WeLCoMe To 1'st Dewi's Blog

WelCome...!!! To My 1'st blog!!!


pendidikan

pendidikan
sangat menyedihkan ya... pendidikan di negara kita...so.. jangan pernah menyia-nyiakan pendidikan yang kita dapat, karena masih banyak di luar sana yang kurang mendapat pendidikan yang layak. semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Jumat, 15 Mei 2009

Format Pendidikan Hindu di Sekolah "Mestinya Bermuara pada Pemahaman dan Terapan"

Krisis moral dan etika, harus diakui telah mengkondisikan kesenjangan di masyarakat. Masyarakat pun mulai mempertanyakan efektivitas pendidikan agama di lembaga pendidikan. Ditengarai ada permasalahan mendasar yang layak dipecahkan guna optimalisasi pencapaian sasaran pendidikan. Kurikulum pendidikan agama pun mulai ditimang-timang. Ternyata, terbatasnya alokasi waktu -- hanya dua jam dalam seminggu -- dinilai oleh berbagai kalangan sebagai salah satu penyebab. Pemuatan materi pelajaran yang tidak sesuai dengan usia anak didik telah membuat membiasnya pencapaian sasaran. Keberadaan guru yang tidak memahami betul ajaran agamanya juga dituding menjadi faktor penghambat. Benarkah? Lantas bagaimana solusinya, khususnya pendidikan agama Hindu?

====================

SELAMA ini, kurikulum pendidikan agama yang dominan memuat tataran kognitif hafalan membuat hasil pendidikan agama berhenti pada penilaian angka-angka. Padahal, muara pengajaran agama adalah tercapai kemampuan terapan dan pemahaman filosofinya.

Kenyataan ini, menurut Prof. Dr. IGN Gorda, M.S. merupakan masalah klasik yang bermuara pada tidak adanya keselarasan dalam penerapan pendidikan agama, khususnya agama Hindu di sekolah. Dikatakan, selama ini materi yang diajarkan tidak sesuai dengan usia anak didik. Untuk sekolah dasar (SD), seharusnya berbeda dengan materi yang diajarkan kepada mahasiswa. Dengan demikian, apa yang diberikan kepada anak didik akan dapat diterima dengan baik. ''Materi tersebut harus sesuai dengan sasaran yang dituju,'' jelasnya.

Gorda memaparkan dalam ajaran Hindu ada empat cara untuk bisa memahami agama itu atau mendekatkan diri dengan Tuhan. Keempat jalan inilah yang seharusnya dapat diterapkan dalam memberikan pengajaran Hindu di sekolah. Hal ini, mengisyaratkan pemberian materi harus mengacu pada jenjang pendidikan formal yang ada. Semua materi pengajaran itu harus berbeda. Cara tersebut dapat dilakukan melalui karma yoga.

Artinya, kata tokoh pendidikan yang juga pemerhati Hindu itu, dengan jalan ini seseorang dapat memahami ajaran agama dari perbuatan yang nyata. Lewat pola ini, anak didik diajarkan atau diberikan pendidikan agama dengan jalan memberikan contoh-contoh yang nyata. Hal ini sangat tepat kalau diberikan terhadap anak-anak yang baru mulai belajar, seperti anak-anak TK maupun tingkat SD awal.

''Bagaimana menyatakan rasa hormat terhadap anak yang lebih tua, bagaimana cara mewujudkan rasa bakti terhadap Hyang Widhi, yaitu dengan banten. Nah, cara seperti inilah yang diberikan terhadap anak-anak TK atau SD awal. Semua itu harus berdasarkan atas Weda,'' kata Ketua Program Pasca Sarjana LMN Denpasar ini sembari menambahkan, pada dasarnya, pemberian ajaran agama Hindu tidak harus melalui teori semata. Namun, bisa juga dilakukan dengan tindakan-tindakan nyata yang mencerminkan nilai-nilai keagamaan.

Kemudian kalau memberikan pendidikan agama terhadap anak-anak SD, kata dia, mereka bisa diberikan pengetahuan yang sifatnya masih sangat sederhana. Pada tahap ini, mereka diberikan tata krama bersikap sesuai ajaran agama. Salah satunya adalah menimbulkan rasa bakti kepada orangtua serta terhadap Tuhan. Salah satunya seperti membersihkan tempat suci, menjaga tempat itu dengan baik, merupakan salah satu pendidikan yang dapat diberikan terhadap anak-anak SD.

Kemudian pada tingkat SLTP ke atas, papar Gorda, mereka sudah bisa diberikan materi yang bersifat pemahaman, sehingga akan mampu menjelaskan ajaran agama sesuai dengan Weda. ''Tidak lagi mereka mengatakan mula keto,'' tandas Gorda sembari menambahkan demikian pula dengan tingkat yang lebih tinggi, materinya akan lebih diperbanyak dan sampai bentuk analisis untuk tingkat perguruan tinggi. ''Dalam tingkat ini sudah bisa diberikan Weda, etika, atau jnana dan raja yoga.''

Selain materi, yang tidak kalah pentingnya untuk diperbaiki dalam pengajaran agama Hindu di berbagai sekolah adalah dalam bidang sumber daya manusianya. Dalam hal ini guru yang mengajarkan agama. ''Saya melihat persoalan yang mendasar yang dialami dalam pendidikan agama, baik itu agama Hindu maupun agama lain, salah satunya adalah kekurangan guru yang betul-betul memahami agama itu sendiri,'' ujar mantan Rektor Undiknas itu.

Seorang guru, kata dia, harus mampu membedakan, kepada siapa mereka memberikan ilmunya. Mereka harus tahu cara yang terbaik untuk memberikan pendidikan agama terhadap anak didik. Sebab, seharusnya antara anak-anak SD, SLTP, SMU, dan mahasiswa cara yang diberikan berbeda. Cara tersebut harus disesuaikan dengan pola pikir yang terjadi dalam tiap anak didik.

Masalahnya, kata dia, selama ini terjadi suatu keterkungkungan terhadap seorang guru. Mereka harus ditargetkan mencapai sasaran tertentu, padahal sistem seperti itu tidak akan mampu membentuk sikap anak didik dengan baik. Hal tersebut juga dinilai akan membunuh kreativitas dari seorang guru dalam penyampaian materi. Sebab, mereka hanya berpedoman pada aturan yang telah ada, dan berlaku secara baku.

Jadi pada dasarnya, tandas Gorda, esensi pendidikan agama Hindu di sekolah sangat tergantung pada gurunya. Guru dalam sekolah pasti menjadi panutan. Kalau mereka mampu memberikan tatwa, etika, dan contoh-contoh yang baik, muridnya pun akan berbuat demikian. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk mengatakan kurikulum yang kurang sesuai atau waktunya yang kurang banyak, yang jelas keberhasilan tersebut sangat ditentukan oleh cara memberikan materi terhadap anak didik.

Prof. Dr. IGN Nala juga memandang dalam mencapai keberhasilan sebuah pendidikan, yang paling penting harus ada guru (SDM), murid, dan kurikulum sebagai acuan pengajaran. Ketiga faktor ini dinilai harus memiliki kualitas yang memadai -- baik dari segi SDM maupun kurikulum, sehingga mampu menghasilkan kualitas anak didik yang baik dari segi pemahaman agamanya.

Dalam konteks pengajaran sekarang dia menilai, perlu ada revisi terhadap kurikulum yang selama ini diterapkan di sekolah. Sebab, kurikulum yang ada sekarang dinilai belum sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Seharusnya, kurikulum yang diberikan pada tingkat SD, SLTP, SMU dan seterusnya harus dibedakan dengan jelas. Hal inilah yang perlu dilakukan revisi agar tidak ada kesan materi yang diajarkan di SD sama dengan apa yang diberikan pada tingkat SMU.

Di sisi lain, di mata Prof. Nala yang Rektor Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, permasalahan yang dihadapi dalam penerapan pendidikan agama Hindu di sekolah-sekolah adalah dana. Bahkan, dia mengatakan dana merupakan permasalah yang sangat mendasar merupakan hambatan untuk menciptakan out put yang baik.

Selain itu, kata dia, perhatian pemerintah terhadap pendidikan agama Hindu masih sangat kurang. Padahal, sesungguhnya pemerintah masih memerlukan lulusan-lulusan sarjana agama untuk ditempatkan di berbagai lembaga pendidikan maupun lembaga pemerintah lainnya seperti di Kanwil Agama. ''Perhatian pemerintah selama ini sangat kurang dalam upaya menciptakan SDM dalam bidang agama Hindu.''

Alokasi Waktu

Sementara itu guru agama Hindu Drs. I Gusti Ketut Widana memandang perlu adanya penambahan alokasi waktu untuk pendidikan agama di sekolah-sekolah. ''Yang perlu ditambah adalah alokasi waktu, bukan mata pelajaran lain seperti pendidikan budi pakerti. Sebab pendidikan itu sebetulnya sudah masuk dalam mata pelajaran lain seperti agama dan PPKn,'' ujar pengasuh mimbar Hindu di Mingguan Prima itu.

Namun, baik Nala maupun Gorda mengatakan soal alokasi waktu yang hanya dua jam per minggu bukan merupakan faktor penghabat dalam memberikan materi pendidikan agama. Mereka sepakat kalau waktu dua jam tersebut sudah cukup untuk satu mata pelajaran. Yang penting, bagaimana mengatur dan memanfaatkan waktu tersebut agar tidak terbuang percuma. ''Saya kira masalah waktu tidak menjadi persoalan yang mendasar. Biar berapa pun waktu yang diberikan kalau cara dan materi penyajian yang kurang tepat, tidak akan mampu menghasilkan out put yang baik. Namun, kalau waktu yang hanya dua jam itu dapat dimanfaatkan dengan maksimal, hasilnya juga akan lebih optimal,'' kata Gorda. Widana kemudian meluruskan bahwa yang dimaksud penambahan alokasi waktu itu, bukan penambahan jam mata pelajaran dari 2 jam seminggu menjadi 4 jam atau lebih. Tetapi, sekolah-sekolah mestinya bisa menyiasati dengan memasukkan pelajaran agama itu dalam pendidikan ekstrakurikuler. ''Secara formal masih bisa dua jam, tetapi di luar itu anak-anak harus mendapatkan waktu lebih untuk mendalami ajaran agama.''

Sebab, kata pengasuh Pasraman Jagatnatha itu, suksesnya anak-anak dalam mengikuti pelajaran agama tidak bisa diukur dari perolehan angka semata. Tetapi, juga bisa dilihat dari sikap dan perilakunya. ''Oleh karena itu jika kita konsekuen dengan tujuan pendidikan nasional bahwa selain mencerdaskan kehidupan bangsa, juga membetuk mental spiritual -- seharusnya pendidikan agama mendapat porsi yang sewajarnya,'' tandasnya.

Memang, dalam pendidikan agama, yang perlu diperhatikan bukan hanya aspek kognitif, juga aspek apektif (terapan). Jika selama ini pemberian pelajaran agama lebih banyak bersifat hafalan, ke depan mesti lebih menitikberatkan pada praktik agama. Dengan demikian, anak-anak selain hafal teori, juga mereka memahami filosofi agama, sehingga perilakunya di masyarakat lebih agamais. (ara/bra)

sumber : Balipost 2 Mei 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar