WeLCoMe To 1'st Dewi's Blog

WelCome...!!! To My 1'st blog!!!


pendidikan

pendidikan
sangat menyedihkan ya... pendidikan di negara kita...so.. jangan pernah menyia-nyiakan pendidikan yang kita dapat, karena masih banyak di luar sana yang kurang mendapat pendidikan yang layak. semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Jumat, 15 Mei 2009

Merombak Pendidikan Agama Islam

JIKA kredibilitas Departemen Agama dipertanyakan dalam mengelola pendidikan,
maka Depag harus legawa (rela) melepaskan Universitas Islam Negeri (UIN)
kepada Departemen Pendidikan Nasional. Hakikatnya UIN tidak berbeda dengan
Perguruan Tinggi yang di dalamnya mengelola Fakultas Agama. Departemen Agama
seyogianya dapat melepaskan beban politis ideologis; artinya, tidak perlu
khawatir nilai dan pesan-pesan agama terdistorsi, karena sudah ada
Undang-Undang Pendidikan Nasional yang menjamain tumbuh berkembangnya
nilai-nilai agama dalam pendidikan formal.
Rumusan pemikiran di atas merupakan kata kunci yang disodorkan oleh DR
Ahmadi dalam pidato pengukuhan guru besar Ilmu Pendidikan Islam pada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
Ahmadi membuat perbandingan di negeri Belanda dalam penelitiannya tahun
1993-1994 tentang Studi Agama di Belanda, bahwa negara yang menganut paham
sekuler, masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi yang bermuatan
pesan-pesan spiritualitas dijembatani dengan peraturan perundang-undangan
yang disebut dengan Duplet Ordo dengan produk pendeta-pendeta Kristen yang
komit dengan agamanya. Jika Belanda mampu melaksanakan Pendidikan Agama di
perguruan tinggi dengan pendekatan religius, Indonesia dengan Pancasilanya
sudah pasti lebih mampu.
Ahmadi menolak dikotomi lembaga pendidikan Islam. Munculnya UIN, sebuah
jelmaan IAIN/STAIN sebagai universitas yang berlabelkan Islam telah
mendiskreditkan perguruan tinggi negeri lain yang tidak berlabelkan Islam
menjadi tidak Islami.
Sederetan universitas yang dapat disebut seperti; UGM, Undip, ITB, dan UI
serta PTN lain serta universitas Islam swasta, telah banyak memunculkan
produk pakar santri dengan komitmen yang tinggi terhadap Islam dan
ke-Indonesian.
Pemikiran Ahmadi tersebut merupakan catatan pertimbangan dalam pendirian UIN
ke depan. Analisis itu ditunjukkan dalam konsep pengembngan kurikulum IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menggunakan pendekatan integratif dan
interkonektif yang dimaksudkan untuk membangun kurikulum yang inklusif dan
humanis.
Ahmadi lebih berpihak pada IAIN/STAIN agar tidak terburu-buru mengubah diri
menjadi universitas. Karena, jika IAIN sebagai PTAI mampu meningkatkan
kualitas dan pengembangan ilmu keislaman yang bergayut dengan problema
kehidupan, IAIN akan menjadi pesan khusus yang dicari masyarakat.
Islam Suplemen
Posisi Khalifatullah fil Ardl tidak cukup hanya dengan bekal agama. Iman
yang tidak disertai ilmu, mudah ditipu, demikian sebaliknya ilmu tanpa iman,
menjadi penipu.
Dalam konteks ini, Ahmadi berpendapat bahwa Pendidikan Agama mempunyai
peranan strategis dalam mengintegrasikan nilai-nilai dalam seluruh kegiatan
pendidikan.
Implikasi dari pemaknaan pendidikan Islam adalah reposisi pendidikan Islam
dalam sistem pendidikan nasional.
Berikut ini adalah cuplikan sebagai tulisan atas Ahmadi dalam kertas pidato
pengukuhan guru besarnya yang mengulas relevansi substansi antara pendidikan
nasional dengan pendidikan Islam.
Pertama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar
pendidikan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam (Tauhid); kedua,
pandangan terhadap manusia sebagai makhluk jasmani-rohani yang berpotensi
untuk menjadi manusia bermartabat (makhluk paling mulia); ketiga, pendidikan
bertujuan untuk mengembangkan potensi (fitrah dan sumber daya manusia)
menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi
pekerti luhur (akhlak mulia), dan memiliki kemampuan untuk memikul tanggung
jawab sebagai individu dan anggota masyarakat.
Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada posisi konsep. Ditinjau dari
tataran universalitas konsep Pendidikan Islam lebih universal karena tidak
dibatasi negara dan bangsa, tetapi ditinjau dari posisinya dalam konteks
nasional, konsep pendidikan Islam menjadi subsistem pendidikan nasional.
Karena posisinya sebagai subsistem, kadangkala dalam penyelenggaraan
pendidikan hanya diposisikan sebagai suplemen.
Mengingat bahwa secara filosofis (ontologis dan aksiologis) pendidikan Islam
relevan dan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional,
bahkan secara sosiologis pendidikan Islam merupakan aset nasional, maka
posisi pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional bukan sekadar
berfungsi sebagai suplemen, tetapi sebagai komponen substansial.
Artinya, pendidikan Islam merupakan komponen yang sangat menentukan
perjalanan pendidikan nasional. Keberhasilan pendidikan Islam berarti
keberhasilan pendidikan nasional, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu,
pendidikan nasional sebagai sebuah sistem tidak mungkin melepaskan diri dari
pendidikan Islam. Secara yuridis hal ini telah terakomodasi dalam
Undang-Undang Sisdiknas no. 20 tahun 2003.
Dengan terintegrasikannya sistem pendidikan nasional Islam sebagai komponen
substansial ke dalam system pendidikan nasional, maka konsep lama yang
membatasi pengertian pendidikan Islam secara sempit hanya pendidikan
keagamaan harus dihapuskan. Implikasi politisnya adalah, kebijakan lama yang
sampai sekarang masih berlaku yaitu memisahkan antara pendidikan Islam
(keagamaan) yang dikelola dan dibina oleh Departemen Agama dan pendidikan
umum yang dibina dan dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional, harus
ditinjau kembali.
Upaya peninjauan kembali peranan Depag sebagai pengelola pendidikan Islam
memerlukan pikiran jernih, dengan menghilangkan kegamangan dari para elite
muslim dan menanggalkan beban politis ideologis masa lalu yang selama ini
menggelayutinya, serta memfokuskan pada pertimbangan pedagogis dan akademis.
Jika hal ini dapat dilakukan, maka akan lahir kebijakan yang reformatif,
yaitu : pengelolaan pendidikan Islam yang selama ini berada di tangan
Departemen Agama diserahkan kepada Departemen Pendidikan Nasional, dengan
pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, situasi dan kondisi sosio-kultural-politik sudah berubah. Kalau
kekuatan sosio politik pada awal kemerdekaan terbelah tajam secara ideologis
menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang keduanya terlibat dalam
pergumulan politik ideologis sedemikian keras, maka sekarang sudah berubah.
Kalau para tokoh nasionalis Islam di awal kemerdekaan memperjuangkan
masuknya pendidikan Islam (keagamaan) dalam pengelolaan Departemen Agama
merupakan keharusan sejarah (dlaruri), maka tidak demikian halnya di waktu
sekarang.
Sekarang Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah merupakan common platform.
Aspirasi politik umat Islam sudah menyebar ke semua partai politik yang ada
dan tidak utuh lagi. Bahkan parpol yang berlabel Islam tidak memiliki
kekuatan penentu. Oleh karena itu klaim bahwa Departemen Agama sebagai
representasi kumpulan semua kekuatan sosio-politik Islam dan sebagai
satu-satunya penyangga pilar pendidikan Islam sudah tidak relevan lagi.
Kedua, dualisme sistem kelembagaan pendidikan di Indonesia (pendidikan
keagamaan oleh Departemen Agama dan pendidikan umum oleh Depdiknas) menurut
Zamahsyari Dhofir merupakan suatu keunikan. Menurut hemat saya dualisme
semacam itu dalam kondisi sekarang merupakan suatu keanehan yang perlu
diluruskan. Manajemen modern mengenalkan prinsip efektivitas, efisiensi, dan
fungsional sebagai kunci keberhasilan manajemen. Oleh karena itu, penyerahan
otoritas pengeloilaan pendidikan Islam ke Depdiknas berarti melaksanakan
prinsip ini.
Ketiga, secara teoritis pengembangan ilmu pengetahuan akan optimal, manakala
bebas dari tekanan berbagai kepentingan lain terutama politik, sebagaimana
kata syair Al-'ilmu la yumkinu an yanhadladla illa idza kana khurran (ilmu
tak akan berkembang kecuali ada kebebasan). Kehidupan modern mengenal adanya
bermacam-macam institusi seperti politik, ekonomi, budaya, agama, dan
pendidikan. Masing-masing memiliki wilayah garapan dan penataan
sendiri-sendiri. Lembaga pendidikan sebagai pranata ilmu pengetahuan harus
terlepas dari tekanan institusi lain.
Keempat, wilayah garapan pendidikan yang selama ini dikelola oleh Depag
sudah sedemikian luas, tidak hanya pendidikan agama dan keagamaan, tetapi
mencakup hamper semua bidang ilmu pengetahuan, sehingga kelebihan beban
(over loaded). Kalau hal ini diteruskan berarti pemaksaan diri karena
memberikan beban tugas di luar batas kemampuannya.
Kelima, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutam yang
berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti
kebijakan Depdiknas. Depag sebagai pengikut konsekuensinya selalu di
belakang, artinya menunggu kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas.
Di kalangan dosen hal ini sangat dirasakan karena kenaikan pangkat lektor
kepala dan guru besar ditentukan oleh Depdiknas. Sedangkan contoh paling
mutakhir adalah mengenai pengembangan kurikulum dengan pendekatan kompetensi
(KBK). Dengan demikian berarti Depag tidak memiliki otoritas, sehingga
inovasi dan kreativitas menjadi terbatas.
Keenam, kalau kita sepakat perlunya mewujudkan pendidikan nondikotomik, maka
dengan menempatkan pendidikan Islam pada satu atap di Depdiknas berarti
sudah menghilangkan pendidikan dikotomik, sekurang-kurangnya dari aspek
kelembagaan.(18)

sumber : -RozihanDosen Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Sultan Agung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar