusus di luar sekolah umum. Artikel ini merupakan
presentasi sejarah pendidikan kebutuhan khusus Norwegia menurut pandangan tren Nordik dan
Eropa.
Siswa yang berkebutuhan khusus di awal sejarah sekolah umumDalam konteks Eropa, sekolah dasar di Norwegia mempunyai sejarah yang sangat panjang sejak
pengesahannya secara resmi oleh Raja Christian VI pada tahun 1739. Fondasi sekolah ini,
yaitu “untuk semua dan setiap orang”, merupakan upaya utama dalam bidang pendidikan pada
waktu itu, yang dilaksanakan oleh monarki otokratik, dan sangat dipengaruhi oleh ideologi
Kristen pietism4 dan cameralism5. Sekolah merupakan elemen kunci dalam proyek melek huruf
keagamaan yang dikembangkan untuk memfasilitasi tanggung jawab individual setiap orang
kepada Tuhan Kristen di samping untuk alasan-alasan praktis. Membutuhkan seratus tahun sejak
ditetapkannya undang-undang ini hingga terlembagakannya sekolah dasar sebagai institusi
pendidikan permanen bagi semua orang di seluruh bagian negeri ini. Isi pelajaran pada awal
sejarah sekolah dasar ini adalah membaca dan penjelasan tentang bagian-bagian tertentu dari
doktrin Kristen. Akan tetapi, sejak didirikannya, sekolah dasar Norwegia ini telah
memperluas isinya, dan sekarang telah mencakup sepuluh mata pelajaran wajib, dengan mata
pelajaran “Pengetahuan Kristen dan Pendidikan agama dan Etika” sebagai mata pelajaran minor
(KUF 1997/1999)
Sejak awal tahun 1739, dibuat keputusan bahwa sekolah harus untuk “semua dan setiap orang”.
Sejak waktu itu, sekolah bebas biaya. Namun, dalam kaitannya dengan kepedulian kita dewasa
ini, pertanyaan kuncinya adalah apakah sekolah itu benar-benar bagi semua orang, termasuk
anak-anak penyandang cacat dan berkebutuhan khusus yang memerlukan dukungan pendidikan.
Seberapa besarkah kesadaran para pendeta pietistic yang idealis, yang berhasil mengembangkan
proyek pendidikan yang sangat besar ini, akan kenyataan bahwa anak-anak berbedar-beda dalam
cara belajarnya dan kebutuhannya akan dukungan?
Erik Pontoppidan (1698-1764) adalah salah seorang penggagas utama sekolah baru ini. Atas
perintah Raja, dia membuat buku pelajaran pertama, yang disebut Penjelasan Pontoppidan, yang
menjadi buku teks yang paling banyak digunakan sepanjang sejarah sekolah dasar Norwegia. Di
samping itu, dia juga menulis tentang pendidikan dalam banyak teks lainnya. Sebagai Uskup
Bergen, dia telah berusaha keras untuk menerapkan undang-undang baru tentang sekolah untuk
semua orang, di antaranya dengan mendirikan lembaga pendidikan guru yang pertama di seluruh
negeri (yang sayangnya hanya bertahan dalam waktu yang singkat).
Dalam tulisannya tentang pendidikan, Pontoppidan menunjukkan bahwa dia menyadari bahwa
anak-anak belajar dengan cara yang berbeda-beda dan dengan kecepatan yang berbeda-beda.
Penjelasan Pontoppidan adalah buku tebal dengan banyak halaman, dan para siswa diharapkan
mampu menghafalnya di luar kepala. Akan tetapi, dia menandai beberapa bagian buku teks itu
dengan menggarisi bagian tepinya, untuk menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak penting
dipelajari oleh siswa yang mempunyai kesulitan karena alasan internal atau eksternal. Ini
merupakan contoh pertama yang diketahui tentang pembedaan isi dalam sejarah sekolah dasar
biasa. Dalam teksnya yang lain terdapat pula sebuah contoh tentang apa yang kini disebut
pendidikan yang diadaptasikan secara individual. Ada cerita mengenai anak perempuan yang
tidak dapat atau tidak ingin belajar teks wajib. Baik orang tuanya maupun kepala sekolahnya
memandang anak itu sebagai siswa yang lambat belajar. Namun, pendeta yang bertanggungjawab
atas semua sekolah dan siswa di wilayah gerejanya mulai memberikan pelajaran secara
individual kepada anak perempuan itu. Dalam hal ini pendeta tersebut mengkombinasikan buku
pelajaran tradisional itu dengan beberapa buku teks lainnya, cerita dan dialog, sambil terus
melakukan asesmen bagaimana bermacam-macam materi dan dan metode berpengaruh terhadap
motivasi dan belajar anak perempuan tersebut. Mereka berhasil memotivasi belajar anak itu
sehingga dia berhasil mencapai penguasaan yang diwajibkan.
Sebagaimana dapat dilihat, buku teks pendidikan yang dirancang oleh Pontoppidan itu
mengandung sejumlah contoh tentang kesadarannya akan perbedaan individual dalam hal peluang
belajar serta berisikan sejumlah rekomendasi tentang metode pengajaran yang tepat untuk
menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan individu yang berbeda-beda. Sejumlah kecil contoh
gagasan semacam ini ditemukan dalam teks pendidikan selama sejarah pendidikan dasar di abad
ke-18 dan ke-19. Teks-teks ini juga menunjukkan adanya pertukaran gagasan antara Norwegia
dan negara-negara Nordik serta beberapa bagian Eropa lainya. Pemikiran-pemikiran para ahli
seperti Johan Amos Comenius dari Cekoslowakia (1592-1670), Francke dari Halle di Jerman yang
telah disebutkan di muka, dan kemudian John Locke dari Inggris (1632-1704), Jean-Jaques
Rousseau (1712-1778) dari Perancis dan Johann H. Pestalozzi dari Swiss (1746-1827),
ditafsirkan dan dibahas.
Namun terdapat juga cerita-cerita yang menunjukkan ketakutan dan kebencian terhadap anak dan
remaja dengan kesulitan belajar dan kecacatan. Dalam tradisi Lutheran di Eropa Utara, yang
disebut sebagai konfirmasi adalah bentuk ujian yang besar, yang membuka jalan bagi hak-hak
orang dewasa. Mungkin kerugian yang paling besar bagi mereka yang tidak berhasil lulus dari
ujian konfirmasi itu adalah bahwa mereka tidak diperkenankan untuk menikah. Menurut
undang-undang yang berlaku saat itu, anak muda yang karena berbagai alasan tidak bersekolah
dan tidak berhasil dalam belajar pengetahuan dasar yang diwajibkan untuk lulus dari ujian
konfirmasi, dapat dimasukkan ke “rumah koreksi” dan bahkan di penjara, di mana mereka
dipaksa untuk belajar. Ada dua jenis kecacatan yang tidak dapat diterima untuk konfirmasi,
yaitu gila (mungkin yang kini kita sebut psikosis parah atau tunagrahita) dan tunarungu
prabahasa. Sesungguhnya, apakah orang yang menjadi tuli sebelum belajar bahasa itu dapat
dididik atau tidak, telah menjadi bahan perdebatan selama beberapa abad, yang jejak
argumentasinya ditemukan sejak awal era Protestan Lutheran hingga dekade terakhir abad
kesembilan belas. Protoppidan adalah di antara mereka yang menentang edukabilitas orang
tunarungu prabahasa itu (Johnsen 2000). Konsekuensi nyata dari sikap negatif terhadap
ketunarunguan ini tentu saja adalah kehidupan yang menderita bagi banyak orang.
Beberapa undang-undang tentang sekolah dasar Norwegia ditetapkan pada abad ke-19.
Undang-undang tahun 1889, yang menamai sekolah bebas biaya “Sekolah Rakyat”, mempunyai
silabus yang setara dengan sekolah swasta yang tidak bebas biaya, yang diperuntukkan bagi
anak-anak dari keluarga berada yang tinggal di kota-kota. Namun, pada saat itu beberapa
kelompok anak tertentu juga secara eksplisit disebutkan tidak dapat diterima di sekolah.
Mereka adalah yang tidak dapat mengikuti pengajaran karena gangguan mental atau fisik,
mereka yang mengidap penyakit menular, serta mereka yang berperilaku buruk sekali sehingga
dapat berpengaruh buruk atau mencelakai siswa lain. Konsekuensi negatif dari undang-undang
tersebut adalah bahwa sekolah tidak dapat berkembang lebih lanjut untuk mampu melayani
kebutuhan individu yang berbeda-beda. Sejak itu, sekolah dasar tidak lagi dimaksudkan untuk
melayani “semua dan setiap orang”, tetapi hanya melayani mereka yang dapat memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh sekolah.
Sejarah pendidikan bagi penyandang cacat di EropaMengenai pendidikan bagi orang dengan berbagai jenis kecacatan, gambaran umum sejarah
menunjukkan adanya perkembangan dari upaya-upaya pendidikan yang sporadis, ke keingintahuan
filosofis, hingga didirikannya sekolah-sekolah khusus serta lembaga khusus lainnya. Dari
sejarah, kita dapat melihat kilasan-kilasan tentang berbagai kondisi para penyandang cacat
mulai dari zaman Mesir Kuno, Yunani kuno, Injil dan Qur’an, dan sejumlah teks abad ke-18.
Serpihan-serpihan dokumentasi itu memberi kesan tentang adanya sikap yang mendua, antara
perawatan, kasih sayang dan minat pada satu pihak, dan, di pihak lain, kurangnya tanggung
jawab, eksklusi dan kecenderungan yang meningkat untuk mengelompokkan orang berdasarkan
jenis kecacatannya. Tidak mengherankan bahwa dokumentasi tentang upaya-upaya pendidikan itu
hanya merupakan sebagian kecil dari informasi yang ada mengenai orang-orang yang menyandang
kecacatan, mengingat bahwa pendidikan formal merupakan hak istimewa bagi sebagian kecil
orang pada awal sejarah.
Model huruf ukiran untuk orang tunanetra ditemukan pada zaman Mesir kuno, dan juga pada
zaman Renaissance di Eropa ketika Erasmus dari Rotterdam (1469- 1536) juga menggunakan
alfabet ukiran dalam pelatihan keterampilan menulis bagi siswa-siswa yang awas. Informasi
lain mengatakan bahwa sejak abad kelima telah ada berbagai kelompok orang tunanetra yang
dapat mencukupi dirinya sendiri dan yang mengatur pelatihan pekerjaan internal. Satu contoh
tentang mengajarkan membaca bibir kepada orang tunarungu ditemukan di Keuskupan York pada
abad kedelapan. Namun, menurut Enerstvedt (1996), pengetahuan mengenai cara mendidik orang
yang tunarungu berat mulai disebarkan dari apa yang disebut “revolusi Spanyol yang tidak
begitu terkenal” ke berbagai bagian benua Eropa lainnya dan kepulauan Inggris pada akhir
abad ke-16.
Bagaimana orang dapat belajar jika satu indera tidak berfungsi? Girolam Cardano (1501- 1576)
memperkenalkan pendapat bahwa indera-indera itu saling menggantikan, sehingga bila indera
penglihatan atau pendengaran hilang, indera lain akan berfungsi sebagai dasar bagi aktivitas
kognitif dan belajar (Befring 1994; Enerstvedt 1886). Ketika filosof empiris Inggris John
Locke (1632-1704), memfokuskan kembali tentang pentingnya fungsi indera-indera untuk belajar
dan pemahaman, pandangannya menjadi titik awal bagi rasa ingin tahu filosofi baru dan
sedikit demi sedikit juga minat pendidikan. Metode pengajaran bagi orang yang menyandang
ketunarunguan dan ketunanetraan berat muncul dalam agenda resmi. Paris menjadi tuan rumah
yang baik bagi perkembangan berbagai pendekatan khusus, dan minat orang meluas untuk juga
mencakup perlakuan bagi penyakit jiwa dan gangguan perkembangan yang parah. Dari Paris
gagasan tentang pendidikan khusus menyebar ke seluruh Eropa dan benua lain.
Charles-Michel de l’Epée (1712-1789) mendirikan sekolah khusus pertama bagi tunarungu di
Paris pada tahun 1770. Dia mendasari pengajarannya pada metode holistik dengan penggunaan
bahasa isyarat sebagai komponen sentral. Upaya ini dilanjutkan oleh sejumlah sekolah lain di
seluruh Eropa dengan menggunakan berbagai metode pengajaran lain. Ketidaksepakatan mengenai
metodologi menjadi ciri yang kekal sejak awal hingga zaman kita sekarang ini. Di Jerman
Samuel Heinicke (1727-1790) dan penerusnya, Friedrich Hill (1805-1874) mendapatkan
inspirasinya dari ahli pendidikan tua Comenius dan Pestalozzi, ketika mereka mengembangkan
yang disebut sebagai “metode oral”. Metode tersebut berpengaruh besar pada awal perkembangan
pendidikan bagi tunarungu di Norwegia, bersaing dengan sekolah khusus pertama bagi orang
tunarungu di mana bahasa isyarat merupakan pendekatan komunikasi yang utama. Denmark adalah
negara Nordik pertama dengan sekolah khusus bagi tunarungu, yang pertama didirikan di kota
Libeck, yang ketika itu bagian dari Denmark. Di Kopenhagen, anak seorang pastor dari
Norwegia, Peter A. Castberg (1779-1823) mendirikan Lembaga Kerajaan bagi orang tuli-bisu
pada tahun 1807. Dia juga adalah kekuatan penggerak yang berada di balik Undang-undang
Pendidikan bagi Tunarungu Denmark, undang-undang semacam ini yang pertama di dunia. Salah
seorang siswa Castberg, Andreas C. Møller (1796-1874) yang dia sendiri juga tunarungu,
mendirikan sekolah pertama semacam ini di Norwegia pada tahun 1825, diikuti oleh beberapa
sekolah lain pada tahun 1850-an.
Valentin Haüy (1745-1822) mendirikan sekolah khusus pertama bagi tunanetra di Paris pada
tahun 1784, dengan bantuan keuangan dari masyarakat philanthropic yang baru didirikan.
Beberapa sekolah seperti ini dibuka di sejumlah negara Eropa lainnya. Swedia adalah salah
satu negara Nordik pertama, ketika Pär Aron Berg (1776-1839) membuka sebuah sekolah bagi
siswa yang tunanetra dan tunarungu pada tahun 1809. Di Norwegia, lembaga pertama bagi orang
tunanetra dibuka pada tahun 1861.
Di Paris, lebih dari sekedar ketunarunguan dan ketunanetraan yang telah menarik perhatian
dokter, pendeta dan pendidik. Ibu kota Perancis merupakan pusat aktivitas perintis yang
menangani berbagai jenis kecacatan dan kebutuhan khusus, yang saling mengkontribusikan
gagasan. Pada masa itu orang yang dianggap gila dikurung di tempat yang disebut sebagai
rumah sakit bersama dengan kriminal, gelandangan dan tahanan politik. Philippe Pinel
(1745-1826) membebaskan mereka dan dia mulai memberikan perlakuan, bukan sekedar
memenjarakannya. Sejak saat itu, menjadi hal yang sangat penting untuk mendiagnosis dan
mengkategorikan berbagai kondisi, seperti perbedaan antara penyakit jiwa dan kelainan
perkembangan atau ketunagrahitaan berat. Seorang murid Pinel, Jean Etienne Esquirol
(1782-1840) membuka perdebatan yang kini masih berlangsung hangat mengenai “nature” versus
“nurture”. Pertanyaan yang esensial adalah apakah penyebab kelainan perkembangan tertentu
adalah herediter/bawaan atau lingkungan/dapatan – suatu perdebatan yang kini telah menjadi
penting lagi setelah dihasilkan temuan-temuan baru dalam studi tentang genetika.
Murid Pinel yang lain, Jean M. G. Itard (1774-1838) melakukan sebuah upaya yang menjadi
simbol bagi titik awal pendidikan bagi anak tunagrahita, ketika dia menyelenggarakan program
pendidikan bagi “anak liar dari Aeyron”. Dia menangani seorang anak laki-laki yang tampaknya
telah hidup di hutan tanpa kontak dengan manusia bertahun-tahun. Ada yang mengatakan
serigala yang memeliharanya. Itard mempraktekan eksperimen pendidikannya selama lima tahun
dan menulis laporan rinci, mendokumentasikan bahwa anak tersebut belajar beberapa hal.
Namun, karena anak tersebut tidak berhasil belajar berbicara, dia menganggap intervensinya
gagal.
Ketika Edward Seguin (1812-1880) beberapa tahun kemudian mulai mengajar seorang anak
laki-laki yang tunagrahita dengan bantuan dari Itard dan Esquirol, Seguin menjadi pendiri
sebuah sekolah khusus bagi anak tunagrahita. Dia tidak hanya mencari inspirasi dari
pergerakan pendidikan khusus sebelumnya di Paris, tetapi juga dari pemikiran-pemikiran
pendidikan umum Comenius, Locke dan Rousseau, juga dari filsafat dan agama Kristen.
Dengannya dimulailah era eksperimen pendidikan yang optimistik dalam bidang ketunagrahitaan,
yang tersebar luas ke beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, karena Seguin mengembangkan
karyanya lebih lanjut di “Dunia Baru” di seberang lautan Atlantik (Askildt & Johnsen 2001).
Optimisme ini juga mencapai negara-negara Nordik sebagaimana tergambar dalam judul buku yang
ditulis oleh seorang dokter dari Denmark, Jens R. Hübertz (1794-1855), Weakmindedness or
Idiocy and Its Curability6. Judul tersebut menggambarkan bahwa optimisme tidak hanya
terbatas pada pendidikan. Judul ini juga menyiratkan adanya harapan untuk menyembuhkan
ketunagrahitaan. Hübertz mendirikan sebuah lembaga bagi orang tunagrahita, “Gamle Bakkehus”
(Rumah Bukit Tua) pada tahun 1855, di mana sejumlah kecil orang dari negara-negara Nordik
ditempatkan bersama mayoritas terbesar warga Denmark (Nørr 2001).
Di Norwegia inisiatif pendidikan resmi yang pertama dalam bidang ini adalah dibukanya sebuah
sekolah siang pada tahun 1874, diikuti oleh pendirian sebuah sekolah khusus bagi anak
tunagrahita. Salah seorang perintis di sini adalah Johan A. Lippestad (1844-1913). Segera
menjadi jelas bahwa tidak semua anak yang masuk sekolah ini dapat belajar mengikuti silabus
yang ditetapkan sebelumnya, akibat tingkat kemampuan intelektual mereka (dan tentu saja juga
akibat tingkat kognitif yang dituntut oleh silabusnya). Akibatnya, saudara perempuan
Lippestad, Emma Hjorth (1858-1821) membeli sebidang tanah di luar ibu kota dan mendirikan
sebuah lembaga bagi orang tunagrahita berat, yang kemudian dia serahkan kepada kementrian
pendidikan (tutvedt 2001). Beberapa tahun setelah pendirian sekolah khusus pertama bagi
siswa tunagrahita, Norwegia menetapkan undang-undang Pendidikan Khusus pertama, tahun 1881.
Ini adalah undang-undang yang berkaitan dengan sekolah khusus bagi anak-anak tunanetra,
tunarungu atau tunagrahita.
Namun, meskipun ada undang-undang ini, mayoritas anak tunagrahita masih tidak mempunyai
sekolah selama bertahun-tahun kemudian, walaupun situasinya lebih baik bagi anak-anak yang
tunarungu dan tunanetra.
Dapatkah dididik?Sebagaimana telah dikemukakan di atas, gelombang pertama minat terhadap pendidikan khusus
yang melanda Eropa itu penuh dengan optimisme, sebuah optimisme yang tercermin dalam
undang-undang pertama di Norwegia tentang sekolah khusus. Namun, pada saat yang hampir
bersamaan dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, sebuah sikap baru dan yang lebih
pesimistik muncul dalam perdebatan di Eropa. Sebuah hambatan dibangun di tengah-tengah
kelompok anak berkebutuhan khusus dengan mengajukan pertanyaan: siapa yang dapat dididik,
dan siapa yang tidak dapat? Sekolah khusus dikembangkan bagi anak-anak yang disebut sebagai
anak-anak yang mampu didik sedangkan mereka yang pada waktu itu dianggap tidak mampu didik
ditempatkan di lembaga kesehatan dan sosial atau dilupakan.
Bersama dengan konsep “tidak mampu didik”, sejumlah kata lain menjadi bagian dari kosakata
pendidikan luar biasa, seperti degenerasi, higiene ras, egenetika, segregasi dan
sterilisasi. Pandangan filosofi yang muncul mendefinisikan degenerasi sebagai lawan dari
kemajuan. Individu, keluarga dan bahkan kelompok etnis diberi label “mengalami degenerasi”
dan oleh karenanya berbahaya bagi kemajuan masyarakat modern yang sedang berlangsung. Yang
disebut sebagai sifat-sifat herediter yang negatif dianggap destruktif bagi peradaban. Bagi
mereka yang mengikuti pandangan ini, menjadi penting bagi mereka untuk memisahkan dan bahkan
mengucilkan para penyandang cacat dari masyarakat umum, dan mencegah “perluasannya” dengan
sterilisasi. Gagasan ideal tentang masyarakat yang sehat menyisakan sedikit saja tempat bagi
orang penyandang cacat dan bahkan tidak ada tempat sama sekali bagi mereka yang tunagrahita
berat atau sakit mental. Mentalitas ini meminjam ide dari berbagai sumber. Bapak pergerakan
egenetika, Francis Galton (1822-1911) dipengaruhi oleh teori evolusi yang diciptakan oleh
sepupunya, Charles Darwin (1809-1882), yang mendapat inspirasi dari Jean-Baptiste Lamarck
(1744-1829), pemberi nama biologi. Lamarck sendiri beragumen bahwa sifat kepribadian dapatan
dapat menjadi herediter. Ini berarti bahwa seorang anak pencuri akan mewarisi sifat
mencurinya dari bapaknya. Hal ini serta sejumlah pendapat dan argumen lainnya yang cenderung
kontradiktif telah mengakibatkan timbulnya rasa takut akan terjadinya kemunduran peradaban
sebagai akibat dari degenerasi. Para ahli dalam beberapa disiplin ilmu menjadi perwakilan
popular dari pandangan ini, seperti dokter fisika Benedict A Morel (1809-1873) dari
Perancis, Alfred Ploetz (1860- 1940) dari Jerman, dan Cesare Lombroso (1835-1909) dari
Austria. Yang sudah disebutkan sebelumnya, Galton, adalah ahli statistika dan antropolog
dari Inggris, dan psikolog dari Amerika serikat Henry H. Goddard (1866-1957), adalah
spesialis dalam kategorisasi rinci tentang berbagai tingkatan ketunagrahitaan.
Tulisan-tulisan para ahli ini dibaca dan dibahas juga di negara-negara Nordik, dan mereka
mempunyai banyak pengikut. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa pendidikan menjadi kurang
terfokus, dan kalaupun terfokus, itu adalah beberapa lembaga yang telah didirikan sebelumnya
dengan tujuan mendidik dan menyembuhkan. Konsekuensi lainnya adalah bahwa jumlah institusi
bertambah dan diberi tanggung jawab baru. Beberapa lembaga baru itu dibangun di pulau-pulau,
untuk mencegah kontak antara orang-orang di lembaga tersebut dengan masyarakat lain, dan
untuk melindungi “masyarakat biasa” dari mereka yang dianggap mengalami degenerasi.
Sebagaimana telah disebutkan di muka, upaya ini difokuskan pada orang-orang yang sakit
mental dan tunagrahita, dan juga orang-orang yang melanggar hukum atau dianggap tidak
bermoral. Namun, adanya institusi-institusi besar tidak biasa di Norwegia ataupun di pulau
tetangga, Islandia, tidak seperti di negara-negara Nordik lainnya. Penyebabnya adalah bahwa
kedua negara yang jarang penduduknya ini, Norwegia dan Islandia, membangun kesejahteraan
sosialnya berdasarkan tradisi lama yaitu secara desentralisasi, sedangkan negara-negara
tetangga lain mengikuti tren Eropa. Sikap pesimistik terhadap kemungkinan belajar serta rasa
takut akan degenerasi itu dimanifestasikan dalam Undang-undang dan sejumlah buku putih serta
dalam berbagai perdebatan resmi, dan tercermin dalam praktek sehari-hari di Norwegia. Salah
satu konsekuensinya adalah bahwa masalah ketunagrahitaan yang parah dikeluarkan dari
tanggung jawab kementrian pendidikan. Anak-anak dengan kecacatan tersebut kini dianggap
tidak dapat dididik. Pemisahan dari pendidikan itu menjadi total selama beberapa dekade, dan
menurut sikap yang pesimistik, mereka tidak dianggap sebagai bagian dari perhatian
pendidikan khusus7 Becker 1995; Johnsen 2000; Kirkbæk 1992; Mandrup Rønn 1996).
Gerakan “penyelamatan anak”Walaupun pergerakan egenetika mempunyai posisi kuat, terdapat juga orang lain yang mempunyai
sikap yang lebih sayang terhadap anak-anak dan remaja yang dengan berbagai alasan tidak ikut
dalam institusi masyarakat biasa, yang bersaing untuk diperhatikan dalam debat resmi. Salah
satu pertanyaan klasik dalam perdebatan itu adalah apakah yang harus dilakukan terhadap
mereka yang tidak bersekolah? Ini merupakan sebuah pertanyaan serius di Norwegia dan Denmark
di mana sekolah dasar telah diwajibkan sejak tahun 1739 dan di mana undang-undang menuntut
hukuman bagi orang tua dan juga remaja yang melanggar hukum.
Terdapat banyak alasan mengapa ada anak yang tidak bersekolah. Alasan yang umum adalah
resistensi orang tua terhadap institusi baru yang didirikan oleh Raja. Tetapi ada alasan
lain. Mungkin keluarganya sangat miskin sehingga anak tidak mempunyai pakaian yang pantas
atau mungkin mereka bekerja di luar keluarga atau menjaga adik di rumah, atau mungkin mereka
ditahan di rumah karena keluarganya tidak percaya bahwa anaknya dapat belajar hal-hal yang
dituntut oleh sekolah.
Pada tahun 1850-an dukungan bagi anak dan remaja yang tidak bersekolah atau menganggur, dan
bagi mereka yang telah melanggar hukum dengan cara lain, dibahas dari sudut pandang yang
berbeda. Terhadap anak muda pelanggar hukum, sikap yuridis yang ketat mendapatkan dukungan
resmi. Akibatnya, anak hingga usia sepuluh tahun dapat di kirim ke penjara. Akan tetapi,
ketetapan lama tentang bolos sekolah tidak dikeluarkan dari Undang-Undang Pendidikan baru
tahun 1848 dan 1860. Namun, tidak satupun dari Undang-Undang ini dikeluarkan tanpa diskusi
yang hangat. Juru bicara pendidikan berargumen bahwa belajar adalah tindakan sukarela dan
oleh karenanya tidak dapat dipaksakan. Sejumlah upaya dilakukan dengan inspirasi dari
pergerakan philantropis di Inggris dan benua Eropa.
Pergerakan penyelamatan anak ini mempunyai pendukung di kepulauan Britania. Ini tidak aneh,
mengingat bahwa Revolusi Industri dimulai di Inggris dan anak-anak telah lama dimanfaatkan
dan disalahgunakan sebagai tenaga kerja. Di kalangan para penguasa, pada awalnya sikapnya
positif terhadap meluasnya penyalahgunaan sejumlah besar anak dari keluarga miskin itu.
Bahkan filosof John Locke merekomendasikan bahwa anak-anak dari keluarga miskin sebaiknya
mulai masuk ke sekolah industri pada usia tiga tahun dalam kombinasi antara berlatih dan
bekerja dalam industri yang sedang tumbuh itu (Cunninghan 1995). Akan tetapi, di samping
itu, dia juga adalah salah seorang pemrakarsa dalam lingkaran orang-orang kaya yang
mengemukakan bahwa anak dan masa kanak-kanak merupakan satu bagian yang khusus dari masa
kehidupan dengan kualitasnya sendiri. Padahal, Locke dan kemudian Rousseau memulai sebuah
gelombang minat dalam menciptakan kondisi perkembangan yang positif bagi anak. Kesenjangan
antara sejumlah besar anak yang dieksploitasi dan anak-anak dari keluarga kaya yang
memperoleh keistimewaan itu menjadi sangat tidak menyenangkan. Novel Charles Dickens dari
pertengahan abad ke-19, seperti David Copperfield, memberikan kontribusi yang penting yang
difokuskan pada perbedaan nasib pada anak-anak (Simonsen 1999). Pada awal abad ke-19
didirikanlah apa yang disebut masyarakat filantropik oleh kalangan borjuis, yang memfokuskan
perhatiannya pada peningkatan kondisi anak-anak miskin – dan juga peningkatan apa yang
dipandang sebagai standar moral yang rendah pada anak-anak ini. Tujuannya adalah untuk
mendidik mereka menjadi warga negara yang memiliki sikap yang sama dengan golongan yang
berkuasa. Upaya ini didasari oleh keyakinan bahwa setiap orang dapat menjadi kaya jika
mereka bekerja keras dan hidup menurut standar moral yang tinggi.
Ketertarikan para dermawan pada anak dari kelas bawah ini menyebar ke negara-negara Eropa
lainnya dan cenderung disesuaikan dengan kondisi sosial budaya tertentu dalam masyarakat
yang bersangkutan. Ini mengarah pada pendirian sekolah dasar di beberapa negara, baik atas
nama negara seperti di Norwegia dan Denmark seabad sebelumnya, maupun disponsori oleh
berbagai organisasi amal. Gelombang penyelamatan anak juga sampai ke Norwegia. Masyarakat
filantropik didirikan, artikel-artikel mengenai masalah ini diterjemahkan dan diterbitkan
pada jurnal-jurnal baru, ide-ide dibahas dan diimplementasikan. Pada saat yang hampir
bersamaan dengan ditetapkannya undang-undang kriminal yang ketat, “institusi penyelamatan
anak” pertama pun mendapatkan titik terang. Tujuannya adalah untuk “menyelamatkan anak-anak
yang secara moral terabaikan, menyelamatkan jiwa anak dan untuk mengurangi hukum gantung dan
penjara semaksimal mungkin” (Johannes falk, dikutip dalam Johnsen 1998/2000:446/314).
“Waisenhouses”, yaitu taman kanak-kanak pada tradisi lama seperti pada masa Francke di
Halle, juga didirikan untuk memberi anak-anak itu pengasuhan dan pendidikan dengan
“nilai-nilai moral yang sehat” sementara ibunya bekerja di pabrik. Perawatan filantropik ini
tampaknya berpedoman pada kombinasi antara amal Kristen dan standar moral kaum borjuis.
Namun, ini tidak mengarah pada didirikannya insitusi di mana-mana. Di Bergen, kota utama di
pesisir barat Norwegia, “masyarakat untuk penyelamatan anak dan remaja yang kurang bermoral”
lebih memilih untuk mengirim anak-anak pelanggar hukum ini ke keluarga “baik-baik” di
komunitas tetangga. Di sana mereka diharapkan mendapatkan pelatihan dan pendidikan yang
sehat dan baru untuk pekerjaan yang bermanfaat. Model ini sejalan dengan tradisi Norwegia
dalam menemukan solusi yang terdesentralisasi sebagaimana disebutkan di muka.
Sekolah khusus dan kelas khususJumlah sekolah khusus meningkat di Eropa selama abad ke-19 dan 20. Dan peningkatan terjadi
pula pada jumlah kebutuhan khusus yang teridentifikasi dan dikategorikan, yang selanjutnya
mengarah pada pendirian sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga yang lebih terspesialisasi
berdasarkan jenis kecacatan dan kesulitan yang dihadapi anak. Sebagian dari sekolah-sekolah
ini swasta dan yang lainnya sekolah negeri.
Norwegia mengikuti tren yang sama dengan negara Eropa lainnya. Karena anak-anak dengan
ketunagrahitaan berat dan parah dikeluarkan dari sistem persekolahan di Eropa, maka tanggung
jawab untuk pelayanan mereka juga dikeluarkan dari hukum pendidikan Norwegia dan dipindahkan
ke departemen kesehatan. Dalam Undang-Undang Norwegia yang ketiga dan terakhir tentang
sekolah khusus (1951), kelompok-kelompok berikut ini disebutkan: anak dan remaja yang
tunarungu atau berkesulitan mendengar, mereka yang tunanetra atau yang kurang awas, mereka
yang lambat belajar, mereka yang berkesulitan berbicara, membaca atau menulis, dan mereka
yang mengalami gangguan perilaku.
Dukungan pengajaran ekstra bagi siswa yang ketinggalan oleh sebagian besar anggota kelasnya
sudah dibahas sejak tahun 1850-an di ibu kota Norwegia. Variasi tingkatan pengetahuan dan
keterampilan siswa-siswa itu sangat besar sehingga kepala sekolah mengeluh tentang banyaknya
penggunaan waktu untuk mengulang materi yang sangat mendasar. Penyebab keadaan tersebut
banyak sekali. Sebagaimana disebutkan di muka, frekuensi membolos di kalangan anak-anak itu
tinggi karena keluarga membutuhkan anaknya di rumah atau untuk bekerja. Di samping itu, ada
anak yang tidak bersekolah karena tertular penyakit epidemik, yang sebagian disebabkan oleh
kekurangan gizi dan buruknya kondisi kebersihan. Selain dari itu, sebagian siswa adalah anak
yang lambat belajar atau mengalami kesulitan belajar lainnya. Tidak ada tindakan permanen
yang dilakukan pada saat itu mengenai pengaturan pengajaran khusus, tetapi perdebatan
mengenai hal itu telah dimulai.
Satu dekade kemudian, pada tahun 1860, kelas khusus pertama didirikan di Drammen, sebuah
kota dekat ibu kota. Kelas baru tersebut dimaksudkan bagi anak-anak yang “terabaikan dan
yang dapat terabaikan”, sebagaimana diistilahkan pada saat itu. Kelas khusus ini menandai
titik awal pengorganisasian kelas remedial di Norwegia dan Eropa. Akan tetapi, tidak sampai
satu abad kemudian, tahun 1955, pengajaran remedial dilembagakan dan dijamin secara
finansial oleh undang-undang pendidikan dasar Norwegia (Johnsen 2000).
Perubahan ideologiBahkan selama “periode Egenetika” pada awal abad ke-20 ide-ide baru mengenai pendidikan
anak-anak dengan berbagai kebutuhan khusus telah muncul dan diperdebatkan. Heinrich
Hanselmann (1882-1960) dari Swiss adalah seorang pelopor dalam pendirian pendidikan
kebutuhan khusus sebagai satu disiplin ilmu yang mandiri dengan pendidikan profesionalnya
sendiri. Pendidikan kebutuhan khusus digambarkan sebagai sebuah disiplin ilmu yang terkait
dengan pendidikan umum, filsafat, sosiologi, psikologi, dan kedokteran. Seperti tokoh-tokoh
lain pada zamannya, Hanselmann juga membagi anak-anak tunagrahita ke dalam dua kelompok. Dia
merekomendasikan pendidikan khusus bagi mereka yang dipandangnya sebagai mampu didik,
sedangkan mereka yang dipandang tidak mampu didik dirujuk ke lembaga-lembaga tertentu untuk
mendapat perawatan dan pengasuhan. Buku-buku tulisan Hanselmann dibaca secara luas oleh para
pendidik khusus di negara-negara Nordik, dan buku-buku tersebut berpengaruh besar pada
perkembangan disiplin ilmu tersebut di Norwegia.
Cendekiawan lainnya, yang baru dikenal di dunia barat pada tahun-tahun kemudian adalah Lev
Vygotsky (1896- 1934) dari Rusia. Kritiknya mengenai asesmen psikometrik terhadap anak-anak
serta fokusnya pada zona perkembangan proximal bagi tiap individu anak telah memberikan
inspirasi bagi banyak proyek inovasi praktis terhadap kelas-kelas sekarang ini. Sejak
zamannya, ide-idenya berpengaruh penting pada pendidikan kebutuhan khusus di Soviet dan
Eropa Timur, walaupun ide-ide tersebut tidak disukai oleh pihak elit yang berkuasa di Soviet
bertahun-tahun lamanya. Sekarang, setelah runtuhnya “tirani besi”, kondisinya mendukung bagi
studi banding dan dialog antara para interpreter barat dan timur serta para pelaksana
ide-ide Vygotsky tersebut (askildt & Johnsen 2001; Johnsen 2000).
Pada tahun 1970, sebuah komisi dari Departemen Pendidikan, Penelitian dan Gereja (KUF 1970)
menerbitkan sebuah laporan yang menjadi titik balik dalam wacana tentang pendidikan umum
maupun pendidikan kebutuhan khusus di Norwegia. Dokumen tersebut terkenal sebagai Blom
Report; namanya diambil dari nama ketuanya komisi tersebut, Knut Blom. Dalam laporan ini
prinsip integrasi diperkenalkan secara eksplisit dan didefinisikan secara jelas. Kriteria
integrasi adalah sbb:
a) Rasa memiliki /dimiliki dalam masyarakat sosialb) Partisipasi demi kepentingan masyarakat c) Tanggung jawab bersama atas tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban.
Satu konsekuensi dari laporan tersebut adalah bahwa undang-undang sekolah khusus yang
segregatif dihapus, dan masalah pendidikan siswa yang berkebutuhan khusus diintegrasikan ke
dalam perundang-undangan pendidikan reguler. Sejak itu tujuan umumnya adalah satu sekolah
untuk semua, dan bahwa semua siswa harus mulai pendidikan dasar mereka di sekolah setempat
di lingkungannya sendiri. Ini menuntut perubahan yang besar dalam aktivitas di dalam kelas
dan sekolah. Sejalan dengan Laporan Blom itu, sebuah kurikulum nasional baru, yang sangat
berbeda dengan kurikulum sebelumnya, dikembangkan. Sementara kurikulum lama lebih menyerupai
silabus yang terdiri dari berbagai keterampilan dan pengetahuan wajib yang konkrit,
kurikulum baru lebih terbuka dan fleksibel, memberikan kebebasan yang luas kepada guru
profesional dalam hal pemilihan materi dan metodenya. Dengan kurikulum nasional yang
memiliki kerangka kerja yang luas tersebut, kurikulum dapat diadaptasikan dengan kebutuhan
khusus siswa, dan kurikulum kelas dapat dibuat dengan cukup luas untuk melibatkan semua
siswa dalam aktivitas pendidikannya.
Sekolah untuk semua menjadi konsep kunci dalam wacana pendidikan kebutuhan khusus di
Norwegia dan negara-negara Nordik lainnya. Organisasi-organisasi non pemerintah, seperti
asosiasi untuk tunagrahita, menyelenggarakan bebagai lokakarya tentang cara mengembangkan
sekolah untuk semua, baik pada tingkat lokal, nasional maupun Nordik. Kelompok target untuk
infomasi dan argumentasi mereka adalah para politisi dan pejabat lainnya, orang tua serta
guru dan pendidik khusus di sekolah reguler maupun sekolah khusus. Sejumlah besar guru
reguler meningkatkan kemampuannya sendiri melalui perguruan tinggi di bidang pendidikan
kebutuhan khusus agar dapat lebih baik menerima siswa dengan berbagai kebutuhan di kelasnya.
Walaupun prinsip-prinsip integrasi dan satu sekolah untuk semua diakui secara meluas, tetapi
terdapat juga resistensi. Di antara yang skeptis adalah para profesional yang bekerja di
sekolah khusus dan institusi lain sejenisnya. Tidak semua orang tua yakin bahwa ini adalah
cara yang benar untuk memberikan layanan bagi anaknya yang menyandang kecacatan, dan mereka
mulai mendirikan asosiasinya sendiri.
Laporan Blom menandai titik balik resmi yang eksplisit mengenai hak pendidikan bagi anak dan
remaja penyandang cacat di Norwegia. Sejak itu perkembangannya adalah meninggalkan segregasi
dan bergerak menuju integrasi dan inklusi. Sekolah dasar reguler serta sekolah lanjutan
tingkat pertama dan tingkat atas terbuka bagi semua anak dan remaja, termasuk mereka yang
sebelumnya berada disekolah segregasi atau dikecualikan dari layanan pendidikan karena
gangguan perkembangan yang parah. Sejumlah upaya telah dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan sekolah dalam memberikan pendidikan yang berkualitas dengan mempertimbangkan
kebutuhan individu dan kebutuhan khusus. Pusat-pusat layanan pendidikan dan psikologis lokal
membantu sekolah-sekolah dalam melakukan asesmen dan merencanakan pendidikan kebutuhan
khusus berdasarkan manajemen kelas. Sebuah sistem pendukung pendidikan kebutuhan khusus
nasional, yang terdiri dari unit-unit yang berlokasi di berbagai bagian negeri, mengumpulkan
dan mengembangkan pengetahuan baru dalam bidang-bidang yang spesifik dalam area spesifik
pendidikan kebutuhan khusus. Penelitian dan pendidikan tinggi di bidang tersebut ditawarkan
di beberapa lembaga pendidikan keguruan, dan jurusan Pendidikan Kebutuhan Khusus di
Universitas Oslo menawarkan pendidikan pada semua jenjang, termasuk program Doktoral.
Perubahan ideologi ini berkembang sebagai satu fenomena umum yang terkait dengan sistem
kesejahteraan sosial-demokratik di negara-negara Nordik yang telah berkembang selama abad
ke-20. Kontribusi Norwegia adalah integrasi dalam pendidikan seperti dijelaskan di atas.
Namun, beberapa tahun sebelumnya Denmark dan Swedia membuka wacana tersebut. Integrasi dan
normalisasi merupakan konsep kunci pada tahap awal ini. Implementasi pertama prinsip
normalisasi itu diprakarsai di Denmark oleh Niels Bank-Mikkelsen pada tahun 1959,
bekerjasama dengan para orang tua anak yang tunagrahita. Pada saat memegang posisi pimpinan
di Departemen Sosial, Bank-Mikkelsen mendengarkan suara-suara orang tua yang tidak ingin
menyerahkan anaknya yang menyandang kecacatan itu di institusi. Tetapi mereka meminta
disediakan layanan lokal agar dapat mendidik anaknya di rumah dengan bantuan profesional
untuk memberikan habilitasi, pembelajaran dan perkembangan. Bengt Nirje dari Swedia
memberikan penjelasan yang sistematik tentang konsepnormalisasi ini.
“Normalisasi berarti berbagi ritme hari yang normal, dengan privasi, berbagai aktivitas, dan tanggung jawab bersama; ritme mingguan yang normal, dengan rumah sebagai tempat tinggal, sekolah atau tempat kerja, dan waktu luang dengan interaksi sosial; ritme tahunan, dengan mode dan cara hidup yang terus berubah, dan kebiasaan keluarga dan masyarakat yang berubah-ubah seiring dengan pergantian musim sepanjang tahun” (Nirje in Flynn & Nitsch 1980:32-33).
Kutipan di atas adalah bagian awal dari penjelasannya yang rinci tentang konsep normalisasi.
Ide pertama ini menyebar ke seluruh dunia barat. Di Amerika Serikat, Wolf Wolfensberger
mengadaptasikan konsep normalisasi ini ke masyarakat Amerika. Universitas Syracuse, di mana
Wolfensberger bekerja, menjadi sebuah inkubator bagi para cendekiawan yang berargumen dan
melakukan penelitian di bidang normalisasi dan kebutuhan khusus.
Tahun 1960-an, 70-an dan 80-an ditandai dengan meningkatnya keinginan orang untuk mendukung
budaya masyarakat sejahtera yang tersembunyi, kecil, lemah atau berkekurangan yang
terpencar-pencar. Pada saat yang bersamaan, wacana resmi dunia barat meledak dalam fokus
baru yang kuat pada hak-hak azasi manusia dan demokrasi di luar evolusi materialistik pada
beberapa dekade pertama paska perang dunia pertama. Konsep demokrasi menjadi berarti lebih
dari sekedar parlementarianisme dan politik kepartaian. Titik tolak konkret dari gelombang
perubahan mentalitas ini adalah yang disebut “Prague Spring” (musim semi Praha) pada tahun
1968, dan demonstrasi gabungan antara kaum buruh dan mahasiswa di Universitas Sorbonne di
Paris pada tahun yang sama. Para juru bicaranya, yang disebut “sixty-eighters”, mendapatkan
ide-idenya dari berbagai tradisi di berbagai bagian dunia. Akan tetapi, merupakan pertanyaan
yang terbuka, bukankah pejuang hak azasi manusia di Amerika Serikat, yang dipimpin oleh
Pendeta Martin Luther King, yang menyiapkan ladangnya. Melalui perlawanan untuk mendapatkan
kesamaan hak mereka sebagai warga masyarakat Amerika, orang-orang Afro-Amerika memasukkan
integrasi ke dalam agenda perjuangannya. Integrasi dan kesamaan hak azasi manusia menjadi
isu utama dalam perjuangan kelompok-kelompok minoritas lainnya, dalam pergerakan kebebasan
wanita – dan dalam perdebatan mengenai hak-hak penyandang cacat yang mulai berkembang
(Johnsen 2000).
Jadi, perubahan ideologi dalam wacana tentang pendidikan kebutuhan khusus merupakan bagian
dari wacana tentang hak azasi manusia serta wacana tentang integrasi yang lebih luas, dan
mempunyai ciri-ciri yang sama. Ini merupakan pergerakan yang dimulai dari “tingkat
masyarakat” hingga didirikannya asosiasi orang tua dan pengguna8 serta kolaborasinya dengan
para profesional di lapangan. Kelompok target utama bagi kampanye informasi mereka adalah
para politisi. Hak-hak harus dijamin melalui undang-undang. Wacana tentang hak-hak azasi
para penyandang cacat dan mereka yang berkebutuhan pendidikan khusus mencapai PBB beserta
organisasi-organisasinya. Hak semua anak atas pendidikan, termasuk hak mereka yang
berkebutuhan khusus, kini menjadi fokus dalam sejumlah deklarasi, seperti deklarasi PBB
tentang Hak Azasi Manusia tahun 1948, Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, pernyataan
Konferensi Dunia di Jomtien, Thailand, tahun 1990, di mana Pendidikan untuk Semua
disepakati, Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan bagi para penyandang Cacat yang
diterbitkan tahun 1994, dan akhirnya Pernyataan Salamanca UNESCO tentang Pendidikan
inklusif, yang disepakati di Spanyol tahun 19949.
Pada tahun-tahun setelah konferensi Salamanca, beberapa negara di dunia telah
mengintegrasikan prinsip-prinsip dari penyataan Salamanca tersebut, baik seluruhnya ataupun
sebagian, ke dalam perundang-undangan atau dokumen kebijakan. Sebagaimana ditunjukkan oleh
Mel Ainscow (1997) negara-negara tersebut sangat bervariasi, seperti Austria, Cina, Ghana,
Hongaria dan Uganda. Bagi negara-negara tertentu, prinsip-prinsip pendidikan integrasi dan
inklusi itu diambil dari pernyataan-penyataan internasional dan dimasukkan langsung ke dalam
dokumen kebijakan resmi. Beberapa organisasi non-pemerintah di negara-negara tersebut telah
menyiapkan diskusi mengenai prinsip-prinsip tersebut, sering kali diprakarsai oleh
organisasi terkait dari negara-negara barat. Namun, di beberapa negara pergerakan di tingkat
masyarakat tersebut tidak begitu kuat, walaupun upayanya tulus. Pada fase awal perubahan
idiologi ini, alur informasi dan penetapan keputusan di negara-negara ini pada umumnya
bersifat pergerakan top-down, yang berbeda dari pergerakan bottom-up di negara-negara
Nordik, dari asosiasi orang tua ke politisi. Konteks di mana prinsip-prinsip ini
diperkenalkan juga sangat berbeda dari model kesejahteraan sosial demokratik di
negara-negara Nordik, dan juga sangat beragam dari satu negara ke negara lainnya.
Perbedaannya terkait dengan keadaan ekonomi, tingkat demokratisasi, jumlah dan kualitas
keterlibatan pemerintah dalam upaya kesejahteraan sosial dan layanan pendidikan, sikap
terhadap anak dan terhadap kecacatan, serta sejumlah aspek budaya lainnya. Oleh karena itu,
dalam rangka menuju implementasi praktis dari kebijakan politik, berbagai tantangan baru dan
unik harus dihadapi.
Kemarin dan esok. Menurut sejarah kita dapat melihat bahwa wacana serta praktek pendidikan kebutuhan khusus
berisi ide-ide dan tradisi lama yang bercampur baur dan dimodifikasi dengan aliran pemikiran
baru yang senantiasa diperbaharui. Beberapa di antara ide itu dikembangkan melalui sistem
sekolah reguler. Sebagaimana dibahas pada awal artikel ini, ide-ide mengenai pembedaan
penggunaan materi pembelajaran serta pendidikan yang diadaptasikan secara individual
diujicobakan pada awal wajib belajar pendidikan dasar. Tanda-tanda awal fleksibilitas ini
didasarkan atas pengetahuan bahwa anak-anak berbeda dalam caranya belajar dan bahwa
anak-anak tertentu lebih membutuhkan bantuan daripada anak lain. Ide-ide dan langkah-langkah
yang spesifik juga telah dikembangkan dalam tradisi sekolah khusus. Penggunaan bahasa
isyarat dan membaca bibir bagi orang yang tunarungu, dan alfabet ukiran untuk dibaca dengan
indera perabaan oleh orang tunanetra merupakan contoh klasik yang berakar pada hasil
pemikiran masa lampau.
Namun, telah pula didokumentasikan bahwa sejarah pendidikan reguler maupun pendidikan
kebutuhan khusus bukan alur yang lurus dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik, dari
kegelapan menuju terang dalam pengetahuan dan sikap terhadap orang-orang yang berkebutuhan
khusus. Sebaliknya, penelitian dalam sejarah menunjukkan adanya gabungan antara
bermacam-macam tradisi dan gagasan, sebagian dengan konsekuensi positif bagi para
pewarisnya, sebagian lagi dengan konsekuensi negatif yang ekstrim. Seiring dengan berlalunya
waktu, ide-ide tertentu saling mendukung, yang lainnya saling bertentangan atau saling
mengubah, sehingga ide aslinya tidak dapat dikenali lagi. Ada ide yang menghambat perbaikan
kondisi para penyandang cacat, tetapi ada pula yang mendukung kondisi kehidupan yang lebih
baik dan mendukung belajarnya sebagaimana telah digambarkan dalam artikel ini. Selalu ada
bermacam-macam gagasan dan tradisi yang diperjuangkan untuk memperoleh posisi istimewa di
dalam wacana tersebut. Inilah yang juga terjadi sekarang dan hampir pasti akan pula terjadi
di masa datang. Maka dari itu, kita harus mempertahankan, mengembangkan dan mengadaptasikan
ide-ide yang baik untuk mengubah kondisi sekolah dan kondisi masyarakat secara keseluruhan.Saya berani mengatakan bahwa kondisi pendidikan maupun kondisi sosial bagi anak-anak dan
remaja yang menyandang kecacatan dan yang berkebutuhan pendidikan khusus telah mengalami
perubahan radikal menuju peningkatan kualitas selama beberapa dekade terakhir ini.
Setidaknya inilah yang terjadi di sejumlah negara yang lebih kaya, yang membangun atas dasar
model kesejahteraan sosial demokratik seperti di Norwegia dan negara-negara Nordik lainnya.
Hal ini penting untuk dipertimbangkan dalam wacana pendidikan kebutuhan khusus yang sedang
berlangsung. Namun, ini tidak terjadi di sejumlah negara yang sumber ekonominya tipis,
meskipun ada upaya keras dari sejumlah pejabat, peneliti dan organisasi non-pemerintah.
Sekurang-kurangnya kini masih ada 130 juta anak usia sekolah yang belum bersekolah (UNICEF
2000).
Sumber :
http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/Pengenalan_Sejarah_Pendidikan_Kebutuhan.php

Pendidikan Luar Sekolah

Artikel:Pendidikan Luar Sekolah
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.Nama & E-mail (Penulis): Isjoni Saya Dekan di FKIP Universitas Riau Tanggal: 8 Pebruari 2004 Judul Artikel: Pendidikan Luar Sekolah Topik: Pendidikan Luar Sekolah : Sebuah Alternatif Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni
optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan
adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah
(PLS).
Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat
pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut
disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit
kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama
disebabkan oleh factor ekonomi
Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah
mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem
Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan
terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan
pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk
menuntaskan wajib belajar 9 tahun.
Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus
ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk
menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS,
maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :
Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B
setara SLTP;
Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;
Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program
Pendidikan Orang tua (Parenting);
Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program
pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan
Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di Riau.
Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS
lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab
itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas,
produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu
disusun Rencana strategis adalah :
Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;
Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan
kualitas proses dan hasil;
Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi,
standard kurikulum untuk kursus;
Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi
profesi, lembaga diklat; serta
Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar.
Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.
Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :
Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah; Pembinaan kelembagaan PLS; Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat; Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS; Meningkatkan fasilitas di bidang PLS Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang
keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu
mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan
efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.
Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan
pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat
maupun peserta didik itu sendiri..
Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam
usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi
daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk
berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan
formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. .
Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan.
Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan
sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai
alternative di dalam peningkatan SDM ke depan.
PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis
Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana,
pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari
pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi
perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi
terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan
pendidikan, dan anak usia putus sekolah..Semoga.
Sumber : http://re-searchengines.com/isjoni13.html

PENDIDIKAN NONFORMAL BERBASIS MASYARAKAT

PENDIDIKAN NONFORMAL BERBASIS MASYARAKAT


Pendidikan berbasis masyarakat (communihy-based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.~Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masvarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan.1. Konsep Pendidikan Berbasis MasyarakatPendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah.Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutullan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk merddesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.Di dalam Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk menentukan bidang pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri.Sementara itu dilingkungan akademik para akhli juga memberikan batasan pendidikan berbasis masyarakat. Menurut Michael W. Galbraith, community-based education could be defined as an educational process by which individuals (in this case adults) become more corrtpetent in their skills, attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more control over local aspects of their communities through democratic participation. Artinya, pendidikan berbasis masvarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi demokratis. Pendapat lebih luas tentang pendidikan berbasis masyarakat dikemukakan oleh Mark K. Smith sebagai berikut:… as a process designed to enrich the lives of individuals and groups by engaging with people living within a geographical area, or sharing a common interest, to develop voluntar-ily a range of learning, action, and reflection opportunities, determined by their personal, social, econornic and political need.”Artinya adalah bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam wilayah geografi, atau berbagi mengenai kepentingan umum, untuk mengembangkan dengan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan refleksi yang ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik mereka.Dengan demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.Dalam UU sisdiknas no 20/2003 pasal 55 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat disebutkan sebagai berikut :1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.2. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.3. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber-dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan-yang berlaku.4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.5. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.Dari kutipan di atas nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat dapat diselenggarakan dalam jalur formal maupun nonformal, serta dasar dari pendidikan berbasis masyarakat adalah kebutuhan dan kondisi masyarakat, serta masyarakat diberi kewenangan yang luas untuk mengelolanya. Oleh karena itu dalam menyelenggarakannya perlu memperhatikan tujuan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat.Untuk itu Tujuan dari pendidikan nonformal berbasis masyarakat dapat mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serti korban narkotika, HIV/Aids dan sejenisnya. Sementara itu lembaga yang memberikan pendidikan kemasyarakat bisa dari kalangan bisnis dan industri, lembaga-lembaga berbasis masyarakat, perhimpunan petani, organisi kesehatan, organisasi pelayanan kemanusiaan, organisi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain .2. Pendidikan Nonformal Berbasis MasyarakatModel pendidikan berbasis masyarakat untuk konteks Indonesia kini semakin diakui keberadaannya pasca pemberlakuan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keberadaan lembaga ini diatur pada 26 ayat 1 s/d 7. jalur yang digunakan bisa formal dan atau nonformal.Dalam hubungan ini, pendidikan nonformal berbasis masyarakat adalah pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta satuan pendidikan yang sejenis.Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi.3. Pinsip-prinsip Pendidikan Berbasis MasyarakatMenurut Michael W. Galbraith pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:• Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.• Self help (menolong diri sendiri) Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri.• Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai ketrampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.• Localization (lokalisasi). Potensi terbesar unhik tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.• Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.• Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.• Accept diversity (menerima perbedaan) Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin dan mereka dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.• Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.• Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat.Dalam perkembangannya, community-based education merupakan sebuah gerakan nasional di negara berkemang seperti Indonesia. community-based education diharapkan dapat menjadi salah satu fondasi dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society). Dengan sendirinya, manajemen penndidikan yang berdasarkan pada community-based education akan menampilkan wajah sebagai lembaga pendidikan dari masyarakat. Untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat pada jalur nonformal setidak-tidaknva mempersyaratkan lima hal (Sudjana. 1984). pertama, teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang ada di masyarakat. Teknologi yang canggih yang diperkenalkan dan adakalanya dipaksakan sering berubah menjadi pengarbitan masyarakat yang akibatnva tidak digunakan sebab kehadiran teknologi ini bukan karena dibutuhkan, melainkan karena dipaksakan. Hal ini membuat masyarakat menjadi rapuh. Kedua, ada lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam, dikelola, dan dikembangkan oleh masyarakat. Di sini dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam peencanaan, pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan pendidikan luar sekolah. Ketiga, program belajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus bermakna bagi kehidupan peserta didik atau warga belajar dalam berperan di masyarakat. Oleh karena itu, perancangannya harus didasarkan pada potensi lingkungan dan berorientasi pasar, bukan berorientasi akademik semata.Keempat, program belajar harus menjadi milik masyarakat, bukan milik instansi pemerintah. Hal ini perlu ditekankan karena bercermin pada pengalaman selama ini bahwa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh instansi pemerintah terbukti belum mampu membangkitkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi hanyalah pemaksaan program, karena semua program pendidikan dirancang oleh instansi yang bersangkutan. Kelima, aparat pendidikan luar sekolah/nonformal tidak menangani sendiri programnya, namun bermitra dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan ini yang menjadi pelaksana dan mitra masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka dan dalam berhubungan dengan sumber-sumber pendukung program.4. Pendidikan Berbasis Masyarakat untuk pembangunan masyarakatDalam upaya mendorong pada terwujudnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat, maka diperlukan upaya untuk menjadikan pendidikan tersebut sebagai bagian dari upaya membangun masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pemahaman yang tepat akan kondisi dan kebutuhan masyarakat.Pembangunan/pengembangan masyarakat, khususnya masyarakat desa merupakan suatu fondasi penting yang dapat memperkuat dan mendorong makin meningkatnya pembangunan bangsa, oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan nonformal dapat menjadi suatu yang memberi makna besar bagi kelancaran pembangunan.Pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat sebagai istilah-istilah yang dimaksud dalam pembahasan ini mengandung arti yang bersamaan. Pengembangan masyarakat, terutama di daerah pedesaan, bila dibandingkan dengan daerah perkotaan jelas menunjukan suatu ketimpangan, sehingga memerlukan upaya yang lebih keras untuk mencoba lebih seimbang diantara keduanya. pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat tersebut menunjukkan suatu upaya yang disengaja dan diorganisasi untuk memajukan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya yang dilakukan di dalam satu kesatuan Wilayah. Kesatuan wilayah itu bisa terdiri dari daerah pedesaan atau daerah perkotaan.Upaya pembangunan ini bertujuan untuk terjadinya perubahan kualitas kehidupan manusia dan kualitas wilayahnya atau lingkungannya ke arah yang lebih baik. Agar pembangunan itu berhasil, maka pembangunan haruslah menjadi jawaban yang wajar terhadap kebutuhan perorangan, masyarakat dan Pemerintah baik di tingkat desa, daerah ataupun di tingkat nasional. Dengan demikian maka isi, kegiatan dan tujuan pengembangan masyarakat akan erat kaitannya dengan pembangunan nasional.TR Batten menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat ialah proses yang dilakukan oleh masyarakat dengan usaha untuk pertama-tama mendiskusikan dan menentukan kebutuhan atau keinginan mereka, kemudian merencanakan dan melaksanakan secara bersama usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka itu (Batten, 1961). Dalam proses tersebut maka keterlibatan masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut. Tahap pertama, dengan atau tanpa bimbingan fihak lain, masyarakat melakukan identifikasi masalah, kebutuhan, keinginan dan potensi-potensi yang mereka miliki. Kemudian mereka mendiskusikan kebutuhan-kebutuhan mereka, menginventarisasi kebutuhan-kebutuhan itu berdasarkan tingkat keperluan, kepentingan dan mendesak tidaknya usaha pemenuhan kebutuhan. Dalam identifikasi kebutuhan itu didiskusikan pula kebutuhan perorangan, kebutuhan masyarakat dan kebutuhan Pemerintah di daerah itu. Mereka menyusun urutan prioritas kebutuhan itu sesuai dengan sumber dan potensi yang terdapat di daerah mereka. Tahap kedua, mereka menjajagi kemungkinan-kemungkinan usaha atau kegiatan yang dapat mereka lakukan, untuk memenuhi kebutuhan itu. apakah sesuai dengan sumber-sumber yang ada dan dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan hambatan yang akan dihadapi dalam kegiatan itu. Selanjutnya mereka menentukan pilihan kegiatan atau usaha yang akan dilakukan bersama. Tahap ketiga, mereka menentukan rencana kegiatan, yaitu program yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dikalangan masyarakat. Rasa pemilikan bersama itu menjadi prasarat timbulnya rasa tanggung jawab bersama untuk keberhasilan usaha itu. Tahap keempat ialah melaksanakan kegiatan. Dalam tahap keempat ini motivasi perlu dilakukan. Di samping itu komunikasi antara pelaksana terus dibina. Dalam tahap pelaksanaan ini akan terdapat masalah yang menuntut pemecahan. Pemecahan masalah itu dilakukan setelah dirundingkan bersama oleh masyarakat dan para pelaksana. Tahap kelima, penilaian terhadap proses pelaksanaan kegiatan, terhadap hasil kegiatan dan terhadap pengaruh kegiatan itu. Untuk kegiatan yang berkelanjutan, hasil evaluasi itu dijadikan salah satu masukan untuk tindak lanjut kegiatan atau untuk bahan penyusunan program kegiatan baru. Semua tahapan kegiatan itu dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif. Pengembangan masyarakat yang bertumpu pada kebutuhan dan tujuan pembangunan nasional itu memiliki dua jenis tujuan. Tujuan-tujuan itu dapat digolongkan kepada tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dengan sendirinya mengarah dan bermuara pada tujuan nasional, sedangkan tujuan khusus yaitu perubahan-perubahan yang dapat diukur yang terjadi pada masyarakat. Perubahan itu menyangkut segi kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri setelah melalui program pengembangan masyarakat. Perubahan itu berhubungan dengan peningkatan taraf hidup warga masyarakat dan keterlibatannya dalam pembangunan. Dengan kata lain tujuan khusus itu menegaskan adanya perubahan yang dicapai setelah dilakukan kegiatan bersama, yaitu berupa perubahan tingkah laku warga masyarakat. Perubahan tingkah laku ini pada dasarnya merupakan hasil edukasi dalam makna yang wajar dan luas, yaitu adanya perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan aspirasi warga masyarakat serta adanya penerapan tingkah laku itu untuk peningkatan kehidupan mereka dan untuk peningkatan partisipasi dalam pembangunan masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan masyarakat itu bisa terdiri dari partisipasi buah fikiran, harta benda, dan tenaga (Anwas Iskandar, 1975). Dalam makna yang lebih luas maka tujuan pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah pengembangan demokratisasi, dinamisasi dan modernisasi (Suryadi, 1971).Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang dikemukakan di sini ialah keterpaduan, berkelanjutan, keserasian, kemampuan sendiri (swadaya dan gotong royong), dan kaderisasi. Prinsip keterpaduan memberi tekanan bahwa kegiatan pengembangan masyarakat didasarkan pada program-program yang disusun oleh masyarakat dengan bimbingan dari lembaga-lembaga yang mempunyai hubungan tugas dalam pembangunan masyarakat. Prinsip berkelanjutan memberi arti bahwa kegiatan pembangunan masyarakat itu tidak dilakukan sekali tuntas tetapi kegiatannya terus menerus menuju ke arah yang lebih sempurna. Prinsip keserasian diterapkan pada program-program pembangunan masyarakat yang memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan Pemerintah. Prinsip kemampuan sendiri berarti dalam melaksanakan kegiatan dasar yang menjadi acuan adalah kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat sendiri.Prinsip-prinsip di atas memperjelas makna bahwa program-program pendidikan nonformal berbasis masyarakat harus dapat mendorong dan menumbuhkan semangat pengembangan masyarakat, termasuk keterampilan apa yang harus dijadikan substansi pembelajaran dalam pendidikan nonformal. Oleh karena itu, upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal sebagai bagian dari kegiatan masyarakat memerlukan upaya-upaya yang serius agar hasil dari pendidikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidup merekaDalam hal ini perlu disadiri bahwa pengembangan masyarakat itu akan lancar apabila di masyarakat itu telah berkembang motivasi untuk membangun serta telah tumbuh kesadaran dan semangat mengembangkan diri ditambah kemampuan serta ketrampilan tertentu yang dapat menopangnya, dan melalui kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan nonformal diharapkan dapat tumbuh suatu semangat yang tinggi untuk membangun masyarakat desanya sendiri sabagai suatu kontribusi bagi pembangunan bangsa pada umumnya.

Korporatorial Pendidikan Non Formal

Korporatorial Pendidikan Non Formal
Hadirnya Lembaga Pendidikan Non Formal, Suatu Upaya Membuka Ruang Kesadaran Baru

Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguh tampil sebagai suatu realitas yang sangat

memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan

peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai

orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai.

Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan

kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan

sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika

banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam

konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.

Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal

tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi

yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan

bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill

yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh

graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user

lulusan perguruan tinggi.

Dihadapkan pada kompleksnya situasi seperti yang dijabarkan diatas, kini banyak lembaga

pendidikan non formal berupaya menempatkan diri sebagai alternatif solusi permasalahan

diatas. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga

pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih

handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi

persaingan.

Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal

sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya

pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih

daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi

ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu

maupun masyarakat dalam berbagai aspek.

Fleksibilitas waktu

Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada

fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non

formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan

apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus

dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.

Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga

kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti

ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai

perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya

mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.


Antonius Sumarno selaku Branch Manager English Language Training International (ELTI)

Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga

pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam

menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing,

individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini

hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan

tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan.

Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali

lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya

kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil

perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan

mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan

pekerjaan.

Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia,

kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk

mengasah keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk

dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang

pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang

saat ini kita geluti.

Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga

pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang

kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut,

kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan

tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan". (CY1)
Sumber :http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0701/15/jogja/1032730.htm

Minggu, 15 Maret 2009

Pendidikan Layanan Khusus

Pendidikan Layanan Khusus

Written by Harry, on 25-11-2008 00:00
Betapa gembiranya anak-anak nelayan yang kurang beruntung itu di Kampung Baru Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakart Utara memperoleh akses pendidikan lewat program Pendidikan Layanan Khusus (PLK). Data yang diperoleh dari ketua Yayasan Lentera Bangsa Syaifudin Zufri ada sebanyak 190 anak usia sekolah yang kebanyakan karena putus sekolah atau terhimpit ekonomi, bahkan ada pula yang tidak pernah sekolah. Dari 190 anak, katanya, 150 anak merupakan usia sekolah SD-SMP dan sisanya usia SMA. Jadi hanya 20 persen dari jumlah total anak-anak di Kampung Baru yang punya kesempatan sekolah. "Sekolah PLK ini gratis," kata Syaifuddin. Untuk menjawab permasalahan tersebut pemerintah punya tekad kuat untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun pada tahun 2008 ini. Karena hal ini merupakan sikap dan komitmen politik sekaligus kepedulian bangsa. "Anak-anak usia dibawah 18 tahun yang belum sekolah atau putus sekolah dapat belajar lewat jalur PLK. Karena telah dijamin oleh undang-undang,". kata Direktur Pembinaan SLB Ekodjatmiko Sukarso saat meresemikan PLK Anak Nelayan di Muara Angke Jakarta Utara.
UU Sisdiknas 20/2003 pada Pasal 32 Ayat 1 tentang pendidikan khusus (PK) seperti untuk orang cacat, kemudian anak cerdas istimewa dan bakat istimewa. Pasal 32 Ayat 2 tentang PLK seperti anak-anak yang memerlukan pendidikan yang aksesnya tidak terjangkau seperti anak-anak di daerah terbelakang / terpencil / pedalaman / pulau-pulau, anak TKIM SILN (Sekolah Indonesia di Luar Negeri) anak suku minoritas terpencil, pekerja anak, pelacur anak/traficfficking, lapas anak, anak jalanan, anak pemulung, anak pengungsi (gempa konflik), anak dari keluarga miskin absolut. "Kami sadar bahwa anak-anak yang berkebutuhan khusus ini memikirkan makan apa untuk sekarang dan besok, sulitnya bukan main. Sehingga dengan adanya Pasal 32 UU Sisdiknas, maka anak-anak tersebut harus sekolah," katanya.Diakuinya, bahwa pemerintah tidak dapat memenuhi semua itu tanpa adanya dukungan masyarakat, LSM, pemerintah daerah dan pihak swasta. "Semoga peran LPPM Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan mendirikan Sekolah PLK Lentera Bangsa dapat merealisasikan niat baik pemerintah untuk mencerdaskan anak-anak dan kelak dapat mendirikan mereka." katanya. Program Sekolah PLK nantinya menitikberatkan pada "kearifan lokal", yaitu membina dan mendidikan anak-anak berkebutuhan khusus ini dengan konsentrasi 80 persen kecakapan hidup. Hal ini dimaksudkan agar keluar atau lulus dari Sekolah PLK mereka dapat hidup mandiri. Kearifan lokal itu menjadi kekayaan setiap daerah yang harus dikembangkan.
Sumber : media cetak Spirit

Pendidikan Layanan Khusus Anak Korban Lumpur

Pendidikan Layanan Khusus Anak Korban Lumpur
Tanggal :
21 Sep 2006
Sumber :
media indonesia
Prakarsa Rakyat, * Abdullah Yazid, peneliti FKIP Universitas Islam Malang, bekerja di Yayasan Averroes MalangSEMBURAN lumpur panas PT Lapindo Brantas (Lapindo) yang tiada henti telah melumpuhkan hampir seluruh sendi kehidupan di Sidoarjo, Jawa Timur dan sekitarnya. Imbasnya pun merembet ke segenap sektor riil dan pranata sosial yang ada di dalamnya. Pemerintah dituntut bertindak cepat dalam mengantisipasi dampak luas bencana itu.Bidang pendidikan, salah satu sektor penting yang perlu diperhatikan. Anak-anak korban lumpur panas, yang tidak bisa lagi bersekolah dan saat ini tinggal di tempat-tempat penampungan, perlu dimotivasi kembali agar tetap mempunyai gairah belajar. Tanpa melupakan prioritas tindakan lain, seperti penanganan bencana lumpur, kebutuhan relokasi, atau ganti rugi tanah warga, anak-anak ini tetap tidak boleh terlalu lama meninggalkan bangku sekolah dan terus-menerus dibayangi ketakutan dan kesengsaraan hidup seperti yang mereka alami saat ini.Melalui pendidikan layanan khusus, mereka dapat diberi pengertian multidimensi tentang apa yang sekarang mereka rasakan. Harapannya, mereka lebih tegar dan lebih siap lahir batin menatap kehidupan. Sebab, tekanan mental dan psikis biasanya cukup sulit dipulihkan pada diri anak-anak korban bencana, termasuk anak-anak korban lumpur panas yang saat ini sebagian besar tinggal di lorong-lorong kumuh pasar Porong dan Jalan Tol.Luapan lumpur panas Lapindo memang bukan tergolong bencana akibat peristiwa alam mahadahsyat seperti gempa bumi atau tsunami yang terjadi belakangan ini. Hal itu terjadi karena kecerobohan manusia. Meski begitu, tetap saja ratusan bahkan ribuan anak menderita atas akibat yang ditimbulkannya.Karena itu, kebijaksanaan dan perlakuan khusus model pendidikan di daerah bencana seyogianya juga diterapkan dan dijalankan di Sidoarjo. Sebab, hal ini telah secara tegas dikatakan oleh undang-undang mengenai pilihan model pemulihan pendidikan dengan layanan khusus yang mengacu pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 ayat 2 berbunyi: "Pendidikan layanan khusus diberikan kepada anak didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi."Anak korban lumpur panas bisa dikategorikan sebagai anak didik yang terkena bencana sosial dan tidak mampu dari segi ekonomi. Bencana sosial karena mereka ikut merasakan penderitaan dan ketidakjelasan atas keberlanjutan pendidikannya akibat efek luas yang ditimbulkan secara sosial. Mereka juga tidak mampu dari segi ekonomi karena sebagian besar orang tuanya telah kehilangan mata pencaharian akibat terendamnya sawah dan ladang oleh lumpur panas, serta diperkirakan tidak akan bisa dimanfaatkan kembali akibat ketidakpastian kapan berhentinya luapan lumpur.Pendidikan layanan khusus ini tentunya juga harus mempertimbangkan persiapan mental para anak didik. Selain itu, konsepnya mesti lebih ditekankan pada pemulihan tekanan mental, traumatik, dan kesehatan kejiwaan mereka.Apa yang terjadi di wilayah mereka merupakan pelajaran terpenting yang akan selalu dikenang. Secara psikologis, mereka tentunya lebih 'tahan banting' karena sudah mengalami penderitaan, kesulitan, dan tantangan hidup yang sesungguhnya. Falsafah yang pernah dilontarkan Rupert C Lodge dalam bukunya Philosophy of Education menjadi gambaran dari kondisi anak-anak korban lumpur sekarang; in this sense, life is education and education is life. Pelajaran terpenting yang telah termaterialisasikan dalam tiap-tiap pribadi anak-anak korban lumpur adalah pergulatan hidup yang sesungguhnya.Beban mental dan psikologis anak-anak korban lumpur panas sudah barang tentu berbeda dengan generasi-generasi lain yang selalu dininabobokan kemapanan hidup. Anak-anak di pengungsian, setidak-tidaknya akan mampu mencapai taraf kemapanan berpikir rasional dengan berbagai macam musibah dan dinamika kehidupan di sekitar mereka. Sehingga, bisa jadi pelajaran kehidupan terpenting sebenarnya telah diserap dari bencana yang diderita.Kita semua berharap agar pendidikan anak-anak korban lumpur panas menjadi salah satu perhatian utama pemerintah. Penanganan pendidikan semacam ini dimulai dengan penanganan psikologis. Spirit belajar dan rasa optimisme menghadapi hidup, gairah bermain, berbaur dengan teman-teman sebaya, dan keceriaan mereka harus dipulihkan. Langkah ini diperlukan demi mengembalikan semangat belajar pada usia anak didik.Di samping itu, secara fisik rehabilitasi dan rekonstruksi secara sistematis, seperti penyediaan tenaga guru di tempat-tempat relokasi, sarana-sarana pendidikan, menempatkan mereka pada gedung sekolah yang jauh dari lokasi bencana, menata kembali program belajar yang tertunda dll juga harus dipertimbangkan.Meski terkesan ala kadarnya, aspek dan fungsi-fungsi pokok pendidikan tetap tidak boleh diabaikan. Sebagaimana pernah disinggung John Dewey, pendidikan harus didudukletakkan sebagai kebutuhan hidup (necessity of life), fungsi sosial (social function), bimbingan (direction), sarana pertumbuhan (growth), serta mempersiapkan, mengembangkan, dan membentuk kedisiplinan (preparation, unfolding and formal discipline). Karena itu, pemulihan semangat dan pendekatan psikologis melalui infrastruktur dan pola pendidikan yang memadai setidaknya akan dapat memengaruhi perbaikan-perbaikan struktur sosial dan kejiwaan anak-anak korban lumpur Lapindo demi menatap cerahnya hari esok.Sekali lagi, realisasi pendidikan layanan khusus harus benar-benar mampu merekonstruksi pendidikan bagi anak-anak korban lumpur panas Lapindo serta daerah-daerah pascabencana yang lain. Itu hanya bisa dicapai kalau pemerintah memang memiliki political will dan iktikad baik dalam memosisikan mereka sebagai generasi yang juga sepatutnya memperoleh kelayakan fasilitas, akses, dan atensi pendidikan seperti anak-anak lain.

Autisme dan Tunagrahita, Tak sama dan MemangBeda

Autisme dan Tunagrahita, Tak sama dan MemangBeda.
HATl-hati memberikan layanan pendidikan terhadap anak-anak yang sulitberkomunikasi. Keliru pendekatan dan terapi sangat berisiko menghambatperkembangan intelegensia anak.Selama ini, anak yang sulit berkomunikasi dan menahan emosi cenderungdicap tuna grahita itu karena kurangnya pemahaman utuh tentang apa yangdisebut anak-anak berkebutuhan khusus."Bisa jadi anak yang bergejala demikian tergolong autisme. Antaraautisme dan tunagrahita terdapat perbedaan mendasar sehingga perlakuanyang diberikan pun harus berbeda," ujar Mudjito, Di-rektur Pendidikan Luar Biasa Depdiknas di sela-sela seminar "Memahamidan Mencari Solusi Kesulitan Belajar pada Anak Autisme" di Depok, Ja-waBarat, Sabtu (26/2).Menurut Mudjito, autisme ialah anak yang mengalamigangguan berkomunikasi danberinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain, danemosi. Pe nyebabnya karena antarjaringan dan fungsi otak tidak sirkron .Ada yang maju pesat, sedangkan yang lainnya bia-sa-biasa saja. Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibukalangan ekonomi menengah ke atas. Ketika dikandung, asupan gi-zi keibunya tak seimbang.Adapun tunagrahita adalahanak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawahrata-rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulitmengerjakan tugas-tugas akademik. Ini karena per-kembangan otak dan fungsi sarafnya tidak sempurna.Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan menengahke bawah. Ketika dikandung, asupan gizi dan zat antibodike ibunya tidak mencukupi. "Sepintas, anak-anak autis dan tunagrahitamemang sama-sama sulit berkomunikasi. Tetapi, dalam perkembangannya,pada situasi tertentu anak-anak autis bisa le-bih cerdas membahasakan sesuatu, melebihi anak-anaknormal seusianya," tambahMudjito.DALAM seminar yang me-nampilkan drg Sri Utami Soedarsono (DirekturPelita Hati, Pusat Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus)serta Ely Soekresno Psi (kon-sultan anak berkebutuhan khusus) tersebutterungkap bahwa istilah autisme berasal dari kata autos yang berartidiri sendiri dan isme yangn berarti aliran. Autisme berartisuatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri.Penyebab autis sangat kompleks, tak lepas dari faktorgenetika dan lingkungan sosial. "Pola hidup pada masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnya anakautis. Misalnya, mengonsurnsi makanan dan minuman tanpa pengendalianmutu,termasuk makanan cepat sajii. Bisa juga karena buah dan sayuran yangdikon-surnsi mengandung pestisida."awal Februari lalu, para ilmuwan yang bertemu pada "Autisrn Summit" di Califor-nia, Amerika Serikat (AS), se pakat bahwa gejala autismedisebabkan oleh interaksi sejumlah gen dengan fak-tor-faktor lingkungan yang belum teridentifikasi.Mengiltip International Herald Tribune (10/2), Mudjitomenguraikan, ditemukan sedikitnya dua indikasi autismepada bayi baru lahir. Pertama, zat putih pada otak yangberisi serat-serat penghubung neuron di wilayah terpisahdalam otak-berkembang hingga 9 bulan, kemudianberhenti. Pada usia 2 tahun, zat putih ini diternui secaraberlebihan di lobes bagin depan, cerebellum, dan wilayahasosiasi di mana terjadi pemrosesan tingkat tinggi.Kedua, lingkaran kepala bayi baru lahir lebih kecil da-ripada rata-rata lingkaran kepala bayi baru lahir pada umumnya. Pada usia 1-2 bulan, tiba-tiba otaknya tumbuhdengan pesat. Hal serupa terjadi pada usia 6 bulan-2 ta-hun. Pertumbuhan ini lalu menurun pada usia 2-4 tahun.Ukuran otak anak autis ber-usia 5 tahun lebih kurang sa-ma dengan ukuran otak anak normal berusia 13 tahun.Beberapa teori lain juga mengungkapkan, autisme ju-ga dapat disebabkan oleh virus seperti rubella, toxo, her-pes, jamur, nutrisi buruk, pendarahan, dan keracunan ma-kanan saat hamil. Hal itu menghambat pertumbuhansel otak pada bayi sehingga fungsi otak pada bayi yangdikandung terganggu, terutama fungsi pemahaman, ko-munikasi, dan interaksi.Terkait dengan nutrisi, Mudjito menunjuk polahidup pada masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnyaanak autis. Misalnya, mengonsumsi makanan dan mi-numan tanpa pengendalian mutu, termasuk makanan ce-pat saji. Bisa juga karena sayur dan buah yang dikonsum-si mengandung zat pestisida.Tak pelak, prevalensi (pe-luang terjadinya) autisme sangat pesat. Tahun 1980-an, diAS, dan hanya 4-5 anak yang autis per 10.000 kelahiran na-ik menjadi 15-20 per 10.000 kelahiran pada tahun1990-an. Tahun 2000-an, su-dah mencapai 60 per 10.000kelahiran.Belum ada data tentang prevalensi autisme di Indone-sia. Namun,mengingat pola hidup kurang sehat di negara maju pun sudah merambahmasyarakat kota-kota besar di Indonesia, fenomenanya di-yakini mirip AS. "Di sekolah-sekolah luar yang berada dikota besar, tidak sulit menemukan anak autis. Di peda-laman, hampir tidak ditemu-kan," papar Mudjito.la menghargai maraknya inisiatif lembaga sosial di tiapkota yang mernbuka layanan pendidikan khusus bagi autisme. Apalagi polapendekatannya cenderung menyeluruh,termasuk aspek medis.AUTISME hanyalah satu dan delapan jenis kelainan gejala khusus yangmenjadi sasaran layanan pendidikan khusus, yang kini dikembangkanpemerintah dan masyarakat. Jenis-jenis kelainanlainnya mencakup tunanetra (gangguan penglihatan),tunadaksa (kelainan pada alat gerak/tulang, sendi, dan otot),tunagrahita (keterbelakangan mental), dan tunalaras (ber-tingkah laku aneh). Badan Pusat Statistik mencatat, saat ini sekitar 1,5 juta anak diIndonesia yang mengalami kelainan seperti itu. sarana pendidikan luarbiasa, baru sekitar 50.000 anak yang mengenyam pendidikan. Se-suai Deklarasi Salamanca 1994 dan UU Sistem Pendidikan Nasional, anakberke-lainan khusus harus mendapatkan pendidikan setara de-ngananak-anak lainnya.Oleh karena itu, pemerintah menggalakkan model pendi-dikan inklusi, di mana sekolah umum bisa memberikanlayanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus,terpadu dengan siswa pada umumnya. Sayangnya. pengadaan guru khususuntuk pendidikan layanan khusus masih sulit dipenuhi. Tahun ini, dari75.000 kuota pengangkatan pegawai negeri sipil untuk guru, hanya 500guru sekualifikasi itu yang terang kat. Padahal, secara nasional masihdibutuhkan 1.500. Jika secara totalitas anak berkebutuhan khusus sajasulit terlayani, apalagi anak autis, yang selama ini cenderung dicaptunagrahita. (NASRULLAH NARA)
sumber: http://www.mail-archive.com/balita-anda@balita-anda.com/msg96790.html

Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus

Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus
Ditulis oleh Rahmintama
Thursday, 27 March 2008
Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.
Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.
Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.
Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.
Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.
Ribuan Anak Pengungsi
Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.
Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.
Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.
Bantuan Alat
Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.
Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.
"Kami mohon bantuan untuk penye-diaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.
Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.
Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.
Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun.
Layanan Tutor
Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.
"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.
Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.
"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.
Anak Pengungsi Itu Jadi Penambang Batu
Ketiga kelurahan di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin merupakan daerah rawan kriminal seperti pemalakan, penodongan, perampokan, perkelahian dan pembunuhan. Banyak juga yang suka mengemis.
"Pada dasarnya para pengungsi ini memiliki karakter yang mudah curiga dengan orang, terutama orang asing," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih yang menjadi pemandu perjalanan ke Atambua. Namun hal tersebut dapat diminimalisir karena sebagian besar wilayah ini dikuasai oleh TNI-AD.
Anak-anak yatim-piatu dan mereka yang terpisah dengan orang tuanya, biasanya ditampung oleh para sanak keluarga yang berada di Atambua. Namun keluarga yang menampung anak-anak ini juga tidak sanggup untuk membiayai sekolah mereka.
Bagi anak-anak pribumi (Atambua) dari keluarga yang kurang mampu mereka mesti bertahan hidup bersama orang tuanya dengan berkebun atau berdagang, bahkan tak sedikit yang menjadi tukang ojek.
Sementara anak-anak pengungsi dan korban konflik tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sehingga hal ini yang menyebabkan kerawanan di daerah tersebut. Namun anak-anak yang mandiri, mereka akan ikut serta menjadi 'penambang' batu kali. Jumlah penambang batu ini mencapai ratusan anak usia sekolah.
Anak-anak tersebut menjadi penambang untuk menyambung hidupnya, karena kabarnya tidak banyak keluarga setempat yang mau memelihara mereka karena berbagai macam alasan.
Batu kali itu dikumpulkan dari sepanjang Sungai Talao, yaitu sungai besar yang melintasi Kota Atambua di wilayah Fatubanao. Setiap rit atau sekitar tiga kubik batu yang telah dipecahkan atau batu-batu kecil dihargai Rp 200.000. Lalu batu-batu itu dijual kepada agen digunakan sebagai pembangunan jalan, atau pengecoran bangunan.***(rht)
sumber:http://mandikdasmen.aptisi3.org/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=34