PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
SEBAGAI BAGIAN DARI
TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
Bangsa Indonesia mengalami penjajahan Belanda sekitar tiga ratus lima puluh tahun lamanya. Penjajahan Belanda ini telah mewariskan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia yang porak-poranda dalam banyak hal. Situasi sosial budaya masyarakat Indonesia yang majemuk ditambah dengan wilayah geografisnya yang luas, sangat rentan terhadap bahaya agitasi atau hasutan yang menjurus pada huru-hara serta pemberontakan1 dan ekspansi atau perluasan wilayah suatu negara dengan menduduki -sebagian atau seluruh- wilayah negara lain.2
Sejak abad ke-7 Masehi, sebagian masyarakat Nusantara (nama Indonesia baru populer sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928) telah memiliki tatanan sosial budaya yang maju serta beraneka ragam, sistem pemerintahan kerajaan yang ada di Nusantara telah dikenal samapi daratan Asia. Kerajaan-kerajaan -di Jawa maupun dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku- masuk dalam interaksi sosial, politik dan hubungan internasional, termasuk melalui perdagangan. Namun, perang antar kerajaan tetap ada dalam rangka melebarkan wilayah kekuasaan yang mereka miliki. Situasi konfrontasi antar kerajaan-kerajaan lokal ini menjadi semakin ramai dengan masuknya pihak Barat, yang didahului oleh bangsa Portugis dan disusul kemudian oleh bangsa Belanda. Kehadiran bangsa Belanda, melalui VOC atau Verinigde Oost-Indische Compagnie dan kemudian menjajah, menjadi faktor penting bagi terciptanya masyarakat Indonesia yang terkotak-kotak. Hal itu terjadi karena alasan politis, Belanda telah membagi masyarakat dalam berbagia tingkatan, yaitu golongan bangsa Eropa, di dalamnya orang Belanda, Timur, termasuk keturuanan China, dan golongan pribumi. Bahkan dalam masyarakat Indonesia sendiri, mereka yang menjadi Kristen dianggap telah menjadi satu dengan bangsa penjajah.
Memasuki masa kemerdekaan, sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia masih belum dapat mewujudkan suatu proses yang kondusif pembangunan dan perubahan kondisi masyarakat, oleh karena masih disibukkan dengan penataan politik dalam negeri dan menghadapi periode revolusi mempertahankan kemerdekaan dari agitasi Belanda dan sekutunya. Dengan situasi demikian, Proklamasi kemerdekaan hanya berlaku sebagai upaya membebaskan masyarakat Indonesia dari penjajahan bangsa asing -dhi. Jepang dan juga Belanda- secara fisik; tetapi di lain pihak, tidak serta-merta membebaskan masyarakat Indonesia dari situasi, mental dan terbelakang. Lebih dari lima dasa warsa, masyarakat Indonesia berada dalam keadaan yang tidak kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa yang sangat majemuk. Hingga memasuki awal tahun 2000, masyarakat Indonesia masih diselubungi dengan kondisi yang memprihatinkan.3
Ide dan gagasan untuk membangun serta memperhatikan semua kepentingan masyarakat, setelah melewati masa yang cukup panjang, ternyata tidak terwujud semua, bahkan ada yang perwujudannya hanya sebatas jargon-jargon politis belaka. Sementara itu, ekslusivisme serta keinginan kelompok-kelompok agama tertentu agar menjadi dominan dalam peta kepemimpinan bangsa serta pengambilan keputusan politis pemerintah menjadikan konflik kepentingan agama bahkan ada yang bermuara pada pemberontakan serta pertikaian fisik antar golongan beragama.
A. Anggapan Yang Keliru
Pandangan, tepatnya sebagai tuduhan, dari tokoh-tokoh agama -khususnya dari kalangan Agama Islam- pada masa lalu -sebelum kemerdekaan Indonesia- bahwa orang Indonesia yang menjadi Kristen maka ia meninggalkan akar budaya pribumi dan bersatu dengan kolonial bahkan kafir, terus diwariskan ke sebagian masyarakat Indonesia. Dampak dari warisan yang salah ini menjadikan kecurigaan dalam masyarakat terhadap kekristenan. Juga dapat menjadi akar pertantangan atau konflik berdasarkan agama. Sejarah menunjukkan bahwa nenek moyang Indonesia yang menganut animisme dan dinamisme telah menjadi obyek siar agama-agama. Pada perkembangan kemudian, agama-agama yang masuk ke Indonesia ini mempunyai pemeluk-pemeluknya dan jumlahnya bertambah terus; khusus untuk Kristen dan Islam sebagai agama yang misioner, terjadi ketegangan di antara keduanya.
Catatan statistik mengungkapkan penganut agama Islam merupakan kelompok agama yang terbesar di Indonesia, kemudian diikuti oleh Kristen (terdiri dari Katolik dan Protestan serta aliran-aliran Kristen lainnya) dan akhirnya kelompok agama Hindu dan Budha. Komposisi yang tidak berimbang ini telah mendorong terciptanya suatu situasi marjinal pada kelompok penganut agama tertentu, seperti Kristen, Hindu dan Budha. Dari persebaran lima agama yang diakui oleh pemerintah (Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha), yang tidak merata sering kali menyebabkan munculnya penindasan oleh agama yang mayoritas terhadap agama yang minoritas. Apabila satu agama merupakan kelompok mayoritas di dalam masyarakat, dalam aktifitasnya di tengah masyarakat akan lebih mudah dibandingkan dengan aktifitas dari agama yang minoritas.
Hal-hal seperti itu terbukti pada contoh-contoh berikut, pengurusan surat izin membangun (IMB). Untuk bangunan rumah ibadah bagi kelompok agama yang mayoritas akan jauh lebih mudah (atau mungkin tidak diperlukan surat IMB) dibandingkan dengan kelompok agama minoritas lainnya, yang diharuskan bahkan dipersulit untuk mengurus surat izin membangun rumah ibadah masing-masing. Dalam relasi sosial yang terjadi, apakah di tingkat paling atas atau di tingkat masyarakat kebanyakan, sering kali idiom atau simbol agama (Islam) lebih dominan dan mesti dipakai. Dalam kebijakan politik pemerintah, sering kali kelompok agama yang dominan lebih banyak diuntungkan dan sebaliknya, kelompok agama yang kecil lebih banyak disepelehkan serta diabaikan dalam kesetaraan hak dan pengakuan. Contoh lain -yang paling menyakitkan- adalah perusakan tempat ibadah. Pada kurun waktu 1996-2005, terjadi banyak peristiwa perusakan dan pembakaran tempat-tempat ibadah (terutama Kristen). Kerusuhan Situbondo, Tasikmalaya, Pekalongan, Purwakarta, Bekasi, Ketapang-Jakarta, Sanggau Ledo, Ambon, Maluku Utara, Halmahera, dan Poso merupakan contoh-contoh perusakan dan pembakaran tempat Ibadah yang penyebabnya justru bukan masalah agama, melainkan politik atau kejahatan sosial. Contoh lain adalah menyangkut kebijakan dalam bidang pendidikan. Sampai saat ini tidak ada sekolah yang berlandaskan agama Kristen Indonesia sebagai sekolah negeri. Dengan alasan pembinaan spiritual atau rohani kepada masyarakat, pemeritah membangun sekolah-sekolah berdasarkan agama, misalnya Madrasah -dari tingkat dasar sampai menengah- Negeri dan Universitas Islam Negeri (tadinya Institut Agama Islam Negeri), dan lain-lain.
Dengan demikian pemerintah -dan juga masyarakat- masih melihat bahwa pembinaan kerohanian terhadap bangsa Indonesia hanya dimiliki oleh golongan agama tertentu saja. Sedangkan PAK -yang sekaligus pembinaan kerohanian kepada bangsa Indonesia yang menjadi warga gereja- paling tidak oleh sebagian pejabat tertentu tetap saja tidak dianggap penting. Keadaan itu, pada satu sisi menjadikan gereja dapat melakukan pembinaan rohani dengan sebaik-baiknya tanpa diganggu ataupun dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang biasanya bernafaskan serta demi kepentingan agama Islam. Di pihak lain, Gereja harus bekerja sendiri tanpa bantuan siapapun termasuk pemerintah dalam membina warganya.
B. Pembinaan Kerohanian Merupakan Tugas Gereja
Melalui proses yang cukup panjang dari masyarakat dunia pada masa lalu, munculah bangsa dan masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia juga penuh dengan pelbagai perbedaan dan latar belakang. Manusia Indonesia juga termasuk umat manusia yang telah berdosa kehilangan kemuliaan Tuhan Allah. Tidak dapat dibantah bahwa kehadiran Gereja atau Agama Kristen di Indonesia karena gereja-gereja di Eropa dan Amerika melaksanakan Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus. Pada perkembangan kemudian Gereja-gereja di Indonesiapun melakukan hal yang sama dengan gereja-gereja di seluruh dunia, yaitu melaksanakan Amanat Agung di Indonesia, agar segenap bangsa mendengar Injil dan diselamatkan serta memperoleh hidu kekal di dan melalui Yesus Kristus.
Dalam kaitan dengan pembinaan kerohanian kepada bangsa Indonesia, khususnya orangan Indonesia yang beragama Kristen, PAK harus memampukan atau menjadikan warga jemaat mencapai kedewasaan rohani dan bergereja serta menjadi saksi Kristus di tengah-tengah hidupa dan kehidupan bangsa Indonesia. Lebih daripada itu, dalam PAK harus terjadi proses perpindahan, menjadikan, mempersiapkan serta menanamkan, artinya
... transfer of knowledge, morals, and attitudes from one person to another, and usually from one generation to the next. .... the goal of education was to prepare man to know God and to live peacefully among men (Luke 2:52. ..... inculcates to children, the duty of disciplinary instruction and training in the word of God.4
Salah satu tugas gereja di Indonesia adalah melakukan pendidikan agama kristen (PAK) kepada orang Kristen. Maka PAK yang dilakukan oleh Gereja adalah sebagai bagian atau harus sama yaitu untuk mencapai tujuan Pendidikan Nasional Indonesia. Tujuan pendidikan nasional, sesuai UU R.I No.20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Bab II pasal 4, adalah, "mencerdasakan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".5
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, seluruh elemen bangsa, yang di dalamnya termasuk agama-agama, harus berperan serta bersama-sama pemerintah. Karena itu, penganut Agama Kristen dan institusi-sintitusi kristiani pun juga harus ikut berperan dalam proses pendidikan. Hakekat PAK seperti yang tercantum dalam hasil Lokakarya Strategi PAK di Indonesia tahun 1999 adalah
Usaha yang dilakukan secara terencana dan kontinyu dalam rangka mengembangkan kemampuan pada siswa agar dengan pertolongan Roh Kudus dapat memahami dan menghayati kasih Allah di dalam Yesus Kristus yang dinyatakannya dalam kehidupan sehari-hari, terhadap sesama dan lingkungan hidupnya.6
Dengan demikian, PAK dapat sebagai bagian tujuan pendidikan nasional yang menjadikan manusia yang beriman dan bertaqwa -beriman, percaya, taat, setia- terhadap -kepada- Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Oleh sebab itu, PAK menyangkut seluruh unsur pertumbuhan dan perkembangan manusia, yaitu aspek fisik, psikologis, intelektual, sosial, serta mental-spiritual, dan lain-lain. Dalam proses pendidikan selanjutnya, masyarakat harus berpartisipasi secara aktif dalam mendidik anak-anak.
Walaupun ada partisipasi masyarakat dalam pendidikan, namun tiap orang yang terlibat dalam proses pembelajaran PAK harus memiliki keterpanggilan khas untuk mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam kehidupan pribadi maupun sebagai bagian dari komunitas. Nilai-Nilai Pendidikan Agama Kristen, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia serta pluralitas kehidupan merupakan issu utama yang memperoleh perhatian serius dari seluruh komponen bangsa Indonesia yang menuntut supaya issu-issu tersebut memperoleh prioritas pertama dan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di samping pemulihan ekonomi. Issu tersebut di atas sangat relevan untuk dijadikan topik bahasan dalam Pendidikan Agama pada umumnya dan PAK pada khususnya. Dalam kurun waktu 10-15 tahun model kurikulum PAK didominasi oleh doktrin agama yang lebih mengutamakan aspek kognitif dan cenderung melupakan hal pokok dan utama dalam Pendidikan Agama, yaitu pemahaman terhadap nilai-nilai agama yang bersentuhan dengan realitas kehidupan nyata.
Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan paradigma di bidang pendidikan Agama Kristen. Pembahasan PAK mencakup beberapa issu penting seperti tersebut di atas, juga terjadi perubahan dari penentuan materi yang harus dicapai sebagai target capaian ke pengembangan kemampuan peserta didik. PAK berfungsi agar memampukan peserta didik memahami kasih dan karya Allah dalam hidup sehari hari, sekaligus mendampingi serta membantu mereka mentransformasi nilai-nilai kristiani dalam kehidupan sehari-hari. Dengan itu, diharapkan mencapai tujuan mulia yakni,
memperkenalkan Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus dan karya-karya-Nya
menghasilkan Manusia Indonesia yang mampu menghayati imannya secara bertanggungjawab di tengah masyarakat yang pluralistik
menghargai Karya Penyelamatan Allah dalam hidup manusia dan menanggapinya melalui perbuatan nyata yang dapat menunjukkan pemahaman yang subtansial akan karya penyelamatan Allah
C. Dasar Pendidikan Agama dalam Perjanjian Lama
Agaknya pola yang dianut oleh para leluhur Israel, menjadi semacam kurikulum baku untuk umat Israel. Para leluhur mendidik anak-anaknya agar mereka memahami dengan baik budaya, mengenal siapa dan sejarah nenek moyangnya, kekhususan sebagai umat pilihan, siapa Allah yang disembah, hubungan antar sesama serta hubungan kekerabatannya, dan lain-lain. Dalam kerangka itu, maka dapat dipahami bahwa kitab Ulangan yang tadinya merupakan kumpulan pidato yang diucapkan Musa di depan bangsa Israel waktu mereka berada di negeri Moab, mengalami proses penyesuaian. Bisa saja isi pidato tersebut mengalami proses penulisan ulang bahkan editing oleh pemegang tradisi Yahwist, ketika mereka mulai melihat pentingnya mengajar atau mendidik generasi berikut. Dengan demikian, kitab Ulangan dapat dijadikan landasan hukum dan teologis yang sangat mendasar bagi orang tua Yahudi untuk mendidik anak-anak mereka. Model pendidikan agama yang tersirat dalam Ulangan 6 dilakukan secara formal dan informal, serta adanya peranan besar orang tua. Oleh sebab itu, dalam hubungan dengan pendidikan anak, maka secara khusus Ulangan 6 menjadi acuan untuk mendidik anak-anak. Jadi, dengan pendekatan PAK, maka dari Ulangan pasal 6 dapat diambil beberapa hal penting, yaitu:
1. Metode
Mengajar, dilakukan dengan cara berulang-ulang atau terus menerus; Ini bisa dilakukan dengan cara anak mengulang atau menghafal gagasan atau konsep-konsep penting yang diajarkan. Diskusi, ini bisa dilakukan secara formal dan informal. Diskusi dapat dilakukan di rumah maupun sedang melakukan perjalanan, bahkan pada saat bersantai dengan anak-anak. Memakai alat peraga, lambang, simbol-simbol; Ini bisa dilakukan dengan cara benda-benda tertentu sebagai lambang yang menggambarkan atau mengingat bangian-bagian dari Hukum Taurat. Mencatat atau menulis, terutama dilakukan di tempat-tempat strategis sehingga mudah dibaca oleh anak-anak.
2. Isi
Isi pendidikan kepada anak-anak yang terkandung dalam Ulangan pasal 6 dapat diklasifikasikan dalam beberapa hal berikut:
Mengasihi TUHAN Allah dengan sungguh-sungguh. Dengan wibawa ilahi, Musa memerintahkan umat Israel agar mengikuti perintah dan ketetapannya. Yang menurut Musa, adalah perintah dari TUHAN, Allah mereka. Dan jika -ketika mereka sudah ada di negeri Perjanjian- semua ketetapan TUHAN tersebut dilaksanakan dengan baik dan benar, serta penuh kesetiaan. Akibat dari semua itu adalah umat akan bertambah banyak dan diberkati oleh TUHAN, Allah mereka. Hal penting yang yang menjadi dasar utama ketaatan dan kesetiaan umat kepada TUHAN Allah, adalah Ia telah membebaskan mereka dari tanah perjanjian, serta Ia adalah Allah yang Esa,"Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!", Ul 6:4. Oleh sebab itu, umat harus mengasihi TUHAN Allah dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu, Ul 6:5
Hubungan Masyarakat. Ketika umat telah sampai di Tanah Perjanjian dengan pertolongan TUHAN Allah, maka ada hal-hal penting yang mereka harus lakukan dalam hubungan masyarakat asli yang ada. Mereka harus bekerja keras untuk membangun diri sekaligus memperbaiki kualitas hidup dan kehidupannya. Namun, mereka harus juga berhati-hati, agar tidak melupakan TUHAN, yang telah membawa mereka keluar dari tanah Mesir, dan masuk Tanah Perjanjian.
Ibadah. Kesetiaan umat kepada TUHAN Allah harus diwujudnyatakan melalui ibadah kepada TUHAN, Allah yang Esa. Dengan demikian dapat membuktikan bahwa mereka tidak terpengaruh oleh penyembahan kepada Allah lain atau dewa-dewi bangsa Kanaan. Dan jika mereka mengikuti allah lain, maka TUHAN Allah memusnahkan mereka dari muka bumi.
Hukum Taurat sebagai Patokan Moral. Dalam hidup dan kehidupan sehari-hari -menurut Musa- TUHAN Allah telah memberikan Hukum Taurat sebagai patokan moral yang harus dilaksanakan oleh umat. Umat harus berpegang -dalam arti mengerti, memahami, dan mengikuti serta melaksanakan- semua perintah, peringatan dan ketetapan TUHAN, Allah mereka. Semua patokan moral tersebut harus dialkukan dengan baik dan benar sehingga mereka memperoleh kesejahteraan
Sejarah. Di samping hal-hal di atas, ternyata generasi berikut juga diajar mengenai pertolongan TUHAN dalam sejarah umat. Oleh sebab itu, generasi berikut harus diajarkan mengenai semua peristiwa yang terjadi pada nenek moyang mereka. Anak-anak harus dingatkan oleh orang tua mereka bahwa "Kita dahulu adalah budak Firaun di Mesir, tetapi TUHAN membawa kita keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat" TUHAN Allah lah yang mempunyai inisiatif untuk membebaskan mereka dari perbudakan, seklaigus membawa mereka ke Tanah Perjanjian. TUHAN melakukan semua itu diserta tanda-tanda dan mujizat-mujizat, yang besar dan yang mencelakakan, terhadap Mesir, terhadap Firaun dan seisi rumahnya. TUHAN Allah bukan saja membebaskan dan membawa mereka ke Tanah Perjanjian, tetapi sampai sekaranghidup karena pertolongan serta anugerah-Nya. mereka dapat
D. Teladan Yang Yesus Lakukan7
Umat Kristen mengakui bahwa Yesus adalah manusia sebagaimana dimaksud Allah, sekaligus percaya bahwa kemanusiaan-Nya mempunyai keunikan tersendiri serta yang sulit dipahami, karena, Yesus mempunyai banyak sekali kelebihan dari manusia biasa. Penulis surat Ibrani pun, dalam ketidakpengertiannya, hanya menulis
7 Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan. 8 Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, 9dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya. Ibrani 5:7-9.8
Ketika Yesus masih ada secara biologis di dunia, daya jangkau pelayanan-Nya hanya di Palestina, serta mempunyai masa kerja yang singkat. Namun dalam rentang waktu yang singkat tersebut, Yesus disebut guru atau rabbi karena Ia selalu melakukan proses pendidikan -didalamnya ia mengajar atau didaske- kepada banyak orang. Mengajar merupakan bagian penting dalam pelayanannya. Kemanapun Ia pergi, selalu diikuti oleh banyak orang, sehingga -pada setiap kesempatan- Iapun mengajar mereka di Bait Allah, rumah-rumah ibadah, di pantai, perahu, bukit, dan lain-lain.9 Apa yang diajakan yesus menjadikan pendengar-Nya takjub, karena mengajar sebagai orang yang berkuasa, Mrk 1:22; 12:37. Jadi jelas sekali bahwa Yesus melakukan suatu proses pendidikan, termasuk pembelajaran teologi, dengan berbagai cara, misalnya
melalui pengajaran langsung dengan kata-kata, ceramah, bimbingan, menghafal, khotbah, dialog, perumpamaan, kata-kata yang membangun serta menghibur
tindakan-tindakan, contoh-contoh keteladanan dan gaya hidup, kunjungan, perjumpaan dengan mata yang penuh belaskasihan serta perhatian, perbuatan simbolis
kejadian-kejadian sulit atau ujian-ujian yang harus dialami mereka serta peristiwa-peristiwa yang dialami Yesus pada akhir hidup-Nya
1. Memilih dan menetapkan Murid
Yesus sebagai guru atau rabbi, mengawali pelayanannya dengan dengan memilih dan memanggil dari antara orang banyak, 12 orang pengikut, Mat. 4:18-22; Mrk. 1:16-20; Luk. 5:1-11. Kedua belas orang ini disebut sebagai muri-murid-murid Yesus Dalam Injil dipakai beberapa istilah untuk menyapa atau menyebut para murid Yesus.10mathçtçs- artinya: seseorang yang belajar pada seorang guru (didaskalos); menunjuk kepada pengikut-pengikut para filsuf atau mereka yang sibuk dalam aktivitas belajar pada umumnya. Munculnya kegiatan belajar-mengajar di kalangan masyarakat Yahudi, maka belajar pada seorang rabi merupakan hal yang biasa. Karena itu ketika Yesus tampil, Ia juga memanggil 12 orang untuk menjadi murid-Nya. Menurut Yesus, seorang murid tidak hanya memiliki kemampuan intelektual tetapi juga harus memiliki ketaatan personal.11 Namun maksudnya sama, yakni kedua belas orang yang dipanggil menjadi murid untuk mengikut dan belajar dari Yesus. Dalam Perjanjian Baru, "murid" -dari kata Yunani:
Murid-murid memiliki peranan sangat besar dalam pelayanan Yesus. Mereka sebagai wakil-wakil khusus dalam upaya memberitakan Injil. Mereka diberi kuasa untuk mengusir setan, Mrk. 3: 13-19; 6: 7,13; Mat. 10: 1-4; Luk. 6:12-16, karena dilengkapi dengan kuasa atas roh-roh jahat, Mrk. 6: 7.12 Mereka juga diberikan karunia khusus untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah, Mrk. 4: 11,12; Mat. 13: 11; Luk. 8: 10, dan pada waktu tertentu mereka melakukan mujizat serta tanda-tanda ajaib, Mrk. 6: 13; Luk. 9: 6.
2. Memberikan bimbingan khsusus dan intensif
Setelah murid-murid dipanggil, dimulailah proses pembelajaran kepada mereka. Menurut Injil pembelajaran teologi kepada para murid disampaikan Yesus melalui berbagai sarana, antara lain, perkataan-perkataan dan pengajaran-Nya; mujizat-mujizat-Nya; sikap dan tindakan-Nya; bahkan melalui gaya hidup Yesus sendiri. Yesus menjadi pusat pembelajaran teologi bagi para murid. Yesus mengajarkan sejumlah pokok teologis dalam bentuk perkataan dan pengajaran serta tindakan dan gaya hidup-Nya. Dengan demikian para murid tidak hanya mendengar sejumlah teori tentang suatu pokok teologis, melainkan juga mengalaminya secara langsung. Beberapa contoh yang dapat disebutkan dalam pembelajaran itu adalah:
Pertama, pembelajaran teologi tentang kasih. Ketiga Injil Sinoptik, Mrk. 12:30-31; Mat. 22:37-40; Luk. 10:27. mencatat bahwa Yesus memberi pemahaman baru mengenai makna kasih. Menurut Yesus, inti Hukum Taurat dan pemberitaan para nabi adalah kasih kepada Tuhan Allah dan sesama manusi. Matius 22 :37-40,
37Jawab Yesus kepadanya:"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. 38Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. 39Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. 40Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.13
Menurut para guru Yahudi, kasih kepada sesama manusia sebatas kepada orang sebangsa, segolongan, sealiran, seagama, mereka di luar itu adalah orang "asing" atau musuh14. Namun menurut Yesus, kasih kepada sesama tidak hanya mencakup orang-orang sesuku, sealiran, atau seagama. Kasih harus melampaui semua batas-batas yang dibangun manusia serta mencakup semua orang termasuk musuh. Mat. 5:43,44. Kasih yang menjangkau semua orang termasuk musuh. Kasih tidak sekedar sebuah teori, tetapi tindakan agar sesama manusia mengalaminya. Yesus mengajar tentang kasih melalui perkataan dan pengajaran-Nya serta pelayanan-Nya, bahkan seluruh hidup-Nya. Menurut Injil, ketika Yesus melihat orang banyak mengikuti Dia, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka, Mrk. 6:34; Mat. 14:14.15. Gerakan hati oleh kasih itu diwujudkan oleh Yesus dalam pelayanan-Nya memberi makan kepada lima ribu orang. Ia mewujudkan kasih melalui pelayanan-Nya menyembuhkan orang sakit, Mat 11:4,5; Luk 7:22; membela hak orang yang terancam hidupnya, bnd. Yoh 8:7; 11; bergaul dengan mereka yang terpinggirkan dari masyarakat Yahudi, Mat 9:11-13: Luk 7:34; 19:5, 9,10. Karena kasih-Nya, Ia rela mengorbankan diri-Nya di atas kayu salib untuk menebus manusia. Ketika Ia dianiaya oleh orang-orang yang memusuhi-Nya, Ia tidak mengutuk mereka. Sebaliknya dalam penderitaan-Nya yang sangat hebat keluarlah kata-kata pengampunan yang berlandaskan kasih itu: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat". Luk 23:34.
Kedua, kerendahan diri sebagai seorang pelayan (diakonos). Kelahiran Yesus di Betlehem merupakan wujud perendahan diri-Nya. Ia meninggalkan kemuliaan-Nya dan merendahkan diri sebagai seorang bayi, bertumbuh dalam keluarga kecil. Ketika murid-murid mengikut Dia dalam pelayanan-Nya, mereka memiliki pemahaman yang keliru mengenai status atau kedudukannya. Menurut Injil Markus, ketika Yesus bersama-sama dengan para murid menuju ke Yerusalem, anak-anak Zebedeus meminta kedudukan di samping Yesus, Mrk 10:35-37. Permintaan itu menyebabkan murid-murid lain menjadi marah. Tetapi Yesus menasihati mereka:
"Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya", Mrk 10: 43-44.16
Nasihat Yesus itu Ia dasarkan pada diri-Nya sendiri. Ia berkata: "Karena Anak manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang", Mrk. 10: 45 17
Ketika Yesus merayakan jamuan makan bersama murid-murid-Nya, Ia membasuh kaki murid-murid-Nya dilanjutkan dengan pesan, "... jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu", Yoh 13:4,5, 14,15. Perendahan diri di salib itu diungkapkan oleh rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat Filipi: "Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib", Flp 2:8. Perendahan diri yang Yesus lakukan sebagai suatu bentuk pendidikan kepada murid-murid tentang bagaimana mereka harus berlaku sebagai pemimpin-pemimpin di dalam jemaat. Mereka harus meneladani apa yang Yesus lakukan.
Ketiga, iman. Dalam pelayanan Yesus bersama dengan murid-murid-Nya, Ia tidak memberi teori tentang iman tetapi bentuk konkrit dari tindakan berdasarkan iman kepada TUHAN Allah. Contoh yang menarik adalah peristiwa di danau Galilea, Mrk 4: 35-41; Mat 8: 23-27; Luk 8: 22-25. Ketika menyeberangi danau, kekonyong-konyong turunlah taufan sehingga perahu kemasukan air dan mereka berada dalam bahaya. Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Murid-murid membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?", Mrk 4: 38. Perkataan murid-murid menggambarkan suatu kepanikan menghadapi taufan. Tetapi Yesus bangun dan meredakan taufan, sehingga reda dan danau menjadi teduh sekali. Yesus memakai peristiwa tersebut sebagai sarana pembelajaran kepada para murid. Perkataan Yesus dalam bentuk pertanyaan kepada para murid itu, "Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?", Mrk 4:40. Yesus mengangkat pokok iman atau percaya sebagai suatu unsur yang sangat penting bagi seseorang ketika menghadapi situasi yang genting. Demikian juga dalam peristiwa penyembuhan seorang anak muda yang sakit ayan, Mat 17: 14-21, Yesus menekankan lagi pokok tentang iman itu. Menjawab pertanyaan murid-murid mengenai ketidakmampuan mereka mengusir setan, Yesus menegaskan bahwa mereka kurang percaya. Sebab, sekiranya mereka memiliki iman sebesar sebiji sesawi saja, maka tidak ada yang mustahil bagi mereka, Mat 17: 20.
Keempat, hal mengikut Yesus. Kedua belas murid mengikut Yesus ke mana saja Ia pergi. Pada umumnya mereka selalu berjalan bersama-sama. Dalam kebersamaan itu, Yesus mengajarkan berbagai pokok teologis. Salah satu pokok adalah hal mengikut Dia, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku", Mrk 8: 34; Mat 16: 24; Luk 9: 23. Dalam pengajaran ini ada tiga syarat yang dituntut dari diri seorang murid, yaitu menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Dia.
"menyangkal diri" berarti tidak lagi mengikuti kehendak atau ke-aku-an sendiri melainkan menundukkan diri secara mutlak pada kehendak Allah. Sikap penundukan diri ini dituntut dari setiap orang yang mau mengikut Dia. Paulus menyebut itu sebagai suatu penyaliban terhadap keinginan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya, dan hidup oleh Roh, bnd.Gal 5: 24, 25.18
"memikul salibnya" (aratô ton stauron autou). Pada masa Yesus, memikul salib adalah hal yang dikenal banyak orang. Namun salib yang dimaksudkan di sini bukan kayu palang yang dipikul seseorang menuju kematian, sebagaimana dialami oleh orang-orang dalam wilayah jajahan Roma.19 Salib yang Yesus maksudkan adalah kesediaan untuk menderita karena kebenaran. Penderitaan itu dapat berupa penolakan, penghinaan, penganiayaan, dan sebagainya.
"mengikut Dia" (akoloutheô); ini berarti berjalan mengikuti jejak Kristus menuju penderitaan. Dalam pengertian lain, kemuridan adalah kerelaan memikul salib atau menderita karena menjadi murid Yesus. Memang tindakan ini mengakibatkan orang kehilangan nyawanya, tetapi barang siapa kehilangan nyawanya karena Kristus ia akan mendapatkannya kembali. Sebaliknya barang siapa yang menyelamatkan nyawanya akan kehilangan nyawanya, Mat 16: 25; Mrk 8: 35; Luk 9: 24.
Kelima, gaya hidup sederhana. Gaya hidup sederhana jelas terlihat pada diri Yesus. Dari latar belakang-Nya, Ia adalah seorang anak tukang kayu. Waktu Ia disunat dan diserahkan, orang tuanya mempersembahkan sepasang burung merpati, Luk 2: 24. Kesederhanaan itu Ia pertahankan, walaupun ia dibujuk untuk memperoleh semua kerajaan dunia dengan segala kemegahannya. Ia, dengan tegas, menolak bujukan itu, Mat 4: 8-10. Kesederhanaan ini Ia sampaikan kepada setiap orang yang mau mengikut Dia. Kepada seorang ahli Taurat yang hendak mengikut-Nya, Ia berkata: "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya, Mat 8: 20; Luk 9: 58. Perkataan Yesus ini menggambarkan kesederhanaan seorang yang mau mengikut Dia. Maka setiap orang yang mau mengikuti-Nya diperingatkan mengenai risiko yang harus ia hadapi.
--------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia., Jakarta: Balai Pustaka., 1990., hal 11
2 ibid hal 253
3 Soegeng Sarjadi 1994; Loekman Soetrisno 1997; YLBHI 1997; Alfian Hamzah 1998; Y. A. Twikromo 1999
4 Bandingkan Thomas Nelson, Education., Nelson's Illustrated Bible Dictionary., www.biblesoft.com., 2005
5 Departemen Pendidikan Nasional, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, tahun 2005., hal
6 Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Agama Republik Indonesia, Standar Kompetensi Pendidikan Agama Kristen di SMA., 2004., hal 7
7 beberapa bagia ini diadaptasikan -dengan beberapa perubahan- dari Samuel B.Hakh, Pembelajaran Teologi Murid Perdana dalam http://www.sttjakarta.ac.id
8 Alkitab Terjemahan Baru © LAI 1974., 1998
9 Robert R Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Plato sampai Ig Layola, Jakarta:BPK-GM, 1991., hal 57 dstnya
10 Mereka itu dipilih dari antara orang banyak (Luk. 6: 13). Selanjutnya dalam Injil Yohanes, kata mathçtçs digunakan tujuh puluh tujuh kali dan istilah "dua belas" ditemukan hanya dalam dua konteks, Lukas 6: 67, 70, 71; 20: 24
11 James-Leo Garrett, Systematic Theology, Biblical, Historical & Evangelical, vol. 2 (Grand Rapids, Michigan, 1995) 348.
12 Larry W. Hurtado, "Following Jesus in the Gospel of Mark and Beyond," dalam Pattern of Discipleship in the New Testament, ed. Richard N. Longenecker (Grand Rapids, Michigan/Cambridge: W.Eerdmans Publ., Co., 1996) 18,19.
13 Alkitab Terjemahan Baru © LAI 1974., 1998
14 J. Verkuyl, Khotbah di Bukit, terj. Soegiarto., Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1968., hal. 68, 69.
15 Cerita Yesus memberi makan 5000 orang terdapat dalam keempat Injil, tetapi Markus dan Matius, berbeda dari Lukas dan Yohanes, mencatat bahwa pemberian makan itu didorong oleh kasih.
16 Alkitab Terjemahan Baru © LAI 1974., 1998
17 Alkitab Terjemahan Baru © LAI 1974., 1998
18 Eduard Schweizer, The Good News According to Mark. A Commentary on The Gospel, terj. Donald H. Madvig (London: SPCK, 1971) 176.
19 Orang-orang Yahudi, khususnya di Galilea mengetahui persis apa artinya salib. Sebab ratusan pengikut Yudas dan Simon elah disalibkan; lihat Plummer, St. Luke. The International Critical Commentary (Edinburgh: T&T Clark, 1964) 248.
WeLCoMe To 1'st Dewi's Blog
WelCome...!!! To My 1'st blog!!!
pendidikan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar