WeLCoMe To 1'st Dewi's Blog

WelCome...!!! To My 1'st blog!!!


pendidikan

pendidikan
sangat menyedihkan ya... pendidikan di negara kita...so.. jangan pernah menyia-nyiakan pendidikan yang kita dapat, karena masih banyak di luar sana yang kurang mendapat pendidikan yang layak. semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Rabu, 13 Mei 2009

Pendidikan Khusus Kaum Miskin?

ADA kisah menarik dari Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom.
Dikisahkan, Sen yang berumur sekitar sepuluh tahun dan tinggal di Dhaka bermain
di kebun rumahnya pada suatu siang.

Tiba-tiba datang ke rumah Sen seseorang yang terluka tusuk-dengan pisau masih
tertancap di punggungnya-dan berlumuran darah meminta tolong. Ternyata orang
itu adalah korban salah sasaran dalam kerusuhan komunal yang sedang terjadi di
kawasan itu.

"Istri saya sudah melarang saya untuk pergi ke daerah yang terkena huru hara,
namun saya tidak punya pilihan. Saya harus mencari kerja agar keluarga saya
bisa makan hari ini," jelas orang itu kepada ayah Sen dalam perjalanan ke rumah
sakit. Orang itu, diketahui, bekerja sebagai buruh lepas harian. Akhirnya,
orang yang bernama Kader Mia itu meninggal di rumah sakit.

Ketidakbebasan kaum miskin

Sen menceritakan kisah nyata itu untuk menggambarkan betapa kemiskinan membuat
seseorang kehilangan kebebasannya. Sebabnya, preferensi orang miskin amat
terbatas. Kader Mia kehilangan nyawa karena tidak punya pilihan untuk tinggal
di rumah dan menghindari kerusuhan komunal. Dia tidak punya tabungan, bahkan
untuk hidup keluarganya selama satu hari.

Ada sisi lain dari cerita itu. Cerita itu-sedikit banyak-menggambarkan
rasionalitas kaum miskin dalam menentukan preferensi dan mengambil keputusan.
Suatu bentuk rasionalitas yang mungkin amat berbeda dari orang nonmiskin. Pokok
persoalannya, alternatif bagi orang miskin sangat terbatas.

Hal ini berkaitan langsung dengan kebijakan publik dalam mengentaskan
kemiskinan. Implikasinya, tiap kebijakan publik yang terkait pengentasan
kemiskinan harus memperhitungkan "karakteristik" preferensi yang terkait dengan
ketidakbebasan kaum miskin itu. Tanpa itu, kebijakan tidak akan bekerja secara
operasional. Itulah yang terjadi pada banyak kasus. Contohnya, petani miskin di
beberapa negara berkembang memiliki preferensi untuk menolak inovasi pertanian.
Banyak pihak-di luar petani miskin itu-yang semula menganggap preferensi petani
itu bersifat irasional.

Padahal, hal itu justru merupakan keputusan rasional petani. Inovasi pertanian
memang menjanjikan hasil produksi dan pendapatan lebih banyak. Namun, inovasi
itu juga mengandung risiko-meski mungkin tidak tinggi-berupa turunnya produksi
dan pendapatan dibanding bertani memakai cara lama. Dengan pendapatan yang
sedikit di atas batas kehidupan fisik minimum (KFM), petani menjadi takut
risiko inovasi itu.

Karena itu, tiap kebijakan publik dalam pengentasan kemiskinan harus
berbasiskan data dan kebutuhan di tingkat mikro. Karakteristik masalah di
antara kasus-kasus kemiskinan amat bervariasi dan hal itu akhirnya menentukan
preferensi kaum miskin. Ini berarti, perlu ada kebijakan khusus untuk kaum
miskin sekaligus tidak ada solusi yang seragam antara berbagai kasus kemiskinan.

Itu juga yang disampaikan ekonom dan Kepala Columbia University's Earth
Institute Jeffrey Sachs mengenai pengentasan kemiskinan. Menurut dia, diagnosa
terhadap kemiskinan harus seperti diagnosa seorang dokter terhadap pasiennya.
Dia menamakannya clinical economics. Dalam analisis ini, kemiskinan harus
dilihat secara komprehensif dan teliti sehingga melahirkan kebijakan publik
yang praktis dan tepat. Seperti penyebab sakit pada pasien, menurut Sachs,
penyebab kemiskinan antartempat atau masyarakat tidak dapat digeneralisasi.

Pendidikan kaum miskin

Preferensi dan ketidakbebasan juga harus menjadi pertimbangan kuat dalam
melaksanakan kebijakan pendidikan bagi kaum miskin. Dalam konteks ini,
pendidikan diharapkan mampu memperluas kebebasan dan preferensi kaum miskin.

Yang masih dilupakan, kebijakan pendidikan sendiri-agar bisa mencapai
tujuannya-juga harus memperhitungkan preferensi dan keterbatasan kaum miskin.
Ini terlihat, misalnya, dalam reaksi keras terhadap rencana kategorisasi jalur
pendidikan formal menjadi jalur formal mandiri dan jalur formal standar. Yang
tampak dari wacana ketidaksetujuan itu adalah ilusi normatif dan generalisasi
usulan kebijakan pendidikan bagi kaum miskin.

Faktanya, anak dari keluarga miskin terutama yang tergolong chronical poverty
atau extreme poverty memerlukan semacam kebijakan pendidikan khusus. Hal ini
disebabkan kaum miskin memiliki keterbatasan dan karakteristik masalah yang
berbeda dengan orang nonmiskin. Pendidikan yang bersifat umum-meski terasa
mulia secara normatif-tidak akan efektif memutus lingkaran setan kemiskinan
(vicious circle of poverty).

Sedikitnya, ada dua penyebab kebutuhan itu. Pertama, tingginya biaya pendidikan
yang bersifat umum, terutama bagi kaum miskin kronis. Biaya pendidikan langsung
masih bisa dibebankan kepada anggaran publik, tetapi tidak demikian halnya
dengan biaya tidak langsung seperti biaya transportasi, uang saku, dan "biaya
belajar". Biaya belajar yang sering diabaikan, misalnya, bernilai signifikan.
Jeffrey Sachs menjelaskan, 33 siswa di sebuah daerah miskin di Kenya yang
berhasil lulus ujian nasional. Kuncinya, komunitas itu mendukung aktivitas
belajar siswa di luar jam kelas dengan menyediakan makanan di siang hari.

Kedua, terkait poin pertama, kaum miskin memiliki kebutuhan untuk segera
bekerja. Waktu tunggu untuk menamatkan pendidikan tinggi, misalnya, terlalu
panjang. Ini melahirkan kebutuhan terhadap sekolah pada tingkat dasar atau
menengah yang memberikan keterampilan khusus dan sesuai kesempatan kerja.

Tanpa kebijakan yang spesifik, data BPS menunjukkan, pendidikan sampai tingkat
menengah pertama belum efektif mengatasi pengangguran. Data tahun 2003
menunjukkan, pengangguran terbuka pada kelompok tidak sekolah atau tidak tamat
SD sebesar 5,57 persen. Pengangguran terbuka pada kelompok tamatan SD dan
tamatan SMP umum lebih tinggi, berturut-turut sebesar 6,34 persen dan 11,41
persen.

Dapat ditafsirkan, pendidikan dasar yang bersifat umum seperti sekarang ini
tidak mampu menyelesaikan masalah kaum miskin. Tanpa tabungan, akses, dan
kekayaan, kaum miskin yang menyelesaikan pendidikan dasar dan menganggur akan
kian menderita. Karena itu diperlukan jenis pendidikan yang lebih spesifik bagi
kaum miskin, misalnya pendidikan berbasis keterampilan dan potensi lokal, yang
mampu menjadi bekal memperoleh pekerjaan.

Akhirnya, hindari berpikir normatif dan menerapkan generalisasi dalam kebijakan
pendidikan bagi kaum miskin. Termasuk menerapkan kebijakan yang kelihatan ideal
dan memenuhi asas normatif tetapi tidak akan berfungsi di lapangan.


sumber : Tata Mustasya Peneliti Ekonomi The Indonesian Institute, Alumnus FEUI


[Non-text portions of this message have been removed

Tidak ada komentar:

Posting Komentar