WeLCoMe To 1'st Dewi's Blog

WelCome...!!! To My 1'st blog!!!


pendidikan

pendidikan
sangat menyedihkan ya... pendidikan di negara kita...so.. jangan pernah menyia-nyiakan pendidikan yang kita dapat, karena masih banyak di luar sana yang kurang mendapat pendidikan yang layak. semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Jumat, 15 Mei 2009

Negara, Pendidikan Agama, Moralitas Bangsa

RUU Sisdiknas, khususnya pasal 12 ayat 1 (a), menghadapi keberatan kaum Nasrani
karena motif tertentu. Kini muncul pandangan yang mulai meragukan urgensi dan
efektivitas pendidikan agama, bahkan agama, bagi peningkatan moralitas bangsa.
Tulisan ini adalah tanggapan untuk tulisan Denny J.A., Jawa Pos Kamis, 20 Maret
2003.

Diskursus mengenai urgensi pendidikan agama di negeri ini sebaiknya dihubungkan
dengan ideologi formal negeri ini. Terlepas dari wacana yang berkembang, secara
ideologis, negeri ini telah mendasarkan dirinya pada Ketuhanan yang Maha Esa
(sila pertama Pancasila).

Secara konstitusional, negara memberikan hak hidup kepada agama-agama (UUD pasal
29). Kemudian, pada praktiknya, negara ikut campur dalam urusan agama. Institusi
atau departemen yang mengatur agama didirikan. Bahkan, partai politik yang
berdasar agama dibolehkan. Para pemimpin negeri ini menggunakan isu agama untuk
kepentingan politik.

Jika Pancasila dipahami dalam bentuk piramida terbalik, sila "Ketuhanan yang
Maha Esa" harus menjadi landasan segala sistem di negeri ini. Jika pun dipahami
dalam bentuk struktur kerucut, sila itu menjadi tujuan segala sistem. Karena
itu, Negara RI secara ideologis dan konstitusional berhak mengatur kehidupan
beragama rakyatnya, termasuk pendidikan agama. Negara ini adalah negara
berketuhanan, bukan negara sekuler.

Moralitas Bangsa

Jika negara ini telah disepakati sebagai negara berketuhanan, baik-buruk
moralitas bangsanya tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah. Ini berarti
bahwa sistem dan kebijakan pemerintah di segala bidang harus senantiasa berdasar
pada prinsip ketuhanan yang kondusif bagi pembinaan moralitas bangsa. Sistem
pendidikan nasional adalah salah satu di antara sekian sistem yang berhubungan
dengan pembinaan moral bangsa.

Pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri dan swasta memiliki landasan
konstitusional. Bahkan, itu harus terus dipertahankan dan dikembangkan sehingga
efektif dalam mendukung pembinaan moral bangsa ini.

Persoalannya, apakah pendidikan agama yang sekarang ini dilaksanakan telah
benar-benar efektif. Jika jawabnya adalah negatif, aka diperlukan clinical
remedy atau rekonstruksi materi pelajaran agama itu. Di sini perlu dilibatkan
pakar masing-masing agama untuk menentukan kualitas materi dan pakar bidang
pendidikan untuk metodologi.

Seperti disinggung di atas, di negeri yang menjunjung prinsip ketuhanan ini,
rasanya tidak perlu lagi mempersoalkan apakah pendidikan agama perlu diajarkan
di sekolah atau tidak. Ide meniadakan pendidikan agama dengan alasan masih
adanya dekadensi moral di masyarakat, rasanya, terlalu simplistik. Sama halnya
dengan logika Gulliver Traveller: "Jika sepatu Anda kotor, Anda tidak perlu
membersihkan karena nanti akan kotor lagi". Juga jika ekonomi negara ini mundur,
pelajaran dan fakultas ekonomi sebaiknya dibubarkan.

Kebobrokan moral bangsa saat ini tidak dapat dinilai dari variabel agama saja.
Bahkan, variabel-variabel dalam agama seperti jumlah pelaksana haji, jumlah
masjid dan gereja, atau simbol-simbol ritual lainnya tidaklah cukup. Variabel
lain-lain seperti kebijakan politik pemerintah, rekrutmen pegawai, pembangunan
suprastruktur dan infrastruktur, dan sebagainya, selama ini tidak meletakkan
peran agama secara proporsional.

Korelasi bahwa "semakin banyak jumlah penduduk yang naik haji semakin baiklah
moralitas bangsa" adalah korelasi yang tidak signifikan. Haji bukan ukuran
keimanan dan moralitas seseorang.

Selain itu, perlu dipertanyakan pula apakah populasi pelaksana haji atau
pengunjung gereja dan populasi pelaku tindakan amoral itu sama? Apakah para
koruptor itu adalah orang yang benar-benar taat beragama?

Korupsi, manipulasi, kolusi, dan tindakan amoral lain, sejatinya, adalah produk
sistem yang tidak adil. Kotornya Sungai Ciliwung bukan karena salah ulama atau
pelajaran agama di sekolah, tapi karena bobroknya sistem sanitasi yang dibangun
pemerintah yang korup. Perampokan, pembunuhan, penipuan, dan lain-lain adalah
buah dari ketidakadilan sosial dan ekonomi.

Sekarang marilah kita lihat negara Amerika atau negara Barat lain. Ekonomi
mereka maju, kehidupan publiknya nyaman, sistem sosialnya tampak rapi. Kesadaran
masyarakat terhadap peraturan publik tinggi. Tapi, perlu ingat bahwa agama
ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungi secara hukum, tapi agama
tidak boleh bersifat publik. Perayaan Natal meriah, Idul Adha tidak boleh di
lapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon.

Pelajaran agama tidak saja absen di sekolah, tapi murid-murid, khususnya muslim
tidak mudah melaksanakan salat lima waktu di sekolah. Kegiatan seks di kalangan
anak sekolah bebas, asal tidak melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal
untuk diri sendiri. Jadi, dalam kehidupan publik, kita tidak boleh melihat wajah
agama.

Apa yang disebut prinsip moral, sejatinya tak jelas, ia berbeda dan malah
bertentangan dengan arti akhlak Islam. Agama direduksi menjadi konvensi publik,
tuhan telah lama mati. Seorang muslimah yang menikah umur 17 tahun dan hamil,
misalnya, melanggar hukum. Tapi, seorang gadis Amerika yang hamil di luar nikah
tidak salah. Di manakah letak kebebasan beragamanya?

Di negara yang berketuhanan ini, agama perlu masuk ke dalam urusan publik.
Bahkan, pemerintah perlu memasukkan ke dalam setiap sistem secara jelas. Prinsip
keadilan harus ditegakkan: "Segala sesuatu diletakkan sesuai dengan tempat dan
proporsinya."

Pendidikan agama di sekolah ditingkatkan dan, kalau perlu, ditambah. Dalam
konteks RUU Sisdiknas, khususnya pasal 12 ayat 1 yang memberikan hak setiap
siswa untuk memperoleh pendidikan dan guru agama sesuai dengan agama
masing-masing, sudah cukup adil. Jika hak warga negara memperoleh pendidikan
agama dicabut, itu jelas tidak adil. Lebih tidak adil lagi jika semua siswa
diwajibkan belajar semua agama.

sumber : Hamid Fahmy, peneliti INSIST, mahasiswa PhD ISTAC Kuala Lumpur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar