WeLCoMe To 1'st Dewi's Blog

WelCome...!!! To My 1'st blog!!!


pendidikan

pendidikan
sangat menyedihkan ya... pendidikan di negara kita...so.. jangan pernah menyia-nyiakan pendidikan yang kita dapat, karena masih banyak di luar sana yang kurang mendapat pendidikan yang layak. semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Jumat, 15 Mei 2009

Layanan PAUD Belum Optimal

"" PEMERATAAN dan peningkatan akses layanan pendidikan anak usia dini (PAUD), khususnya anak usia di bawah 4 tahun, ... ""

PEMERATAAN dan peningkatan akses layanan pendidikan anak usia dini (PAUD), khususnya anak usia di bawah 4 tahun, anak sangat rawan dan kurang beruntung hingga saat ini hasilnya belum optimal. Hingga tahun 2006 layanan PAUD usia 0-6 tahun baru mencapai 28,3 juta anak. Jumlah ini sangat kecil bila dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Timur. Membandingkan dengan negara-negara tersebut tidak fair karena mereka sudah lebih dulu mengembangkan PAUD sedangkan kita baru beberapa tahun terakhir.

Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ace Suryadi mengakui masih rendahnya layanan PAUD ini, antara lain selain pemerataan akses yang belum optimal, terbatasnya sosialisasi akan pentingnya PAUD kepada masyarakat dan stakeholder PAUD, tapi juga kesadaran orangtua mengenai pentingnya PAUD masih perlu ditingkatkan. Karena itu, sejak tahun 2004 Indonesia terus mendorong peningkatan jumlah peserta PAUD khususnya melalui jalur non-formal sekalipun kenaikannya belum siginifikan tapi tetap terjadi peningkatan.

Pada tahun 2005 jumlah usia pra sekolah yang berhasil dijangkau program PAUD menjadi 28,3 persen, pada tahun 2006 menjadi 46,7 persen. Pada tahun 2007 ditargetkan sebesar 48,07 persen atau 28,4 juta anak usia 0-6 tahun dan usia 2-4 tahun sebanyak 12,1 juta anak. Pada tahun 2008 ditargetkan mencapai 28,5 juta anak usia 0-6 tahun dan 12,2 juta anak usia 2-4 tahun atau sebesar 50,5 persen. Sedangkan untuk tahun 2009 ditargetkan mencapai 53,9 persen atau 28,6 juta anak.

Ace Suryadi mengatakan, perkembangan PAUD saat ini memang belum menjadi prioritas karena kebijakan pendidikan nasional memang belum menyentuh hingga usia pra sekolah. “Meski begitu, UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 tahun 2003 telah mengatur mengenai PAUD sehingga sejak lima tahun terakhir telah membentuk Direktorat PAUD yang merupakan bagian dari Pendidikan Luar Sekolah (PLS),” katanya.

Selain itu, kewajiban pemerintah untuk memperhatikan perkembangan PAUD harus dilakukan sebagai pemenuhan atas komitmen internasional yang harus dilakukan setiap negara termasuk Indonesia berdasarkan Komitmen Jomtien, Thailand tahun 1990, Deklarasi Dakkar, Senegal tahun 2000 tentang education for all (EFA) serta Komitmen New York, AS tahun 2002.

Saat ini pendidikan pra sekolah di Indonesia dilaksanakan melalui jalur formal yakni Taman kanak-kanak dan PAUD non-formal yang diselenggarakan secara mandiri oleh masyarakat serta berbagai organisasi keagamaan, PKK, Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM), Taman Penitipan Anak (TPA), dan sebagainya.

Direktur PAUD Ditjen PLS Depdiknas, Gutama mengatakan, meskipun upaya pemerataan dan peningkatan akses layanan PAUD telah mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya namun memang belum mencapai hasil yang diharapkan, terutama terkait alokasi anggaran pemerintah.

Karena itu, papar Gutama, pihaknya terus menambah kerja sama dengan berbagai organisasi sosial untuk menjangkau seluruh pelosok tanah air dengan memberikan dana block grant bagi pengembangan PAUD non- formal. “Sasaran pelayanan PAUD non-formal yaitu anak usia 0-6 tahun dengan prioritas usia 2-4
tahun yang sangat rawan dan kurang beruntung, orangtua yang umumnya berada di desa-desa dan daerah padat penduduknya,” katanya.

Secara jujur pun harus diakui, sejak dicanangkan program PAUD tahun 1998, kehadiran lembaga-lembaga PAUD nonformal telah banyak menjaring anak usia emas yang selama ini terabaikan negara. Data BPS 2001 mencatat dari 26,1 juta
anak, hanya 28 persennya atau 7,1 juta anak saja yang menikmati pendidikan dengan penyebaran 9,9 persen langsung masuk kelas awal Sekolah Dasar (SD), 7,9 persen di PAUD formal (TK/RA), dan sisanya lebih dari 11 persen tersebar di PAUD nonformal.

Realita demikian tentu sangat relevan dengan komitmen Pemerintah RI untuk mempercepat pemerataan dan perluasan akses pendidikan, khususnya Wajib Belajar 9 Tahun dimana PAUD termasuk di dalamnya. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan di usia dini juga semakin membaik, jadi tidak ada alasan menunda program-program terkait penambahan anggaran, perluasan layanan, peningkatan mutu bagi penyelenggaraan PAUD formal maupun nonformal.

Apalagi jelas-jelas datang dukungan dunia internasional melalui pinjaman Bank Dunia (loan IBRD 4378-Ind), yang ditujukan bagi pendidikan anak usia dini terkhusus dengan sasaran anak usia 0-6 tahun yang berasal dari keluarga pra sejahtera (miskin). Yang artinya lagi-lagi PAUD nonformal menjadi \’mediator\’ sekaligus \’alat\’ yang paling efektif untuk mencapai sasaran tersebut.

Untuk merealisasikan amanat tersebut, sejak akhir 2006 lalu pemerintah pusat (Depdiknas) telah mendelegasikan wewenang pengelolaan PAUD ke daerah seiring era otonomi. Maksudnya tentu saja baik yaitu mencapai efektivitas capaian sasaran dengan pertimbangan setiap daerah tahu persis problema, karakteristik masyarakat dan solusi mengatasinya dalam pembangunan PAUD.

Tetapi harus diwaspadai juga \’kebiasaan\’ birokrasi di pemerintahan daerah yang sudah menjadi rahasia umum kental dengan unsur kolusi, korupsi dan nepotisme. Apakah dengan mempercayakan sepenuhnya kepada birokrasi di daerah akan tercapai apa yang sudah dikerjakan Dr Gutama (Direktur PAUD Depdiknas) sebelumnya yaitu telah dibangun 430 gedung baru, 155 gedung rehab, 96 perluasan gedung, dan 35 perluasan kelas untuk PAUD.

Bukankah seharusnya Pemda memiliki insiatif dalam pengadaan dana, sarana dan prasarana untuk mendukung program- program rintisan seperti PAUD bagi rakyat miskin di wilayahnya. Termasuk mendukung pengembangan lembaga PAUD yang sudah ada, perbaikan sarana dan prasarana PAUD formal dan nonformal di otoritas kekuasannya dengan tidak mengandalkan donasi dari pusat.

Pendelegasian wewenang tersebut jangan sampai mencederai komitmen pemerintah dalam upaya perluasan dan pemerataan layanan pendidikan khusunya bagi anak usia dini. Maka saat tugas masyarakat, terutama orangtua peserta didik, tenaga pendidik (tutor) dan mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan PAUD terintegrasi oleh Pemda (kabupaten/kota), hendaknya melakukan pengawasan dan kontrol terhadap realisasi program, mutu layanan dan kesinambungan program.

Begitu juga dengan birokrasi pemerintah kabupaten/kota yang memperoleh bantuan Bank Dunia seperti Indramayu (Jabar), Tangerang (Banten), Lebak (Banten), Pandeglang (Banten), Buleleng (Bali), Karang Asem (Bali), Klungkung (Bali), Denpasar (Bali), Gowa (Sulsel), Maros (Sulsel), Bone (Sulsel), dan Bulukumba (Sulsel), hendaknya menyadari membangun sebuah lembaga PAUD dengan optimal dan mengedepankan profesionalitas sehingga selain mampu mencapai sasaran juga berlangsung proses pembelajaran yang baik dan tepat. Jangan lagi ada pengurangan jumlah maupun mutu sarana dan prasarana, logistik, hingga penyunatan alokasi honorarium tutor yang sebetulnya sangat minim bagi standar pendidik, seperti yang banyak terjadi selama ini. Karenanya Depdiknas dibantu pihak independen perlu meningkatkan langkahlangkah supervisi, pemantauan, evaluasi dan monitoring (SPEM) dalam penyelenggaraan
PAUD yang dilakukan oleh birokrasi maupun masyarakat.

Independen bermutu
Sebaliknya berkaitan dengan eksistensi PAUD nonformal yang dikelola oleh Ormas, LSM, badan hukum dan badan usaha, menunjukkan perbedaan kualitas yang signifikan dengan PAUD yang dikelola birokrasi, terutama dalam hal layanan, metode dan mutu transfer of knowledge proccessing.

Mendiknas Bambang Sudibyo bahkan sempat menyindir buruknya mutu layanan dan fasilitas PAUD yang dikelola birokrasi daerah (kecamatan/kelurahan). Dia lebih antusias dengan pelaksanaan program pendidikan luar sekolah yang terintegrasi dan memanfaatkan peran rumah ibadah sebagai alternatif sarana proses pembelajaran.

PAUD yang dikelola oleh majelis-majelis taklim, pondok pesantren, pengurus rumah ibadah, kesusteraan, dan organisasi massa dinilai lebih konsisten dan cenderung berprestasi dibanding PAUD yang dikelola birokrasi. Biasanya pangkal masalah terletak pada niat dan motivasi awal pendirian PAUD.

Korelasi dari kualitas pengelolaan PAUD adalah mutu pembelajaran dan capaian hasil yang akan diraih peserta didik. Apabila pengelolaan PAUD dijalankan seadanya, tanpa motivasi dan kesadaran menjalankan amanat untuk menyelamatkan generasi masa akan datang di usia emasnya, maka yang terlihat adalah lembaga-lembaga PAUD yang “hidup segan mati tak mau” setelah meluluskan anak yang biasa saja.

Pandangan tersebut harus diubah dengan menampilkan PAUD yang ditujukan bagi kelompok masyarakat miskin sekalipun dapat menjadi sebuah lembaga yang potensial dalam prestasi sekaligus menguntungkan secara ekonomis. Artinya para guru harus dimotivasi untuk menunjukkan kinerja sebaiknya yang diukur dari capaian prestasi siswa, terutama yang berorentasi lomba atau kompetisi dengan PAUD lain di tingkat kecamatan, kabupaten bahkan nasional.

Dengan membangun prestasi, walau bukan tujuan primer, akan melahirkan pencitraan positif lembaga PAUD yang bersangkutan. Dengan citra yang baik, PAUD nonformal yang identik dengan “sekolah anak miskin” semakin dihargai dan berkelas layaknya PAUD formal (TK/RA) sehingga dapat menarik swadaya masyarakat untuk talasan perbaikan sarana dan layanan.

Faktanya beberapa PAUD nonformal di sejumlah daerah, seperti di Kabupaten Bogor, Cibinong, Bojong dan Megamendung memiliki sasaran anak dari keluarga pra sejahtera. Pada praktiknya mereka dapat berprestasi, mempertahankan konsistensi dan siap mengembangkan diri. Sebaliknya beberapa PAUD di ibukota seperti di Manggarai Jakarta Pusat, semenjak diambilalih pengelolaaannya dari LSM oleh birokrasi semakin terpuruk. Tidak lain karena kehilangan motivasi dan hanya mengandalkan donasi rutin dari Pemda dan donatur.

Melihat realita dan fakta tersebut maka perlu motivasi kuat bagi pengelola, pendidik dan tenaga kependidikan PAUD nonformal untuk menjadikannya sebuah lembaga yang potensial, malah kalau bisa menyejahterakan mereka yang terlibat di dalamnya. Kuncinya tentu saja pengelolaan yang menjunjung pengabdian serta mengarah profesionalisme baik dalam pengadaan sarana, alat permainan edukatif (APE), penerapan metode dan kurikulum serta rekruitmen tenaga pendidik dan kependidikan.


SUMBER : wartaplus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar