WeLCoMe To 1'st Dewi's Blog

WelCome...!!! To My 1'st blog!!!


pendidikan

pendidikan
sangat menyedihkan ya... pendidikan di negara kita...so.. jangan pernah menyia-nyiakan pendidikan yang kita dapat, karena masih banyak di luar sana yang kurang mendapat pendidikan yang layak. semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Senin, 16 Maret 2009

Pengenalan Sejarah Pendidikan Kebutuhan Khusus Menuju Inklusi

Pengenalan Sejarah Pendidikan Kebutuhan Khusus Menuju Inklusi
Sebuah Konteks Norwegia dan Eropa
Berit H. Johnsen2

Pendidikan kebutuhan khusus dapat secara singkat dijelaskan sebagai pendidikan bagi orang
yang berkebutuhan khusus dan menyandang kecacatan. Fokus utamanya adalah kemungkinan dan
hambatan dalam pengajaran dan belajar yang terdapat dalam faktor-faktor masyarakat, dalam
praktek dan teori pendidikan, dan dalam pluralitas kebutuhan khusus individu dalam bidang
pendidikan. Dengan demikian, pendidikan kebutuhan khusus merupakan sebuah disiplin
pendidikan dengan orientasi baru yang didasari hasil pemikiran yang kritis.
Pendidikan kebutuhan khusus merupakan disiplin ilmu yang masih muda dengan akar yang sudah
tua, yang membentang dari kebudayaan kuno Mediterania hingga sejarah modern Eropa3. Di mana
sumber disiplin ilmu ini? Apakah tema utamanya, masalah dan terminologi sentralnya, titik
fokus dan perbedaan yang menandainya? Aspek-aspek apa dari konteks sejarah dan masyarakat
yang disentuh oleh disiplin ilmu ini dan bagaimana aspek sejarah dan masyarakat
mempengaruhinya? Pertanyaan-pertanyaan ini memberikan kontribusi pada konstruksi rekaman
sejarah yang disajikan di sini.
Penyajiannya didasarkan atas sudut pandangan sejarah prinsip pendidikan inklusif, yang
dibahas dalam artikel lain dalam buku ini. Oleh karena itu, pencarian akar disiplin ilmu ini
diarahkan pada dua arena, pertama pada sejarah sekolah dasar biasa. Arena lainnya adalah
berbagai upaya dan institusi pendidikan khusus di luar sekolah umum. Artikel ini merupakan
presentasi sejarah pendidikan kebutuhan khusus Norwegia menurut pandangan tren Nordik dan
Eropa.
Siswa yang berkebutuhan khusus di awal sejarah sekolah umumDalam konteks Eropa, sekolah dasar di Norwegia mempunyai sejarah yang sangat panjang sejak
pengesahannya secara resmi oleh Raja Christian VI pada tahun 1739. Fondasi sekolah ini,
yaitu “untuk semua dan setiap orang”, merupakan upaya utama dalam bidang pendidikan pada
waktu itu, yang dilaksanakan oleh monarki otokratik, dan sangat dipengaruhi oleh ideologi
Kristen pietism4 dan cameralism5. Sekolah merupakan elemen kunci dalam proyek melek huruf
keagamaan yang dikembangkan untuk memfasilitasi tanggung jawab individual setiap orang
kepada Tuhan Kristen di samping untuk alasan-alasan praktis. Membutuhkan seratus tahun sejak
ditetapkannya undang-undang ini hingga terlembagakannya sekolah dasar sebagai institusi
pendidikan permanen bagi semua orang di seluruh bagian negeri ini. Isi pelajaran pada awal
sejarah sekolah dasar ini adalah membaca dan penjelasan tentang bagian-bagian tertentu dari
doktrin Kristen. Akan tetapi, sejak didirikannya, sekolah dasar Norwegia ini telah
memperluas isinya, dan sekarang telah mencakup sepuluh mata pelajaran wajib, dengan mata
pelajaran “Pengetahuan Kristen dan Pendidikan agama dan Etika” sebagai mata pelajaran minor
(KUF 1997/1999)
Sejak awal tahun 1739, dibuat keputusan bahwa sekolah harus untuk “semua dan setiap orang”.
Sejak waktu itu, sekolah bebas biaya. Namun, dalam kaitannya dengan kepedulian kita dewasa
ini, pertanyaan kuncinya adalah apakah sekolah itu benar-benar bagi semua orang, termasuk
anak-anak penyandang cacat dan berkebutuhan khusus yang memerlukan dukungan pendidikan.
Seberapa besarkah kesadaran para pendeta pietistic yang idealis, yang berhasil mengembangkan
proyek pendidikan yang sangat besar ini, akan kenyataan bahwa anak-anak berbedar-beda dalam
cara belajarnya dan kebutuhannya akan dukungan?
Erik Pontoppidan (1698-1764) adalah salah seorang penggagas utama sekolah baru ini. Atas
perintah Raja, dia membuat buku pelajaran pertama, yang disebut Penjelasan Pontoppidan, yang
menjadi buku teks yang paling banyak digunakan sepanjang sejarah sekolah dasar Norwegia. Di
samping itu, dia juga menulis tentang pendidikan dalam banyak teks lainnya. Sebagai Uskup
Bergen, dia telah berusaha keras untuk menerapkan undang-undang baru tentang sekolah untuk
semua orang, di antaranya dengan mendirikan lembaga pendidikan guru yang pertama di seluruh
negeri (yang sayangnya hanya bertahan dalam waktu yang singkat).
Dalam tulisannya tentang pendidikan, Pontoppidan menunjukkan bahwa dia menyadari bahwa
anak-anak belajar dengan cara yang berbeda-beda dan dengan kecepatan yang berbeda-beda.
Penjelasan Pontoppidan adalah buku tebal dengan banyak halaman, dan para siswa diharapkan
mampu menghafalnya di luar kepala. Akan tetapi, dia menandai beberapa bagian buku teks itu
dengan menggarisi bagian tepinya, untuk menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak penting
dipelajari oleh siswa yang mempunyai kesulitan karena alasan internal atau eksternal. Ini
merupakan contoh pertama yang diketahui tentang pembedaan isi dalam sejarah sekolah dasar
biasa. Dalam teksnya yang lain terdapat pula sebuah contoh tentang apa yang kini disebut
pendidikan yang diadaptasikan secara individual. Ada cerita mengenai anak perempuan yang
tidak dapat atau tidak ingin belajar teks wajib. Baik orang tuanya maupun kepala sekolahnya
memandang anak itu sebagai siswa yang lambat belajar. Namun, pendeta yang bertanggungjawab
atas semua sekolah dan siswa di wilayah gerejanya mulai memberikan pelajaran secara
individual kepada anak perempuan itu. Dalam hal ini pendeta tersebut mengkombinasikan buku
pelajaran tradisional itu dengan beberapa buku teks lainnya, cerita dan dialog, sambil terus
melakukan asesmen bagaimana bermacam-macam materi dan dan metode berpengaruh terhadap
motivasi dan belajar anak perempuan tersebut. Mereka berhasil memotivasi belajar anak itu
sehingga dia berhasil mencapai penguasaan yang diwajibkan.
Sebagaimana dapat dilihat, buku teks pendidikan yang dirancang oleh Pontoppidan itu
mengandung sejumlah contoh tentang kesadarannya akan perbedaan individual dalam hal peluang
belajar serta berisikan sejumlah rekomendasi tentang metode pengajaran yang tepat untuk
menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan individu yang berbeda-beda. Sejumlah kecil contoh
gagasan semacam ini ditemukan dalam teks pendidikan selama sejarah pendidikan dasar di abad
ke-18 dan ke-19. Teks-teks ini juga menunjukkan adanya pertukaran gagasan antara Norwegia
dan negara-negara Nordik serta beberapa bagian Eropa lainya. Pemikiran-pemikiran para ahli
seperti Johan Amos Comenius dari Cekoslowakia (1592-1670), Francke dari Halle di Jerman yang
telah disebutkan di muka, dan kemudian John Locke dari Inggris (1632-1704), Jean-Jaques
Rousseau (1712-1778) dari Perancis dan Johann H. Pestalozzi dari Swiss (1746-1827),
ditafsirkan dan dibahas.
Namun terdapat juga cerita-cerita yang menunjukkan ketakutan dan kebencian terhadap anak dan
remaja dengan kesulitan belajar dan kecacatan. Dalam tradisi Lutheran di Eropa Utara, yang
disebut sebagai konfirmasi adalah bentuk ujian yang besar, yang membuka jalan bagi hak-hak
orang dewasa. Mungkin kerugian yang paling besar bagi mereka yang tidak berhasil lulus dari
ujian konfirmasi itu adalah bahwa mereka tidak diperkenankan untuk menikah. Menurut
undang-undang yang berlaku saat itu, anak muda yang karena berbagai alasan tidak bersekolah
dan tidak berhasil dalam belajar pengetahuan dasar yang diwajibkan untuk lulus dari ujian
konfirmasi, dapat dimasukkan ke “rumah koreksi” dan bahkan di penjara, di mana mereka
dipaksa untuk belajar. Ada dua jenis kecacatan yang tidak dapat diterima untuk konfirmasi,
yaitu gila (mungkin yang kini kita sebut psikosis parah atau tunagrahita) dan tunarungu
prabahasa. Sesungguhnya, apakah orang yang menjadi tuli sebelum belajar bahasa itu dapat
dididik atau tidak, telah menjadi bahan perdebatan selama beberapa abad, yang jejak
argumentasinya ditemukan sejak awal era Protestan Lutheran hingga dekade terakhir abad
kesembilan belas. Protoppidan adalah di antara mereka yang menentang edukabilitas orang
tunarungu prabahasa itu (Johnsen 2000). Konsekuensi nyata dari sikap negatif terhadap
ketunarunguan ini tentu saja adalah kehidupan yang menderita bagi banyak orang.
Beberapa undang-undang tentang sekolah dasar Norwegia ditetapkan pada abad ke-19.
Undang-undang tahun 1889, yang menamai sekolah bebas biaya “Sekolah Rakyat”, mempunyai
silabus yang setara dengan sekolah swasta yang tidak bebas biaya, yang diperuntukkan bagi
anak-anak dari keluarga berada yang tinggal di kota-kota. Namun, pada saat itu beberapa
kelompok anak tertentu juga secara eksplisit disebutkan tidak dapat diterima di sekolah.
Mereka adalah yang tidak dapat mengikuti pengajaran karena gangguan mental atau fisik,
mereka yang mengidap penyakit menular, serta mereka yang berperilaku buruk sekali sehingga
dapat berpengaruh buruk atau mencelakai siswa lain. Konsekuensi negatif dari undang-undang
tersebut adalah bahwa sekolah tidak dapat berkembang lebih lanjut untuk mampu melayani
kebutuhan individu yang berbeda-beda. Sejak itu, sekolah dasar tidak lagi dimaksudkan untuk
melayani “semua dan setiap orang”, tetapi hanya melayani mereka yang dapat memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh sekolah.
Sejarah pendidikan bagi penyandang cacat di EropaMengenai pendidikan bagi orang dengan berbagai jenis kecacatan, gambaran umum sejarah
menunjukkan adanya perkembangan dari upaya-upaya pendidikan yang sporadis, ke keingintahuan
filosofis, hingga didirikannya sekolah-sekolah khusus serta lembaga khusus lainnya. Dari
sejarah, kita dapat melihat kilasan-kilasan tentang berbagai kondisi para penyandang cacat
mulai dari zaman Mesir Kuno, Yunani kuno, Injil dan Qur’an, dan sejumlah teks abad ke-18.
Serpihan-serpihan dokumentasi itu memberi kesan tentang adanya sikap yang mendua, antara
perawatan, kasih sayang dan minat pada satu pihak, dan, di pihak lain, kurangnya tanggung
jawab, eksklusi dan kecenderungan yang meningkat untuk mengelompokkan orang berdasarkan
jenis kecacatannya. Tidak mengherankan bahwa dokumentasi tentang upaya-upaya pendidikan itu
hanya merupakan sebagian kecil dari informasi yang ada mengenai orang-orang yang menyandang
kecacatan, mengingat bahwa pendidikan formal merupakan hak istimewa bagi sebagian kecil
orang pada awal sejarah.
Model huruf ukiran untuk orang tunanetra ditemukan pada zaman Mesir kuno, dan juga pada
zaman Renaissance di Eropa ketika Erasmus dari Rotterdam (1469- 1536) juga menggunakan
alfabet ukiran dalam pelatihan keterampilan menulis bagi siswa-siswa yang awas. Informasi
lain mengatakan bahwa sejak abad kelima telah ada berbagai kelompok orang tunanetra yang
dapat mencukupi dirinya sendiri dan yang mengatur pelatihan pekerjaan internal. Satu contoh
tentang mengajarkan membaca bibir kepada orang tunarungu ditemukan di Keuskupan York pada
abad kedelapan. Namun, menurut Enerstvedt (1996), pengetahuan mengenai cara mendidik orang
yang tunarungu berat mulai disebarkan dari apa yang disebut “revolusi Spanyol yang tidak
begitu terkenal” ke berbagai bagian benua Eropa lainnya dan kepulauan Inggris pada akhir
abad ke-16.
Bagaimana orang dapat belajar jika satu indera tidak berfungsi? Girolam Cardano (1501- 1576)
memperkenalkan pendapat bahwa indera-indera itu saling menggantikan, sehingga bila indera
penglihatan atau pendengaran hilang, indera lain akan berfungsi sebagai dasar bagi aktivitas
kognitif dan belajar (Befring 1994; Enerstvedt 1886). Ketika filosof empiris Inggris John
Locke (1632-1704), memfokuskan kembali tentang pentingnya fungsi indera-indera untuk belajar
dan pemahaman, pandangannya menjadi titik awal bagi rasa ingin tahu filosofi baru dan
sedikit demi sedikit juga minat pendidikan. Metode pengajaran bagi orang yang menyandang
ketunarunguan dan ketunanetraan berat muncul dalam agenda resmi. Paris menjadi tuan rumah
yang baik bagi perkembangan berbagai pendekatan khusus, dan minat orang meluas untuk juga
mencakup perlakuan bagi penyakit jiwa dan gangguan perkembangan yang parah. Dari Paris
gagasan tentang pendidikan khusus menyebar ke seluruh Eropa dan benua lain.
Charles-Michel de l’Epée (1712-1789) mendirikan sekolah khusus pertama bagi tunarungu di
Paris pada tahun 1770. Dia mendasari pengajarannya pada metode holistik dengan penggunaan
bahasa isyarat sebagai komponen sentral. Upaya ini dilanjutkan oleh sejumlah sekolah lain di
seluruh Eropa dengan menggunakan berbagai metode pengajaran lain. Ketidaksepakatan mengenai
metodologi menjadi ciri yang kekal sejak awal hingga zaman kita sekarang ini. Di Jerman
Samuel Heinicke (1727-1790) dan penerusnya, Friedrich Hill (1805-1874) mendapatkan
inspirasinya dari ahli pendidikan tua Comenius dan Pestalozzi, ketika mereka mengembangkan
yang disebut sebagai “metode oral”. Metode tersebut berpengaruh besar pada awal perkembangan
pendidikan bagi tunarungu di Norwegia, bersaing dengan sekolah khusus pertama bagi orang
tunarungu di mana bahasa isyarat merupakan pendekatan komunikasi yang utama. Denmark adalah
negara Nordik pertama dengan sekolah khusus bagi tunarungu, yang pertama didirikan di kota
Libeck, yang ketika itu bagian dari Denmark. Di Kopenhagen, anak seorang pastor dari
Norwegia, Peter A. Castberg (1779-1823) mendirikan Lembaga Kerajaan bagi orang tuli-bisu
pada tahun 1807. Dia juga adalah kekuatan penggerak yang berada di balik Undang-undang
Pendidikan bagi Tunarungu Denmark, undang-undang semacam ini yang pertama di dunia. Salah
seorang siswa Castberg, Andreas C. Møller (1796-1874) yang dia sendiri juga tunarungu,
mendirikan sekolah pertama semacam ini di Norwegia pada tahun 1825, diikuti oleh beberapa
sekolah lain pada tahun 1850-an.
Valentin Haüy (1745-1822) mendirikan sekolah khusus pertama bagi tunanetra di Paris pada
tahun 1784, dengan bantuan keuangan dari masyarakat philanthropic yang baru didirikan.
Beberapa sekolah seperti ini dibuka di sejumlah negara Eropa lainnya. Swedia adalah salah
satu negara Nordik pertama, ketika Pär Aron Berg (1776-1839) membuka sebuah sekolah bagi
siswa yang tunanetra dan tunarungu pada tahun 1809. Di Norwegia, lembaga pertama bagi orang
tunanetra dibuka pada tahun 1861.
Di Paris, lebih dari sekedar ketunarunguan dan ketunanetraan yang telah menarik perhatian
dokter, pendeta dan pendidik. Ibu kota Perancis merupakan pusat aktivitas perintis yang
menangani berbagai jenis kecacatan dan kebutuhan khusus, yang saling mengkontribusikan
gagasan. Pada masa itu orang yang dianggap gila dikurung di tempat yang disebut sebagai
rumah sakit bersama dengan kriminal, gelandangan dan tahanan politik. Philippe Pinel
(1745-1826) membebaskan mereka dan dia mulai memberikan perlakuan, bukan sekedar
memenjarakannya. Sejak saat itu, menjadi hal yang sangat penting untuk mendiagnosis dan
mengkategorikan berbagai kondisi, seperti perbedaan antara penyakit jiwa dan kelainan
perkembangan atau ketunagrahitaan berat. Seorang murid Pinel, Jean Etienne Esquirol
(1782-1840) membuka perdebatan yang kini masih berlangsung hangat mengenai “nature” versus
“nurture”. Pertanyaan yang esensial adalah apakah penyebab kelainan perkembangan tertentu
adalah herediter/bawaan atau lingkungan/dapatan – suatu perdebatan yang kini telah menjadi
penting lagi setelah dihasilkan temuan-temuan baru dalam studi tentang genetika.
Murid Pinel yang lain, Jean M. G. Itard (1774-1838) melakukan sebuah upaya yang menjadi
simbol bagi titik awal pendidikan bagi anak tunagrahita, ketika dia menyelenggarakan program
pendidikan bagi “anak liar dari Aeyron”. Dia menangani seorang anak laki-laki yang tampaknya
telah hidup di hutan tanpa kontak dengan manusia bertahun-tahun. Ada yang mengatakan
serigala yang memeliharanya. Itard mempraktekan eksperimen pendidikannya selama lima tahun
dan menulis laporan rinci, mendokumentasikan bahwa anak tersebut belajar beberapa hal.
Namun, karena anak tersebut tidak berhasil belajar berbicara, dia menganggap intervensinya
gagal.
Ketika Edward Seguin (1812-1880) beberapa tahun kemudian mulai mengajar seorang anak
laki-laki yang tunagrahita dengan bantuan dari Itard dan Esquirol, Seguin menjadi pendiri
sebuah sekolah khusus bagi anak tunagrahita. Dia tidak hanya mencari inspirasi dari
pergerakan pendidikan khusus sebelumnya di Paris, tetapi juga dari pemikiran-pemikiran
pendidikan umum Comenius, Locke dan Rousseau, juga dari filsafat dan agama Kristen.
Dengannya dimulailah era eksperimen pendidikan yang optimistik dalam bidang ketunagrahitaan,
yang tersebar luas ke beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, karena Seguin mengembangkan
karyanya lebih lanjut di “Dunia Baru” di seberang lautan Atlantik (Askildt & Johnsen 2001).
Optimisme ini juga mencapai negara-negara Nordik sebagaimana tergambar dalam judul buku yang
ditulis oleh seorang dokter dari Denmark, Jens R. Hübertz (1794-1855), Weakmindedness or
Idiocy and Its Curability6. Judul tersebut menggambarkan bahwa optimisme tidak hanya
terbatas pada pendidikan. Judul ini juga menyiratkan adanya harapan untuk menyembuhkan
ketunagrahitaan. Hübertz mendirikan sebuah lembaga bagi orang tunagrahita, “Gamle Bakkehus”
(Rumah Bukit Tua) pada tahun 1855, di mana sejumlah kecil orang dari negara-negara Nordik
ditempatkan bersama mayoritas terbesar warga Denmark (Nørr 2001).
Di Norwegia inisiatif pendidikan resmi yang pertama dalam bidang ini adalah dibukanya sebuah
sekolah siang pada tahun 1874, diikuti oleh pendirian sebuah sekolah khusus bagi anak
tunagrahita. Salah seorang perintis di sini adalah Johan A. Lippestad (1844-1913). Segera
menjadi jelas bahwa tidak semua anak yang masuk sekolah ini dapat belajar mengikuti silabus
yang ditetapkan sebelumnya, akibat tingkat kemampuan intelektual mereka (dan tentu saja juga
akibat tingkat kognitif yang dituntut oleh silabusnya). Akibatnya, saudara perempuan
Lippestad, Emma Hjorth (1858-1821) membeli sebidang tanah di luar ibu kota dan mendirikan
sebuah lembaga bagi orang tunagrahita berat, yang kemudian dia serahkan kepada kementrian
pendidikan (tutvedt 2001). Beberapa tahun setelah pendirian sekolah khusus pertama bagi
siswa tunagrahita, Norwegia menetapkan undang-undang Pendidikan Khusus pertama, tahun 1881.
Ini adalah undang-undang yang berkaitan dengan sekolah khusus bagi anak-anak tunanetra,
tunarungu atau tunagrahita.
Namun, meskipun ada undang-undang ini, mayoritas anak tunagrahita masih tidak mempunyai
sekolah selama bertahun-tahun kemudian, walaupun situasinya lebih baik bagi anak-anak yang
tunarungu dan tunanetra.
Dapatkah dididik?Sebagaimana telah dikemukakan di atas, gelombang pertama minat terhadap pendidikan khusus
yang melanda Eropa itu penuh dengan optimisme, sebuah optimisme yang tercermin dalam
undang-undang pertama di Norwegia tentang sekolah khusus. Namun, pada saat yang hampir
bersamaan dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, sebuah sikap baru dan yang lebih
pesimistik muncul dalam perdebatan di Eropa. Sebuah hambatan dibangun di tengah-tengah
kelompok anak berkebutuhan khusus dengan mengajukan pertanyaan: siapa yang dapat dididik,
dan siapa yang tidak dapat? Sekolah khusus dikembangkan bagi anak-anak yang disebut sebagai
anak-anak yang mampu didik sedangkan mereka yang pada waktu itu dianggap tidak mampu didik
ditempatkan di lembaga kesehatan dan sosial atau dilupakan.
Bersama dengan konsep “tidak mampu didik”, sejumlah kata lain menjadi bagian dari kosakata
pendidikan luar biasa, seperti degenerasi, higiene ras, egenetika, segregasi dan
sterilisasi. Pandangan filosofi yang muncul mendefinisikan degenerasi sebagai lawan dari
kemajuan. Individu, keluarga dan bahkan kelompok etnis diberi label “mengalami degenerasi”
dan oleh karenanya berbahaya bagi kemajuan masyarakat modern yang sedang berlangsung. Yang
disebut sebagai sifat-sifat herediter yang negatif dianggap destruktif bagi peradaban. Bagi
mereka yang mengikuti pandangan ini, menjadi penting bagi mereka untuk memisahkan dan bahkan
mengucilkan para penyandang cacat dari masyarakat umum, dan mencegah “perluasannya” dengan
sterilisasi. Gagasan ideal tentang masyarakat yang sehat menyisakan sedikit saja tempat bagi
orang penyandang cacat dan bahkan tidak ada tempat sama sekali bagi mereka yang tunagrahita
berat atau sakit mental. Mentalitas ini meminjam ide dari berbagai sumber. Bapak pergerakan
egenetika, Francis Galton (1822-1911) dipengaruhi oleh teori evolusi yang diciptakan oleh
sepupunya, Charles Darwin (1809-1882), yang mendapat inspirasi dari Jean-Baptiste Lamarck
(1744-1829), pemberi nama biologi. Lamarck sendiri beragumen bahwa sifat kepribadian dapatan
dapat menjadi herediter. Ini berarti bahwa seorang anak pencuri akan mewarisi sifat
mencurinya dari bapaknya. Hal ini serta sejumlah pendapat dan argumen lainnya yang cenderung
kontradiktif telah mengakibatkan timbulnya rasa takut akan terjadinya kemunduran peradaban
sebagai akibat dari degenerasi. Para ahli dalam beberapa disiplin ilmu menjadi perwakilan
popular dari pandangan ini, seperti dokter fisika Benedict A Morel (1809-1873) dari
Perancis, Alfred Ploetz (1860- 1940) dari Jerman, dan Cesare Lombroso (1835-1909) dari
Austria. Yang sudah disebutkan sebelumnya, Galton, adalah ahli statistika dan antropolog
dari Inggris, dan psikolog dari Amerika serikat Henry H. Goddard (1866-1957), adalah
spesialis dalam kategorisasi rinci tentang berbagai tingkatan ketunagrahitaan.
Tulisan-tulisan para ahli ini dibaca dan dibahas juga di negara-negara Nordik, dan mereka
mempunyai banyak pengikut. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa pendidikan menjadi kurang
terfokus, dan kalaupun terfokus, itu adalah beberapa lembaga yang telah didirikan sebelumnya
dengan tujuan mendidik dan menyembuhkan. Konsekuensi lainnya adalah bahwa jumlah institusi
bertambah dan diberi tanggung jawab baru. Beberapa lembaga baru itu dibangun di pulau-pulau,
untuk mencegah kontak antara orang-orang di lembaga tersebut dengan masyarakat lain, dan
untuk melindungi “masyarakat biasa” dari mereka yang dianggap mengalami degenerasi.
Sebagaimana telah disebutkan di muka, upaya ini difokuskan pada orang-orang yang sakit
mental dan tunagrahita, dan juga orang-orang yang melanggar hukum atau dianggap tidak
bermoral. Namun, adanya institusi-institusi besar tidak biasa di Norwegia ataupun di pulau
tetangga, Islandia, tidak seperti di negara-negara Nordik lainnya. Penyebabnya adalah bahwa
kedua negara yang jarang penduduknya ini, Norwegia dan Islandia, membangun kesejahteraan
sosialnya berdasarkan tradisi lama yaitu secara desentralisasi, sedangkan negara-negara
tetangga lain mengikuti tren Eropa. Sikap pesimistik terhadap kemungkinan belajar serta rasa
takut akan degenerasi itu dimanifestasikan dalam Undang-undang dan sejumlah buku putih serta
dalam berbagai perdebatan resmi, dan tercermin dalam praktek sehari-hari di Norwegia. Salah
satu konsekuensinya adalah bahwa masalah ketunagrahitaan yang parah dikeluarkan dari
tanggung jawab kementrian pendidikan. Anak-anak dengan kecacatan tersebut kini dianggap
tidak dapat dididik. Pemisahan dari pendidikan itu menjadi total selama beberapa dekade, dan
menurut sikap yang pesimistik, mereka tidak dianggap sebagai bagian dari perhatian
pendidikan khusus7 Becker 1995; Johnsen 2000; Kirkbæk 1992; Mandrup Rønn 1996).
Gerakan “penyelamatan anak”Walaupun pergerakan egenetika mempunyai posisi kuat, terdapat juga orang lain yang mempunyai
sikap yang lebih sayang terhadap anak-anak dan remaja yang dengan berbagai alasan tidak ikut
dalam institusi masyarakat biasa, yang bersaing untuk diperhatikan dalam debat resmi. Salah
satu pertanyaan klasik dalam perdebatan itu adalah apakah yang harus dilakukan terhadap
mereka yang tidak bersekolah? Ini merupakan sebuah pertanyaan serius di Norwegia dan Denmark
di mana sekolah dasar telah diwajibkan sejak tahun 1739 dan di mana undang-undang menuntut
hukuman bagi orang tua dan juga remaja yang melanggar hukum.
Terdapat banyak alasan mengapa ada anak yang tidak bersekolah. Alasan yang umum adalah
resistensi orang tua terhadap institusi baru yang didirikan oleh Raja. Tetapi ada alasan
lain. Mungkin keluarganya sangat miskin sehingga anak tidak mempunyai pakaian yang pantas
atau mungkin mereka bekerja di luar keluarga atau menjaga adik di rumah, atau mungkin mereka
ditahan di rumah karena keluarganya tidak percaya bahwa anaknya dapat belajar hal-hal yang
dituntut oleh sekolah.
Pada tahun 1850-an dukungan bagi anak dan remaja yang tidak bersekolah atau menganggur, dan
bagi mereka yang telah melanggar hukum dengan cara lain, dibahas dari sudut pandang yang
berbeda. Terhadap anak muda pelanggar hukum, sikap yuridis yang ketat mendapatkan dukungan
resmi. Akibatnya, anak hingga usia sepuluh tahun dapat di kirim ke penjara. Akan tetapi,
ketetapan lama tentang bolos sekolah tidak dikeluarkan dari Undang-Undang Pendidikan baru
tahun 1848 dan 1860. Namun, tidak satupun dari Undang-Undang ini dikeluarkan tanpa diskusi
yang hangat. Juru bicara pendidikan berargumen bahwa belajar adalah tindakan sukarela dan
oleh karenanya tidak dapat dipaksakan. Sejumlah upaya dilakukan dengan inspirasi dari
pergerakan philantropis di Inggris dan benua Eropa.
Pergerakan penyelamatan anak ini mempunyai pendukung di kepulauan Britania. Ini tidak aneh,
mengingat bahwa Revolusi Industri dimulai di Inggris dan anak-anak telah lama dimanfaatkan
dan disalahgunakan sebagai tenaga kerja. Di kalangan para penguasa, pada awalnya sikapnya
positif terhadap meluasnya penyalahgunaan sejumlah besar anak dari keluarga miskin itu.
Bahkan filosof John Locke merekomendasikan bahwa anak-anak dari keluarga miskin sebaiknya
mulai masuk ke sekolah industri pada usia tiga tahun dalam kombinasi antara berlatih dan
bekerja dalam industri yang sedang tumbuh itu (Cunninghan 1995). Akan tetapi, di samping
itu, dia juga adalah salah seorang pemrakarsa dalam lingkaran orang-orang kaya yang
mengemukakan bahwa anak dan masa kanak-kanak merupakan satu bagian yang khusus dari masa
kehidupan dengan kualitasnya sendiri. Padahal, Locke dan kemudian Rousseau memulai sebuah
gelombang minat dalam menciptakan kondisi perkembangan yang positif bagi anak. Kesenjangan
antara sejumlah besar anak yang dieksploitasi dan anak-anak dari keluarga kaya yang
memperoleh keistimewaan itu menjadi sangat tidak menyenangkan. Novel Charles Dickens dari
pertengahan abad ke-19, seperti David Copperfield, memberikan kontribusi yang penting yang
difokuskan pada perbedaan nasib pada anak-anak (Simonsen 1999). Pada awal abad ke-19
didirikanlah apa yang disebut masyarakat filantropik oleh kalangan borjuis, yang memfokuskan
perhatiannya pada peningkatan kondisi anak-anak miskin – dan juga peningkatan apa yang
dipandang sebagai standar moral yang rendah pada anak-anak ini. Tujuannya adalah untuk
mendidik mereka menjadi warga negara yang memiliki sikap yang sama dengan golongan yang
berkuasa. Upaya ini didasari oleh keyakinan bahwa setiap orang dapat menjadi kaya jika
mereka bekerja keras dan hidup menurut standar moral yang tinggi.
Ketertarikan para dermawan pada anak dari kelas bawah ini menyebar ke negara-negara Eropa
lainnya dan cenderung disesuaikan dengan kondisi sosial budaya tertentu dalam masyarakat
yang bersangkutan. Ini mengarah pada pendirian sekolah dasar di beberapa negara, baik atas
nama negara seperti di Norwegia dan Denmark seabad sebelumnya, maupun disponsori oleh
berbagai organisasi amal. Gelombang penyelamatan anak juga sampai ke Norwegia. Masyarakat
filantropik didirikan, artikel-artikel mengenai masalah ini diterjemahkan dan diterbitkan
pada jurnal-jurnal baru, ide-ide dibahas dan diimplementasikan. Pada saat yang hampir
bersamaan dengan ditetapkannya undang-undang kriminal yang ketat, “institusi penyelamatan
anak” pertama pun mendapatkan titik terang. Tujuannya adalah untuk “menyelamatkan anak-anak
yang secara moral terabaikan, menyelamatkan jiwa anak dan untuk mengurangi hukum gantung dan
penjara semaksimal mungkin” (Johannes falk, dikutip dalam Johnsen 1998/2000:446/314).
“Waisenhouses”, yaitu taman kanak-kanak pada tradisi lama seperti pada masa Francke di
Halle, juga didirikan untuk memberi anak-anak itu pengasuhan dan pendidikan dengan
“nilai-nilai moral yang sehat” sementara ibunya bekerja di pabrik. Perawatan filantropik ini
tampaknya berpedoman pada kombinasi antara amal Kristen dan standar moral kaum borjuis.
Namun, ini tidak mengarah pada didirikannya insitusi di mana-mana. Di Bergen, kota utama di
pesisir barat Norwegia, “masyarakat untuk penyelamatan anak dan remaja yang kurang bermoral”
lebih memilih untuk mengirim anak-anak pelanggar hukum ini ke keluarga “baik-baik” di
komunitas tetangga. Di sana mereka diharapkan mendapatkan pelatihan dan pendidikan yang
sehat dan baru untuk pekerjaan yang bermanfaat. Model ini sejalan dengan tradisi Norwegia
dalam menemukan solusi yang terdesentralisasi sebagaimana disebutkan di muka.
Sekolah khusus dan kelas khususJumlah sekolah khusus meningkat di Eropa selama abad ke-19 dan 20. Dan peningkatan terjadi
pula pada jumlah kebutuhan khusus yang teridentifikasi dan dikategorikan, yang selanjutnya
mengarah pada pendirian sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga yang lebih terspesialisasi
berdasarkan jenis kecacatan dan kesulitan yang dihadapi anak. Sebagian dari sekolah-sekolah
ini swasta dan yang lainnya sekolah negeri.
Norwegia mengikuti tren yang sama dengan negara Eropa lainnya. Karena anak-anak dengan
ketunagrahitaan berat dan parah dikeluarkan dari sistem persekolahan di Eropa, maka tanggung
jawab untuk pelayanan mereka juga dikeluarkan dari hukum pendidikan Norwegia dan dipindahkan
ke departemen kesehatan. Dalam Undang-Undang Norwegia yang ketiga dan terakhir tentang
sekolah khusus (1951), kelompok-kelompok berikut ini disebutkan: anak dan remaja yang
tunarungu atau berkesulitan mendengar, mereka yang tunanetra atau yang kurang awas, mereka
yang lambat belajar, mereka yang berkesulitan berbicara, membaca atau menulis, dan mereka
yang mengalami gangguan perilaku.
Dukungan pengajaran ekstra bagi siswa yang ketinggalan oleh sebagian besar anggota kelasnya
sudah dibahas sejak tahun 1850-an di ibu kota Norwegia. Variasi tingkatan pengetahuan dan
keterampilan siswa-siswa itu sangat besar sehingga kepala sekolah mengeluh tentang banyaknya
penggunaan waktu untuk mengulang materi yang sangat mendasar. Penyebab keadaan tersebut
banyak sekali. Sebagaimana disebutkan di muka, frekuensi membolos di kalangan anak-anak itu
tinggi karena keluarga membutuhkan anaknya di rumah atau untuk bekerja. Di samping itu, ada
anak yang tidak bersekolah karena tertular penyakit epidemik, yang sebagian disebabkan oleh
kekurangan gizi dan buruknya kondisi kebersihan. Selain dari itu, sebagian siswa adalah anak
yang lambat belajar atau mengalami kesulitan belajar lainnya. Tidak ada tindakan permanen
yang dilakukan pada saat itu mengenai pengaturan pengajaran khusus, tetapi perdebatan
mengenai hal itu telah dimulai.
Satu dekade kemudian, pada tahun 1860, kelas khusus pertama didirikan di Drammen, sebuah
kota dekat ibu kota. Kelas baru tersebut dimaksudkan bagi anak-anak yang “terabaikan dan
yang dapat terabaikan”, sebagaimana diistilahkan pada saat itu. Kelas khusus ini menandai
titik awal pengorganisasian kelas remedial di Norwegia dan Eropa. Akan tetapi, tidak sampai
satu abad kemudian, tahun 1955, pengajaran remedial dilembagakan dan dijamin secara
finansial oleh undang-undang pendidikan dasar Norwegia (Johnsen 2000).
Perubahan ideologiBahkan selama “periode Egenetika” pada awal abad ke-20 ide-ide baru mengenai pendidikan
anak-anak dengan berbagai kebutuhan khusus telah muncul dan diperdebatkan. Heinrich
Hanselmann (1882-1960) dari Swiss adalah seorang pelopor dalam pendirian pendidikan
kebutuhan khusus sebagai satu disiplin ilmu yang mandiri dengan pendidikan profesionalnya
sendiri. Pendidikan kebutuhan khusus digambarkan sebagai sebuah disiplin ilmu yang terkait
dengan pendidikan umum, filsafat, sosiologi, psikologi, dan kedokteran. Seperti tokoh-tokoh
lain pada zamannya, Hanselmann juga membagi anak-anak tunagrahita ke dalam dua kelompok. Dia
merekomendasikan pendidikan khusus bagi mereka yang dipandangnya sebagai mampu didik,
sedangkan mereka yang dipandang tidak mampu didik dirujuk ke lembaga-lembaga tertentu untuk
mendapat perawatan dan pengasuhan. Buku-buku tulisan Hanselmann dibaca secara luas oleh para
pendidik khusus di negara-negara Nordik, dan buku-buku tersebut berpengaruh besar pada
perkembangan disiplin ilmu tersebut di Norwegia.
Cendekiawan lainnya, yang baru dikenal di dunia barat pada tahun-tahun kemudian adalah Lev
Vygotsky (1896- 1934) dari Rusia. Kritiknya mengenai asesmen psikometrik terhadap anak-anak
serta fokusnya pada zona perkembangan proximal bagi tiap individu anak telah memberikan
inspirasi bagi banyak proyek inovasi praktis terhadap kelas-kelas sekarang ini. Sejak
zamannya, ide-idenya berpengaruh penting pada pendidikan kebutuhan khusus di Soviet dan
Eropa Timur, walaupun ide-ide tersebut tidak disukai oleh pihak elit yang berkuasa di Soviet
bertahun-tahun lamanya. Sekarang, setelah runtuhnya “tirani besi”, kondisinya mendukung bagi
studi banding dan dialog antara para interpreter barat dan timur serta para pelaksana
ide-ide Vygotsky tersebut (askildt & Johnsen 2001; Johnsen 2000).
Pada tahun 1970, sebuah komisi dari Departemen Pendidikan, Penelitian dan Gereja (KUF 1970)
menerbitkan sebuah laporan yang menjadi titik balik dalam wacana tentang pendidikan umum
maupun pendidikan kebutuhan khusus di Norwegia. Dokumen tersebut terkenal sebagai Blom
Report; namanya diambil dari nama ketuanya komisi tersebut, Knut Blom. Dalam laporan ini
prinsip integrasi diperkenalkan secara eksplisit dan didefinisikan secara jelas. Kriteria
integrasi adalah sbb:
a) Rasa memiliki /dimiliki dalam masyarakat sosialb) Partisipasi demi kepentingan masyarakat c) Tanggung jawab bersama atas tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban.
Satu konsekuensi dari laporan tersebut adalah bahwa undang-undang sekolah khusus yang
segregatif dihapus, dan masalah pendidikan siswa yang berkebutuhan khusus diintegrasikan ke
dalam perundang-undangan pendidikan reguler. Sejak itu tujuan umumnya adalah satu sekolah
untuk semua, dan bahwa semua siswa harus mulai pendidikan dasar mereka di sekolah setempat
di lingkungannya sendiri. Ini menuntut perubahan yang besar dalam aktivitas di dalam kelas
dan sekolah. Sejalan dengan Laporan Blom itu, sebuah kurikulum nasional baru, yang sangat
berbeda dengan kurikulum sebelumnya, dikembangkan. Sementara kurikulum lama lebih menyerupai
silabus yang terdiri dari berbagai keterampilan dan pengetahuan wajib yang konkrit,
kurikulum baru lebih terbuka dan fleksibel, memberikan kebebasan yang luas kepada guru
profesional dalam hal pemilihan materi dan metodenya. Dengan kurikulum nasional yang
memiliki kerangka kerja yang luas tersebut, kurikulum dapat diadaptasikan dengan kebutuhan
khusus siswa, dan kurikulum kelas dapat dibuat dengan cukup luas untuk melibatkan semua
siswa dalam aktivitas pendidikannya.
Sekolah untuk semua menjadi konsep kunci dalam wacana pendidikan kebutuhan khusus di
Norwegia dan negara-negara Nordik lainnya. Organisasi-organisasi non pemerintah, seperti
asosiasi untuk tunagrahita, menyelenggarakan bebagai lokakarya tentang cara mengembangkan
sekolah untuk semua, baik pada tingkat lokal, nasional maupun Nordik. Kelompok target untuk
infomasi dan argumentasi mereka adalah para politisi dan pejabat lainnya, orang tua serta
guru dan pendidik khusus di sekolah reguler maupun sekolah khusus. Sejumlah besar guru
reguler meningkatkan kemampuannya sendiri melalui perguruan tinggi di bidang pendidikan
kebutuhan khusus agar dapat lebih baik menerima siswa dengan berbagai kebutuhan di kelasnya.
Walaupun prinsip-prinsip integrasi dan satu sekolah untuk semua diakui secara meluas, tetapi
terdapat juga resistensi. Di antara yang skeptis adalah para profesional yang bekerja di
sekolah khusus dan institusi lain sejenisnya. Tidak semua orang tua yakin bahwa ini adalah
cara yang benar untuk memberikan layanan bagi anaknya yang menyandang kecacatan, dan mereka
mulai mendirikan asosiasinya sendiri.
Laporan Blom menandai titik balik resmi yang eksplisit mengenai hak pendidikan bagi anak dan
remaja penyandang cacat di Norwegia. Sejak itu perkembangannya adalah meninggalkan segregasi
dan bergerak menuju integrasi dan inklusi. Sekolah dasar reguler serta sekolah lanjutan
tingkat pertama dan tingkat atas terbuka bagi semua anak dan remaja, termasuk mereka yang
sebelumnya berada disekolah segregasi atau dikecualikan dari layanan pendidikan karena
gangguan perkembangan yang parah. Sejumlah upaya telah dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan sekolah dalam memberikan pendidikan yang berkualitas dengan mempertimbangkan
kebutuhan individu dan kebutuhan khusus. Pusat-pusat layanan pendidikan dan psikologis lokal
membantu sekolah-sekolah dalam melakukan asesmen dan merencanakan pendidikan kebutuhan
khusus berdasarkan manajemen kelas. Sebuah sistem pendukung pendidikan kebutuhan khusus
nasional, yang terdiri dari unit-unit yang berlokasi di berbagai bagian negeri, mengumpulkan
dan mengembangkan pengetahuan baru dalam bidang-bidang yang spesifik dalam area spesifik
pendidikan kebutuhan khusus. Penelitian dan pendidikan tinggi di bidang tersebut ditawarkan
di beberapa lembaga pendidikan keguruan, dan jurusan Pendidikan Kebutuhan Khusus di
Universitas Oslo menawarkan pendidikan pada semua jenjang, termasuk program Doktoral.
Perubahan ideologi ini berkembang sebagai satu fenomena umum yang terkait dengan sistem
kesejahteraan sosial-demokratik di negara-negara Nordik yang telah berkembang selama abad
ke-20. Kontribusi Norwegia adalah integrasi dalam pendidikan seperti dijelaskan di atas.
Namun, beberapa tahun sebelumnya Denmark dan Swedia membuka wacana tersebut. Integrasi dan
normalisasi merupakan konsep kunci pada tahap awal ini. Implementasi pertama prinsip
normalisasi itu diprakarsai di Denmark oleh Niels Bank-Mikkelsen pada tahun 1959,
bekerjasama dengan para orang tua anak yang tunagrahita. Pada saat memegang posisi pimpinan
di Departemen Sosial, Bank-Mikkelsen mendengarkan suara-suara orang tua yang tidak ingin
menyerahkan anaknya yang menyandang kecacatan itu di institusi. Tetapi mereka meminta
disediakan layanan lokal agar dapat mendidik anaknya di rumah dengan bantuan profesional
untuk memberikan habilitasi, pembelajaran dan perkembangan. Bengt Nirje dari Swedia
memberikan penjelasan yang sistematik tentang konsepnormalisasi ini.
“Normalisasi berarti berbagi ritme hari yang normal, dengan privasi, berbagai aktivitas, dan tanggung jawab bersama; ritme mingguan yang normal, dengan rumah sebagai tempat tinggal, sekolah atau tempat kerja, dan waktu luang dengan interaksi sosial; ritme tahunan, dengan mode dan cara hidup yang terus berubah, dan kebiasaan keluarga dan masyarakat yang berubah-ubah seiring dengan pergantian musim sepanjang tahun” (Nirje in Flynn & Nitsch 1980:32-33).
Kutipan di atas adalah bagian awal dari penjelasannya yang rinci tentang konsep normalisasi.
Ide pertama ini menyebar ke seluruh dunia barat. Di Amerika Serikat, Wolf Wolfensberger
mengadaptasikan konsep normalisasi ini ke masyarakat Amerika. Universitas Syracuse, di mana
Wolfensberger bekerja, menjadi sebuah inkubator bagi para cendekiawan yang berargumen dan
melakukan penelitian di bidang normalisasi dan kebutuhan khusus.
Tahun 1960-an, 70-an dan 80-an ditandai dengan meningkatnya keinginan orang untuk mendukung
budaya masyarakat sejahtera yang tersembunyi, kecil, lemah atau berkekurangan yang
terpencar-pencar. Pada saat yang bersamaan, wacana resmi dunia barat meledak dalam fokus
baru yang kuat pada hak-hak azasi manusia dan demokrasi di luar evolusi materialistik pada
beberapa dekade pertama paska perang dunia pertama. Konsep demokrasi menjadi berarti lebih
dari sekedar parlementarianisme dan politik kepartaian. Titik tolak konkret dari gelombang
perubahan mentalitas ini adalah yang disebut “Prague Spring” (musim semi Praha) pada tahun
1968, dan demonstrasi gabungan antara kaum buruh dan mahasiswa di Universitas Sorbonne di
Paris pada tahun yang sama. Para juru bicaranya, yang disebut “sixty-eighters”, mendapatkan
ide-idenya dari berbagai tradisi di berbagai bagian dunia. Akan tetapi, merupakan pertanyaan
yang terbuka, bukankah pejuang hak azasi manusia di Amerika Serikat, yang dipimpin oleh
Pendeta Martin Luther King, yang menyiapkan ladangnya. Melalui perlawanan untuk mendapatkan
kesamaan hak mereka sebagai warga masyarakat Amerika, orang-orang Afro-Amerika memasukkan
integrasi ke dalam agenda perjuangannya. Integrasi dan kesamaan hak azasi manusia menjadi
isu utama dalam perjuangan kelompok-kelompok minoritas lainnya, dalam pergerakan kebebasan
wanita – dan dalam perdebatan mengenai hak-hak penyandang cacat yang mulai berkembang
(Johnsen 2000).
Jadi, perubahan ideologi dalam wacana tentang pendidikan kebutuhan khusus merupakan bagian
dari wacana tentang hak azasi manusia serta wacana tentang integrasi yang lebih luas, dan
mempunyai ciri-ciri yang sama. Ini merupakan pergerakan yang dimulai dari “tingkat
masyarakat” hingga didirikannya asosiasi orang tua dan pengguna8 serta kolaborasinya dengan
para profesional di lapangan. Kelompok target utama bagi kampanye informasi mereka adalah
para politisi. Hak-hak harus dijamin melalui undang-undang. Wacana tentang hak-hak azasi
para penyandang cacat dan mereka yang berkebutuhan pendidikan khusus mencapai PBB beserta
organisasi-organisasinya. Hak semua anak atas pendidikan, termasuk hak mereka yang
berkebutuhan khusus, kini menjadi fokus dalam sejumlah deklarasi, seperti deklarasi PBB
tentang Hak Azasi Manusia tahun 1948, Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, pernyataan
Konferensi Dunia di Jomtien, Thailand, tahun 1990, di mana Pendidikan untuk Semua
disepakati, Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan bagi para penyandang Cacat yang
diterbitkan tahun 1994, dan akhirnya Pernyataan Salamanca UNESCO tentang Pendidikan
inklusif, yang disepakati di Spanyol tahun 19949.
Pada tahun-tahun setelah konferensi Salamanca, beberapa negara di dunia telah
mengintegrasikan prinsip-prinsip dari penyataan Salamanca tersebut, baik seluruhnya ataupun
sebagian, ke dalam perundang-undangan atau dokumen kebijakan. Sebagaimana ditunjukkan oleh
Mel Ainscow (1997) negara-negara tersebut sangat bervariasi, seperti Austria, Cina, Ghana,
Hongaria dan Uganda. Bagi negara-negara tertentu, prinsip-prinsip pendidikan integrasi dan
inklusi itu diambil dari pernyataan-penyataan internasional dan dimasukkan langsung ke dalam
dokumen kebijakan resmi. Beberapa organisasi non-pemerintah di negara-negara tersebut telah
menyiapkan diskusi mengenai prinsip-prinsip tersebut, sering kali diprakarsai oleh
organisasi terkait dari negara-negara barat. Namun, di beberapa negara pergerakan di tingkat
masyarakat tersebut tidak begitu kuat, walaupun upayanya tulus. Pada fase awal perubahan
idiologi ini, alur informasi dan penetapan keputusan di negara-negara ini pada umumnya
bersifat pergerakan top-down, yang berbeda dari pergerakan bottom-up di negara-negara
Nordik, dari asosiasi orang tua ke politisi. Konteks di mana prinsip-prinsip ini
diperkenalkan juga sangat berbeda dari model kesejahteraan sosial demokratik di
negara-negara Nordik, dan juga sangat beragam dari satu negara ke negara lainnya.
Perbedaannya terkait dengan keadaan ekonomi, tingkat demokratisasi, jumlah dan kualitas
keterlibatan pemerintah dalam upaya kesejahteraan sosial dan layanan pendidikan, sikap
terhadap anak dan terhadap kecacatan, serta sejumlah aspek budaya lainnya. Oleh karena itu,
dalam rangka menuju implementasi praktis dari kebijakan politik, berbagai tantangan baru dan
unik harus dihadapi.
Kemarin dan esok. Menurut sejarah kita dapat melihat bahwa wacana serta praktek pendidikan kebutuhan khusus
berisi ide-ide dan tradisi lama yang bercampur baur dan dimodifikasi dengan aliran pemikiran
baru yang senantiasa diperbaharui. Beberapa di antara ide itu dikembangkan melalui sistem
sekolah reguler. Sebagaimana dibahas pada awal artikel ini, ide-ide mengenai pembedaan
penggunaan materi pembelajaran serta pendidikan yang diadaptasikan secara individual
diujicobakan pada awal wajib belajar pendidikan dasar. Tanda-tanda awal fleksibilitas ini
didasarkan atas pengetahuan bahwa anak-anak berbeda dalam caranya belajar dan bahwa
anak-anak tertentu lebih membutuhkan bantuan daripada anak lain. Ide-ide dan langkah-langkah
yang spesifik juga telah dikembangkan dalam tradisi sekolah khusus. Penggunaan bahasa
isyarat dan membaca bibir bagi orang yang tunarungu, dan alfabet ukiran untuk dibaca dengan
indera perabaan oleh orang tunanetra merupakan contoh klasik yang berakar pada hasil
pemikiran masa lampau.
Namun, telah pula didokumentasikan bahwa sejarah pendidikan reguler maupun pendidikan
kebutuhan khusus bukan alur yang lurus dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik, dari
kegelapan menuju terang dalam pengetahuan dan sikap terhadap orang-orang yang berkebutuhan
khusus. Sebaliknya, penelitian dalam sejarah menunjukkan adanya gabungan antara
bermacam-macam tradisi dan gagasan, sebagian dengan konsekuensi positif bagi para
pewarisnya, sebagian lagi dengan konsekuensi negatif yang ekstrim. Seiring dengan berlalunya
waktu, ide-ide tertentu saling mendukung, yang lainnya saling bertentangan atau saling
mengubah, sehingga ide aslinya tidak dapat dikenali lagi. Ada ide yang menghambat perbaikan
kondisi para penyandang cacat, tetapi ada pula yang mendukung kondisi kehidupan yang lebih
baik dan mendukung belajarnya sebagaimana telah digambarkan dalam artikel ini. Selalu ada
bermacam-macam gagasan dan tradisi yang diperjuangkan untuk memperoleh posisi istimewa di
dalam wacana tersebut. Inilah yang juga terjadi sekarang dan hampir pasti akan pula terjadi
di masa datang. Maka dari itu, kita harus mempertahankan, mengembangkan dan mengadaptasikan
ide-ide yang baik untuk mengubah kondisi sekolah dan kondisi masyarakat secara keseluruhan.Saya berani mengatakan bahwa kondisi pendidikan maupun kondisi sosial bagi anak-anak dan
remaja yang menyandang kecacatan dan yang berkebutuhan pendidikan khusus telah mengalami
perubahan radikal menuju peningkatan kualitas selama beberapa dekade terakhir ini.
Setidaknya inilah yang terjadi di sejumlah negara yang lebih kaya, yang membangun atas dasar
model kesejahteraan sosial demokratik seperti di Norwegia dan negara-negara Nordik lainnya.
Hal ini penting untuk dipertimbangkan dalam wacana pendidikan kebutuhan khusus yang sedang
berlangsung. Namun, ini tidak terjadi di sejumlah negara yang sumber ekonominya tipis,
meskipun ada upaya keras dari sejumlah pejabat, peneliti dan organisasi non-pemerintah.
Sekurang-kurangnya kini masih ada 130 juta anak usia sekolah yang belum bersekolah (UNICEF
2000).
Sumber :
http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/Pengenalan_Sejarah_Pendidikan_Kebutuhan.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar